Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal



Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal

I.                   Pendahuluan
      Dalam berbagai aliran gereja terdapat jenis-jenis sistem penataan/pemerintahan yang berbeda. Dalam sajian ini akan dibahas mengenai sistem penataan/pemerintahan prebisterial sinodal yang banyak dianut di gereja yang terdapat di Indonesia. Untuk lebih memahaminya maka akan dijelaskan mengenai pengertian prebisterial sinodal, latar belakang dan perkembangan prebisterial sinodal, ciri-ciri prebisterial sinodal, prinsip-prinsip prebisterial sinodal, serta penjelasan mengenai sistem penataan/pemerintahan prebisterial sinodal.
II.                Pembahasan
2.1.  Pengertian Prebisterial Sinodal
            Secara etimologi, kata Prebisterial berasal dari kata Presbuteros  dalam bahasa Yunani atau Zaqen dalam bahasa Yunani yang berarti tua-tua. Jabatan penatua atau prebister ini, secara harafiah diartikan sebagai yang dituakan, yang berpikir matang (sesepuh). Kata sinodal berasal dari kata sinode yang dalam bahasa Yunani berasal dari dua akar kata sun dan hodos. sinode berarti berjalan bersama, seperjalanan, berpikir bersama, bertindak bersama. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan baha pengertian sistem Prebisterial Sinodal adalah para Prebister yang mempunyai sikap hidup, pengakuan, visi dan arah yang sama dan juga bersidang dibawah kepemimpinan Roh Kudus dan Firman Tuhan atau suatu sistem yang mengatur gereja berdasarkan atas kesepakatan bersama dalam memutuskan suatu permasalahan dalam gereja dan keputusan itu melalui sinode yang dihadiri para pejabat gereja (para prebister)[1]
2.2. Latar Belakang dan Perkembangan Prebisterial Sinodal
            Pada dasarnya sistem prebisterial adalah suatu sistem pemerintahan gereja yangg muncul pada masa para rasul dan jemaat gereja mula-mula. Sesuai dengan namanya, sistem prebisterial ini berakar dari diperlakukannya jabatan presbuteros (tua-tua). Ketika jumlah orang yang percaya semakin banyak mulailah bermunculan masalah-masalah yang tidak bisa ditangani sendiri oleh para rasul. Untuk itulah ditunjuk orang-orang khusus untuk melakukan pelayanan ini. Para rasul mempersilahkan jemaat untuk memilih dari antara mereka sendiri. Para rasul hanya menetapkan jumlah dan syarat-syarat (Kis 6:3-5). Cara ini mengikuti tradisi pemilihan tua-tua dan hakim-shakim dalam perjanjian lama. Para tua-tua jemaat merupakan pelayan pelayan yang ditunjuk untuk membantu para rasul untuk mengawasi jemaat dan mengambil keputussan. Mereka juga ditunjuk untuk mengelola jemaat-jemaat lokal seperti Yudea (Kis 11:29-30). Dalam sejarah perkembangan sejarah pemerintahan gereja ini akhirnya dikembangkan Calvin menjadi sistem pemerintahan gereja Prebisterial sinodal, dimana dengan penambahan unsur sinodal di dalamnya menjadikan sistem pemerintahan gereja ini dalam pengambilan keputusan tertinggi berada dalam sidang sinode yang dilakukan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan[2] gereja calvinis mengembangkan apa yang sekarang kita sebut prebisterial sinodal.[3]
            Pada tahun 1559 di Paris dilangsungkan sidang sinode pertama bagi gereja-gereja Calvinis di Perancis. Disitu disepakati suatu satu konsep tata gereja “nasional”, yang kelak menjadi dasar bagi prebisterial sinodal. Tata gereja ini bertolak dari prinsip bahwa gereja protestan di Perancis  terdiri dari jemaat-jemaat. jemaat setempat, yang dipimpin oleh majelis jemaat merupakan unit terkecil dari gereja. Organisasi yang lebih luas didasarkan pada prinsip bahwa semua jemaat adalah sama, sehinnga tidak ada heirarki. Jemaat di suatu wilayah dihimpun dalam suatu sidang yang kemudian disebut klasis, sedangkan jemaat-jemaat di suatu provinsi membentuk suatu sinode provinsi. Kalau keadaan memungkinkan, sekali setahun diadakan sinode nasional yang mengatur dan menetapkan hal-hal yang bersifat umum dan mendasar, seperti misalnya tata gereja dan pengakuan gereja. Ada perkara-perkara yang harus dipercayakan pada badan atau instansi di atas (di luar) jemaat, tetapi cukup besar wewenang dan kebebasan jemaat untuk mengatur dirinya sendiri. Tata gereja ini disebut prebisterial sinodal karena semua keputusan jemaat diambil pada tingkat presbyterium sedangkan perkara perkara yang menyangkut kepentingan seluruh gereja dipurtuskan pada tingkat sinode, yang diikuti oleh wakil-wakil presbyterium dari jemaat.[4] memang disini mereka yang berwenang dipilih oleh anggota jemaat meskipun dalam praktik mungkin bahwa nama-nama calon disampaikan kepada jemaat untuk memenangkan mereka berdasarkan persetujuan.[5]
            Di lingkungan gereja protestan sedunia aliran atau denominasi calvinis anggota gereja penganutnya merupakan yang kedua terbesar di lima benua. Sebagian besar daripadanya, 173 organisasi gereja hingga tahun 1990, bergabung di World Aliance of Reformed Churches (WARC). Kendati di Indonesia tidak ada gereja yang memakai nama calvinis namun diantara 72 gereja anggota PGI (sampai dengan tahun 1994) sekurang-kurangnya separoh mengaku calvinisme. Kita ambil contoh: GPM, GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI (jabar, jateng dan jatim yang sejak agustus 1994 menyatakan bersatu), GKP, GKJ, GKJW, GKPB, GKS, GMIST,GKST, Gereja Toraja (rantepao maupun mamasa), GKSS, Gepsultra, GMIH, GKE.[6]
2.3.Ciri-Ciri Prebisterial Sinodal
1.      Titik tolaknya ialah jemaat (gereja) setempat.
      Jemaat gereja setempat adalah manifestasi dari gereja Kristen yang kudus dan am, yang kita akui dalam Apostolicum, karena itu ia adalah gereja dalam arti yang sesungguhnya. Sebagai gereja yang sesungguhnya ia komplit disitu berlangsung pemberitaan firman dan pelayanan sakramen, disitu berlangsung pelayannan pastoral dan disiplin, disitu berlangsung pelayanan diakonal dan pelayanan-pelayanan yang lain. Jemaat gereja setempat secara prinsipal mempunyai hak untuk mengrus keuangan dan harta miliknya sendiri.
2.      Pimpinan (pemerintahan) gereja dipercayakan kepada suatu majelis, yang beranggotakan pejabat-pejabat gerejawi.
      Angggota-anggota dari majelis ini yang biasanya disebut majelis jemaat (gereja) terdiri dari pendeta, sejumlah penatua dan diaken. Mereka semua adalah pejabat gerejawi. Pejabat-pejabat itu sama tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lain. Tiap-tiap anggota majelis jemaat (gereja) mempunyai tugasnya sendiri, yang dirumuskan dalam peraturan (ordonasi) jemaat atau gereja. Bersama-sama mereka –pendeta dan pengajar- “memanggil” (mengangkat dan menempatkan) pendeta-pendeta. Tugas penatua ialah menggembalakan anggota-anggota jemaat. bersama-sama mereka –pendeta dan penatua- memimpin jemaat adn menjalankan disiplin gerejawi. Tuga diaken ialah membantu orang-orrang sakit dan orang miskin. Bersama-sama sebagai pejabat-pejabat mereka bertanggung jawab atas pelayanan jemaat atau gereja.
3.      Selain daripada mejelis jemaat (gereja), masih ada sidang-sidang lain yang lebih luas bidang cakupannya.
      Sidang-sidang gerejawi ini umpamanya sidang klasis dan sidang sinode terdiri dari wakil-wakil dari majelis-majelis jemaat gereja, yang juga adalah pejabat-pejabat gerejawi. Bedanya dengan majelis jemaat ialah sidang-sidang gerejawi ini terdiri dari semua pejabbat gerejawi, yang berada dalam daerah pelayanan klasis atau sinode. Sidang-sidang gerejawi tidak mempunyai hak –kalau tidak diminta-untuk mencampuri pelayanan-pelayanan  atau persoalan-persoalan dari dari jemaat gereja setempat. Tetapi pada lain pihak hanya sidang-sidang gerejawi (yang lebih luas) yang mempunyai wewenang untuk membicarakan dan mengambil keputusan tentang hal hal yang umum yang menyangkut seluruh gereja. Selain daripada sidang majelis jemaat (gereja), sidang klasis dan sidang sinode, mereka juga mengenal sidang sinode daerah atau wilayah, sidang sinode am atau nasional dan lain-lain.
4.      Gereja mempunyai suatu kemandirian yang tertentu terhadap pemerintah.         Khususnya di bidang tugas dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi. Terjadi perpisahan antara gereja dan negara supaya pemerintah menghormati sifat yang khusus dari gereja dan mengakui hak-haknya.[7]
2.4.Prinsip-Prinsip Prebisterial Sinodal
1.      Imamat orang percaya
      Imamat am orang percaya sebagai imamat yang rajani haruslah berfungsi di dalam gereja. Bukan hanya pendeta, bukan hanya majelis yang menentukan baik buruknya suatu gereja, tapi semua anggota gereja wajib ikut tanggung jawab dan  di dalam sistem/susunan struktur gereja pun, peranan anggota gereja sebagai imamat am harus ada tempatnya .
2.      Jabatan-jabatan khusus
      Suatu organisme tidak dapat berjalan dngan baik tanpa ada pemimpin. Demikian juga gereja memerlukan pemimpin dalam arti pelayanan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki agar kedewasaan jemaat nyata dalam memilih pejabat-pejabat gereja. Pemilihan itu (pemilihan penetua dan diaken) dilakukan warga gereja sebagai jemaat Tuhan. Dengan demikian, pejabat yang terpilih dapat yakin bahwa ia telah dipilih jemaat dan dengan demikian dipilih Tuhan sendiri.[8]
3.      Kepemimpinan
      Pimpinan atau pemerintahan gereja oleh Kristus sebagai kepala dan Tuhannya: kepala dari tubuhnya dan Tuhan dari jemaatNya.
Pimpinan atau pemerintahan berlangsung oleh pekerjaan firman Tuhan dan Roh-Nya. Yang dimaksudkan disini dengan gereja ialah bukan saja gereja sebagai persekutuan, tetapi juga gereja sebagai institut dan lembaga. Pimpinan atau pemerintahan gereja itu Ia jalankan dengan perantaraan pejabat-pejabat gerejawi sebagai alat atau hamba-hamba-Nya.[9]
      Secara kolektif disebut majelis jemaat. pejabat-pejabat gerejawi ini bukanlah wakil-wakil dari jemaat melainkan orang-orang yang memegang jabatan itu atas nama Tuhan Yesus Kristus dan berhadapan dengan jemaat. setiap majelis jemaat memiliki kedudukan yang sama tidak ada seorangpun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Masing-masing mempunyai tugasnya sendiri.
4.      Kepenuhan dalam kesatuan (fulness in unity).
       Tiap-tiap jemaat yang dipimpin oleh majelis jemaat memiliki kemandirian penuh; tetapi pada saat yang sama setiap jemaat yang ada, berada dalam kesatuan dengan jemaat-jemaat lain dalam satu sinode sebagai satu kesatuan. Dalam sistem prebisterial sinodal semua keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan wewenag yang ada pada salah satu pihak
5.      Dalam sistem ini terdapat dua garis timbal balik antara jemaat-klasis-sinode wilayah-sinode am tetapi juga antara sinode am-sinode wilayah-klasis-jemaat. hubungan yang ada bukanlah yang bersifat hierarkis (dari atas ke bawah) melainkan lebih bersifat mengarah kepada kesatuan sebagai keluarga besar yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah keatas.[10]
2.5.Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal
            Bentuk prebisterian dari pemerintahan gereja sendiri melewati pemanggilan Alkitab yaitu  pemerintahan gereja oleh penatua/penilik,  para pejabat ini melaksanakan tanggung jawab mereka secara serempak dan pada paritas (kesepadanan) satu sama lain dan dengan perawatan dan pelayanan material dari gereja yang dirawat oleh diaken dibawah pengawasan paara penatua. Pemerintahan oleh penatua/penilik memiliki sejarah panjang dalam Alkitab. Musa, para imam dan orang lewi, para hakim, dan bahkan raja-raja israel, semuanya dibantu dalam pengaturan mereka terhadap orang Israel, dengan izin Allah, oleh “para penatua Israel” atau “para penatua sidang”. Praktik pemerintahan  oleh para penatua terus berlanjut ke dalam era perjanjian baru. Jemaat yang memilih penatua orang prebisterial percaya bahwa jemaat memilih para penatua oleh karunia dan rahmat yang diberikan oleh Roh kudus, sehingga pemilihan mereka adalah kehendak Kristus. Seperti yang dinyatakan Paulus dalam Kisah Para Rasul 20:28 Roh Kuduslah yang menempatkan orang-orang ini di jabatan penatua.  Jadi “dalam memilih pejabat, gereja tidak memberi mereka wewenang, tetapi mengakui otoritas dan panggilan Kristus” dan dari Dia mereka menerima otoritas mereka dan kepadaNya mereka bertanggung jawab. Ketika dia dipilih oleh orang-orang  tidak menyiratkan bahwa dia mendapatkan otoritas dari mereka. Oleh karena itu, mereka bukan deputi atau alat yang hanya melayani untuk melaksanakan keinginan rakyat, tetapi menangkap dan menerapkan secara cerdas hukum-hukum Kristus. gereja-gereja Kristen oleh diatur oleh dewan-dewan yang terdiri dari para penatua/penilik rohani yang akan dipilih oleh orang-orang dan yang kemudian mengawasi sidang mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Allah.[11]
            Prebisteri memiliki kekuasaan pengawas atas semua aktivitas keagamaan dalam batas-batasnya yang berarti ia melakukan fungsi-fungsi yang telah dimiliki. Dalam banyak hal, prebisteri menjalankan fungsi pengawasan meskipun para majelis gereja berkumpul melalui sistem panggilan prebisteri memiliki hak veto atas pendirian semua hubungan pastoral. Badan-badan pemerintahan yang lebih tinggi dari gereja memperoleh tertinggi adalah majelis umum yang dibuat setiap tahun terdiri dari sejumlah penatua yang setara (teaching elders and ruling elders)[12] Teaching elders berfungsu sebagaimana gembala sidang bekerja (oleh sebab itu pendeta juga disebut penatua). Ruling elders berfungsi dalam berbagai administrasi.[13] Badan pengatur yang tertinggi adalah majelis umum. Majelis umum bersifat menditail dan luas seperti ketentuan konstitusional yang mengatur gereja, masalah doktrinal, logistik organisasi untuk operasi gereja, keuangan, resolusi dan strategi misi. Banyak tawaran dibuat untuk setiap majelis umum, disortir menurut subjeknya dan dilaporkan kembali dengan rekomendasi (untuk melawan atau dengan modifikasi kemudian panitia memutuskan) dan jika musyawarah tidak selesai dalam waktu yang diberikan, diskusi sering ditunda sampai akhir pertemuan perbaikan. Majelis gereja harus mengadopsi pengukuhan (baik sebagaimana disampaikan atau direvisi) dan  mengirimkannya ke presbiteri untuk penerimaa atau penolakan mereka. Jika mayoritas presbiteri setuju, majelis umum berikutnya menyatakan perubahan yang efektif. Ini berarti bahwa hal-hal  yang mempengaruhi tata pemerintahan mendasar dari denominasi, pemimpin memiliki kekuatan yang sangat penting tetapi tidak menentukan. Namun prebisteri tidak bisa mengesampingkan majelis umum untuk membuat undang-undang tentang hal-hal prosedural. Majelis umum bertindak secara mayoritas dan tindakan tersebut menjadi kebijakan gereja. Ini disebut sinode dan juga menjadi aspek-aspek  yang membentuk tatanan dan dapat berubah pada sidang umum berikutnya. Sinode tidak  berurusan dengan masalah konstitusional sehingga fungsi mereka terutama untuk memajukan misi dan program kehidupan gereja.[14]

III.             Kesimpulan
      Sistem Prebisterial Sinodal adalah para Prebister yang mempunyai sikap hidup, pengakuan, visi dan arah yang sama dan juga bersidang dibawah kepemimpinan Roh Kudus dan Firman Tuhan atau suatu sistem yang mengatur gereja berdasarkan atas kesepakatan bersama dalam memutuskan suatu permasalahan dalam gereja dan keputusan itu melalui sinode yang dihadiri para pejabat gereja (para prebister). Dalam prebisterial sindodal para penatua dipilih oleh warga jemaat. keputusan gereja lokal diambil berdasakan kesepakatan bersama dalam sidang gereja lokal namun keputusan yang bersangkutan dengan seluruh gereja diambil berdasarkan kesepakatan bersama sidang sinode yang dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Dalam tidak ada hierarki yang ada adalah hubungan timbal balik dari bawah keatas dan dari atas kebawah.
IV.             Daftar  Pustaka
Abineno, J.L.Ch,  Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta:Gunung mulia, 2015
Akin,  Daniel, dkk, Perspectives On Church Government, Amerika, Broadman &        Holman, 2014
Aritonang,  Jan ., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta:BPK-         Gunung Mulia, 2013
Ginting,  E.P., Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal Info Media, 2009
Koffeman, Leo J., In Order To Serve, Germany: Lit Verlag GmbH & Co. KG Wien, 2014
Long,  Edward Leroy, Patterns Of Polity, Amerika: The Pilgrim Press Cleveland,         2001
Meliala, S. Jonathan & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, Jakarta:     Pranata Aksara, 2016
S, Jonar, Eklesiolohgi, Yogyakarta: ANDI, 2016Edward Leroy Long JR, Patterns       Of Polity, Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001




                [1] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, (Jakarta: Pranata Aksara, 2016), 44-47
                [2] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, 35-36
                [3] Leo J. Koffeman, In Order To Serve, (Germany: Lit Verlag GmbH & Co. KG Wien, 2014), 55
                [4] Jan . Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2013),70-71
                [5] Leo J. Koffeman, In Order To Serve, 55
                [6] Jan . Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2013), 52
                [7] J.L.Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta:Gunung mulia, 2015 ), 79-82
                [8] E.P.Ginting, Apakah Hukum Gereja, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 70-73
                [9] J.L.Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta:Gunung mulia, 2015 ), 79
                [10] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, (Jakarta: Pranata Aksara, 2016), 88-89
                [11] Daniel Akin, dkk, Perspectives On Church Government, (Amerika, Broadman & Holman, 2014), 93-95
                [12] Edward Leroy Long JR. Patterns Of Polity, (Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001), 67-68, 72
                [13] Jonar S, Eklesiolohgi, (Yogyakarta: Andi, 2016), 129
                [14] Edward Leroy Long JR, Patterns Of Polity, (Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001),72-73
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

FOLLOWERS