GEREJA MULA-MULA


GEREJA MULA-MULA

 ( Dalam Konteks Religio Illicito)

I.              PENDAHULUAN
Sejarah Gereja ialah kisah tentang perkembangan-perkembangan dan pembaharuan-pembaharuan yang dialami oleh Gereja selama di dunia ini. Yaitu kisah tentang permulaan ajaran Injil dengan bentuk-bentuk yang kita pakai untuk mengungkapkan Injil itu. Kata “gereja” melalui kata Portugis igreja, berasal dari kata Yunani ekklesia. Selain itu, dalam bahasa Yunani ada satu kata lain yang berarti “gereja” yaitu kuriakon yang artinya rumah Tuhan. Dalam bahasa Inggrisnya church dan Belanda kerk yang berasal dari kata Yunani itu.  Ekklesia berarti, mereka yang dipanggil. Yang pertama dipanggil oleh Kristus ialah para murid, Petrus dan yang lain-lain. Sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga dan pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, para murid itu menjadi “rasul”, artinya “mereka yang diutus”. Rasul-rasul diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah gereja Kristen.[1] Dari pengertian tentang gereja tersebut, pada kesempatan ini, akan dibahas Gereja Mula-Mula serta kedudukan Gereja sebagai Religio Illicito dan sebagai Religio Licito di wilayah Kekaisaran Romawi. Melalui sajian ini, semoga dapat menambah wawasan kita bersama..

II.           PEMBAHASAN
2.1         Sekilas Mengenai Gereja Mula-Mula
Hari kelahiran Gereja ialah hari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Keadaannya nampaknya seperti mazhab Yahudi saja, karena mula-mula orang Kristen masih mengunjungi Bait Allah dan rumah ibadat serta taat kepada taurat Musa. Walaupun demikian, nyata juga perbedaan besar antara orang Kristen Yahudi ini dengan kawan sebangsanya, karena mereka percaya dan mengajarkan bahwa Yesus dari Nazaret ialah Mesias yang dijanjikan itu. Dengan demikian taurat, Bait Allah dan sinagoge lambat laun kurang penting bagi kaum Kristen.[2]
Pada masa Gereja mula-mula, Gereja lahir dan berkembang terbagi atas 2 negara besar, yaitu kekaisaran Roma dan kekaisaran Persia, dan perang kekaisaran Roma Kekristenan mengalami tekanan serta aniaya, namun Kekristenan justru semakin berkembang.[3]
Dalam buku Berkhof dengan judul Sejarah Gereja mengatakan bahwa jemaat yang mula-mula itu bersifat komunis berhubung dengan penjualan harta benda yang hasilnya dibagi-bagikan di antara semua saudara sesuai dengan keperluan masing-masing (Kis. 2:44).
Pada masa itu tak sedikit orang Kristen yang diberi Tuhan rupa-rupa “karunia oleh Roh Allah” seperti karunia menyembuhkan orang sakit, mengadakan mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (glosolalia), yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak, tetapi yang perlu diterangkan maknanya (1 Kor. 12:10). Dalam sejarah Gereja dapat kita lihat bahwa pada abad-abad kemudian juga orang ada yang di anugerahi karunia semacam itu (1 Kor. 14).[4]
Pola ibadah jemaat mula-mula tidaklah jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Gereja saat ini. Mereka mengadakan pertemuan pada hari minggu, hari kebaktian, bukan hari sabtu (sabat orang yahudi). Dalam pertemuan itu mereka merayakan ekaristi, mempelajari kitab suci, berdoa dan menyanyikan lagu pujian. Dan biasanya mereka mengadakan pertemuan pagi-pagi sekali, mereka membaca kitab nabi-nabi yahudi dan tulisan para rasul serta para penginjil. Mereka juga mengadakan berdoa bersama bagi mereka yang membutuhkan dan mereka yang sakit, dengan menyanyikan lagu pujian bagi Kristus.
Dalam abad mula-mula jemaat Kristen terlebih yang di kota-kota mempunyai jemaat yang lebih banyak. Diakibatkan penyebaran Injil mengikuti lalu lintas raya. Berhubungan dengan itu penginjilan di Timur tidak diselenggarakan oleh orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani. Bahkan, orang-orang Yahudi Kristen Syria dan Palestina. Itulah sebabnya sehingga dalam beberapa hal Kekristenan di Syria Timur dan di Mesopotamia adalah Edessa. Pada tahun 179 Raja Edessa masuk ke Kristen, sehingga Edessa merupakan negara Kristen yang pertama.[5] Salah seorang yang menjadi penginjil di sebelah Timur adalah Addai. Penginjil inilah yang kemudian menahbiskan uskup Kristen yang pertama di kota Mesopotamia, dari sanalah Injil menyebar ke arah Timur dan Tenggara. Maka pada zaman ini sudah timbul cara yang berbeda untuk mengungkapkan keselamatan yang diberikan Allah di dalam diri Yesus Kristus.[6]

2.2         Kedudukan Gereja Sebagai Religio Illicito
Gereja mula-mula dalam konteks Religio Illicito (Agama yang belum sah) pada tahun 33 Kehidupan Gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul memperoleh kesan bahwa Injil  tersebar dari Yerusalem menuju dunia mencapai Roma. Kota Alexandria di Mesir telah lama menjadi pusat koloni orang-orang Kristen. Di Kirenchester ditemukan sisa-sisa tulisan yang berbahasa latin, yang berisi dua kata pertama dari Doa Bapa Kami, dan keterangan ini menunjukkan bahwa penyebaran Injil tidak hanya menurut satu jalur Yerusalem dan Roma. Pada masa ini kebaktian jemaat Kristen belum mempunyai gedung-gedung Gereja, anggota-anggotanya berkumpul di rumah salah seorang diantara mereka, atau juga ruang lain yang tersedia. Di dalam kebaktian ada pembacaan firman dari surat-surat rasuli, lalu dari PL yang berlangsung cukup lama. Kemudian dinyanyikan salah satu mazmur.
Pada masa ini, alat musik tidak ada sebab dianggap tidak pantas dipakai dalam kebaktian, yang ada ialah seorang chantol, yaitu seorang biduan pemimpin. Dia dan jemaat menyanyikan mazmur bersahut-sahutan. Setelah itu, uskup berkhotbah ia tidak berdiri tetapi duduk diatas kursi yang cukup tinggi.[7] Namun pada masa ini Gereja mulai memperkembangkan bentuk organisasi, liturgi dan teologia meskipun banyak hambatan dan ancaman yang dihadapi oleh Gereja. Bentuk organisasi atau tata Gereja dikembangkan Gereja berdasarkan organisasi yang terdapat di rumah-rumah ibadah ataupun di masyarakat. Namun seiring dengan bertumbuhnya tata Gereja di tempat-tempat tertentu rakyat mulai menyiksa dan menganiaya kaum Kristen. Banyak orang Kristen mati Syahid karena ancaman-ancaman dari sistem pemerintahan kaisar Romawi. Akan tetapi, akibatnya adalah Gereja tidak hilang, melainkan bertambah anggotanya, sebab keberanian iman yang diperlihatkan para Syahid sangat mengesankan.[8]

2.3         Tantangan dan Hambatan Gereja
a.             Godaan Dari Pihak Gnostik
Kata gnostik ini berarti “pengetahuan” tetapi di sini dimaksudkan suatu “hikmat tinggi” yang berahasia dan tersembunyi tentang asal dan tujuan manusia. Pada zaman itu banyak orang terpelajar mengejar hikmat tinggi itu dengan giat, sebab akal sanubarinya kurang dipuaskan oleh agama biasa yang mudah dipahami. Gnostik menganggap berita Injil itu terlampau sederhana. Hikayat-hikayat yang terang isinya dan ajaran Gereja yang mudah dimengerti kurang digemari oleh pihak Gnostik sehingga mereka mencari suatu hikmat yang lebih dalam, lebih indah dan penuh rahasia. Oleh sebab itu mereka mulai menafsirkan Injil secara alegoris, tetapi dengan demikian “kebodohan salib” ditukarkankannya dengan “hikmat dunia” (1 Kor. 1:18-25).
b.             Dari Pihak Marcion
Marcion ialah seorang kaya di bandar Sinope di pesisir Laut Hitam, dan ada usaha perkapalannya di daerah itu. Tetapi ia meninggalkan kota itu untuk menyebarkan kemana-mana di dalam Gereja pandangan-pandangannya yang baru tentang Injil. Akan tetapi, Gereja menolak ajarannya, pada tahun 144 ia dikucilkan oleh jemaat Roma. Marcion sangat bersemangat dan seorang organisator yang cakap. Ia membentuk sebuah Gereja Baru (Gerejanya Sendiri), yang berkembang dengan cepat, sehingga beberapa puluh tahun kemudian hampir sama besarnya dengan Gereja Katolik. Barulah pada abad ke V Gereja Marcion berangsur-angsur lenyap, oleh karena perlawanan dari negara, yang menghendaki satu Gereja Kristen. 
c.              Dari Pihak Montanisme
Salah benar ajaran Montanus bahwa Roh Tuhan mengaruniakan pernyataan baru lagi, yang lebih tinggi dan sempurna daripada pernyataan Tuhan dalam Alkitab. Injil saja sudah cukup, sehingga tak perlu ditambah lagi. Jikalau jemaat Kristen mengasingkan diri supaya boleh mengarahkan pikirannya kepada kedatangan Kristus saja, tak dapat tidak jemaat mengabaikan tugasnya di dalam dan untuk dunia ini. Gereja tak boleh menjadi sekta, yang hanya mengutamakan kesalehan dan keselamatannya sendiri saja, tetapi ia terpanggil untuk memasyhurkan Injil kepada semua manusia di tengah-tengah masyarakat.[9]

2.4         Senjata-Senjata Gereja
1.             Kanon
Gereja mempunyai sebuah kitab saja yang menjadi kanon (yaitu ukuran atau kaidah) bagi kepercayaan dan kehidupan anggotanya, yaitu Perjanjian Lama. Segala cerita Lisan dan tulisan mengenai Tuhan sangat berkuasa dalam Gereja. Gereja dalam melawan sekta-sekta yang telah mengumpulkan banyak gnostik dan marcion surat-surat kudus yang menjadi kanonnya, Gereja membuat suatu penetapan kanon. Gereja menyatakan bahwa masa penyataan Tuhan telah diakhiri dengan Perjanjian Baru.
2.             Pengakuan
Pengakuan yang tertua hanyalah mengenai Kristus: “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor. 12:3). Pengakuan ini kemudian ditambah dengan keterangan-keterangan mengenai Kristus, seperti yang nyata dalam Roma 1:3, berikutnya hal-hal mengenai keselamatan ditambah juga sehingga perkembangan tersebut menjadi “Keduabelas Pasal Iman”.
Pengakuan keduabelas Pasal Iman itu erat hubungannya dengan Alkitab dan selalu dijelaskan tentang rasul-rasul. Sebab itu timbullah nama “Pengakuan Iman Rasuli”.
3.             Pewarisan Jabatan Rasuli
Pemimpin-pemimpin Gereja menunjuk jemaat kepada uskupnya yang dipilih dengan jalan yang sah. Dia sajalah yang sanggup memberi keputusan tentang segala masalah, yang mengharu-birukan jemaat karena khotbah dan pengajaran semua sekta dan nabi palsu itu.[10]

2.5         Tindakan Pemerintah Romawi terhadap kaum Kristen
a.             Kaisar Nero (54-68 M)
Kaisar Nero merekayasa suatu kejahatan berupa pembakaran kota Roma, yang dituduhkan secara keji sebagai perbuatan kaum Kristen. Akibatnya, banyak orang Kristen yang ditangkap, serta dianiaya dengan siksaan yang kejam dan akhirnya dibunuh.
b.             Kaisar Domitianus (81-96 M)
Kaisar Domitianus menganiaya kaum Kristen karena dia takut terhadap persaingan dalam bentuk apapun. Tatkala sang penguasa menuntut rakyat untuk mengakui dirinya dominus et deus (tuhan dan allah), kaum Kristen tegas menolak, sehingga banyak diantara mereka yang dihukum mati syahid.
c.              Kaisar Aurelius (161-180 M)
Kaisar Aurelius menganiaya kaum Kristen karena dia berpihak kepada kepentingan aliran Stoa.
d.             Kaisar Decius (249-251 M)
Kaisar Decius menganggap bahwa semakin bertambah banyaknya orang Kristen merupakan ancaman terhadap ketentraman kekaisaran. Decius adalah kaisar pertama, yang mengadakan penganiayaan secara besar-besaran terhadap orang-orang Kristen, yaitu meliputi seluruh wilayah kekaisaran.
e.              Kaisar Diocletianus (284-305)
Kaisar Diocletianus menganiaya kaum Kristen karena khawatir bahwa mereka akan bersikap tidak loyal, sehingga dia menganggap mereka akan menghambat pembaruan dan pembangunan negeri. Dia telah memerintah suatu penganiayaan yang paling dahsyat sepanjang sejarah Gereja Lama. Pejabat-pejabat dan para penguasa di setiap wilayah kekaisaran diperintahkan untuk membakar kitab-kitab suci kaum Kristen, menghancurkan tempat peribadahan mereka, mengejar-ngejar mereka, mengadili serta membunuh siapa pun yang tidak bersedia untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa.[11]

2.6         Tokoh-Tokoh Gereja Pada Masa Religio Illicito
1.             Polikarpus
Polikarpus dilahirkan sekitar tahun 69. Polikarpus bekerja sebagai uskup di jemaat Smirna, Asia kecil pada pertengahan abad ke 2. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki iman yang teguh dan hidupnya sangat sederhana. Sebagai seorang uskup, ia berhadapan juga dengan kelompok Marcion, Ia menyebutnya sebagai anak sulung iblis. Pada tahun 154 Polikarpus pergi ke Roma untuk menyelesaikan pertikaian tentang perayaan Paskah dengan jemaat Roma. Polikarpus diterima dengan hormat oleh Anicetus, uskup Roma. Ia memperoleh persetujuan dari Anicetus bahwa jemaat-jemaat di Asia kecil boleh meneruskan kebiasaan mereka dalam merayakan Paskah pada 14 bulan Nissan.
Tidak lama sesudah kembali dari Roma Polikarpus ditangkap dan digiring ke Roma. Ia diminta oleh kaisar supaya menyangkal Kristus serta mengutuk Kristus, namun ia tidak mau. Sampai tiga kali kaisar bertanya kepadanya apakah ia mau mengutuk Kristus agar sang uskup dilepaskan dari hukuman mati namun ia secara tegas dan teguh iman kepada Kristus menjawab perkataan sebagai berikut “ aku telah melayani Kristus 86 tahun lamanya, namun belum pernah sekalipun ia berbuat jahat kepadaku, bagaimana aku dapat mengutuk Kristusku? Juruselamatku?”. Kemudian Polikarpus dibakar dan disiksa, sisa tubuhnya dibawa dan dikuburkan di Smirna.[12]
2.             Irenaeus
Irenaeus adalah salah seorang Bapak Gereja Timur yang terpenting pada abad ke 2. Masa mudanya ia habiskan di Asia kecil, ia biasa mendengar khotbah-khotbah dari Polikarpus dan diperkirakan ia lahir sekitar tahun 115 sampai tahun 125. Setelah dewasa ia menjadi Presditer di Lyons. Irenaeus adalah seorang pembela kesatuan Gereja. Ajaran dan aliran sesat dilawannya dengan keras. Tulisannya yang sangat terkenal adalah /adversus haeresias (melawan aliran-aliran sesat).[13]

2.7         Dampak Penganiayaan Terhadap Kehidupan Orang Kristen
Banyak orang Kristen yang setia hingga kematian dan melakukan perbuatan herois. Irenaeus mengatakan bahwa Gereja, disebabkan oleh kasihnya kepada Allah, mereka diutus ke segala tempat dan pada setiap waktu untuk menjadi martir bagi Bapa.
Philip Schaff, seorang ahli sejarah Gereja mengatakan bahwa pentingnya kesyahidan itu di dalam Gereja-gereja lama tidak diukur dari jumlah korban ataupun kejamnya siksaan terhadap mereka, melainkan lebih utama pada kesaksian mereka yang menentang kegelapan sehingga dengan demikian mereka telah mempertahankan Kekristenan dari pemusnahan.[14]

2.8         Kedudukan Gereja Sebagai Religio Licito
Masa Religio Licito (Agama yang sudah sah) adalah masa dimana Gereja dan Kristen diakui sebagai Gereja dan Agama negara Romawi. Diakuinya Gereja Religio Licito diawali dengan pertempuran yang terjadi antara Konstantinus, seorang prajurit Roma yang ada di Inggris dan Prancis. Pada tahun 313, kaisar Konstantinus Agung ketika ia berada di kota Milano, Italia mengeluarkan edik (surat perintah) yang disebut edik Milano. Dalam edik ini diberi kebebasan kepada warga negara Romawi untuk menganut agama Kristen. Dengan Edik Milano ini mulailah periode baru bagi Gereja, Gereja dapat berkembang dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain. Lambat laun Gereja mulai memperoleh bantuan dan hak-hak istimewa dari pemerintah. Hak para uskup mengatur Gereja diakui dan dihormati oleh negara. Konstantinus Agung telah menaruh perhatian besar bagi Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea.[15]
Keadaan ini menjadi hukum negara pada tahun 380 waktu kaisar Theodosius mengeluarkan edik. Dalam edik theolosius agama Kristen dijadikan agama negara dan semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota Gereja Katolik. Akibat perkembangan ini bagi Gereja adalah sangat positif, karena kebebasan dan dukungan yang diberikan negara Gereja dapat maju dan mekar. Pada pihak lain juga ada akibat negatif yaitu dibukanya kesempatan bagi negara untuk campur tangan dalam hal-hal Gereja. Gereja disamping lembaga Rohani juga menjadi kuasa politik. Demikian juga uskup bukan tokoh Rohani saja tetapi sekarang juga diberi peran politik. Jumlah anggota Gereja bertambah besar tetapi yang masuk Kristen tidak semua didorong lagi karena keyakinan murni, ada juga yang menjadi anggota Gereja karena wajib atau karena karir.[16]

2.9         Tokoh-Tokoh Gereja Pada Masa Religio Licito
1.             Augustinus
Augustinus adalah teolog Kristen yang terbesar setelah rasul paulus, ia juga adalah sang Bapa Gereja barat. Aurelius augustinus lahir di tagaste tahun 354. Ayahnya bernama patricius seorang kafir dan ibunya bernama monika seorang Kristen Katolik. Dia memulai pendidikannya di tagaste dan kemudian belajar retorika dan filsafat chartago. Setelah belajar di chartago augustinus kembali ke kota kelahirannya dan menjadi Guru retorika disana. Tahun 372, dia pindah ke chartago dan menjadi retorika disana. Augustinus mengalami pergumulan yang hebat yaitu keinginan untuk mencari kebenaran yang sejati dan memberikan kepadanya suatu kedamaian hidup.
Ada dua karya penting Augustinus yaitu antara tahun 399 dan 419 ia menulis karya yang terbesar di bidang dogmatika: De Trinitate (Trinitas), di dalamnya ia menyimpulkan semua pandangan para Bapa Gereja terdahulu dan ia menyajikan ajaran ketritunggalan secara sistematis. Yang kedua antara tahun 413 dan 427 augustinus menulis karyanya yaitu De Civitate Bei (Kota Allah) yang pertama ia mengemukakan bahwa para ilah kafir pada hakikatnya gagal memberi harta surgawi. Pada bagian kedua augustinus menelusuri sejarah sejak penciptaan hingga kekekalan dan dua kota atau masyarakat yang berbeda: yaitu kota Allah dan kota iblis. Kota itu adalah dua kelompok manusia yang berbeda karena cinta yang berbeda. Kasih kepada Allah melawan cinta kepada diri sendiri, cinta akan hal yang baka melawan cinta akan hal yang fana. [17]
2.             Origenes
Origenes lahir sekitar 185 dari keluarga Kristen di Aleksandria. Ia mengabdikan diri sepenuhnya dengan hidup sederhana dan tidak melupakan imannya.  Demetrius, uskup Aleksandria, mengangkatkatnya sebagai kepala sekolah katekisasi (tempat mereka yang ingin dibaptis dan diberi pengajaran).
Akan tetapi, ia akhirnya bertengkar dengan Demetrius, yang ingin memperluas kekuasaannya sebagai uskup. Origenes pindah ke Kaisarea di Palestina, tempat ia melanjutkan pekerjaannnya dan sangat dihormati. Pada zaman penganiayaan Decius, ia di penjara dan disiksa dengan harapan bahwa ia akan menyangkal imannya. Beberapa tahun kemudian, ia meninggal karena luka-lukanya.[18]

III.        KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dikatakan Gereja mula-mula sebab Hari kelahiran Gereja ialah hari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, dan di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Pada masa Gereja mula-mula, Gereja lahir dan berkembang terbagi atas 2 negara besar, yaitu kekaisaran Roma dan kekaisaran Persia, dan perang kekaisaran Roma Kekristenan mengalami tekanan serta aniaya, namun Kekristenan justru semakin berkembang. Dalam abad mula-mula jemaat Kristen terlebih yang di kota-kota mempunyai jemaat yang lebih banyak. Diakibatkan penyebaran Injil mengikuti lalu lintas raya.
Kedudukan Gereja Sebagai Religio Illicito, ataupun kedudukan Gereja pada masa itu belum diakui secara sah. Banyak orang Kristen mati Syahid karena ancaman-ancaman dari sistem pemerintahan kaisar Romawi. Akan tetapi, akibatnya adalah Gereja tidak hilang, melainkan bertambah anggotanya, sebab keberanian iman yang diperlihatkan para Syahid sangat mengesankan yang tetap mempertahankan keyakinannya kepada Tuhan. Sehingga Pada tahun 313, kaisar Konstantinus Agung ketika ia berada di kota Milano, Italia mengeluarkan edik (surat perintah) yang disebut edik Milano. Dalam edik ini diberi kebebasan kepada warga negara Romawi untuk menganut agama Kristen. Dengan Edik Milano ini mulailah periode baru bagi Gereja, Gereja dapat berkembang dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain atau dikatakan juga Gereja yang kedudukannya sebagai Religio Licito (kedudukan Gereja yang sudah diakui secara sah). Lambat laun Gereja mulai memperoleh bantuan dan hak-hak istimewa dari pemerintah. Hak para uskup mengatur Gereja diakui dan dihormati oleh negara. Konstantinus Agung telah menaruh perhatian besar bagi Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea. Keadaan ini menjadi hukum negara pada tahun 380 waktu kaisar Theodosius mengeluarkan edik. Dalam edik theolosius agama Kristen dijadikan agama negara dan semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota Gereja Katolik. Akibat perkembangan ini bagi Gereja adalah sangat positif, karena kebebasan dan dukungan yang diberikan negara, Gereja dapat maju dan mekar. Pada pihak lain juga ada akibat negatif yaitu dibukanya kesempatan bagi negara untuk campur tangan dalam hal-hal Gereja. Gereja disamping lembaga Rohani juga menjadi kuasa politik.

IV.        DAFTAR PUSTAKA
Berkhof, H, Sejarah Gereja,  H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2012
Culver, Jonathan E, Sejarah Gereja Umum, Bandung: Biji Sesawi, 2013
End, TH. Van Den, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Jonge, C. De, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Lembong, Ferry H. A, Sejarah Gereja Umum, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama, 1992
S, Jonar, Sejarah Gereja Umum, Yogyakarta: ANDI, 2014
Schie, G. Van, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Agama-Agama lain, Jakarta: Obor, 1994
Wellem, F. D, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003



[1] Ferry H.A Lembong, Sejarah Gereja Umum, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama, 1992), 2
[2] H. Berkhof, Sejarah Gereja,  H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 7
[3] Jonar S, Sejarah Gereja Umum, (Yogyakarta: ANDI, 2014), 14
[4] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 8
[5] TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 1-2
[6] G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Agama-Agama lain, (Jakarta: Obor, 1994), 390
[7] TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 59
[8] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 53-56
[9] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 19-26
[10] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 26-29
[11] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), 104-105
[12] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 160-162
[13] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 109
[14] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, 106-107
[15] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 56-57
             [16] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 58          
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 43
[18] Jonar S, Sejarah Gereja Umum, 194

Share:

Ibadah, Teologi dan Dogma Gereja Katolik Roma Pada Abad Pertengahan


Ibadah, Teologi dan Dogma Gereja Katolik Roma Pada Abad Pertengahan



I.                   Pendahuluan
Pada sajian-sajian ini kita akan membahas tentang ibadah, teologi, dan dogma Gereja Katolik Roma pada abad pertengahan, yang di mana di dalam Gereja Katolik  Roma tidak tidak lepas dari namanya ibadah,  dalam ibadah pada abad pertengahan dikenal dua liturgi dalam gereja Katolik Roma yaitu liturgi Roma dan liturgi Gallia. Teologi yang berkembang bada abad pertengahan adalah teologi skolastik yang berusaha membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia. Pada abad pertengahan Gereja Katolik Roma mengenal tujuh sakramen dan juga dogma tentang transubstansiasi.
II.                Pembahasan
2.1. Latar Belakang
Bersamaan dengan kehancuran kekaisaran Romawi di wilayah barat pada abad ke-5 – setelah pecah menjadi dua: Romawi Barat dan Romawi Timur – memecahkan konsentrasi pemerintahan Romawi di Roma. Perpecahan tersebut membentuk sejumlah negara baru, yaitu Prancis, Inggris, Jerman dan negeri-negeri Skandinavia. Negara-negara baru tersebut membuka peluang penginjilan bagi gereja. Sejumlah imam dikirim oleh gereja. Bersamaan dengan itu, penyebaran penginjil menyebabkan penyebaran liturgi dan tradisinya ke gereja-gereja baru.[1] Selama zaman abad pertengahan, gereja di Eropa Barat memainkan peranan yang menentukan di seluruh kehidupan masyarakat. Di Eropa Barat, gereja dinamakan Gereja Katolik-Roma, yang dipimpin oleh uskup kota Roma, pusat gereja, yang disebut dengan Paus.
Di Eropa Barat perkembangan Gereja Katolik-Roma pada awal abad pertengahan mula-mula sangat ditentukan oleh ketidak stabilan politik sesudah kuasa kekaisaran Romawi hilang.  Paus menjadi pemimpin juga di bidang politik. Biara-biara menjadi pusat kebudayaan, pendidikan serta teologia, tetapi karena kekacauan masyarakat, belum terlihat usaha untuk menciptakan sesuatu yang baru pada bidang-bidang tersebut. Baru sekitar tahun 800, pada zaman kaisar Karel Agung, keadaan politik menjadi lebih stabil, yang menyebabkan perkembangan pada bidang kebudayaan, pendidikan, politik dan juga teologia. Pada abad pertengahan yang jaya (910-1300), dalam teologia ditempuh jalan-jalan baru.[2]
2.2. Ibadah Katolik Roma Pada Abad Pertengahan
2.2.1.      Tempat Ibadah
Bentuk tempat ibadah yang dipakai pada permulaan abad-abad pertengahaan adalah bentuk Basilika. Bentuk ini kemudian diganti oleh bentuk Romans (abad 11 dan 12) dan bentuk Gotis (abad 13 dan 14).[3]
1.      Bentuk Basilika.
Bentuk bangunan gereja pertama yang dibangun dalam ukuran raksasa setelah rumah-rumah dan katakomba adalah basilika. Basilika adalah bangunan Romawi untuk kegiatan umum. Model basilika diyakini sebagai bangunan gereja hingga sekitar seribu tahun lamanya dalam sejarah gereja sebelum dimodifikasi untuk keperluan liturgi. Dinding-dinding, pilar, dan apsis (absis=lengkung) dibuat berhiaskan mosaik dan freska kristiani. Altar dibuat dari batu, di dalamnya terdapat makam seorang martir sebagai gambaran kesaksian iman. Ruang ibadah dibuat menyerupai bahtera yang disebut naos. Dibuat lorong panjang (disebut alos=aisle=sayap), selain panjang juga luas dan lebar sehingga memadai untuk keperluan prosesi liturgis. Pola basilika sederhana dan berbentuk kotak-kotak atau kubis[4]
2.      Bentuk Romans
Jika pada awalnya bangunan gereja raksasa dan basilika lebih berupa ruang dalam yang panjang dan lurus, romans membuat model salib pada naosnya. Sayap kiri dan kanan membentuk palang horizontal sehingga naosnya bermodel salib.[5] Ruang basilika yang dipakai dalam abad sebelumnya diperluas, ditambahkan sejumlah menara-menara pada gedungnya, temboknya tebal-tebal dan jendelanya kecil-kecil. Sama seperti basilika bentuk romans banyak memakai balok-balok horizontal. Bagian atas tiang-tiang dihiasi dengan patung-patung atau pahatan-pahatan yang mengisahkan kisah-kisah Alkitab maupun kehidupan orang-orang suci. Oleh karena hiasan-hiasan ini, ruang-ruang dari gedung-gedung romans kelihatan lebih dinamis dan mewah daripada ruang basilika.[6]
3.      Bentuk Gotis
Perkembangan kemudian dari romans adalah gaya gotis. Apsis bertudung di jendela dan pintu mulai dibentuk sehingga mempunyai kuncup seperti bawang. Gotis ini berbeda dengan romans dengan apsis setengah lingkaran[7]. Ciri khusus dari bentuk ini adalah; usaha menciptakan ruang-ruang yang lebih besar dengan cara menghindari pemakaian tembok-tembok yang tebal. Bahan-bahan yang dipergunakan ringan dan rangka-rangka bangunannya tipis. Jendela-jendelanya besar, bagian atas dari jendela-jendela itu melengkung tajam. Menara-menaranya ramping dan tinggi. Bentuk gotis ini lebih dinamis dan lebih mewah daripada gaya romans. Gedung-gedung gereja yang dibangun dengan gaya ini, lebih terang dan segar, lebih luas dan lebih tinggi. Banyak memakai patung-patung dan hiasan-hiasan.[8]
2.2.2.      Liturgi
2.2.2.1. Liturgi Abad Pertengahan Pertama[9]
Keberbagaian corak liturgi pada awal abad-abad pertengahan makin nyata. Hampir setiap tempat dan daerah memiliki corak liturginya sendiri. Dalam sejarah gereja abad ke-5, ada dua rumpun tradisi besar dalam liturgi, yaitu Liturgi Roma dan Liturgi Gallia. Litugi Gallia berkembang ke wilayah barat, yang sebelumnya telah menggunakan liturgi Roma. Kedua liturgi ini saling berbeda dan bermuara di Italia. Sebagian dari Italia menggunakan liturgi Roma, sebagian lagi menggunakan liturgi Gallia. Liturgi Roma telah menyebar pemakaiannya keluar Roma dan bahkan keluar Italia ke arah selatan, semisal ke wilayah Umbria, Afrika Utara, dan seterusnya. Liturgi Gallia adalah “tandingan” liturgi Roma. Penyebarannya mulai dari timur menuju ke arah Italia Utara. Bermula dari Milan, lalu ke Gallia, Spanyol, Inggris, dan Irlandia. Penelusuran ini menjelaskan bahwa sejak semula liturgi tidak pernah seragam. Ada banyak ragam. Keberbagaian yang dimaksud di sini adalah pembentukan rumpun-rumpun liturgi baru. Hal tersebut muncul antara lain karena pencampuran liturgi dengan unsur-unsur pribumi yang sering kali terjadi secara otomatis atau dengan sendirinya, atau dengan urusan politis dan kuasa gerejawi.
1.      Liturgi Papal dalam Liturgi Roma
Zaman kepausan membawa dampak bagi timbulnya liturgi kepausan yang disebut dengan liturgi Papal. Liturgi Papal diadakan menurut waktu yang tetap dan dipimpin oleh Paus sendiri, yang biasanya dihadiri oleh anggota kerajaan dan umat dari berbagai pelosok kota Roma. Keadaaan tersebut masih berlaku hinggga sekarang, terutama pada paskah dan natal. Hingga kini, liturgi Papal masih rutin dilaksanakan setiap pekan di Vatikan.



2.      Liturgi Gallia
Liturgi Gallia berasal dari liturgi oriental dan pada mulanya menggunakan bahasa Yunani. Setelah penyebarannya ke daerah Italia, bahasa dan formula Yunani pun bercampur dengan bahasa dan formula Latin. Beberapa unsur liturgi Gallia dapat pula dijumpai dalam liturgi Roma. Liturgi senantiasa melakukan penyesuaian ritual pada locus-nya; ini terjadi sepanjang zaman.

2.2.2.2. Liturgi Abad Pertengahan Kedua[10]
Kehidupan liturgis dan penetapan liturgi nikah merupakan konsekuensi dari peran gereja dalam hidup bermasyarakat. Kelanjutan dan pengembangan liturgi Papal memunculkan terbentuknya sejumlah gedung gereja berdasarkan sifat peribadahannya. Ada yang khusus dan utama – disebut gereja induk, kemudian menjadi gereja katedral – untuk melayankan liturgi Papal, yang tidak melayankan liturgi Papal, disebut gereja parokial.
1.      Liturgi Pernikahan
Pada satu pihak pernikahan dianggap urusan pribadi, bukan urusan lembaga agama. Pernikahan tidak perlu digerejakan. Ia berurusan cukup dengan hukum negara atau adat istiadat. Akan tetapi, pada pihak lain. Pernikahan berdimensi religius dan moral. Pejabat gereja diikutsertakan walaupun yang berperan ialah kepala keluarga atau kepala komunitas. Baru pada abad ke-5, di Roma pernikahan mulai dihubungkan dengan perjamuan kudus. Pernikahan digerejakan, tetapi gereja tidak memutuskan sah tidaknya sebuah pernikahan. Bahkan tidak ada kewajiban tertentu yang memutuskan bahwa pernikahan harus dilayankan dalam liturgi gereja. Bagi gereja, pernikahan yang sah ialah persetujuan kedua pihak yang menikah dan keluarganya. Gereja mendukung usaha dan melindungi institusi pernikahan. Disitulah kejujuran dan ketulusan terjamin sebab tidak ada manipulasi atau language game. Maka, gereja membuat semacam tata pernikahan. Garis besar yang dibuat gereja pada abad ke-9 dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
Upacara pernikahan menempuh beberapa tahap. Lebih dahulu adalah pertunangan di bawah kuasa kepala keluarga masing-masing.
Kemudian perayaan pernikahan sendiri, mencakup penyerahan emas kawin secara tertulis yang disepakati oleh kedua pihak, memasang cincin, dan menandatangani surat pernikahan.
Mempelai pergi ke gereja dengan membawa persembahan yang dalam misa dipersembahan oleh imam. Mempelai diselubungi dan diberi berkat oleh imam, kecuali perkawinan kedua.
Mempelai keluar dari gedung gereja dengan karangan bunga di kepala dan pulang.
Setelah perkawinan dilakukan di dalam gereja, peran imam atau uskup dalam pernikahn semakin penting dalam hal sahnya sebuah pernikahan. Imam atau uskup memasangkan karangan bunga pada kepala pengantin, menggabungkan tangan pengantin dan memberkatinya, serta membawakan doa atau Mazmur. Oleh karena pejabat negara yang menikahkan dan pejabat negara yang memberkati atau hanya menghadiri sering kali sama, pengantin boleh memilih peresmian nikah mereka, yaitu catatan sipil atau pemberkatan di gereja. Dengan demikian, pelayanan pemberkatan pernikahan dijadikan kewajiban oleh hukum negara menurut forma canonica. Sejauh ini ketentuan peran pejabat gereja, yakni imam dan uskup sebagai pegawai negeri dalam penikahan berkaitan langsung dengan peraturan negara atau adat istiadat.[11]
2.2.3.      Pemberitaan Firman/Khotbah
Ciri-ciri yang paling mencolok dalam pewartaan Injil di Eropa pada abad pertengahan (tahun 500-1200) ialah melibatkan peran serta para raja dan penguasa setempat. Jika seorang raja masuk Kristen, para rakyat di wilayah kerajaannya akan ikut menjadi Kristen. Pada zaman itu, soal menganut suatu agama bukanlah keputusan dan atau urusan pribadi, melainkan kewenangan di tingkat kaum, suku, dan etnis. Pemikiran tersebut berkembang dari pandangan bahwa agama adalah unsur penentu jaminan atas kemakmuran seluruh kaum, suku, dan etnis tersebut. Oleh sebab itu, para raja dan penguasa berperanan besar dalam pewartaan Injil dalam hal-hal berikut:
a.       Seorang penguasa, yang baru saja percaya, dan bebas dari pengaruh luar, berkuasa mutlak di wilayah kerajaannya. Ia dapat mempengaruhi, bahkan memerintahkan seluruh rakyatnya agar ikut percaya (contoh: Ethelbert dari Kent, Inggris, pada akhir abad ke-7; Vladimir di Rusia pada akhir abad ke-10).
b.      Beberapa raja dari negara-negara Kristen yang kuat ikut mendukung dan melindungi para utusan Injil tatkala mereka diutus ke wilayah perbatasan kerajaan mereka (contoh raja-raja di Perancis mendukung utusan Injil seperti Willibrod dan Bonifacius, demikian juga beberapa orang raja Kristen di Skandinava).
c.       Raja-raja Kristen yang menaklukkan bangsa-bangsa lain dan memaksa bangsa taklukan untuk masuk Kristen (contoh klasik: Charlemagne dari Perancis yang menaklukkan kaum Saxon di Jerman pada akhir abad ke-8).
Tidak kalah pentingnya ialah, setiap utusan yang pergi memberitakan Injil sebelumnya telah dimuridkan dan terlatih di dalam suatu monasteri. Para utusan itu mendirikan monasteri-monasteri yang berfungsi sebagai pusat pelatihan dan dukungan (doa dan keuangan) bagi mereka yang diutus untuk pergi. Pendirian monasteri-monasteri itu berguna sebagai (a) tempat kediaman para rohaniawan; (b) pusat penelitian pengerja pribumi yang berhasil dimenangkan melalui penginjilan; (c) teladan bagi orang-orang kafir.
Mereka dididik dengan pelbagai pelajaran utama yang digali dari dalam alkitab, dengan kemampuan berbahasa Latin, dan dengan ke dalaman pemikiran teologi milik Bapa-bapa Gereja Barat. Para utusan itu bukan hanya cakap berkhotbah dan memberitakan Injil saja, tetapi mereka juga membuktikan kuasa Injil itu dengan kesaksian hidup yang saleh, tertib, dan disiplin di tengah-tengah kefasikan masyarakat yang kafir.  Dengan menggunakan pelbagai metode tersebut, kekristenan telah meluas ke hampir seluruh penjuru Eropa sampai tahun 1200. Namun karena banyak rakyat sering masuk Kristen secara massal, dan tidak pernah dimuridkan dengan baik, kekristenan pada zaman itu menghadapi ancaman bahaya sinkretisme.[12]
2.2.4.      Pengakuan dan Nyanyian
Niceanum adalah (pengakuan iman jemaat), karena itu disebalah Timur ia selalu di ucapkan oleh anggota-anggotanya di dalam ibadah. Juga di Spanyol dan di Prancis ia mula-mula di ucapkan oleh angota-angota jemaat. Tetapi kemudian, dalam abad ke X, tugas itu di ambil alih oleh paduan suara. Dalam liturgi-liturgi disebelah Timur ia merupakan unsur tetap dari ibadah jemaat dan ditempatkan sesudah cium salam. Dalam misa di Roma pengakuan iman jemaat dikaji dan atau dijanjikan sesudah pembacaan injil sebagai jawaban atas pembacaan-pembacaan Alkitab yang mendahuluinya atau sebagai alat penghubung antara pembacaan-pembacaan Alkitab dan persembahan korban.
Apostolicum (pengakuan iman Rasuli) adalah unsur tetap dari liturgi baptisan dan ibadah doa tiap-tiap hari. Disini sejak abad-abad pertengahan dipakai (didoakan) bersama-sama dengan Bapa Kami dan Ave Maria pada permulaan dan akhir ibadah.
Athanasianum (pengakuan iman Athanasius) berasal dari sebelah barat. Ia mulai dengan kata-kata Latin “Quicumque”, karna itu kadang-kadang  disebut juga demikian. Sampai sekarang tidak tahu dengan pasti siapa yang menyusun Athanasianum ini, tetapi memakai kata Anthanasius, tetapi  telah terang , bahwa bukan bapak gereja yang menyusunnya. Ia ditulis dalam bahasa Latin. Isinya adalah suatu uraian tentang dogma Trinitas dan Kristologia. Teologis ini bersandar pada ajaran Ambrosius dan Agustinus. Nyanyian-nyanyian ibadah, yang dipakai dalam abad-abad pertengahan umumnya sama saja dengan nyanyian-nyaian yang dipakai dalam abad-abad yang mendahuluinya.
a.       Kyrie eleison (Tuhan kasihanilah). Disebalah barat nyanyian ini telah dirobah oleh Gregorius besar menjadi Christe eleison.
b.      Sanctus (Kudus, kudus, kudus). Nyanyian ini adalah nyanyian jemaat, baik di Timur dan di Barat.
c.       Haleluya (Pujilah Tuhan). Dalam abad-abad pertengahan Haleluya banyak sekali digunakan. Terutama dalam liturgi-liturgi missa.
d.      Nyanyian perjamuan (Communio). Nyanyian ini dinyanyikan oleh paduan suara, sebagai Anthipon dengan mazmur selama kommuni (perjamuan).
e.       Introitus (Nyanyian Masuk). Nyanyian ini terdiri dari tiga bagian yaitu, Antiphon, mazmur, dan Gloria kecil, ini dinyanyikan berseling-seling oleh cantor (penyanyi) dan koor (paduan suara).
f.       Gradual (Responsorium). Yang  sudah dinyanyikan sesudah pembacaan Injil.
g.      Traktus. (Yang dinyanyikan dalam satu tarikan) yang artinya dinyanyian terus menerus sampai selesai.
h.      Nyanyian korban (Offertorium). Di gereja barat nyanyian ini dipakai untuk mengiringi perembahan korban (Yang dibawa ke mezbah oleh para klerus dan anggota-anggota jemaat).
i.        Glori in excelsis Deo (Hormat bagi Allah ditempat yang maha tinggi, Luk 2:14). Dinyanyikan dalam semua missa, kecuali dalam missa untuk orang-orang mati dan pada waktu Advent dan waktu puasa.
j.        Agnus Dei (Anak domba Allah). Nyanyian ini adalah nyanyian perjamuan yang sebenarnya. Nyanyian ini dinyanyikan (oleh koor) pada perpecahan roti berlangsung.[13]


2.2.5.      Waktu Ibadah
Dalam abad-abad pertengahan jumlah ibadah semakin bertambah besar,  sama seperti abad-abad yang lalu yang di manajemaat selalu berkumpul pada:
a.       Hari Minggu (hari Tuhan), hari raya paskah, hari raya kenaikan Tuhan Yesus dan hari raya Pentakosta. Hari raya ini berlangsung seperti biasa.
b.      Demikian pula persiapan (puasa) untuk hari raya Paskah. Hanya harus ditambahkan disini, bahwa selama waktu puasa dilarang melakukan perayaan perjamuan malam (eucharistia). Synode Laodikea kurang lebih tahun 360 memutuskan (dalam kanon 49), bahwa selama waktu quadragesima tidak boleh dipersembahkan roti, kecuali pada hari sabtu dan minggu. Paus Innocentius I (402-417) menulis kepada Dicentius, bahwa rasul-rasul berpuasa pada hari antara Jumat Agung dan Paskah, karena pada hari itu tidak boleh dijalani sakramen. Larangan ini tetap ditaati orang dalam abad-abad berikut.
c.       Hari raya natal. Dalam abad-abad ini hari raya natal ini telah menurun dirayakan pada tanggal 25 Desember.
d.      Advent. Ibadah ini tidak selamanya sama dirayakan orang. Ada jemaat yang merayakannya hanya satu minggu (Jerusalem, dengan pembacaan Mat 1:1-17), ada juga yang dua minggu (Suria, terutama ritus Jakob, dengan khotbah tentang puji-pujian Zakaria dan Maria), ada yang tiga minggu (Antiokia, ritus Jakob), ada yang empat minggu (Mesir, Rum), ada yang enam minggu (Liturgia Milano dan Mozarabia), malahan ada juga yang tujuh mingg (ritus Armenia). Semuanya ini adalah usaha dari jemaat untuk mempersiapkan perayaan natal dengan suatu waktu puasa, seperti yang dibuatnya dengan perayaan paskah.[14]

2.3. Teologi Pada Abad Pertengahan
Pada zaman Gereja Lama orang-orang Yunani dan Romawi yang telah masuk kristen, mempergunakan pengetahuan dan filsafatnya untuk membela iman kristen terhadap segala serangan dari pihak kafir dan untuk melawan segala pandangan sesat dari sekta-sekta. Oleh karena itu teologia zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri. Lain sekali dengan keadaan pada zaman abad-abad pertengahan, yang di manabangsa-bangsa muda di Eropa barat dan Utara menerima segala ajaran teologia yang diwarisi mereka dari Gereja lama. Tetapi seiringnya waktu para kaum pelajar juga mulai menuntut ilmu thologia juga. Akan tetapi hal ini terjadi di sekolah-sekolah tinggi, yang timbul kira-kira pada tahun 1000, dan yang kurang berhubungan dengan hidup jemaat biasa. Teologia abad-abad pertengahan ini, yang diusahakan disekolah-sekolah tinggi atau universitas itu biasanya dinamai dengan nama “skolastik”. maksud skolastik  tidak lain daripada memikirkan kembali isi teologia yang telah diwarisi sejak dahulu. Ahli-ahli skolastik berkeyakinan bahwa segala ajaran Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia. Sebab itu mereka berusaha, untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia.[15]
2.4.Tokoh-tokoh Abad Pertengahan
Berikut adalah tokoh-tokoh pada abad pertengahan yang menggunakan ilmu teologia pada masa itu:
1.      Anselmus (1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Caterbury (di Inggris), adalah ahli teologia yang kenamaan yang harus disebut pertama-tama. Semboyannya adalah: aku percaya supaya aku mengerti. Ia mulai percaya kepada segala pernyataan Tuhan yang diajarkan oleh Gereja, tetapi sesudah ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal kepercayaannya itu, sehingga diakui selaku kebenaranya oleh otak manusia. Umpanya, diusahakannya memberi bukti tentang adanya Allah. Uraiannya begini: Allah dapat dipikirkan oleh manusia sebagai zat yang termula dan yang terindah. Kalau begitu, tentulah Allah harus ada, sebab apabila Allah hanya dapat dipikirkan saja, tetapi bukan benar-benar ada, maka ia bukanlah zat yang termulia dan terindah.[16]
Karya Anselmus yang paling ambisius adalah Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia) yang ditulis pada tahun 1090-an. Anselmus menjawab bahwa memang mutlak perlu Allah menjadi manusia dan mati demi menyelamatkan kita. Tidak mungkin Ia begitu saja mengampuni dosa kita tanpa penebusan untuk memulihkan kehormatan-Nya yang telah hilang. Walaupun umat manusia berutang dan wajib membayar tebusan itu, namun hanya Allah yang cukup mampu untuk dapat melunasinya. Oleh sebab itu, Allah harus menjadi manusia, agar sebagai manusia ia menawarkan penebusan itu melalui kematian-Nya.
Dalam tulisannya, sasaran Anselmus adalah menunjukkan betapa iman masuk akal, dan bukan untuk menyajikan bukti yang tuntas. Keberatan-keberatan orang tak percaya dapat dijawab, sehingga orang tak percaya diarahkan pada kebenaran pesan Kristen.[17]
2.      Abelardus. Ahli skolastik kedua yang terkena ialah Petrus Abelardus (1079-1142). Pada pendapatnya, persuasaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya. Semboyannya ialah: Lebih dulu aku harus mengerti, barulah aku percaya. Dalam kitabnya “Ya dam Tidak” ia mempertentangkan dan memperbandingkan bermacam-macam ajaran tradisi resmi Gereja, yang berlawanan satu sama kain. Bukan maksudnya menerbitkan syak terhadap-terhadap pasal-pasal kepercayaan Gereja, tujuanya tidak lain dari pada menyusuaikan segala perkara yang rupa-rupanya tak bercocokan, supaya akal budi dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh, akan tetapi dengan jalan ini akal budi menjadi kaidah yang tertinggi untuk mengukur dan menilai iman. Oleh sebab itu Abelardus dilawan keras oleh Bernhard dari Clairvaux yang memang kuatir kalau kuasa rohani Gereja dirugikan dengan metode skolastik yang sangat bersifat kritis itu. Akhirnya Albelardus terpaksa takluk kepada lawan-lawannya.[18]


3.      Thomas dari Aquino. Teolog terbesar abad pertengahan, Thomas Aquino, dilahirkan pada tahun 1225 dalam keluarga bangsawan yang kaya. Menjelang usia 5 tahun ia terkenal akan kesalehannya, dan orang tuanya pun mengirim dia ke sekolah biara. Pada usia 14 tahun, ia pergi ke universtas Neples. Di sana Thomas begitu terkesan dengan guru Dominikannya. Ia memutuskan untuk menjadi seorang biarawan Dominikan juga.[19]
Thomaslah yang menyusun sistem teologi skolastik yang paling digemari dan dalam Gereja Katolik Roma ia merupakan teologi yang teladan sampai abad ini. Karya utamanya ialah buku yang berjudul Summa Theologiae (Ikhtisar seluruh teologi). Untuk menampung ajaran-ajaran filsafat, ia mengunakan bahan yang telah digambarkan dalam bab terdahulu, yakni kodrati dan adikdrati. Menurut Thomas, apa yang telah diajarkan para filsuf memang benar  tetapi hanya merupakan kebenaran tingkat bawah atau kodrati. Dari dalam Alkitab kita memperoleh ajaran lain yang lebih tinggi yang bersifat adikridati. Jadi sam seperti manusia dari dirinya sendiri hanya dapat menghasilkan kebaikan kodrati, begitu pula dengan menggunakan akal budi nya sendiri yang hanya dapat memperoleh pengetahuan kodrati. Dan sebagaimana Allah memberi manusia kekuatan dari atas sehingga menghasilkan  perbuatan-perbuatan adikodrati, begitu juga berkat pernyataan Allah dalam alkitab manusia memperoleh pengetahuan adikodrati. Contohnya: para filsuf mengaku keesaan Allah, hal itu merupakan pengetahuan yang kodrati. Akan tetapi orang-orang kristen mengaku Allah Tritunggal, itu merupakan pengetahuan yang adikodrati. Dengan menggunakan bahan ini, Thomas dan pengikut-pengikutnya dapat menampung hasil pemikiran-pemikiran filsafat Yunani-Romawi. Karena itu teologinya bersifat ilmiah dan dapat memuaskan selera para cendekiawan pada zaman itu.[20]
4.      Duns Scotus. Tidak lama kemudia timbullah kritik terhadap teologia Thomas dari sudut lawan-lawan ordo Domican, yakni golongan Franciskan. Wakilanya yang terutama adalah orang Inggris yang bernama Joh. Duns Scotus (1265-1308) di Oxford. Ia mengerti bahwa tidak mungkin pernyataan akal budi disesuaikan satu sama lain, yang di manapada perasaanya, perbuatan-perbuatan dan peraturan-peraturan Allah yang diberitakan oleh Alkitab dan Gereja, sama sekali tidak dapat dibuktikan, sehingga dapat dipahami oleh akal budi. Jangan diharap akal budi itu dapat dipaksa untuk mengaku kebenaran pasal-pasal Gereja. Karena Allah ialah Mahakehendak yang mengatur segala sesuatu menurut kehendaknya. Apa sebabnya Allah menyelamatkan manusia dengan mengirimkan anaknya kedunia ini? Sebab ia mengkehndakinya! Sebab yang lain tidak ada. Apabila Tuhan ingin menyelamatkan dunia ini dengan jalan yang lain sekali, sudah tentu ia bisa berkuasa berbuat demikian, tetapi Tuhan tidak ingin memakai jalan lain. Apa sebabnya Yesus disengsarakan dan dibuuh pada kayu salib? Tidak mungkin manusia akan dapat memahami itu dengan pikiranya. Cukuplah baginya kalau ia percaya sunguh-sungguh bahwa salib itu satu-satunya jalan keselamatan dan ditentukan dan dimaksudkan Tuhan dalam hikmatnya yang mengatasi segala hikmat manusia.
Dengan demikian banyak bukti-bukti yang dipakai akal budi untuk mengerti sesuatu, dibuang saja oleh Duns Scotus. Ia menunjuk kepada suatu dasar lain bagi pernyataan Tuhan, suatu yang lebih teguh, yakni kuasa rohani Gereja. Jangan hendaknya manusia berkecil hati bahwa akalnya tidak sampai kepada segala perkara ajaib itu. Biarlah ia menerima dan percaya saja apa yang telah diajarkan kepadanya oleh Gereja, karena Gerejalah yang dikaruniakan Tuhan dengan hikmat rohani. Sampai kini Duns lah yang dianggap orang Fransciscan sebagai ahli teologia yang terbesar. Pada umumnya Gereja Roma lebih menghormati Thomas, tetapi disamping Thomas mereka juga perlu Duns juga, sebab dialah yang menekankan kuasa Gereja yang tergantung pada pengertian akal budi
5.      Occam. Ialah ahli skolastik yang ternama yang penghabisan, ia adalah rahib Franciscan Inggris, William dari Occam (1280-1349). Ia melangkah lebih jauh lagi. Gedung sccholastik yang permai itu, yang diciptakan oleh Thomas, telah mulai goyang karena kencaman Duns Scotus, tetapi sekarang seluruh dasar akal budi itu dibongkar oleh Occam. Bukan saja akal manusia tak dapat mengerti pernyataan Tuhan, tetapi Gereja pun deserang dengan akal budi yang sangat hebat, karena akal budi tidak dapat memasuki dunia Allah. Sebab itu manusia hanya dapat menggantungkan kepercayaanya kepada kehendak Tuhan saja, yang telah dinyatakan oleh-Nya, tetapi sekali-sekali tak terpahami. Semboyan Occam berbunyi: Aku percaya sebab mustahhil!. Akan tetapi Occam mengajar juga dalam beberapa hal sesuai yang benar-benar dari Alkitab, misalnya: iman itu bukan mistik dan bukan pengakuan otak pula, karena iman bukan sesuai dengan tabiat manusia, iman tidak lain dari taatnya dan takluknya manusia kepada kuasa Firman Tuhan yang kedengaran dari dalam Alkitab.[21]
6.      Innocentius III
Innocentius III adalah salah seorang paus pada abad pertengahan yang berhasil melepaskan gereja dari kekuasaan dan pengawasan pemerintah duniawi (negara). Namanya yang asli adalah Lotario dei Conti di Segni. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan di Italia. Innocentius III belajar teologi skolastik di universitas Paris di bawah bimbingan Petrus dari Corbeil. Kemudian ia belajar ilmu hukum dan hukum Kanon pada universitas Bologna di bawah bimbingan Ugeccio dari Ferrara. Setelah selesai pendidikannya di Bologna, ia kembali ke Roma dan segera menempati kedudukan yang penting dalam kepausan di Roma. Pada tahun 1198 Paus Celestinus IV meninggal dunia dan Lotari terpilih menjadi paus. Lotario memang yang sangat cakap sekali dan berambisi menjadi pemimpin, bukan saja dalam gereja, melainkan juga atas seluruh dunia. Ia menyebut dirinya “Wakil Kristus”. Kristus bukan saja menyerahkan kuasa-Nya atas gereja kepada Petrus, melainkan kekuasaan atas seluruh dunia. Oleh karena itu raja-raja harus taat pada paus. Raja dapat memerintah dengan benar bila raja melayani gereja. Puncak karya kepausannya adalah pemanggilan Konsili Lateran IV tahun 1215.[22]




2.5  Dogma Gereja Katolik Roma Pada Abad Pertengahan
1.      Sakramen
Sakramen diambil dari bahasa Latin scramentum, yang berarti “sumpah”. Istilah sakramen digunakan untuk upacara keagaman kristen. Terjemahan Alkitab Latin  (Vulgata), menerjemahkan kata Yunani mysterion dengan sacramentum yaitu baptisan dan perjamuan kudus menjadi sakramen yang dimaksud. Oleh Gereja Abad Pertengahan ditambahkan upacara keagamaan lain pada pengertian sakramen itu.[23] Jumlah sakramen pun telah bertambah menjadi tujuh buah. Dengan sakramen-sakramen ini Gereja membimbing manusia dari kecil sampai ke kuburnya. Menurut ajaran Gereja Roma, rahmat dan keselamatan hanya boleh disambut manusia dengan menerima sakramen. Sakramen itu merupakan saluran-saluran yang kedalamnya dicurahkan zat rahmat dari atas, untuk memasuki, memenuhi, menyucikan dan menyelamatkan manusia lahiriah-batiniah. Adapun ketujuh sakramen tersebut antara lain adalah:
1.      Perjamuan (misa, sakramen maha kudus, sakramen altar, ekaristi). Berdasarkan dogma transubstansiasi, roti yang telah ditahbiskanitu dipuja oleh jemaat selaku Tuhan sendiri.roti suci itu bernama hostia. Sesudah misa, hostia disimpan dalam “rumah sakramen”, yang terdapat di atas atau di sebelah mezbah. Itulah sebabnya orang katolik roma membuka topi waktu melalui sebuah gedung gereja,dan bertelut ketika mereka masuk gerejadan lagi tiap kali mereka melaui mezbah. Adakalanya diadakan “prosesi (perarakan) sakramen”, yaitu hostia diarak-arakkan keliling kota dalam suatu tempat yang elok, yang dibawa oleh seorang imam, yang berjalan di bawah sebuah payung kehormatan.
2.baptisan. Baptisan merupakan tanda dan materai pembasuhan serta pengampunan dosa oleh darah kristus, pembaruan oleh roh, serta penyucian menjadi anggota kristus. Melalui baptisan orang percaya dipindahkan ke dalam persekutuan dengan Kristus yang dimuliakan, dan mereka akan diperkenankan menempuh jalan baru, yaitu hidup menurut Roh, yang dikaruniakan juga kepada mereka.[24]                               3.konfirmasi (sakramen penguatan). Sakramen ini menyusul dan berdasar padakis 8:14-17. Maksudnya ialah menguatkan iman dan mengaruniakan roh kudus. Konfirmasi itu dilakukan dengan membuat tanda salib pada dahi dengan minyak suci dan dengan meletakkan tangan pada orang yang menyambutnya. Hanya seorang uskup yang boleh melaksanakan it. Dalam jemaat katolik roma anak-anak menerima konfirmasi ketika umurnya genap tujuh tahun.
4. pengakuan dosa. Sakramen itu terbagi atas tiga bagian: 1. Penyesalan batin yang sungguh; 2. Pengakuan dosa dengan mulut di hadapan imam yang memberi absolsi (kelepasan dari dosa) atas nama Tuhan. Karena ia mendapat “ kuasa anak kunci” itu dari tangan Tuhan itu sendiri menurut mat 16:19;  3.penebusan dosa dengan amal atau penintensia. Dengan sakramen ini imam dapat memelihara dan menguasai jemaat dengan baik sekali
5.perminyakan (sakramen orang sakit) berdasar pada suatu kebiasaandalam jemaat yang mula-mula, yaitu orang sakit didoakan dan diurapi oleh ketua-ketua (yak 5:14). Kemudian pengurapan ini menjadi sakramen resmi. Imam melakukan sakramen ini kepada orang sakit yang akn meninggal, dengan membubuh minyak suci pada mata, telinga, hidung, mulut, tangan dan kakinya. Diberi [diberi pula perjamuan penghabisan kepada si sakit itu sebagai bekal untuk perjalanannya menjelang hidup yang baka.
6. perkawinan. Kaum awam boleh kawin, sebab bagi mereka berlaku syarat-syarat kebajikan yang lebih ringan. Tetapi dalam pada itu nika, yang termasuk hidup kodrati (alamiah), perlu dipertinggi derajatnya dan dikuduskan oleh rahmat dan berkat Tuha, yang dikaruniakan kepada suami istri dengan perantaraan gereja dengan sakramen nikah yang kudus. Oleh karena itu nikah yang ditahbiskan oleh imamlah yang diakui oleh gereja roma. Nikah resmi dihadapan pegawai pemerintah tidak dipandang nikah yang disahkan oleh Tuhan, meskipun anggota-anggota gereja harus menurut undang-undang negeri juga. Kesimpulan ajaran ini ialah bahwa nikah yang ditahbiskan oleh gereja tak boleh diceritakan lagi, kecuali dalam hal istimewa sekali dengan izin paus.
7. tahbisan imam. Segala sakramen tadi disampaikan kepada jemaat dengan tangan imam, karena dialah yang disanggupi untuk jabatan suci itu dengan suatu tahbisan istimewa. Oleh tahbisan itu ia menjadi satu-satunya pengantara, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyampaikan rahmatNya kepada manusia. Sebab itu sakramen tahbisan imam menjadi batu alas seluruh bangunan gereja roma. Sekali imam tetap imam, walaupun ia murtad atau masuk sekta atau dipecat.[25]
Ketujuh acara itulah yang diakui sebagai sakramen sejak abad ke-12, yang dipertahankan Gereja Katolik Roma sampai sekarang.[26]
1.      Transubstansiasi
Pada akhir abad ke-11, Berengar dari Tour tampil menonjol sebagai orang yang tidak bisa diam. Ia ingin mendapatkan kejelasan mengenai apa yang terjadi ketika imam memecahkan roti dan mengambil anggur dan mengatakan apa yang Yesus ucapkan dalam Perjamuan Terakhir, “Inilah tubuh-Ku” dan “Inilah darah-Ku”. Oleh karena biasanya roti akan berubah tampilannya pada saat berjamur, tetapi tetap sebagai roti secara substansial, dalam hal roti untuk perjamuan tampilannya akan tetap sama, tetapi dalam hal substansi roti itu secara harafiah berubah menjadi Tubuh Kristus.[27] Dalam ajarannya mengenai transsubstantiatio, Thomas menegaskan perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah Kristus sesudah konsekrasi. Dengan perubahan itu, hakikat atau esensi roti dan anggur tidak ada lagi. Hakikat roti dan anggur itu sudah diubah menjadi hakikat tubuh dan darah Kristus oleh daya kuasa Allah sendiri. Kristuslah yang menggubah substansi (dalam arti hakikat) roti dan anggur itu menjadi hakikat tubuh dan darah Kristus.[28] Melalui Konsili Lateran keempat (1215) yang dipimpin oleh Innocentius III, doktrin “transubtansiasi” dengan resmi menjadi bagian dari gereja[29]
2.      Api penyucian
Api penyucian merupakan tempat di antara surga dan neraka, di mana orang yang tidak cukup jahat untuk dibuang ke neraka, tetapi yang belum cukup suci untuk langsung masuk sorga. “Api penyucian” ini lah yang sangat ditakuti orang banyak pada saat itu. Mereka melaksanakan latihan yang diperintahkan oleh iman kepada mereka, seperti berpuasa, sekian kali mengangkat doa “Bapa Kami” atau “Ave Maria”.[30]
3.      Relikwi-relikwi
Karena belum tentu usaha-usaha itu di atas akan mencukupi maka diharapkan pengantaraan orang-orang santo, terutama Maria. Mereka dianggap berjasa terhadap Tuhan dalam hal perbuatan-perbuatan amal mereka, yang melebihi jumlah perbuatan yang perlu untuk masuk surga. Beragam-ragam benda peninggalannya dipuja, misalnya tulang, rambut, pakaian dan lain-lain. Relikwi-relikwi ini dianggap mengandung khasiat anugerah yang istimewa. Jemaat juga percaya akan bermacam-macam mujizat, yang diadakan oleh Maria dan orang-orang santo.[31]
4.      Penghapusan siksa / Indulgensia
Indulgensia timbul dari praktek pengakuan dosa. Gereja mulai mengajarkan bahwa indulgensia itu bukan saja menghapuskan hukuman Gereja yang harus ditanggung dalam hidup ini, tetapi juga meniadakan siksa-siksa yang harus diderita dalam api penyucian. Praktek indulgensia Gereja Roma lebih meluas lagi, ketika penghapusan itu bukan saja boleh didapat berdasarkan amalan manusia, ketika kemudian dijual, boleh dibeli dengan uang.[32]




III.             Kesimpulan
Pada abad pertengahan yang dimulai dari tahun 590-1517 Gereja Katolik Roma mengenal dua liturgi dalam ibadah yaitu Liturgi Roma dan Liturgi Gallia. Liturgi Galia berkembang ke daerah barat sementara penyebaran Liturgi Roma mulai dari timur menuju ke arah Italia Utara. Pada masa ini muncul pula teologi skolastik yang memiliki tokoh terkemuka yaitu Thomas dari Aquino (1225-1274). Gereja Katolik Roma pada masa ini memiliki tujuh sakramen yang menyalurkan anugerah Allah kepada orang kristen. Ketujuh sakramen itu menurut urutannya ialah: baptisan, konfirmasi (peneguhan), pengakuan dosa, misa atau ekaristi, perminyakan, nikah dan penahbisan imam. Paham transubstansiasi (perubahan hakikat) pada anggur dan roti yang dipakai pada sakramen ekaristi merupakan ajaran yang menarik dan pada Konsili Lateran keempat (1215) yang dipimpin oleh Paus Innocentius III disahkan menjadi ajaran gereja. Abad pertengahan menjadi di kenal dengan abad kegelapan gereja, karena pada masa ini banyak penyimpangan yang menyimpang dari ajaran gereja mula-mula, dan yang paling disoroti adalah pengomersialan surat penghapusan siksa.


Daftar Pustaka
Abineno, J.L.CH..,  Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertengahan, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1996)
Berkhof, H., Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)
Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015)
De Jong, C., Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
End Den, Thomas Van, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)
Enklaar, H., Pembaptisan Masal & Pemisahan Sakramen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003)
Evans, G. R.,  Sejarah Singkat Bidah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
E., Culver, Jonathan.,  Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013)
Kenneth, Curtis, dkk., 100 peristiwa penting dalam sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013)
Lane, Tony, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015)
Martasudjita, E., Ekaristi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)
Rachman, Rasid., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)
Wellem, F.D.,  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003)


[1] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK GM, 2010), 78-79
[2] C. De Jong, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 60-64
[3] Ibid, 58
[4]Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK GM, 2010), 110-111
[5] Ibid,114
[6] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertengahan, 58
[7] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 115
[8] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertengahan, 59
[9] Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 79-94
[10] Rasid, Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 104, 127
[11]  Rasid, Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 122-127
[12] Jonathan, E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), 190-191
[13] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertengahan, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1996), 45-50

[14] Ibid, 60
[15] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 101-102
[16] Ibid, 102
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 90-91
[18] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 103-104
[19] Curtis, A., Kenneth, dkk., 100 peristiwa penting dalam sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 63
[20] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 130-131
[21]  H. Berkhof, Sejarah Gereja, 106-107
[22] F.D., Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 106
[23] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 394
[24]  I. H. Enklaar, Pembaptisan Masal & Pemisahan Sakramen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003) 5-2-16
[25] H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 111-113
[26]  Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 134
[27] G.R., Evans, Sejarah Singkat Bidah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 75
[28] E., Martasudjita, Ekaristi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 265
[29] A., Kenneth, Curtis, 100 Peristiwa penting dalam sejarah Kristen, 62
[30]  Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 135
[31]  Ibid, 136
[32] H., Berkhof, Sejarah Gereja, 116-117

Share:

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS