ISRAEL DAN PROSELITISME
I.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya pemahaman Gereja mengenai Misi, ialah merupakan suatu
usaha-usaha didalam untuk menobatkan orang lain, serta mengajaknya untuk masuk
serta menganut agama Kristen. Kekristenan dianggap sebagai satu-satunya
kebenaran yg mutlak dan hanya melalui Yesuslah orang dapat selamat dan mendapat
keselamatan yg seutuhnya. Bagaimana bangsa Israel mengajak orang lain agar mau
percaya kepada Allah yg mereka sembah dan kepada hukum taurat tersebut. Sikap
memaksa dan juga menganganggap satu-satunya kebenaran merupakan sikap proselitisme.
Hal Proselitisme juga berkaitan dengan bangsa Israel, para proselit juga hadir
di Israel dalam upaya untuk menjadikan Yahudi menurut ajaran Proselitisme. Semoga sajian kami ini dapat menambah ilmu dan
memperluas wawasan kita bersama dalam menggali tentang Israel dan Proselitisme.
Tuhan Yesus Memberkati.
II.
PEMBAHASAN
2.1.Bangsa
Israel
2.1.1.
Status
& Kepribadian hidup Bangsa Israel
Bangsa
Israel satu-satunya bangsa yg telah mempunyai status yg berbeda dari antara
bangsa-bangsa dibumi. Status itu adalah pertama-tama mereka adalah keturunan
Abraham (Rom 9:4-5), dari anak perjanjian dan bukan dalam pengertian biasa,
tetapi ada keistimewaannya. Istimewanya adalah anak yg dilahirkan karena Tuhan
sejak semulanya mengikatkan diri-Nya kepada apa yg dijanjikannya. Keistimewaan
bangsa Israelyg lain adalah bahwa karena Tuhan berkenan mengangkat mereka
sebagai umat-Nya. Status keistimewaan bangsa Israel diteguhkan kembali setelah
bangsa itu keluar dari Mesir. Status yg diberikan Tuhan kepada bangsa Israel
bukan semata-mata karena mereka lebih baik dari bangsa yg lain, akan tetapi
Tuhan konsisten dengan apa yg menjadi janji sumpah-Nya. Dan itu semata-mata
adalah karena anugrah. Karena itu dalam status itu ada keistimewaan sekaligus
tanggung jawab yg harus diperankan oleh bangsa itu.[1]
Bangsa
Israel menyatakan pembebasan mereka dan pembentukan komunitas baru sebagai
tindakan pemilihan Yahwe terhadap mereka. Kesadaran akan ikatan ini digambarkan
dengan jelas dalam bentuk perjanjian antara Yahwe dengan Israel bahwa mereka
menjadi umat dan Yahwe menjadi Allah mereka, juga kalau kelemahan mereka
sebagai manusia – mereka melanggar janji, Yahwe selain menghukum mereka juga
membuat perjanjian baru, dan menghadiahkan hati yg baru kepada mereka (bangsa
Israel) menggantikan hati yg membantu. Yahwe tidak melupakan mereka, ketika
mereka mengalami krisis persatuan dan kesatuan sebagai komunitas umat Allah,
sarana ampuh yg mereka pakai untuk memperbaiki eksistensi dan mengangkat
kembali jati diri mereka ialah memberikan tekanan (dorongan) baru sebagai
tindakan parenetis-pada warisan keberadaan (posisi dan privilese) mereka
sebagai bangsa yg terpilih. Israel membangun kembali kesadaran nasional mereka
dan melihat diri mereka sebagai milik istimewa Yahwe. Akan tetapi dipihak lain
upaya tersebut membawa akibat bangsa Israel menjadi bangsa yg ekslusif,
rigoritis, dan seperatis terhadap bangsa-bangsa tetangga dan karenanya tidak
tertutup kemungkinan bagi mereka untuk menjalankan karya missioner secara
langsung, yakni untuk mewartakan Yahwe yg mereka Imani kepada bangsa-bangsa
lain.[2]
2.1.2.
Sikap Bangsa Israel Terhadap Agama-Agama lain.[3]
Menurut
Goldigay & Wright dalam PL terdapat dua sikap bangsa Israel terhadap
agama-agama lain:
·
Kadang-kadang diakui, bahwa agama-agama itu
mencerminkan apa yg benar tentang Allah dan Israel dipanggil untuk belajar dari
mereka tentang kebenaran tersebut.
·
Agama-agama asing itu senantiasa membutuhkan
penerangan lebih lanjut yg hanya dapat diperoleh jika mereka mengenal dan
mengetahui apa yg telah dilakukan Allah terhadap bangsa Israel.
2.2.
Proselitisme
2.2.1.
Pengertian
Proselitisme
Proselitisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu Prosely
(mereka yg datang), yakni bangsa-bangsa lain yg kemudian menjadi penganut
Yudaisme (Mat.23:15). Proselytes dalam pengertian yg sesungguhnya “orang yg
tidak dikenal”, “orang luar”, khususnya yg tinggal ditengah-tengah orang Yahudi
serta menikmati sikap ramah dan kemudian keuntungan. Salah satunya dengan
menerima ajaran Yahudi, tanpa melakukan penggabungan yg resmi (pintu gerbang
pemeluk agama baru) atau dengan menerima keistimewaan sakramen yg tetap dari
tradisi sunat (khinatan). Pada masa itu, orang yg masuk agama Yahudi menerima
keuntungan, yakni hubungan kelompok keagamaan. Hal ini berarti orang yg bukan
suku bangsa Israel, dimana sudah lama tinggal ditengah-tengah mereka , yg
mengeyam hak tamu dan berada dibawah perlindungan undang-undang Israel.[4]
Istilah ini pada umumnya menjelaskan upaya-upaya untuk mengonversi atau
memindahkan seseorang dari satu sudut pandang ke sudut pandang lainnya.
Biasanya istilah ini digunakan dalam konteks keagamaan. Politeisme mencakup dua
hal dalam bidang keagamaan ke aliran lainnya. Yang pertama menyangkut perubahan
keimanan dan kepercayaan sedangkan yang terakhir terkait dengan perubahan
paham/aliran keagamaan.[5]
Proselitisme
menjadi sebutan bagi orang yg bertobat dari kekafiran dan mau masuk agama
Yahudi.[6]
Di Yunani, Proselitisme dianggap sebagai gangguan terhadap agama lain yg tidak
diperbolehkan (impermissible interfence)
dan dianggap tindak pidana. Hukum Yunani mendefenisikan proselitisme adalah
setiap usaha-usaha langsung maupun tidak langsung untuk mengganggu keyakinan
agama seseorang dari persuasi keagamaan yg berbeda, dengan tujuan merusak keyakinan
itu, baik melalui setiap jenis bujukan, dan lain-lain.[7]
Proselitisme dalam konteks gereja seringkali disamakan dengan evangelisasi.
Konsili Vatikan II menegaskan hak gereja untuk berevangelisasi dan membawa
orang pada iman katolik. Pada masa sekarang ini proselitisme hamper mempunyai
arti negative yakni memaksa atau memanipulasi orang sampai mau menerima iman
tertentu.[8]
2.2.2.
Latar
Belakang Proselitisme
Orang-orang
Yahudi membangun sinagoge-sinagoge yg merupakan tempat untuk berdoa , belajar
dan mengajarkan Firman Allah.[9]
Sinagoge juga terbuka untuk non-Yahudi yg ingin mendengar dan belajar
FirmanTuhan serta taurat Musa. Hal itu terjadi karena banyak orang-orang
non-Yahudi yg beralih memeluk agama Yahudi. Pada masa Tuhan Yesus, ia juga
kerap menggunakan sinagoge dalam pelayanan-Nya (Matius 4:23). Rasul Paulus juga
memakai sinagoge untuk mengajar dan memberitakan Injil (Kis. 17:2). Dapat
dikatakan bahwa sinagoge sendiri telah menjadi jembatan misi, baik untuk orang
Yahudi maupun orang Yunani. Sinagoge telah menjadi alat misi yg efektif pada
masa intertestamental. Misi pada masa intertestamental ini dapat menjadi contoh
bagi kegiatan misi yg akan datang.[10]
Kegiatan
Proselitisme mulai kira-kira pada zaman Makabi (abad ke -2 sebelum Kristus).
Tidak dapat disangkal bahwa hasil proselitisme Yahudi sangat mengesankan dan
merupakan persiapan bagi pekabaran Injil.[11]
Usaha-usaha proselitisme Yahudi itu kelihatan berkembang di abad-abad terakhir
sebelum zaman Kristen dan abad-abad pertama tarikh Masehi.[12]
Sekaligus perlu juga diajukan perkataan Yesus yg sangat tajam
seperti yg terdapat dalam Matius 23:15. Mengapa penilaian Yesus terhadap
usaha-usaha Yahudi demikian sangat pedas? Hal itu semata-mata karena propaganda
atau penyebaran agama Yahudi yg bertentangan dengan kesaksian Perjanjian Lama
yg memberitakan datangnya bangsa-bangsa dengan sendirinya menuju Sion. Tidak
dapat disangkal lagi bahwa disini Israellah yg menjadi pusat dunia. Alat
keselamatan dalam tangan Tuhan berubah menjadi tujuan keselamatan, yg berakibat
kalangan Yahudi bersifat sangat partikularis. Itulah memang sifatnya disatu
pihak, tetapi dipihak lain, sebagian umat Yahudi di zaman sebelum Kristus
memperlihatkan kegiatan yg bukan main besarnya untuk mencari proselit. Umat
Israel pada zaman PL mengenal dua macam orang asing, Pertama, orang asing yg berasal dari luar negeri, dan hanya untuk
sementara waktu berada di tanah Palestina sebagai tamu. Kedua, Orang asing yg menetap ditengah-tengah orang Israel, yg
tinggal tetap bersama mereka, dialah yg dimaksudkan dengan orang asing.
Golongan yg kedua ini terutama terdiri dari penduduk Kanaan asli yg tidak
dimusnahkan, dapat diterima dalam persekutuan bangsa Israel. Penerimaan itu
menjadi jaminan dalam perlindungan hak mereka dan juga membawa bagi mereka
beberapa kewajiban dibidang social dan keagamaan. Para Gerim wajib turut
merayakan hari sabat (Kel. 20:10); mereka boleh mempersembahkan kurban, bahkan
mereka berhak merayakan paskah bersama – sama dengan orang Israel, asal saja
disunat lebih dahulu (Kel. 12:48). Sunat memang merupakan konsekuensi terakhir
dari peralihan masuk ke dalam bangsa dan persekutuan umat Israel. Mereka
memasuki bangsa dan agama Israel yg memang tak terpisahkan satu sama lain.
Garis inilah yg merupakan latar belakang untuk proselitisme Yahudi[13]
2.2.3.
Proselitisme
Yahudi
Keaktifan
orang Yahudi terhadap orang Kafir (orang yang bukan Yahudi) tidaklah merupakan
cerminan dari misi yg sesungguhnya, melainkan memperlihatkan ciri-ciri khas
dari proselitisme atau propaganda keagamaan. Oleh sebab itu, Yesus menentang
cara usaha proselitisme itu. Pemberitaan dan tindakan Yesus terhadap
orang-orang kafir merupakan kebalikan mutlak dari poriselitisme Yahudi.
Kehadiran Yesus tidak lagi terikat kepada batas-batas kebangsaan , keagamaan
atau tradisi, melainkan Yesus itu menentang ibadah lahiriah sebagai sumber
kebenaran manusia. Maksudnya disini,bahwa kebenaran tidak lagi ditentukan atas
sunat yg menjadi syarat yg sangat penting dan menentukan dalam tradisi agama
Yahudi.[14]
Telah kita lihat bahwa usaha proselitisme itu kurang berdasarkan eskatologi
tetapi merupakan antisipasi dari janji-janji Allah, didalam ketidaksabarannya.
Tetapi dalam PB titik tolak adalah pengharapan eskatologis mengenai pertobatan
bangsa-bangsa dan penyembahan bangsa-bangsa dan penyembahan mereka kepada Allah
yg benar dan tunggal.[15]
2.3.Faktor
Penyebab Kesuksesan Proselitisme[16]
Dalam hal ini dapat dikatakan serta dipaparkan alasan mengapa
gerakan proselitisme berhasil didalam dunia Helenisme-Romawi, kendati ada
sesuatu sentiment anti-Yahudi yg cukup kuat.
·
Dapat disebutkan disini usaha para cendikiawan
Yahudi untuk menyajikan agama mereka seposif dan semenarik mungkin. Yang aneh
atau sulit bagi dan alam pikiran umum pada waktu itu dibiarkan dibelakang
sebagai hal yg tidak hakiki dan penting, sedangkan unsur yg cocok untuk
diterima dengan simpati ditonjolkan. Demikianlah misalnya monoteisme bisa
digambarkan sebagai agama yg luhur dan lebih tinggi daripada kebaktian kepada
dewa-dewi. Kepercayaan akan pencipta dan Tuhan yg tunggal, mahakuasa dan Hakim
yg dengan adil menilai tiap-tiap orang sesuai dengan tingkah lakunya, itu lebih
agung daripada suatu surgawi dimana dewa dan dewi bersaing dan berkelahi dan
begitu kerap dibayangkan menurut ukuran manusiawi dengan segala unsur positif
dan negative. Juga musa diperkenalkan sebagai seorang yg memberikan suatu
sumbangan besar kepada umat manusia dengan Hukum Taurat.
·
Daya tarik dari way of life Yahudi yg dialami oleh banyak orang yg melihat cara
hidup orang Yahudi. Tentu saja setiap agama memberi pegangan untuk hidup
sehari-hari, tetapi agama Yahudi dengan hukum taurat tertulis dan lisan
menggariskan dan mengatur tingkah laku orang dengan lebih menyeluruh daripada dalam
agama-agama kafir yg dikenal waktu itu.
·
Walaupun dalam dunia helenisme romawi
unsur-unsur tradisional tetap kuat, secara khusus dalam bidang agama, namun
kita dapat menyaksikan suatu trend yg kuat juga untuk menerima bentuk agama yg
baru. Begitulah ada suatu keterbukaan yg mengherankan bagi agama-agama yg
berasal dari Timur tengah, seperti pada kebaktian kepada Dynosinius, magna Mater dari Phrigya, serapis, dan
Isis dari Mesir, agama kesuburan dari wilayah semit, dan agama rahasia Mitras
dari Persia.
2.4.
Hambatan Dalam Proselitisme[17]
Kalau kita melihat perkembangan proselitisme, yakni daya tarik dari
agama Yahudi dan keberhasilan dalam usaha propaganda bagi agama Yahudi. Tetapi
ada hal yg menjadi hambatan dalam proselitisme ini. Amat banyak penilaian yg
sangat negative terhadap bangsa dan agama Yahudi dapat dipetik dari karya-karya
sastra yg dikarang pada periode-periode perkembangan proselitisme. Dalam hal
cemohon para pengarang mesir menduduki tempat usaha utama dengan sederetan
serangan tertulis terhadap bangsa Yahudi dan agama yg aneh-aneh itu. Terus
datang dongeng-dongeng yg amat menghina bangsa Yahudi tentang asal-usul bangsa
Yahudi dan tentang kekhususan dari agama Yahudi, seperti hari-hari puasa yg
cukup sering, larang untuk makan daging babi dan lain sebagainya. Dalam
olok-olokan dari cendikiawan muncul paling tiga hal yg kerap, larangan untuk
makan daging babi, perhatian ketat bagi sabat dan larangan untuk membuat
patung. Pada cendikiawan tidak membenci tetapi lebih kepada tidak menyukai
agama Yahudi.
III.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa :
1. Proselitisme
menjadi sebutan bagi orang yg bertobat dari kekafiran dan mau masuk agama
Yahudi.
2. Proselitisme
merupakan suatu bentuk-bentuk pemaksaan terhadap orang lain untuk menganut
agama atau kelompok tertentu.
3. Bagi
Kekristenan usaha proselitisme ini merupakan tindakan yg salah.Tuhan Yesus
menentang cara itu : ketidaksabaran yg
tidak mau menunggu kedatangan bangsa-bangsa (kamu mengarungi lautan dan
menjelajah lautan; Matius 23:15).
4. Misi
penginjilan bukan upaya untuk membawa agama kepada orang lain, tetapi misi
seharusnya membawa Yesus Kristus kepada orang lain. Misi seharusnya mengenalkan
Yesus kepada orang lain, bukan untuk upaya peng-Kristenan.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Woga
Edmund, Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta:
KANISIUS, 2002
Wright
John E. Goldigay & Christopher J.H., Keesaan
Allah Dalam Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
Lueker
Erwin L., Lutheran, Cyclopedia, Miisouri
Condordia, New York, Harper & Brothers Publishers, 1869
Baidlawi
Zakiyudin, Kredo Kebebasan Agama, Jakarta:
PSAP BAPEDA, 2005
Heuken
A., Ensiklopedia Gereja IV (Ph-To), Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994
Djafar
Alamsyah M., (In)toleransi-Memahami
Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta: Pt Elex Media
Komputindo, 2018
Farrugia
Gerald O.Collin & Edward G., Kamus Teologia,
Jakarta: KANISIUS, 1996
Enos
I Nyoman, Penuntun Praktis Misiologi
Modern: Sebuah Telaah Terhadap Perjalanan Misi dari Masa ke Masa, Bandung:
Kalam Hidup, 2012
Kulper
Arie de, Missiologia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2015
[1] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi, (Yogyakarta:
KANISIUS, 2002), 29-30
[2] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi…,63-64
[3] John E. Goldigay &
Christopher J.H. Wright, Keesaan Allah
Dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 32
[4] Erwin L.Lueker, Lutheran, Cyclopedia, Miisouri Condordia,
(New York, Harper & Brothers Publishers, 1869), 629
[5] Zakiyudin Baidlawi, Kredo Kebebasan Agama, (Jakarta: PSAP
BAPEDA, 2005), 113
[6] A.Heuken, Ensiklopedia Gereja IV (Ph-To), (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1994), 49
[7] Alamsyah M.Djafar, (In)toleransi-Memahami Kebencian &
Kekerasan Atas Nama Agama, (Jakarta: Pt Elex Media Komputindo, 2018), 278
[8] Gerald O.Collin & Edward G.
Farrugia, Kamus Teologia, (Jakarta:
KANISIUS, 1996), 266
[9] I Nyoman Enos, Penuntun Praktis Misiologi Modern: Sebuah
Telaah Terhadap Perjalanan Misi dari Masa ke Masa, (Bandung: Kalam Hidup,
2012), 29
[10] I Nyoman Enos, Penuntun Praktis Misiologi Modern: Sebuah
Telaah Terhadap Perjalanan Misi dari Masa ke Masa, 29
[11] Arie de Kulper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2015), 35
[12] Ibid., 27
[13] Ibid.,28-30
[14] Gerald O.Collins & Edward
G.Farrugia, Kamus Teologi,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1996), 265
[15] Arie de Kulper, Missiologia…,37
[16] Wim Van Der Weiden, Gerakan Misioner Dalam Kalangan Yahudi, 65-66
[17] Wim Van Der Weiden, Gerakan Misioner Dalam Kalangan Yahudi, ….
64-65
No comments:
Post a Comment