Mesias menurut Orang Israel
&
menurut Orang Kristen
I.
Pendahuluan
Ada
perluasan pemahaman yang terjadi terkait arti dari penyebutan “Mesias” dari
masa Israel sampai pada orang-orang Kristen pada saat ini. Pemahaman orang
Kristen terhadap penyebutan kata Mesias merupakan perkembangan pemahaman dari
apa yang dipahami oleh Israel. Untuk itu, penyaji mencoba untuk memberikan
pemahaman tentang perbedaan pemahaman tentang Mesias menurut orang Israel dan
menurut Orang Kristen. Semoga sajian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
Mesias
Menurut De Jonge dalam bukunya “the Use or the word ‘Anointed’ in the time
or Jesus”, kata “Mesias” adalah kata yang biasanya digunakan untuk menunjuk
kepada gambaran orang yang membawa keselamatan masa mendatang dalam jenis
apapun, tanpa memperhatikan dari mana asalnya dalam suatu masa. “Mesias” dan
“Mesianic”. Seharunya digunakan hanya ketika menunjukkan suatu kerja yaitu “Mengurapi”.[1]
2.2.Mesias
menurut Orang Israel (dalam Perjanjian Lama)
Perkataan ‘Mesias” yang sebenarnya
artinya adalah “yang diurapi” hanya terdapat dalam kitab Daniel 9: 25, 26 di
dalam Perjanjian Lama, dikemudian hari mengambil tempat utama dalam harapan
bangsa Yahudi yang adalah keturunan bangsa Israel. Gagasan tentang mesias ini
kemudian dipahami sebagai ‘seseorang’ yang dipilih orleh Allah, kemudian diurapi
oleh-Nya. Sehingga menurut pemahaman Israel, di dalam gagasan Mesias ini, Allah
yang memilih dan melindungi raja Israel, “Ia mengaruniakan keselamatan yang
besar kepada raja yang diangkat-Nya, dan menunjukkan kasih setia kepada orang
yang diurapi-Nya, kepada Daud dan anak cucunya untuk selamanya” (II Sam.
22:51). Dalam konteks yang lain gagasan ini terlihat dalam pilihan Allah kepada
Koresy[2]
untuk mengerjakan maksud-maksud penyelamatan-Nya. Kemudian, Mesias juga
dikaitkan dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Israel yang dipakai Allah
untuk menyelesaikan maksud-maskud-Nya,[3]
sehingga raja-raja dan Imam-iman, terutama raja Daud dan para penggantinya
disebut juga “yang diurapi”.[4]
Sesungguhnya perumpamaan mengenai tunas
yang akan keluar dari tunggul Isai (Yes.11:1, 10), yaitu yang tersisa dari
keluarga Daud, merupakan gambar yang paling lazim mengenai Mesias dalam
Perjanjian Lama. Sang Mesias dikatakan disana adalah anak Daud (Maz. 110:1) dan
adalah Allah (Maz. 45:7). Maksud-maksud penyelamatan Allah ditandai dengan
kelahiran yang sangat unik dan dinyatakan dalam nubuat yang sangat
membangkitkan minat, “sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu
suatu pertanda: sesungguhnya, seorang perempuan muda[5]
mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan
Dia Imanuel” (Yes. 7:14). Dalam konteks yang langsung menyusul, ayat ini
berbicara mengenai maskud Allah untuk membinasakan Israel melalui suatu
kekuatan dari utara, tetapi pada saat yang sama sang nabi “memperlihatkan di
depan mata orang-orang yang akan dihukum itu, harapan kelahiran Imanuel yang
masih jauh tetapi pasti”. Allah sendiri akan menyertai Israel untuk
melepaskannya, dan tak ada maksud-maksud asing dapat menguasainya. Terdapat
pengertian yang lebih luas di mana pengharapan yang dihubungkan dengan Mesias,
merupakan penggenapan anugerah awal yang diberikan kepada manusia berdasarkan
penciptaanya yang menurut gambar Allah (Kej. 1:26), dan selanjutnya diuraikan
panjang lebar dalam Mazmur 8. Juga harus disebutkandi sini mengenai anak
manusia (Dan. 7), yang kepadanya diberikan kekuasaan universal, dan umat-Nya
turut mengambil bagian dalam kekuasaan itu. di sini pola Perjanjian Lama yang
menunjuk kepada Mesias berulang. Ia adalah manusia tetapi memiliki sifat-sifat
ilahi; Ia akan memerintah seluruh dunia meski banyak yang menentang.[6]
Pemahaman Israel tentang Mesias juga
dipengaruhi oleh kebiasaan agama yang mereka alami, hal ini berkaitan dengan
pemilihan raja atas Israel yang dilakukan Allah melalui perantara hambanya.
Raja yang dipilih kemudian diangkat, diurapi, naik takhta. Adat penobatan yang
biasa di gunakan Israel adalah:[7]
1. Pengurapan
raja-raja
Pengurapan
ini memiliki dua arti, pertama,
upacara pengurapan raja-rajamenjadi suatu adat
Israel yang tetap berlaku di
sepanjang zaman kerajaan. Kedua,
mempunyai makna politis. Para
tua-tua, para kepala atau wakil suku-suku, para imam dan seluruh rakyat yang
turut hadir dalam upacara itu, semuanya bertindak sebagai warga masyarakat.
Memang benarlah mereka pada saat itu juga bertindak sebagai warga umat TUHAN:
Pengurapan itu berlangsung “di hadapan TUHAN” (2 Sam. 5:3), persembahan
korban-korban keselamatan diadakan (1 Sam. 11:15) untuk memohon berkat, dan
raja yang baru dilantik itu akan bergelar “Yang diurapi TUHAN” (Mesias),
seolah-olah TUHAN sendirilah yang telah mengurapinya. Namun, titik beratnya
dalam upacara itu jatuh pada pengangkatan seorang kepala negara, seorang pejabat pemerintahan sipil dengan tugas dan tanggungjawab di bidang kesejahteraan masyarakat. Dll.
2. Penyerahan
Piagam pelantikan
Raja
dinyatakan sebagai anak Allah!
ungkapan ini dipengaruhi oleh bangsa-bangsa tetangga Israel. Isi piagam
pelantikan raja-raja orang Israel berbeda dengan piagam dari kerajaan Firaun.
Misalnya piagam mesir yang menyatakan bahwa rajanya adalah “anak Allah” sejak
kelahirannya. Kelahiran itu dianggap terjadi sebagai hasil pernikahan badani
dewa tertinggi dengan permaisuri. Namun tidak demikian yang dimaksudkan dalam
piagam pelantikan raja-raja Israel. Firman Tuhan menetapkan raja menjadi
“anak-Nya yang sulung” (Mzm. 89:28). Raja itu lahir seperti manusia biasa,
tetapi pada hari pelantikannya ia diterima,
diangkat seperti anak Allah sendiri. Bukan soal kelahiran yang ajaib,
tetapi pengangkatannya itulah yang menjadi penekanan. “anak Allah” juga erat
kaitannya dengan kisah pemilihan dan pengangkatan seorang raja tertentu, yaitu Daud.
“Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu” (2 Sam. 7:14). Firman
ini menjanjikan suatu hubungan yang rapat, bahkan mesra, antara TUHAN dengan
raja-raja keturunan Daud yang berturut-turut memerintah di atas takhtanya di
Yerusalem.
3. Raja
Naik Takhta
Dikatakan bahwa
raja akan “duduk di atas takhta” “di sebelah kanan Allah” (Mzm. 47, 93, 96-99,
110:1, 80:18). Artinya raja-raja Israel ikut-serta di dalam pemerintahan TUHAN
atas umatNya dan atas semua bangsa (Mzm. 89:28). Artinya bukan saja seorang
raja itu “diangkat tinggi” saja, melainkan juga diberi pangkat dan tugas[8]
yang mulia.
Atas dasar pemahaman adat Israel ini, sehingga memang
pemahaman Israel terhadap kesiapaan Mesias yaitu bahwa Mesias itu adalah yang
diurapi Allah, yang diurapi biasanya adalah raja-raja dan Imam. Mereka juga
memahami bahwa mesias itu akan berasal dari keturunan raja yaitu Daud, dipilih,
diurapi dan diangkat menjadi raja, yang
dipahami akan memberikan kesejahteraan dalam arti politis, yaitu kesejahteraan
masyarakat yang juga adalah umat Allah. sehingga pemahaman inilah yang kemudian
mempengaruhi pemahaman orang-orang Yahudi nantinya yang menolak kehadiran Yesus
dalam dunia Perjanjian Baru.
2.3.Mesias
menurut Orang Kristen
Ketika kita melihat pengharapan akan
Mesias, kita harus menyadari bahwa penulis dalam Perjanjian Baru melihat Yesus
sebagai penggenapan dari pengharapan akan Mesias dalam Perjanjian Lama,
gambaran Yesus ini sangat berbeda dari apa yang pemahaman orang Yahudi
sejamannya yang menolak Yesus karena Yesus tidak seperti apa yang mereka
pikirkan atau tidak seperti Mesias yang mereka pahami. Sehingga dapat dipahami
bahwa pemikiran tentang Mesias dalam Perjanjian Lama memiliki arti yang ambigu
(dua arti).[9]
Di Antiokhia, kelompok pengikut Yesus
merupakan kelompok yang dianggap aneh oleh masyarakat. Di situ pulalah mereka
untuk pertama kali disebut ‘Kristen’, yaitu sebutan penghinaan untuk kelompok
yang kurang disukai masyarakat (Kis. 11:26).[10]
Dalam bahasa Yunani disebut “Messias”
(Yoh. 1:41; 4:25; dan di kedua tempat itu ditambah keterangan dengan khristos). Di tempat lain kata ini
diterjemahkan dengan kata Yunani Khristos,
dari kata kerja khrio¸yang berarti
‘mengurapi’.Pengertian Yesus akan dan cara-Nya untuk menggenapi panggilan
ke-Mesias-an-Nya berbeda dari gambaran umum tentang Mesias yang diharapkan.
Suara dari sorga pada saat pembaptisan-Nya (Mrk. 1:11) menyambut Dia sebagai
Mesias dari suku Daud, dengan kata-kata dari Mzm. 2:7 ‘AnakKu-lah Engkau’. Tapi
dengan menambahkan kata-kata dari Yesaya. 52:1 yang memperkenalkan Hamba
Yahweh, diberi pertanda bahwa ke-Mesias-an-Nya akan menggenapi gambaran Hamba
itu, rendah hati, taat, menderita, menggenapi tugas-Nya dengan menjalani maut,
sambil menyerahkan pembelaan atas diriNya kepada Allah dengan hati yang
percaya. Pelayanan Yesus yang dimahkotai dengan penderitaan-Nya, ditandai
dengan selalu berpegangan teguh pada jalan yang ditentukan bagi-Nya oleh
Bapa-Nya. Maka karena itu Yesus memberikan pengertian baru kepada kata
‘Mesias’, yang mengatasi setiap arti yang sebelum itu dimilikinya.[11]
Pemahaman dalam PB yang mempengaruhi
pemahaman Kristen nantinya adalah bahwa mesias bukan hanya berarti politik. Hal
ini terlihat dari pengakuan Petrus “Engkau adalah Mesias!” (Mrk. 8:29-33),
kemudian Yesus malah melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan
siapapun tentang Dia. Yang jelas Yesus sudah mulai berbicara mengenai sengsara
dan wafat-Nya, “Petrus menarik Dia kesamping dan menegur Dia”. Sebenarnya
Petrus tidak dapat menerima Mesias yang harus menderita, tetapi justru harus diterima. “Maka berpalinglah Yesus
dan memarahi Petrus, kata-Nya: Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan
apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Di sini yang
menonjol adalah segi hubungan dengan Allah, bukan segi politik.[12]
Orang Kristen setelah masa Perjanjian
Baru, memahami bahwa Yesus adalah Mesias, Yesus adalah penggenapan dari
nubuatan yang ada dalam perjanjian lama. Para penulis-penulis kitab Perjanjian
baru memahami hal tersebut berdasarkan perkataan-perkataan Yesus semasa di
dunia. Memang Yesus sendiri tidak pernah mengatakan secara langsung bahwa Dia
adalah Mesias, namun pemahaman dari para penulis kitab Perjanjian Baru melihat
bahwa di dalam Yesuslah semua tentang gambaran tentang Mesias dalam Perjanjian
Lama telah digenapi. Hal ini tampak dari ayat dari Perjanjian Lama yang acap
kali terkutip dalam Perjanjian Baru, yaitu
“Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakku” (2 Sam. 7:14).
Ucapan Yesus bahwa Anak Allah akan duduk di sebelah kanan Bapa-Nya, hal ini
yang paling besar pengaruhnya dalam Perjanjian Baru, bahkan hingga sekarang hal
inilah yang mendasari iman orang Kristen (tercantum dalam Pengakuan Iman
Rasuli).[13]
III.
Refleksi
Teologis
Pengharapan
tentang Mesias adalah pengharapan nyata dari orang Kristen itu sendiri. Sebagai
orang Kristen, kita melihat bahwa Yesuslah Mesias itu, di dalam Yesuslah segala
nubuat itu dipenuhi, sehingga pengharapan sekarang bagi orang Kristen adalah
masa-masa Eskhatologi. Kita merindukan akan kedatangan-Nya yang kedua kali,
yang akan datang untuk menghakimi dengan adil, memisahkan gandum dan ilalang,
lalu mengangkat semua orang-orang percaya untuk tinggal bersama-sama dengan
Dia. Tentu kita sadari bahwa pengharapan
tentang Mesias merupakan pengharapan yang sungguh nyata, Mesias yang
menyelamatkan. Berdasarkan iman Kristen, karena kita sudah diselamatkan oleh
Mesias itu, maka sudah sepatutnya kita merespon dengan mengimani penebusan
Mesias itu dalam hidup kita.
IV.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat di pahami, bahwa dalam Perjanjian Lama atau menurut
orang Israel, Mesias merupakan seseorang ‘yang diurapi’. Yang diurapi dipahami
sebagai seseorang yang mampu menyelamatkan umat Israel tidak hanya soal
keimanan, namun juga dalam hal politik. Sehingga mereka melihat, raja-raja
serta hamba-hamba Tuhan itu sebagai Mesias. Namun, setelah akhir masa
Perjanjian Lama, orang Israel ternyata memahami bahwa ada Mesias lain, Mesias
yang sebenar-Nya akan datang. Kemudian hal inilah yang menjadi dasar mereka
bahwa akan datang Mesias, namun Mesias yang mereka pahami adalah Mesias yang
akan datang dari kalangan raja-raa atau imam, sebagaimana yang sebelumnya
mereka pahami.
Kemudian,
pemahaman Mesias menurut orang Kristen dipengaruhi oleh adat dalam Perjanjian Lama itu, hanya saja mendapat perluasan
pemahaman. Dimana Mesias di pandang sebagai pembebas,
bukan pembebas dalam hal politik, tetapi bebas dari keterikatan akan dosa.
Setelah orang Kristen melihat Yesus sebagai “Mesias”. Sehingga pada saat ini,
orang Kristen sedang dalam pengharapan Eskhatologis, bahwa akan ada pembaharuan
pada saat kedatangan Yesus yang kedua kali.
V.
Daftar
Pustaka
….Alkitab Edisi Studi, Daniel 44:28-45:1, Jakarta:
LAI, 2011
Barth,
C., Theologia Perjanjian Lama 2,
Jakarta: BPK GM, 1989
Browning,
W.R. F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK
GM, 2012
Dyrness,
William, Tema-tema dalam Teologi
Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1992
Hartono, F., SJ, Imanuel, Jakarta: KANISIUS, 2000
Juel,
Donald, Messianic Exegesis,
Philadelphia: Fotress Press, 1988
Motyer, J. A., dalam Ensiklopedia Masa Kini M-Z, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000
Routledge, Robin, Old Testament Theology, England:
Apollos, 2008
Wahono, S. Wismoady, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK GM, 2009
Widyapranawa,
S.H., Kitab Yesaya Pasal 1-39,
Jakarta: BPK GM, 2011
[1] Donald Juel, Messianic Exegesis, (Philadelphia: Fotress Press, 1988), 10
[2]Koresh
“orang yang Kuurapi”: Kata Ibrani Masiakh yang
berarti “orang yang diurapi” (disebut juga mesias). Koresh adalah satu-satunya
orang bukan Israel yang disebut Mesias di dalam Alkitab. Gelar itu biasanya
diberikan hanya kepada pemimpin Israel tertentu. Kebijakan Koresh mengizinkan
bangsa-bangsa yang ditakhlukkannya untuk menjalankan agama masing-masing dan
membangun kembali kota-kota mereka. (….Alkitab
Edisi Studi, Daniel 44:28-45:1, (Jakarta: LAI, 2011), 1154)
[3] William Dyrness, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang:
Gandum Mas, 1992), 212-213
[4] W.RF. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK GM, 2012),
267
[5] Kata Ibraninya ialah “ha’almah”, artinya seorang wanita muda,
entah sudah pernah kawin atau belum (Kej.24:43; Kel.2:8; Mzm. 68:26). Kata
benda tersebut sesungguhnya diberi definite
article (kata sandang) ha,
sehingga berbunyi ha-almah, berarti
“wanita muda itu”. (S.H.
Widyapranawa, Kitab Yesaya Pasal 1-39,
(Jakarta: BPK GM, 2011), 42)
[6] William Dyrness, Tema-tema Teologi Perjanjian Lama, 213
[7] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK GM, 1989), 76-77
[8] Tugas raja yang dipahami Israel
yaitu: Pembebas atau penyelamat dalam arti duniawi, pemerintah dan hakim yang
adil, pembawa kesejahteraan, (…. Ibid, 89-101)
[9] Robin Routledge, Old Testament Theology, (England:
Apollos, 2008), 283
[10] S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: BPK GM,
2009), 417
[11] J. A. Motyer, dalam Ensiklopedia Masa Kini M-Z, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000), 63
[12] F. Hartono, SJ, Imanuel, (Jakarta: KANISIUS, 2000), 76-77
[13] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, 85
No comments:
Post a Comment