Kepemimpinan yang Menggairahkan


Kepemimpinan yang Menggairahkan

I.                   Pendahuluan
Kepemimpinan selalu berhubungan dengan seseorang, yakni menyangkut gaya, cara dan kepribadiannya. Gaya dan cara kepemimpinan berpengaruh besar terhadap vitalitas organisasi. Umum diketahui bahwa kepemimpinan bersifat memaksa, padahal pandangan kepemimpinan seperti itu tidak dapat dibenarkan. Lantas, bagaimana sifat, gaya, dan cara kepemimpinan seharusnya (berdasarkan ilmu sosial dan teologi praktis) yang akan berpengaruh besar terhadap vitalitas organisasi. Disamping itu, bagaimana pemimpin dapat berfungsi sedemikian rupa sehingga orang digairahkan untuk berpartisipasi dengan senang hati dan efektif. Pada sajian ini, kita akan membahas salah satu faktor yang secara integral dapat menolong pembangunan jemaat, yaitu kepemimpinan yang menggairahkan. Kiranya sajian ini menambah wawasan bagi kita.
II.                Pembahasan
2.1. Pemimpin dan Kepemimpinan
Tidak dapat disangkal bahwa isi dan arti kata “pemimpin” dan “kepemimpinan” mempunyai corak yang beraneka ragam dalam pengertian dan pemakaiannya sehari-hari.[1] Dalam KBBI, pemimpin berarti orang yang memimpin, sedangkan kepemimpinan berarti perihal memimpin, cara memimpin.[2] Kepemimpinan selalu berhubungan dengan seseorang, artinya menyangkut gaya, cara dan kepribadiannya. Kepemimpinan tidak lepas dari mereka yang dipimpin, entah langsung atau tidak langsung.[3] Gaya dan cara kepemimpinan berpengaruh besar terhadap vitalitas organisasi. Bagaiamana kepemimpinan diwujudkan sedemikian rupa sehingga orang berpartisipasi dalam organisasi dengan senang hati dan efektif. Secara khusus akan diselidiki apa implikasinya bagi karakter, fungsi-fungsi serta gaya kepemimpinan.[4]
2.2. Pentingnya Kepemimpinan
Gaya dan cara kepemimpinan berpengaruh besar terhadap vitalitas organisasi. Hal itu umum diakui. Untuk menghindari salah paham perlu ditentukan bahwa kepemimpinan dapat dijalankan oleh orang tertentu (pastor, pemimpin pembicaraan, ketua) atau oleh badan (dewan gereja/paroki atau panita kader) tetapi juga sebagai fungsi oleh organisasi, grup. Yang dimaksud dengan kepemimpinan sebagai fungsi ialah “pelaksana bentuk perilaku tertentu yang membantu grup untuk mencapai hasil yang diinginkan”
Kepemimpinan dapat dilihat sebagai fungsi. Berarti bahwa kepemimpinan tidak hanya dijalankan oleh mereka yang diangkat untuknya, melainkan juga oleh orang lain. Hal itu paling jelas dalam kelompok kecil. Menurut Twijnstra “setiap orang mempunyai pengaruh terhadap berfungsinya grup atau organisasi dalam mana ia bekerja. Hal ini sejak dulu selalu begitu”
Memimpin tidak hanya merupakan fungsi dari pimpinan formal saja tetapi semua anggota organisasi. Bowers dan Franklin berbicara tentang dua bentuk kepemimpinan: supervisory leadership yaitu pimpinan formal dan peerleadership yang berarti perilaku anggota satu sama lain. Pertanyaan kita ialah: bagaimana pemimpin dapat berfungsi sedemikian rupa sehingga orang digairahkan untuk berpartisipasi dengan senang dan efektif.[5]
2.3. Kepemimpinan Yang Menggairahkan
2.3.1.      Catatan Berdasarkan Ilmu Sosial
Kepemimpinan menggairahkan jika bersifat melayani, jika berhasil mengintegrasikan (1) Keprihatinan terhadap organisasi dengan (2) keprihatinan terhadap relasi-relasi, dan jika menjalankan tugasnya dengan gaya yang membenarkan manusia sebagai subjek. Disamping itu, pimpinan harus juga mempunyai kompetensi yang diperlukan.[6]
2.3.2.      Sifat Kepemipinan
Sangat menggairahkan kalau kepemimpinan melihat fungsinya sebagai melayani dan tidak sebagai memerintah. Artinya bahwa kepemimpinan bertujuan untuk mendukung orang/grup dan menolong mereka untuk menjalankan tugasnya, dan bukan untuk mendiktekan apa yang harus mereka jalankan.
Dalam hal mengenai pengembalian keputusan ada dua pendapat. Pertama mengatakan bahwa akhirnya pimpinan harus mengambil keputusan, tanpa atau setelah konsultasi dengan anggota, entah karena prinsip entah karena alasan pragmatis. Pendapat kedua mengemukakan bahwa keputusan harus diambil oleh orang atau grup yang terlibat dalam tematik dan berkepentingan dengan keputusan itu. Tugas pimpinan ialah menolong mereka agar sampai keputusan. Likert membela pendapat terakhir.
Mengambil keputusan dalam konsultasi dengan semua orang yang akan kena oleh keputusan dalam konsultasi dengan semua orang yang akan kena oleh keputusan itu berarti bahwa jemaat (a) harus memilih struktur yang rumit atau (b) mengembangkan lembaga seperti dewan gereja/paroki dan musyawarah jemaat. Mewujudkan kepemimpinan sebagai pelayanan sama sekali tidak mudah. Namun demikian, kepemimpinan sebagai pelayanan, artinya sebagai pertolongan dan dukungan, pun pula dalam hal pengambilan keputusan, merupakan ciri penting bagi organisasi vital. Kepemimpinan sebagai pelayanan berarti membagi-bagikan kuasa terutama lewat delegasi tugas dan kewenangan untuk menjalankan tugas itu. Tidak hanya Likert tetapi juga Twijnstra menekankan bahwa kepemimpinan harus berusaha supaya setiap individu dalam organisasi berfungsi atas dasar kemungkinan yang ada padanya: memberi kuasa kepada orang untuk mempergunakan kemungkinan mereka secara optimal. Memimpin berarti pula memberi kelonggaran. Kepemimpinan juga harus menyatakan ‘respek terhadap kemampuan pada setiap jenjang’.
Menghormati kemampuan itu mengimplisitkan memberi wewenang dan tanggung jawab yang diperlukan. Memimpin dalam masyarakat modern semakin ditentukan oleh pengertian tentang keperluan serta kemungkinan untuk menyebarkan kuasa, berdasarkan kemampuan riil manusia Berfungsinya organisasi-organisasi tergantung pada orang yang semakin dapat menjadi diri dan semakin senang dalam organisasi Memimmpin sebagai pelayanan mengimplikasikan membagi-bagikan kuasa, yang berarti:
-       Pendelegasian tugas dan wewenang
-       Memberi ruang kepada orang untuk memanfaatkan kapasitas mereka
McGregor memberi advis yang berharga kepada pimpinan: periksalah apakah gambaran anda mengenai anggota mirip dengan teori X atau teori Y. Teori X mengatakan, “Orang-orang itu malas dan tidak mau bekerja keras, mereka kurang mempunyai rasa tanggung jawab dan ambisi; mereka harus diajak untuk bekerja dengan metode carrots and sticks (persuasive dan memaksa) serta didorong dan dikontrol secara kontinu”.
Teori Y menilai manusia dengan lebih positif. Menurut teori Y orang ingin bekerja dengan baik, asal mereka merasa senang dalam pekerjaan dan mengerti arti kerjanya. Maka mereka perlu diberi kemungkinan untuk memanfaatkan dan mengembangkan bakat mereka. Biarkanlah mereka bekerja secara berdiri sendiri dan berikan balas jasa untuk usaha mereka demi tujuan organisasi.
Orang biasa serta kelompok-kelompok kerja (yaitu mereka yang menjalankan pekerjaan sesungguhnya) paling tahu apa yang perlu untuk menjalankan tugas mereka dengan baik. Merekalah yang menentukan kualitas pekerjaan dan bukanlah pimpinan mereka. Bagi para anggota perlu kerelaan untuk berkomunikasi terbuka dengan jujur. Mereka hanya akan terbuka kalau yakin bahwa pimpinan menganggap mereka sebagai subjek. Seorang pimpinan yang diharapkan:
-                      Mudah didekati;
-                      Bersabar;
-                      Membiarkan orang berbicara sampai selesai
-                      Menaruh perhatian, maka lebih banyak bertanya dari pada cerita;
-                      Sungguh mempergunakan informasi
Selain itu, seorang pimpinan harus:                                                          
-                      Memperlihatkan sikap terima kasih atas kritik
-                      Tidak boleh bersikap defensif, melainkan rela menerima kritik, malah lebih banyak dari pada seharusnya.
Penting juga kalau perbedaan status diperkecil, karena perbedaan itu sangat memperngaruhi komunikasi. Mereka yang memiliki status lebih tinggi merasakan diri lebih bebas dan relaks dari pada status yang lebih rendah. Ada bahaya bahwa status yang lebih rendah berbicara asal bapak senang. Bahaya itu terutama kalau yang lebih rendah tergantung pada yang lebih tinggi. Untuk mengurangi bahaya itu maka perlu de-emphasize status, yang berarti:
-    Melepaskan hak simbol status
-    Yang lebih tinggi mengikuti peraturan yang berlaku untuk semua
-    Memperkecil perbedaan kuasa.
Stuktur organisasi terpengaruh juga. Orang yang menekankan pimpinan sebagai pelayanan, menganjurkan supaya garis komunikasi antara pimpinan dan anggota diperpendek (struktur yang datar). Mereka mengingingkan supaya sturktur dibangun tidak berdasarkan kebutuhan pimpinan untuk menguasai organisasi, melainkan berdasarkan gagasan bahwa stuktur harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pimpinan untuk mendukung dan membantu para anggota. Titik perhatian yang mempengaruhi stuktur tidak lagi span of control (semakin mengontrol organisasi) melainkan span of support (semakin mendukung).
Burns dan Stalker dalam deskripsi mereka tentang management of inovation, membedakan dua tipe rezim: rezim mekanis dan rezim organis. Kekhasan rezim mekanis ialah: masing-masing tugas dilihat sebagai kesatuan yang berdiri sendiri; koordinasi tugas-tugas itu dibuat oleh bos yang paling dekat; hak serta kewajiban masing-masing anggota dibatasi dan ditetapkan dengan seksama; komunikasi terutama bersifat vertikal; informasi ke atas dan instruktsi ke bawah; pekerjaan ditentukan oleh instruksi bos; loyalitas dan ketaatan merupakan persyaratan bagi keanggotaan; kewajiban dan kontrol diwujudkan oleh hirarki yang berfungsi sebagai stuktur komando; diandaikan bahwa hirarki jabatan menjadi hirarki keahlian.
Rezim organis bersifat: masing-masing tugas dilihat dalam rangka keseluruhan tujuan organisasi; koordinasi dilihat lewat  komunikasi satu sama lain; tugas-tugas ditentukan secara fleksibel dan berubah kalau perubahan itu masuk akal; komunikasi terjadi ke segala jurusan ( ke atas, ke bawah, ke samping); pekerjaan ikut ditentukan oleh nasihat bos dan oleh informasi; dedikasi terhadap tujuan seluruhnya merupakan persyaratan bagi keanggotaan; daya dorong dan pengendalian hierarki melainkan bergantung pada nilai dan tujuan bersama; keahlian spesifik pejabat hierarkis terdiri atas kemampuan mengidentifikasikan permasalahan, tidak atas memecahkannya; dengan kata lain rezim organis melepas premis bahwa bos- yang secara resmi bertanggungjawab- harus mempunyai kemampuan secara aspek.
Menurut Burns dan Stalker rezim mekanis dapat berfungsi baik kalau situasi stabil. Namun kalau organisasi berada dalam lingkungan yang turbulen maka rezim organis yang lebih efektif. Gagasan Burns dan Stalker dikonfirmasikan oleh Zwart; kalau organisasi berada dalam situasi yang tidak tentu, maka kepemimpinan otoriter dan hierarkis tidak mencukupi. Konklusinya adalah bahwa kepemimpinan menggairahkan kalau bersifat melayani.[7]
Sutan M. Hutagalung, dalam bukunya Identitas Kepemimpinan Pelayan Gereja, menjelaskan ada beberapa aspek dari unsur-unsur yang diperlukan untuk suksesnya kepemimpinan secara umum:
-          Kesetiaan pada asas atau disiplin pada bidang yang ia pimpin, yang sekaligus menggambarkan kepribadian pemimpin, yang tentu menggerakkan dukungan dan pengakuan;
-          Kesehatan badani yang memungkinkan ia menjalani tugasnya dan hubungan atau komunikasi secara langsung;
-          Kesehatan mental yang menggambarkan ia sanggup mengerti, memikirkan, merencanakan dan mengambil pertimbangan yang sehat dalam menjalani tugasnya sehari-hari;
-          Teaching skill yang merangkap pengetahuan berdasarkan pendidikan, keterampilan, dan kecapakan untuk mempraktekkan pengetahuannya.
Ini mencakup pula kemampuan di bidang administrasi dan perencanaan yang sehat dan komunikasi.
Disamping empat pokok tersebut tentu perlu diperhatikan bahwa semua kepemimpinan formal bersangkut-paut dengan kuasa yang menjadi landasan kepemimpinan tersebut, baik kuasa formal yang berasaskan undang-undang atau peraturan-peraturan atau tradisi yang kuat.[8]
2.3.3.      Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Biasanya dibeda-bedakan dua fungsi kepemimpinan yang disebut kepemimpinan yang task-oriented dan kepemimpinan sosial-emosional (Bales). Fungsi-fungsi itu juga dinamakan kepemimpinan ke dalam atau ke luar. Perbedaan-perbedaan ini tidak hanya didasarkan di dasarkan pada perbedaan dalam tipe organisasi, melainkan juga pada perbedaan dalam jenjang analisi. Muncul macam-macam tipe kepemimpinan sesuai dengan perhatian yang diberikan kepada kedua fungsi. Blake dan Mouton menyatakan perbedaan perhatian itu dalam diagram. Blake dan Mouton membeda-bedakan 5 tipe pokok yang ditunjukkan menurut posisi dalam diagaram (1.1, 1.9, 5.5., 9.1, 9.9)
            Kelima tipe pokok ini dapat dicirikan sebagai berikut:
1.1. Perhatian minimal baik untuk pekerjaan maupun untuk relasi-relasi. Orang yang memimpin dengan cara demikian bersifat netral -sejauh dapat- menjauhkan diri dari apa yang terjadi dalam organisasi, menyerahkan pengambilan keputusan kepada orang lain dan berusaha tidak terlibat di dalam konflik
1.9. ingin mempertahankan relasi yang baik, demi hubungan damai. Tipe ini tidak akan mempersulit orang lain dan bersikap ikut saja, walaupun mempunyai keberatan terhadap arah yang ingin ditempuh oleh sementara orang. kalau terjadi sesuatu yang positif, tipe ini bereaksi antusias sedangkan kritik negatif dihindarinya.
9.1. kepemimpinan ini menuntut sebanyak-banyaknya dari dirinya sendiri dan orang lain dan memperjuangkan pandagan serta idenya sendiri, walaupun dengan demikian mudah menyinggung orang lain. Kepemimpinan ini ingin mengambil keputusan sendiri dan jarang mau dipengaruhi oleh pihak yang lain. Kalau terjadi konflik tipe ini coba memaksakan pendapatnya.
5.5. tipe ini berusaha supaya semuanya berjalan biasa. Pendapat dan ide sendiri diungkapkan dengan hati-hati. Ada kecenderungan untuk mencapai kompromi. Sikap itu nyata kalau terjadi konflik. Kepemimpinan ini tidak mencari keputusan yang tepat melainkan keputusan yang terjangkau dilaksanakan dan yang dapat diterima orang lain.
9.9. tipe ini mengintegrasikan perhatian besar untuk usaha dengan perhatian besar untuk ‘relasi-relasi’. Kata mengintegrasikan berarti bahwa pimpinan tidak memperhatikan kedua fungsi secara berganti-ganti, melainkan mengikutsertakan kedua-duanya serentak pada setiap keputusan. Blake dan Mouton mencirikan sikap 9.9 sbb: “membesarkan hati orang untuk mengungkapkan pendapat, sikap dan ide yang berbeda dengan pimpinan dan mendengarkannya dengan baik”. Sikap 9.9 dicirikan juga dengan “terus terang; pandai mengambil keputusan: membarui; tahu menyelesaikan sesuatu; prioritasnya jelas; tujuannya menantang; partisipasi digairahkan”.
            Bagi tematik kita pentinglah bahwa minat dan efek partisipasi sangat bergantung pada integrasi keprihatinan bagi usaha dan keprihatinan bagi relasi yang berhasil diadakan oleh pimpinan. Likert mengkonkretkan integrasi itu dalam empat bentuk kelakuan.
·      Memberi dukungan; artinya lewat tingkah laku dan sikap menyatakan bahwa pimpinan menganggap manusia penting dan memandang mereka sebagai manusia, sebagai subjek. Sikap suportif pimpinan dapat diukur dengan perhatian pimpinan terhadap pendapat, pandangan, dan problem para anggota.
·      Memberi bantuan pada pekerjaan, misalnya dengan menyediakan informasi dan dengan memberikan seribu satu pertolongan sehingga anggota dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik.
·      Menekankan pentingnya tujuan-tujuan, terutama mengenai dua aspek (1) menaruh tuntutan tinggi kepada dirinya sendiri dan orang lain, (2) membuat jelas bahwa pentinglah usaha yang mereka tanggung bersama. Artinya bahwa pimpinan harus menyinarkan kepercayaannya pada usaha itu.
·      Meninggikan kerja sama antara orang dan kelompok dan menstimulasikan bahwa mereka bersama-sama mencari jawaban atas pertanyaan bersama dan saling menolong dalam pencarian itu.
Memimpin demikian, kata Likert berakibat bahwa orang berpartisipasi dengan senang hati dan bahwa kualitas usaha bertambah.[9]
2.3.4.      Gaya Kepemimpinan[10]
            Visi yang menarik atas gaya kepemimpinan kita temukan pada Bornemann. Ia membeda-bedakan dua gaya gaya otoriter dan gaya kooperatif yang terakhir disebutkan juga gaya sosial integral.
Suatu gaya dicirikan oleh sarana-sarana yang dipakai pimpinan agar orang menjalankan tugas-tugas tertentu. Yang dimaksudkan dengan sarana ialah teknik-teknik seperti menekankan kewibawaan jabatannya, menjanjikan bonus, mengidealkan tugas, argumentasi lugas, rundingan bersama. Menekankan kewibawaan dan pentingnya jabatan menghimbau kepada ketaatan, mejanjikan bonus menghimbau kepada pengertian dan rasa ikut bertanggung jawab, rundingan bersama menghimbau kepada kedewasaan dan tanggung jawab.
Sarana-sarana ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: gaya otoriter dan gaya kooperatif. Berikut penyaji akan memaparkan perbedaan keduanya dalam sebuah tabel:
Pola Gaya Otoriter
Pola Gaya kooperatif
-           ditempatkan referensi kepada jabatan
-          ditempatkan rundingan bersama
-          jarak dan susunan hirarkis
-          kedekatan dan susunan datar
-          pemimpin otoriter suka anggota yang patuh dan mengharga ketaatan dan disiplin
-          gaya kooperatif suka karakter yang kuat dan dan menghargai orang yang bebas dan dewasa pikirannya.
-          mereka yang mengalami pimpinan otoriter merasa mereka kurang dimengerti dan dihargai; kadang-kadang di peras dan dan seakan-akan tangan mereka terikat;
-          mereka yang mengalami kepemimpinan kooperatif merasa dihargai dan dimengerti secara person.
-          Dalam kelompok yang dipimpin pemimpin otoriter ada ketegangan tertentu, bahaya kecurigaan satu sama lain dan pembentukan klik.
-          Iklim dalam kelompok yang mengalami pimpinan kooperatif bertendesi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern dan harmoni
-          Kepemimpinan otoriter tidak membawa kelompoknya kepada kemandirian dan tanggung jawab, akan mengalami bahawa tidak dapat menyadarkan diri kepada mereka. Maka kepemimpinan otoriter itu berulang-ulang akan harus bereferensi kepada otoritas jabatannya.
-          kepemimpinan kooperatif yang menghasilkan kemandirian dan rasa tanggung jawab, merasa diteguhkan kalau anggotanya membenarkan kepercayaan yang diberikan pada mereka
Tidak cukuplah bahwa organisasi berminat untuk melayani, untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi kepemimpinan dan untuk menyesuaikan fungsi itu dengan gaya kooperatif. Perlu juga bahwa kepemimpinan kompeten; artinya bahwa pimpinan tidak hanya ingin membantu dan mendukung melainkan juga mampu untuk mendukung dan mendukung. Mampu dalam bidangnya, mampu bergaul dengan manusia dan memecahkan problem (menentukan prioritas, mendampingi percakapan sehingga ada hasil, menangani konflik secara kreatif). Dari sudut ini dapat dimengerti mengapa ada kebutuhan akan pendidikan dan kursus. Tidak boleh dilupakan bahwa penting sekali kalau pimpinan menyinarkan kepercayaannya terhadap organisasi. Kepemimpinan yang menggairahkan dapat dicirikan dengan tiga kata: intensi[11], kompetensi[12] dan transparansi.[13]
2.4.Kepemimpinan Sebagai Pelayanan Terhadap Karisma-karisma
2.4.1.      Catatan Berdasarkan Teologi Praktis
Kepemimpinan yang maksudkan terutama lembaga-lembaga jabatan seperti dewan gereja/paroki. Sulit untuk menulis mengenai kepemimpinan berdasarkan teologi praktis tidak hanya karena ada banyak perbedaan pendapat dan ketidakjelasan, melainkan juga karena secara relatif dalam teologi tidak ada terlalu banyak perhatian terhadap pertanyaan kita. Dalam teologi yang berhubungan dengan jabatan dibicarakan pertanyaan bagaimana dalam jemaat kepemimpinan dapat diwujudkan sedemikian rupa sehingga orang dapat berpartsipasi dengan senang hati dan secara efektif. Perhatian yang minim dari teologi untuk pertanyaan kita memaksa kita untuk membatasi diri pada pertanyaan: sejauh manakah unsur-unsur yang kita terangkan sebagai efektif dapat diterima dari sudut teologi.[14]
2.4.2.      Ciri-ciri Jabatan
Dalam jemaat-jemaat kristiani pertama hampir tidak ditemukan bahwa kepemimpinan dalam arti satu person atau badan diserahi tugas untuk menjalankan kepemimpinan (bdk. Surat-surat Paulus) atau dalam arti terbatas (bdk. Surat-surat Petrus).
Akan tetapi tentu saja diberi pimpinan: diberikan impuls-impuls ke arah tertentu, ada keprihatinan terhadap kesatuan jemaat, perhatian untuk mereka yang mengalami kesusahan, dicari dan ditemukan sarana untuk memungkinkan berfungsinya jemaat (uang, rumah orang yang berada, dalam mana jemaat kecil dapat berkumpul). Pendeknya kepemimpinan  sebagai fungsi-fungsi betul-betul ada tetapi tersebar atas anggota-anggota jemaat, dalam prinsipnya atas semua. Demikianlah Barrett dapat mengatakan bahwa dalam surat-surat Paulus semua anggota menjalankan jabatan. Paulus tidak menggambarkan ibadat jemaat sebagai buah dari tata liturgis tertentu akan tetapi sebagai hasil dari sumbangan-sumbangan seluruh jemaat berkumpul semua anggota membawa sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajar, atau perwahyuan, atau lidah atau tafsiran (1 Kor 14:26).
Mereka mampu berpartisipasi karena mereka telah menerima karisma-karisma (karunia-karunia) dari Roh, pemberi rahmat. Yang membuat kemampuan manusia itu menjadi karisma ialah bahwa pemberian itu oleh mereka yang menerimanya dimanfaatkan untuk melayani orang lain dan dan pembangunan jemaat. Ciri khas karisma ialah pelayanan. Kepemimpinan tersebar atas semua orang, dimungkinkan oleh karena jemaat-jemaat perdana merupakan kelompok yang relatif kecil (jemaat rumah). Mereka dapat berjalan tanpa fungsionaris dan yang khusus diangkat untuk memimpin. Kalau kelompok bertambah basar maka munculnya fungsionaris serta lembaga spesifik tidak dapat dihindarkan. Maka terjadi situasi baru. Tetapi situasi baru tidak merupakan perpecahan dengan situasi awal, karena peran-peran serta posisi formal yang baru tetap berlaku ciri-ciri yang lama. Artinya bahwa kemampuan untuk memimpin dilihat sebagai karisma, diterima dari Roh yang sama yang mencurahkan karisma-karisma yang lain juga. Maka Haring dapat menyebut jabatan sebagai  karisma diantara karisma-karisma. Yang satu mendapat karisma ini, yang lain karisma ini: semua karisma perlu dan tidak ada satupun yang tidak dibutuhkan. Hal ini diperjelas dengan simbol tubuh yang satu tidak dapat mengatakan kepada anggota tubuh yang lain: saya tidak membutuhkan kamu (1 Kor 12:31). Maka mata tidak dapat berkata kepada tangan: aku tidak membutuhkan engkau, dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: aku tidak membutuhkan engkau.
Karisma yang satu tidak lebih penting dari pada yang lain: tidak ada hirarki dalam karisma-karisma. Hal ini diperlihatkan Paulus dalam simbol tubuh juga (1 Kor 12:22).[15] Menurut kesaksian Perjanjian Baru jemaat adalah suatu kesatuan: suatu kesatuan antara Kristus dengan orang-orang pilihan-Nya. Ungkapan yang paling jelas untuk menyatakan kesatuan itu adalah tubuh Kristus. Hal itu nampak terang dalam 1 Korintus 10:16-17: “Bukankah cawan syukur, yang diatasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan Kristus? Dan roti yang kita pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh-Nya? Karena roti itu satu, maka yang banyak ini pun merupakan satu tubuh.” Maksud Paulus dalam nats ini jelas: dalam perjamuan Tuhan dipakai  (dipecah-pecahkan) satu roti, mereka menjadi satu tubuh, tubuh Kristus. Disini kita lihat, bahwa tubuh Kristus dalam perjamuan malam erat sekali hubungannya dengan tubuh Kristus sebagai jemaat.
Juga dalam 1 Korintus 12:13: “Di dalam satu roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh, baik orang Yahudi, maupun otang Yunani, baik hamba, maupun orang merdeka”, dalam Roma 12:5: “kita yang banyak ini adalah satu tubuh di dalam Kristus”. Hal yang penting dalam nats-nats ini ialah: kesatuan di dalam Kristus adalah kesatuan baru, suatu kesatuan yang luar biasa, sebab kesatuan antara orang Yahudi dan orang Yunani, antara tuan dan hamba, hanya mungkin di dalam jemaat Yesus Kristus. Kesatuan ini bukan hasil usaha anggota-anggota jemaat. Bukan mereka yang menciptakannya. Tubuh itu telah ada sebelum mereka masuk menjadi anggota-anggota-Nya (Kis. 2:41).[16]
Selanjutnya fakta bahwa memimpin dilihat sebagai karisma berarti bahwa hakikat mempimpin ialah melayani dan bukan memerintah. Hal ini mengimplikasikan penolakan berpikir secara hirarkis yang satu di atas atau di bawah yang lain, pemimpin dan penganut, imam dan awam, tuan dan hamba. Penolakan ini menggemakan kata Yesus kepada murid-murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut rabi, karena hanya satu rabimu dan kamu semua saudara (Mat 23:8).
Ciri jabatan ialah pelayanan. Pejabat adalah pelayan menurut teladan Yesus Kristus, yang tidak datang untuk dilayani melainkan untuk melayani. Simbol-simbol yang cocok untuk peran itu ialah baskom dan handuk alat untuk membasuh kaki. Maka tempat utama dimana memimpin harus dilihat sebagai melayani, dan tempat utama dimana harus terjadi hal de-emphasizing status (tidak lagi memetingkan status), ialah jemaat. Dalam simbol jemaat dengan tubuh, menurut Versteeg, Paulus menyamakan jabatan dengan urat-urat. Secara analogi, jabatan berfungsi dua: (1) mencocokkan karisma-karisma satu sama lain, pencocokan itu perlu, karena karisma-karisma tidak bekerja sama dengan sendirinya dan (2) membantu karisma untuk menjalankan pelayanannya menolong serta memberi inspirasi dan memampukan karisma agar dapat melayani. Maka akibat pelayanan kepemimpinan karisma-karisma tidak disisihkan melainkan diikutsertakan. Tugas dewan sesungguhnya ialah melayani kelompok lain itu:
·  Dengan uang, ruang, informasi, membesarkan hati, memberi semangat, bertanya;
·  Membuat ruang bagi mereka di jemaat, menghubungkan mereka dengan pelayanan lain dalam paroki, sehingga dengan karisma mereka dapat melayani pembangunan jemaat.
Dengan demikian, jemaat menjadi kesatuan yang harmonis, dipelihara oleh pelayan dari semua lapisan. Dengan demikian, gambarannya sudah lengkap: peran, simbol status dan kedudukan berada dalam keselarasan.[17]
2.4.3.      Demi Identitas Jemaat
Fungsi sentral  jabatan ialah memelihara Gereja, jemaat, sesuai dengan dasar yang diletakkan oleh para rasul. Artinya juga bahwa jabatan berulang-ulang harus mengingatkan jemaat akan siapakah mereka dan apakah perutusan mereka. Firet merumuskan penugasan sentral bagi jabatan sebagai keprihatinan terhadap pertanyaan: Apakah kita jemaat Tuhan, apakah kita sedang menjalankan urusan-urusan Tuhan, apakah kita gereja? Akan tetapi, mengenai sifat relasi antara jabatan apostolisitas ada perbedaan pendapat. Secara global, dapat dibedakan dua jurusan: yang kristologis dan yang pneumatologis. Jurusan kristologis tampil dalam pandangan Roma-Katolik tentang suksesi apostolis, yang dilihat sebagai garis baru yang tampak lewat person-person dari dan kepada Yesus Kristus. Jurusan pneumatologis terutama hidup dalam Gereja-gereja reformasi, yang menekankan bahwa Roh secara langsung berkarya dalam dan lewat jemaat. Fungsi sentral jabatan ialah memelihara jemaat supaya dekat pada identitasnya, karena pokok identitas jemaat ialah dua pertanyaan yang terjalin erat: siapakah kita? dan apa perutusan kita? Atau dengan rumusan yang lebih menekankan isi: apakah jemaat merupakan persekutuan dalam mana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain sungguh-sungguh diwujudkan bersama? Apakah jemaat menyadari penugasannya bagi dunia?
Jemaat terus menerus dihadapkan pada pertanyaan bagaimana mereka dalam situasi mereka ingin mewujudkan diri sebagai jemaat Yesus Kristus. Jemaat dapat dihadapkan dengan pertanyaan itu pada macam-macam kesempatan dan pejabat tidak usah secara primer membawa jawaban atas pertanyaan itu. Melihat kepemimpinan sebagai pelayanan berarti menghadapkan anggota jemaat dan kelompok pada pertanyaan dan menolong mereka untuk membicarakannya dengan cara yang subur.
Mengabaikan salah satu dari kedua fungsi menyebabkan berkurangnya vitalitas jemaat. Memperhatikan usaha tanpa memperhitungkan relasi, mudah menghasilkan proses konflik yang destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha, menghasilkan kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan. Kedua fungsi dibutuhkan dan kedua-duanya perlu ditangani serentak. Perlu dikerjakan serentak, tidak hanya mengingat efeknya, melainkan juga karena itulah sifat hakiki pastorat. Hal ini penting karena, kata Firet, memimpin dalam gereja merupakan kegiatan pastoral. Terlalu simplitis mengatakan: Yesus tidak menugaskan Petrus untuk memimpin gereja tetapi untuk menugaskannya sampai tiga kali untuk mengembalakan domba-Nya (Yoh 21:15-17). Secara biblis-teologis mudah dapat diperhatikan bahwa dalam metafor gembala, memimpin dalam arti memerintah memberikan perhatian penuh hati-hati dan cinta, bertemu dan dicairkan menjadi kesatuan. Dalam Yehezkiel 34. Gembala-gembala Israel yang disapa disitu adalah regen, pemimpin jemaat. Kritik nabiah diarahkan kepada kegiatan mereka sebagai regen. Kritiknya adalah: domba-doomba tidak mau kamu gembalakan, yang lemah tidak kamu kuatkan; yang sakit tidak kamu obati; yang luka tidak kamu balut; yang tersesat tidak kamu pulang; yang hilang tidak kamu cari (Yeh. 34:3-4). Memimpin, (baik pada tingkat lebih atas, sampai dengan sinode, maupun pada tingkat jemaat lokal, pada hakikatnya adalah pastorat inti.
Ketika sinode mengambil keputusan dalam perkara tertentu dan selanjutnya menganjurkan supaya pengembalaan khusus diberikan kepada mereka yang merasa terluka oleh keputusan itu. Seakan pastorat seakan puskesmas keliling yang mengikuti tindakan kepemimpinan. Mereka yang terluka oleh kepemimpinan akan disembuhkan oleh pastorat. Karena orang yang terluka tidak boleh ditinggalkan. Namun lebih baik kalau pastoral care dari permulaan ikut menentukan dalam musyawarah dan keputusan. Akhirnya pastorat ialah menolong orang menemukan jalan kepada ruang dimana mereka dapat bernafas dan menjadi aktif, di mana mereka dikoreksi, diberi hati dan digairahkan.
Maka perhatian untuk usaha dan relasi tidak bertentangan seperti kadang-kadang disugestikan-dengan tidak tepat- dalam diskusi mengenai ‘pastorat dan kenabian’. Kedua-duanya tak dapat dipisahkan karena dalam Gereja memimpin adalah kegiatan dapat dipisahkan karena dalam gereja mempimpin adalah kegiatan pastoral. Akhirnya bahwa integrasi kedua fungsi tidak hanya efektif dari sudut empiris, melainkan juga normatif dari sudut teologis.[18]
2.4.4.      Gaya Pastoral
Pelayanan jabatan mempunyai fungsi untuk menolong jemaat agar hidup sesuai dengan identitasnya. Pimpinan tidak boleh memaksakan perilaku tertentu pada anggota, misalnya dengan bereferensi kepada kedudukannya. Kalau referensi semacam itu terjadi maka jabatan kehilangan sifat pelayanannya.
Dalam kedua kasus, sifat karismatis jemaat disangkal. Cukup sering hal itu terjadi di bawah topeng pelayanan. Maka Petrus berkata kepada penatua-penatua untuk menggembalakan kawanan domba tidak seolah-olah mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. (1 Ptr. 5:3).[19] 1 Petrus 5:2-4 mengatakan: Adalah kewajiban tiap-tiap pemimpin/ pelayan gereja untuk menggembalakan anggota-anggotanya, jangan dengan paksa, melainkan dengan sukarela, menurut kehendak Allah, dan jangan sebab hendak mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.[20] Keberadaan anggota harus diakui sebagai subjek. Hal ini dikarenakan memimpin merupakan kegiatan pastoral. Intensi pastoral dapat digambarkan sebagai pelayanan kepada berfungsinya manusia berfungsi sebagai subjek. Justru oleh karena pastorat bertolak pada manusia sebagai subjek maka pelayanan terhadap proses pengubahan berarti pertama-tama mendampingi orang pada perjalanan menuju pengembangan kesadaran serta serta hati nurani mereka.
Tujuan kepemimpinan pastoral ialah kematangan kristiani yang meliputi rasa tanggungjawab terhadap yang lain dan terhadap komunitas manusia. Untuk itu perlu pastor tidak mengambil over pekerjaan mereka, melainkan menyadarkan mereka akan tanggungjawab itu. Fungsi pastor ialah menolong mereka untuk memikul tanggung jawab itu, tidak paling sedikit dalam hidup bermasyarakat.
Kepemimpinan hendaknya dilangsungkan sedemikian rupa sehingga keberadaan manusia sebagai subjek diakui dan didukung. Hal itu diperjelas juga oleh Firet dengan mengingatkan bahwa manusia adalah subjek adalah di hadapan Allah, bahwa Allah mau bergaul dengan manusia sebagai subjek dan bahwa menurut contoh itu kita tidak harus membentuk relasi-relasi antara kepemimpinan dan anggota. Dalam rangka itu Firet berbicara tentang Musa. Tuhan berbicara kepadanya dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Kel 33:11). Dengan demikian, keberadaan manusia sebagai subjek digarisbawahi lagi; karena salah satu ciri sentral percakapan ialah intersubjektivitas. Paham intersubjektivitas berarti bahwa setiap patner dalam proses percakapan menjadi person yang berdiri sendiri yang mampu berpartisipasi aktif dan berfungsi secara otonom. Dari gagasan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya otoriter tidak dapat dipakai sebagai sarana kepemimpinan bagi jabatan, karena mau tidak mau gaya itu memaksa orang ke arah tertentu dengan apel atas kewibawaan jabatan serta menuntut ketaatan. Paksaan itu berlawanan dengan manusia sebagai subjek. Maka jabatan membutuhkan gaya kooperatif karena di dalamnya keberadaan manusia sebagai subjek dihormati. Dengan demikian, jabatan dapat memimpin lewat rundingan bersama dan menantang tanggung jawab orang.
Maka ada tiga unsur penting bagi jabatan: 1. Sifat, 2. cara menghubungkan fungsi-fungsi kepemimpinan dan 3. Gaya. Dari sudut teologi-biblis, relasi antara jabatan khusus dan jabatan semua orang beriman tidak didominasikan oleh pandangan rendah terhadap jabatan khusus, melainkan oleh pandangan sebagai imamat rajawi dan oleh karena itu sebagai subjek menerima pemberian-pemberian rahmat. Atas dasar karisma-karisma itu, mereka melayani pembangunan jemaat.
Perjanjian Baru tetap sulit menjalankan jabatan sebagai pelayanan karena ada banyak kendala. Kadang-kadang ada penilaian negatif tentang jemaat biasa yang berakar pada pimpinan, seperti:
Ø B            erbicara sombong tentang orang biasa dan memberi kesan seakan-akan lebih aman kalau kuasa dikonsentrasikan saja. Kendala ini ialah penilaian rendah mengenai dirinya sendiri (saya seorang beriman biasa saja).
Ø Bahasa yang kita pakai dapat menjadi kendala juga: kalau misalnya seorang pastor mengatakan jemaatku. Ia membalik kenyataan, karena jemaat bukanlah miliknya.
Ø Selain itu, susunan banyak gedung gereja juga menjadi kendala tradisi (jabatan sering dicampur dengan supervisi dan disiplin), cara seorang pendeta dikonfirmasikan (kurang merupakan contoh dari de emphasizing status dan tidak menggairahkan gagasan imamat, rutin berapat (kelompok kerja diundang ke rapat dewan/ paroki, dimana kerja mereka masuk agenda dewan itu, yang memberi kesan seakan-akan mereka dikontrol dan tidak diberi support.
Memang tidak mudah mewujudkan kepemimpinan sebagai pelayanan. Tidak mudah pula untuk begitu saja meninggalkan situasi yang sudah bertumbuh lama. Pengembangan bertahap merupakan jalan satu-satunya. Jalan itu tidak mulai kalau pemimpin mengambil keputusan mencoba sesuatu yang lain, akan tetapi kalau keputusan menempuh jalan yang lain adalah hasil rundingan bersama. Dalam situasi gerejawi, hal itu berarti bahwa cara pendeta dan anggota moderamen yang lain saling bergaul, dapat berpengaruh terhadap pergumulan dewan gereja/ paroki dengan kelompok-kelompok kerja dan seterusnya. Dengan demikian, kepemimpinan semakin dapat dipraktekkan sebagai pelayanan. Itu berpengaruh besar terhadap vitalitas jemaat.[21]
2.5. Hakikat Ciri dan Citra Kepemimpinan
Naluri kepemipinan pada hakikatnya ada pada diri manusia. Ia dicipta menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-17), yang mengandung arti bahwa kepadanya diberi wewenang untuk mengatur dan mengelola seluruh lingkungan hidupnya (Kej. 1:27). Dia diberi amanat dan juga kemampuan untuk menjalankan kepemimpinan, walaupun ia tidak dapat disamakan dengan Sang Pemberi wewenang, yakni Allah. Pada pihak lain, ia diperhadapkan pada tanggungjawab kepada Allah, yang tidak dapat dielakkannya, karena setiap langkahnya dinilai Allah.
Menjadi pemimpin adalah suatu panggilan dari Tuhan. Hal itu merupakan suatu ciri khas. Orang yang dipanggil-Nya, mendapat perlakuan khusus: ia diurapi. Salah satu contoh ialah ketika Daud terpilih untuk menggantikan Saul sebagai raja (1 Samuel 16:1-13).[22]
Kepemimpinan Kristen adalah berdasarkan Kristus. Pemimpin Kristen hanya dapat memimpin karena Yesus memanggil: “Ikutlah Aku”. Kristuslah pimpinan bagi setiap pelayan pemimpin. Di dalam Matius 2:6, Ibrani 2:10, dan Ibrani 12:2, kepemimpinan digambarkan dengan menggembalakan, memimpin kepada keselamatan dan memimpin kepada iman. Yesus memberi contoh dan corak kepemimpinan “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28).[23]
2.6.Image atau Citra Pelayan Yesus Kristus (Kepemimpinan Jemaat)[24]
2.6.1.      Gembala
Kepemimpinan gerejawi wajar melihat dirinya dalam citra gembala. Kepemimpinan para petugas gereja, perlu sekali mencontoh Yesus sebagai Gembala yang baik itu (Yoh 10:10):
-          Mengenal domba-dombanya dan dikenal dombanya;
-          Mengikuti domba-domba dan menjaga keselamatannya;
-          Memperhatikan kebutuhan dan kehidupan domba-dombanya.
Seorang pemimpin gereja harus menjadi pemimpin yang melayani, sebagaimana sepantasnya gembala-gembala yang setia melayani domba-dombanya. Inilah gambaran terhadap “pemimpin jemaat” dan semua jabatan-jabatan pelayan yang ada dalam gereja.
1 Petrus 5:2-4 mengatakan: Adalah kewajiban tiap-tiap pemimpin/ pelayan gereja untuk menggembalakan anggota-anggotanya, jangan dengan paksa, melainkan dengan sukarela, menurut kehendak Allah, dan jangan sebab hendak mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. “Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu (1 Ptr. 5:3).
Tiga kali Petrus menyatakan bahwa ia mengasihi Tuhan Yesus Kristus, dan tiga kali Yesus mengatakan: peliharalah (gembalakanlah) domba-domba-Ku (Yoh 21). Pernyataan kasih terhadap Tuhan Yesus harus dibuktikan dengan penggembalaan atau pengalaman kasih terhadap domba-domba Tuhan: jemaat Tuhan. Petugas-petugas gereja dapat mengerjakan pelayanan yang mulia itu, menjadi gembala dari domba-domba Kristus, dengan menghayati arti “gembala” seperti telah disebut diatas.
2.6.2.      Melayani Bukan Untuk Dilayani
Raja Gereja itu sendiri berkata: Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat. 20:28, Mrk. 10:45). Yesus pertama-tama mengukur kebesaran seseorang dari sudut kualitas moral pelayanan yang didasarkan pada ketaatan pada firman Tuhan. Terhadap murid-murid-Nya yang hendak mendapat tempat yang tinggi, Yesus mengatakan: “Barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Mat. 20:26-27).
Jiwa dari kepemimpinan ini menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kepemimpinan gerejawi.  Di dunia ini kebesaran seorang pemimpin mungkin berdasarkan kebesaran dan kuasa. Namun bagi pelayan Tuhan, kebesaran seorang pemimpin ialah dalam mencurahkan dirinya, sehingga ia menjadi pertolongan bagi orang-orang lain. Yesus sendiri, Raja Gereja berkata kepada murid-murid-Nya: “Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu: sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”.
2.6.3.      Kepribadian Para Pemimpin Gerejawi
Kepribadian menunjukkan kualitas keseluruhan dari seseorang mengenai ciri-ciri khas moralnya. Demikian juga para pemimpin jemaat, masing-masing diharuskan dan diharapkan bertindak dan berperangai sesuai dengan kedudukannya, yaitu pemberian dan panggilan status dan peranannya, penahbisannya. Norma-norma dan moral tertentu yang melekat pada status atau kedudukan pelayanan perlu diperhatikan, beberapa diantaranya:
-          Matius 28:20 (pemberitaan/ pengajaran Injil)
-          Yohanes 21:15 (penggembalaan)
-          1 Timotius 3:1-7: tak bercacat, suami dari satu istri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan (bertamu), cakap mengajar, bukan peminum, bukan pemarah, tetapi peramah, pendamai, bukan budak uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati anak-anaknya. Jangan ia seorang yang baru bertobat, jangan sombong, hendak menjaga nama baik, khusus mengenai istri, orang terhormat, tidak pemfitnah, dapat menahan diri, dan dapat dipercaya dalam segala hal.
Kesemuanya yang disebut diatas ialah supaya jangan kepribadian atau kelakuan-kelakuan yang kurang baik dari para pelayan menjadi hambatan bagi pemberitaan Injil dan pelayanan dalam Kebun Anggur Tuhan. Seorang pendeta bisa terkenal sebagai seorang pengkhotbah yang ulung, tetapi jikalau kepribadiannya dilihat jelek, maka kabur dan tawarlah khotbah dan ajaran yang keluar dari padanya.
2.7.Alat-alat Pembantu Bagi Kepemimpinan[25]
2.7.1.      Organisasi
Adalah sangat penting bagi para pemimpin untuk mengenal dan menghayati peraturan-peraturan gereja mengenai stuktur organisasi gereja dan menjalankan dengan teratur. Di gereja diserukan “Imamat Am orang percaya (1 Ptr. 2:9), dan seluruh anggota terpanggil untuk bertanggungjawab di bidang spiritual dan material. Dikatakan selanjutnya bahwa khusus untuk membimbing dan melayani serta mencerminkan pelayan Yesus Kristus, pelayan-pelayan diangkat di bidang kerohanian dan bidang umum. Tetapi tanpa kerangka pembagian tugas-tugas, hak dan kewajiban-kewajiban dalam bagian-bagian yang saling bertalian secara teratur dan bertalian itu, maka semboyan-semboyan yang muluk-muluk akan tinggal khayal saja tanpa realisasi.
Pelayanan Gerejawi dapat dibagi dalam tiga bagian yang besar:
-          Apostolat, yaitu pemberitaan Injil atau memberitakan firman Allah yang berhubungan erat dan bersatu dengan kebaktian-kebaktian dan peribadatan di rumah-rumah, di lapangan dan lain-lain.
-          Pastorat, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan, pengajaran, mengembangkan manusia yang sehat tubuh dan wataknya, yang mengenal dan melaksanakan ajaran-ajaran firman Tuhan dan asas-asas hukum gereja, maupun aturan-aturan yang baik untuk menjadi warga negara yang baik di tengah masyarakat dan negara.
-          Diakonat, memberikan kesaksian tentang kasih dan rahmat Allah di tengah kehidupan sehari-hari di dunia ini, dengan turut merasakan duka, derita, kelaparan, kemiskinan, kesakitan, dan beban-beban lainnya di dunia. Diakonat menjalankan usaha-usaha sosial bagi pengobatan, penghiburan, dan meringankan derita manusia.
2.7.2.      Perencanaan
Rencana-rencana dan proyek-proyek haruslah berkembang dari realitas dan kebutuhan-kebutuhan, berdasarkan asas dan tujuan. Janganlah hanya ditekankan bahwa suatu rencana atau proyek adalah demi kepentingan anggota-anggota, sebelum rencana benar-benar mengupas soal tujuan, dana, waktu pelaksanaan dan kegunaan sesungguhnya sesuai dengan daya kemampuan, rasa tanggungjawab. Rencana erat hubungannya dengan kesiapan para anggota. Sehubungan dengan ini pimpinan yang baik perlu memberikan motivasi, inisiatif, dan partisipasi edukatif dan bimbingan.
2.7.3.      Komunikasi
Komunikasi bukan berarti datangnya laporan-laporan, informasi dan peraturan-peraturan dari dua arah. Diskusi, rapat-rapat periodik adalah penting untuk memperoleh pengertian dan keputusan bersama. Jantung dari komunikasi adalah pengertian bersama, keputusan yang berasaskan kepentingan dan tanggungjawab bersama. Komunikasi itu mutlak perlu, supaya tiap-tiap gerakan, tiap-tiap pelaksanaan akan lebih meningkatkan pengalaman dan keterampilan guna memperkembangkan pertumbuhan anggota untuk rencana dan proyek-proyek berikutnya. Baik kemajuan maupun kesalahan dan kemacetan perlu dilaporkan dengan jujur.   
2.7.4.      Authority atau Kuasa
Karena semua kuasa pelayanan adalah pemberian, maka setiap pimpinan harus mempertanggungjawabkannya menurut saluran-saluran yang ada, terutama kepada Tuhan dan sesama manusia. Dalam memakai “kuasa” tersebut mutlak diperhatikan bahwa janganlah tindakan-tindakan dinyatakan “benar” hanya dari sudut legalitasnya, tetapi harus juga diteliti dari segi moralnya. Kasih dan keadilan berjalan bersama-sama serta jalin menjalin di semua kepemimpinan Kristen, khususnya dalam gereja.
III.             Kesimpulan
Kepemimpinan berarti perihal memimpin, cara memimpin. Kepemimpinan menggairahkan jika bersifat melayani, bukan memaksa. Jadi kepemimpinan ialah pelayanan dan gayanya kooperatif, bukan otoriter. Adapun seorang pimpinan yang diharapkan: mudah didekati; bersabar; membiarkan orang berbicara sampai selesai; menaruh perhatian, maka lebih banyak bertanya dari pada cerita; sungguh mempergunakan informasi, memperlihatkan sikap terima kasih atas kritik, tidak boleh bersikap defensif, melainkan rela menerima kritik, malah lebih, serta memperkecil status diantara anggota. Selain itu pemimpin harus melihat para anggota sebagai subjek dan bukan objek. Tugas sesungguhnya dari kepemimpinan ialah membantu dan menyokong khususnya dengan:
1.      Menyediakan apa saja yang perlu untuk melaksanakan tugas dengan baik, kepada orang dan kelompok yang menjalankan pekerjaan sesungguhnya dan yang paling menentukan kualitasnya.
2.      Menyokong dan meneguhkan orang dan kelompok: artinya pimpinan menolong supaya kapasitas orang dimanfaatkan dan berkembang.
3.      Menggarisbawahi arti tujuan-tujuan, tidak kurang sedikit melalui menyinari pentingnya tujuan itu pada kelakuan sendiri
4.      Mengembangkan paguyuban dan komunitas.
Dalam pandangan teologi praktis, kepemimpinan  harus memandang setiap karisma-karisma dari para anggota sebagai sesuatu yang sama, tidak ada hirarki serta karisma tersebut dipergunakan untuk melayani, yang digambarkan dengan tubuh Kristus. Sarana yang paling pokok untuk dimanfaatkan jabatan waktu memimpin ialah rundingan bersama. Dalam situasi gerejawi, cara pemimpin gereja dan anggota yang lain saling bergaul, dapat berpengaruh terhadap pergumulan dewan gereja/ paroki dengan kelompok-kelompok kerja dan seterusnya. Dengan demikian, kepemimpinan semakin dapat dipraktekkan sebagai pelayanan. Itu berpengaruh besar terhadap vitalitas jemaat.
IV.             Daftar Pustaka
....., KBBI, Malang: Gandum Mas, 2001
Abineno, J.L. Ch., Jemaat, Jakarta; BPK-Gunung Mulia, 2006
Hendriks, Jan  , Jemaat Vital  dan Menarik, Yogyakarta: KANISIUS, 2006
Hutagalung, Sutan M., Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1988
Wuwungan, O.E. Ch., Pemahaman Alkitab dan Warga Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997




[1] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1988), 1
[2] ....., KBBI, (Malang: Gandum Mas,  2001), 237 & 156
[3] O.E. Ch. Wuwungan, Pemahaman Alkitab dan Warga Gereja, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997), 198
[4] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, (Yogyakarta: KANISIUS, 2006), 66
[5] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 66-67
[6] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 68
[7] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 68-73
[8] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, 3
[9] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 73-76
[10] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 73-79
[11] Intensi berarti maksud, tujuan
[12] Kompetensi berarti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu
[13] Transparansi berarti keadaan nyata, jelas dan jernih.
[14] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 79-80
[15] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 80-81
[16] J.L. Ch. Abineno, Jemaat, (Jakarta; BPK-Gunung Mulia, 2006), 8-10
[17] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 81-83
[18] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 83-86
[19] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 86-87
[20] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, 6
[21] Jan  Hendriks, Jemaat Vital  dan Menarik, 87-90
[22] O.E. Ch. Wuwungan, Pemahaman Alkitab dan Warga Gereja, 199-200
[23] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, 3-4
[24] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, 4-11
[25] Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayanan Gereja, 12-16
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

FOLLOWERS