Kesadaran Yesus Sebagai Mesias dan Refleksinya dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat


Kesadaran Yesus Sebagai Mesias dan Refleksinya dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat
I.                   Pendahuluan
Pertanyaan mengenai siapa Yesus baik yang menyangkut mengenai kemanuisaan dan keilahian-Nya merupakan pertanyaan yang paling sering mengalami perdebatan. Begitu banyak gelar-gelar yang dikenakan kepada-Nya. Pada sajian kali ini kita akan membahas gelar Yesus sebagai Mesias yang populer pada zaman Yesus. Gelar ini terkait kepada pengharapan masyarakat Yahudi akan kedatangan seorang raja, pembebas yang akan memerintah mereka. Semoga pembahasan kali mampu memberikan pemahaman kepada kita akan arti dan makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dan dapat merefleksikannya bagi kehidupan kita.
II.                Pembahasan
2.1.    Pengertian Mesias
Kata Mesias dari bahasa Aram “mesyiha”, yaitu dialek dari bahasa Ibrani Masyiah yang berarti “yang diurapi”. Kata dalam Aram mesyiha  sama dengan bahasa Ibrani hamasyiah, yang dua-duanya diterjemahkan dalam Septuaginta dengan ho kristos. Pada awalnya kata ini menunjuk pada raja yang sedang berkuasa di Kerajaan Israel Raya, terutama yang berasal dari dinasti Daud. Kemudian hari istilah ini digunakan untuk Raja Keselamatan yang akan datang sebagai pengharapan bangsa Israel, yang sering dikumandangkan oleh para nabi. Raja yang dinanti-nantikan tersebut diberitakan dan dinubuatkan sebagai raja keturunan Daud, yang telah dikumandangkan oleh Nabi Natan dalam 2 Samuel 7:7-14.[1]
2.2.    Pengharapan Akan Mesias[2]
Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab-kitab nabi-nabi, banyak disebutkan tentang masa depan kemesiasan yang akan datang yang menawarkan masa depan yang cerah bagi umat Allah (Bnd. Yes 26-29; 40 dst; Yeh.40-48; Dan 12, Yl. 2:28—3:21). Walaupun istilah Mesias itu tidak muncul secara tersendiri, ada bermacam-macam penggunaannya dalam rangkaian kata seperti Mesias Tuhan (yaitu yang diurapi Tuhan). Gagasan mengenai pengurapan seseorang muncul beberapa kali, terutama bagi raja-raja dan imam-imam (Im. 4:3, dst), juga nabi-nabi (1 Raj. 19:16) dan bapak-bapak leluhur Israel (Mzm 105:15) (bnd. 1 Sam.24:6 dst.; 26:9), dan bahkan bagi seorang raja kafir, yaitu Koresy (Yes. 45:1). Pengurapan yang menunjuk tugas khusus ini kemudian digunakan dalam hal yang lebih teknis, khususnya bagi seseorang yang dipilih Allah sebagai alat-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya. Perjanjian Lama mempersiapkan jalan bagi Mesias dan banyak perikop-perikop Perjanjian Lama mengenai Mesias itu dikutip dalam PB.
Pengharapan akan kedatangan Mesias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tetapi yang paling menonjol ialah gagasan mengenai Raja keturunan Daud, yang akan mendirikan kerajaan di dunia bagi umat Israel dan akan menghancurkan musuh-musuh Israel. Mesias akan merupakan tokoh politik, tetapi dengan kecendrungan ke arah agama. Konsep ini merupakan gabungan dari pengharapan bersifat nasional dan pengharapan rohani.
Gagasan tentang Mesias yang akan datang sudah tersebar luas di antara orang-orang Yahudi, tetapi asal usul dan watak dari Mesias yang akan datang itu tidak dimengerti dengan jelas. Dalam pemikiran bagaimana Yesus menggunakan istilah Mesias kita harus ingat bahwa Ia memperhatikan pengertian yang paling populer dari istilah itu. Sudah tentu pemikiran populer cenderung pada pengharapan akan kedatangan seorang pemimpin yang akan membebaskan orang-orang Yahudi dari beban tekanan Roma. Dengan mengingat gagasan populer tersebut, dapat dimengerti mengapa Yesus menghindari penggunaan istilah ini.
2.3.    Mesias dalam Injil Sinoptik
Dalam Injil Matius, makna Mesias dapat kita temukan dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya. Gambaran Mesias dalam Matius tidak jauh berbeda dengan Markus. Hampir semua teks yang membahas tentang Mesias diambil alih oleh Matius. Hanya saja (dalam Mrk. 15:32) “Mesias Raja Israel”, dalam Matius 27:42 kata Mesias dihilangkan dan hanya disebut “Raja Israel”.[3]
Dalam Injil Matius, kita dapat melihat makna Mesias itu dalam pengakuan Petrus (Mat. 16:13-20). Dalam pengakuan Petrus ini, pastilah Petrus salah mengerti hakikat peran Mesias, seperti yang terlihat ketika ia segera menegur Yesus yang menubuatkan kesengsaraan-Nya (Mat. 26:21, dst); tetapi hal ini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa ia telah melihat dalam diri Yesus sesuatu yang lebih dari Mesias manusia. Apa yang kita pelajari dari pengakuan itu mengenai kesadaran kemesiasan dari Yesus sendiri. Tentu saja Yesus menolak gagasan menjadi seorang Mesias politik. Ajaran Yesus tentang misi-Nya tidak dibuat dalam bentuk ini. Ia sengaja menjauhkan diri dari cara kekerasan dan menganjurkan pendekatan yang dengan jelas tidak akan diterima oleh golongan-golongan politik. Jadi dalam arti apa Yesus menganggap diri-Nya sebagai Mesias? Jawabannya terletak pada kesadaran-Nya bahwa Perjanjian Lama harus digenapi, yaitu kesadaran bahwa Dialah wakil Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dalam arti rohani dan bukan dalam arti nasional. Pastilah penekanan gelar Mesias pada hal politik yang membuat Yesus enggan untuk memakai gelar itu dan yang menyebabkan Dia menyuruh murid-murid-Nya diam (Mrk. 8:30). Yesus mengerti bahwa Petrus tidak hanya memberikan sekedar kesimpulan atau intuisi yang berasal dari manusia saja pada saat ia menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi juga pemberian Allah. Hal  ini merupakan suatu pengakuan yang jelas bahwa orang banyak tidak mengerti peran Mesias secara demikian, sehingga cukup dapat dibenarkan adanya perintah untuk tinggal diam.[4]
Perikop kedua yang akan dibahas berpusat pada pertanyaan Kayafas (Mat. 26:63 “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” dan  Mrk. 14:63 “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji”). Kayafas menghubungkan gagasan kemesiasan dengan gelar Anak Allah. Ada kemungkinan suatu laporan telah sampai kepada Kayafas bahwa beberapa orang telah membuat pernyataan mengenai Yesus yang menghubungkan kedua gelar itu. Dalam Injil Markus mengenai pertanyaan Kayafas ini berbunyi “Akulah Dia”, sedangkan dalam Matius berbunyi “Engkau telah mengatakannya”.[5]
Lukas menyaksikan kemesiasan Yesus berbeda dengan Matius dan Markus. Lukas menghubungkan gelar Mesias dengan nama diri Yesus yaitu Tuhan Yesus dan Yesus Kristus (Luk. 24:3; Kis. 2:38). Lukas menyaksikan kemesiasan Yesus sejak kelahiran-Nya, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11; Luk. 4:21; 13:23-33; 19:5-9; 23:43). Selain itu Lukas menampilkan keunikan Mesias sebagai seoang tokoh yang menderita dan mati sebagai orang benar (Luk. 23:4,14,15,22,47 dan Kis. 3:18). Sehingga dengan tegas Yesus berdoa di atas kayu salib “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat” (Luk. 23:34; bdk juga Kis. 7:59-60). Lukas memperjelas perbedaannya dengan Matius dan Markus, menderita sebagai orang benar bahkan rela memberi pengampunan kepada orang-orang yang membuatnya menderita merupakan keunikan Mesias dalam Lukas.[6]
2.4.    Mesias dalam Tulisan-tulisan Yohanes
Dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis dengan tegas menyangkal bahwa dialah Mesias (Yoh. 1:20). Kemudian terdapat keterangan yang menceritakan bahwa murid-murid Yesus yang pertama justru dengan pertemuan mereka dengan Yesus pada pertama kalinya, mereka bahwa mereka telah menemukan Mesias (Yoh. 1:41).[7]
Penggunaan gelar Mesias oleh perempuan Samaria (Yoh. 4:25) dapat dimengerti karena bagi orang-orang Samaria, gelar itu tidak akan menimbulkan salah pengertian ke arah politik. Orang-orang Samaria mempunyai pemikiran tentang pembaharu yang akan datang.  Istilah Mesias dipakai pada peristiwa lain ketika gelar itu diucapkan Andreas yang memberitahu Petrus, saudaranya, “Kami telah menemukan Mesias” (Yoh. 1:41). Segera sesudah itu Filipus memberitahu Natanael, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi (Yoh. 1:45). Hal ini menyatakan bahwa kemesiasan di antara para murid yang mula-mula ini dimengerti sesuai dengan latar belakang Perjanjian Lama. Pada pengakuan Marta (Yoh. 11:27), pada saat itu kemesiasan dihubungkan dengan gelar Anak Allah, suatu pandangan yang jauh dari konsep politik. Yohanes menunjuk bahwa Yesus sebagai terang menyinari kegelapan pikiran mereka (Yoh.12:35) yang berarti bahwa untuk percaya kepada Mesias yang menderita, seseorang memerlukan pengertian rohani. Penyajian Mesias tetap memainkan peran penting dalam kitab Injil Yohanes, walaupun konsep Yesus sebagai Anak Allah lebih banyak dibicarakan. Yesus adalah Mesias, bukan dalam arti pandangan umum pada waktu itu, tetapi dalam arti kesadaran rohani yang baru yang tidak dapat dimengerti terlepas dari kesadaran Yesus akan kedudukan-Nya sebagai Anak. Yohanes menegaskan bahwa menerima Yesus sebagai Mesias merupakan bagian hakiki dalam iman Kristen (1 Yoh. 5:1).[8]
2.5.    Mesias dalam Kisah Para Rasul
Kata-kata dalam Kisah Para Rasul 2:36 berarti bahwa sejak kematian dan kebangkitan Yesus, Allah telah mengagungkan Dia dan menyatakan Dia bukan hanya sekedar Mesias tetapi Mesias-Tuhan, yaitu Mesias yang dinobatkan. Dalam Kisah Para Rasul 4:26, terdapat ungkapan “Yang Diurapinya”. Orang ini segera dikenal sebagai “Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi”. Hal ini merupakan bagian dari kesadaran-Nya akan panggilan-Nya pada peran Mesias. Pada masa Kristen mula-mula, pengajaran dan pemberiataan dapat diringkaskan dengan tema pemberitaan “ Yesus yang adalah Mesias” (Kis. 5:42). Rasul-rasul menganggap ini sebagai misi mereka. Dalam khotbah Petrus kepada Kornelius ia menyebut Yesus Kristus sebagai Tuhan atas semua orang, juga menyebutkan pengurapan Allah atas Yesus dari Nazareth (Kis. 10:36, 38). Walaupun dalam bentuk gelar, nama di sini jelas meliputi ketuhanan maupun kemesiasan sebagai pengakuan iman (Kis. 24:24). Tema tentang Mesias terdapat dalam pernyataan Paulus di Tesalonika (Kis. 17:3), dan di Korintus (18:5). Hal yang sama dikatakan tentang pengajaran Apolos (Kis. 18:28).[9]
2.6.    Mesias dalam Surat Paulus
Dalam Roma 9:5 merupakan satu-satunya contoh yang memakai gelar khristos secara khusus dalam arti “Mesias”. Menurut Kisah Para Rasul, Paulus, segera setelah pertobatannya, tidak hanya mengaku bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi sungguh-sungguh membuktikannya pada orang-orang Yahudi di Damsyik. Pengenalan akan peran Mesias dalam diri Yesus dengan jelas memainkan peranan yang penting dalam pertobatannya. Paulus telah sampai pada pandangan Kristus (Mesias) dengan cara yang baru. Sebagai orang Yahudi, pasti ia memiliki pandangan yang sama dengan orang-orang sebangsanya mengenai kedatangan Mesias, yaitu pandangan yang kuat secara politik dan materialistik.[10] Keinginan Paulus yang terbesar ialah bahwa umat Allah akan menerima Mesias. Bagi Paulus, kedatangan Mesias akan membawa orang Yahudi bersama dengan bangsa-bangsa dan menjadikan mereka “menjadi satu manusia baru di dalam iri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya di dalam satu tubuh dengan Allah oleh salib.....”(Ef. 2:15-16).[11]
2.7.    Kesadaran Yesus sebagai Mesias[12]
Ada beberapa peristiwa penting di mana orang lain menyebut Yesus “Mesias”, dan kelihatannya Yesus menerima saja sebutan ini :
1.      Ketika Petrus akhirnya menyadari kebenaran pernyataan Yesus mengenai diri-Nya sendiri, dan berkata kepada-Nya, “Engkau adalah Mesias” (Mat. 16:16-17), Yesus menjawab bahwa Petrus “berbahagia” sebab bukan manusia yang menyatakan hal itu kepadanya, melainkan Bapa di Sorga.
2.      Waktu diadili di hadapan para pemimpin Yahudi, Yesus mengakui bahwa Dialah Mesias (Mrk. 14:61-62).
3.      Yesus meneymbuhkan seseorang yang dirasuki oleh roh jahat (Mrk. 5:19).
4.      Ketika seorang pengemis Buta yang bernama Bartimeus berseru dan Menyapa Yesus (Mrk. 10:46-52).
Dari peristiwa di atas dapat tarik sebuah pemahaman mengenai kesadaran Yesus sebagai Mesias. Pertama, Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya Sang Mesias. Para penulis kitab Injil menulis cerita-cerita mereka berdasarkan iman mereka terhadap Yesus. Mereka percaya Yesus lah Mesias karena mereka hidp setelah peristiwa kebangkitan. Yesus dianggap cocok sebagai seseorang yang telah menggenapi janji-janji Allah yang dimuat dalam PL. Kedua, Yesus mengetahui, tetapi tidak pernah mengatakan, bahwa Dialah Mesias. Yesus enggan mengatakannya karena orang-orang sezaman-Nya mempunyai maksud yang berlainan bila berbicara tentang Mesias. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus, Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah (Mrk. 8:14-21; 9:30-32; 10:35-45). Jika Ia mengakui dan meyatakan terang-terangan bahwa diri-Nya Mesias, ini akan menimbulkan konfrontasi yang dini dari pihak penguasa Roma. Ia tidak memakai kata Mesias mengenai diri-Nya sendiri karena Ia mengetahui, para pendengar-Nya akan mengartikannya sebagai raja duniawi yang akan mendirikan suatu negara baru. Jelas Yesus tidak bermaksud menjadi “Mesias” seperti itu. Ia dengan tegas menolak pandangan tersebut sewaktu Ia dicobai. Seluruh pelayanan-Nya dituangkan dalam suatu rangka yang akan meyembunyikan pernyataan diri-Nya sebagai Mesias dari orang yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan maksud-Nya; namun bagi yang benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang sejati akan terungkap.
2.8.    Kesimpulan
Yesus merupakan penggenapan dari pengharapan akan Mesias yang dinubuatkan dalam kitab-kitab dalam PL. Memang timbul pemahaman yang berbeda mengenai arti dan makna Mesias dalam tradisi Pl dalam umat Yahudi dengan arti dan makna Mesias yang ingin Yesus nyatakan dalam diri-Nya. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus, Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah. Ini menyebabkan Yesus enggan untuk menyatakan diri-Nya sebagai Mesias secara eksplisit. Namun Yesus sadar akan diri-Nya sebagai Yesus. Yesus menyembunyikan identitasnya untuk menghindari konfrontasi dan meyembunyikan pernyataan diri-Nya sebagai Mesias dari orang yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan maksud-Nya; namun bagi yang benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang sejati akan terungkap.
2.9.    Refleksi Arti dan Makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dalam Kehidupan Beregreja
Ada beberapa arti dan makna yang dapat kita teladani dari kesadaran Yesus sebagai Mesias. Pertama, Kehadiran Yesus di dunia sebagai Mesias bukan sebagai pemimpin dalam arti politis ataupun duniawi, namun kehadiran-Nya di dunia merupakan sebagai pemimpin yang melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah. Yesus memberikan seluruh hidup-Nya sebagai tebusan semua orang, agar semua orang yang ditebus di dalam nama-Nya kembali kepada Allah satu-satunya sumber keselamatan. Sama halnya dengan gereja sebagai bentuk manifestasi dari kehadiran Yesus harus menunjukkan sikap yang melayani dengan rendah hati dan penuh ketaatan kepada Allah, gereja harus dapat memberikan pemahaman dan pengenalan yang benar mengenai Yesus sebagai Mesias yang menyelamatkan umat manusia.
Kedua, sikap yang perlu diteladani dari kesadaran Yesus sebagai Mesias adalah sikap Yesus yang menyembunyikan identitas-Nya untuk menghindarkan orang dari pemahaman yang salah yang menimbulkan konfrontasi. Namun Ia menunjukkannya melalui mujizat dan pengorbanan-Nya di kayu salib, sehingga semua ornag percaya bahwa Dialah Mesias, Sang Juruselamat. Sebagai umat Kristen, kita jangan hanya menjadi Kristen KTP. Identitas kita saja yang Kristen namun sikap dan tindakan kita tidak mencerminkan sikap Yesus Kristus. Maka dara itu sikap kita pun harus mencerminkan sikap selayaknya Umat Kristen, agar masyarakat dapat melihat karya Yesus dalam diri kita dan mereka ikut percaya dan mau mengenal Yesus melalui diri kita. Biarlah orang mengenal pohonnya melalui buahnya.   
III.             Daftar Pustaka
Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005
Drewes, B.F.,  Satu Injil Tiga Pekabar, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018
Siahaan, S.M., Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008
Ucko, Hans, Akar Bersama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001

Sumber lain :
Sinta.ukdw.ac.id diakses tanggal 10 April 2019, pukul 19.00 WIB 



[1] S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 4. 
[2] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018), 266-268.
[3] B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012), 130. 
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 271-272.
[5] Ibid., 273.
[6] Sinta.ukdw.ac.id diakses tanggal 10 April 2019, pukul 19.00 WIB  
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 269.
[8] Ibid., 275-277.
[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 277-279.
[10] Ibid., 279-281.
[11] Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), 92. 
[12] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005), 77-80.
Share:

EKOTEOLOGI : Merawat Bumi


EKOTEOLOGI : Merawat Bumi
I.                   Pendahuluan
Masalah-masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditimbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri  bahwa lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi kelangsungan mahkluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, hewan ,tumbuhan dan organisme lainnya yang memerlukan ruang untuk hidupnya. Dunia dan seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan. Ciptaannya itu diciptakan amat baik. Tetapi akhirnya manusia jatuh ke dalam dosa. Akibat dari dosa yang dilakukan oleh manusia tidak hanya merusak citra dirinya, tetapi juga ciptaan lainnya.Sebelumnya manusia telah diberikan mandat oleh Allah untuk merawat dan mengusahakan bumi. Manusia mendapatkan mandat dari Allah untuk mengelola dunia yang diciptakan Nya. Mandat itu memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan perubahan dan menciptakan inovasi-inovasi di dalam kehidupannya yang dapat mengembangkan dunia ini dan membutuhi apa yang ia butuhkan dalam kehidupan nya.
Manusia semakin lama menciptakan segala inovasi dan menerjemahkan idenya ke dalam berbagai produk dan karya. Inovasi yang manusia ciptakan itu diharapkan dapat membantu manusia dalam kehidupannya. Tetapi manusia tidak menyadari banyak hasil dari apa yang mereka ciptakan ternyata merusak alam, merusak ciptaan Tuhan. Kita dapat melihat kendaraan lalu lalang di sekitar kita yang memecah keheningan dan memproduksi secara besar-besaran polusi udara. Pabrik berdiri di mana-mana memproduksi polusi udara secara besar-besaran. Tuntutan produksi manusia yang mengharuskan manusia untuk melakukan pembakaran lahan dan penebangan pohon-pohon sehingga hutan semakin sempit. Di samping itu satu hal yang tidak pernah bisa terselesaikan dalam kehidupan manusia adalah banyaknya sampah. Akibat ulah manusia yang tidak mampu menata alam dengan baik, menganggap kalau alam itu sebagai tempat sampah, sehingga membuang sampah seenaknya saja. Tetapi akibatnya manusia juga yang merasakan, akibat dari sampah-sampah itu lingkungan menjadi kotor dan sering sekali terjadi kebanjiran.
Gereja hidup dan berkembang di dunia ini. Dengan kata lain gereja juga turut menjadi bagian dari pengerusakan lingkungan. Bisa jadi jemaat-jemaat gereja juga turut membuang sampah sembarangan, menebangi hutan dan lain sebagainya. Pola kehidupan gereja juga turut merusak alam, saat itu orientasi perkembangan gereja di beberapa gereja dilihat dari segi fisik, yaitu bangunan gedung gereja. Beberapa gereja berlomba-lomba membangun fisik gereja secara besar-besaran. Tindakan ini juga turut merusak alam, mengapa? Untuk membangun sebuah gereja diperlukan lahan yang luas, bahan bangunan dari papan yang sudah jelas kita tahu terbuat dari pohon, berarti semakin lama pohon akan semakin banyak ditebangi. Dalam pembangunan sebuah gereja pun membutuhkan batu dan pasir sebagai fondasi dan tembok. Pasir dan batu diambil dari alam sehingga lagi-lagi alam dikikis.
Gereja juga hidup di tengah-tengah realitas zaman di tengah kecanggihan teknologi. Gereja tidak jarang harus menyesuaikan diri dengan kecanggihan zaman. Penggunaan Air Conditioner (AC), Kendaraan Mewah di gereja juga turut dilakukan oleh gereja. Sehingga tidak salah jika dikatakan kalau gereja itu juga turut mengakibatkan kerusakan alam.
Apakah memang gereja demikian? Apakah gereja hadir di dunia ini merusak karya Allah? Apa penyebabnya gereja kurang memperhatikan pemeliharaan akan alam? Apa kata Alkitab sebagai pegangan orang percaya tentang lingkungan?
Di sisi lain, gereja sebagai umat Tuhan yang terpanggil untuk mengabarkan kabar keselamatan (Injil) dan terpanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia ini. Karena itu mau tidak mau, gereja harus menunjukkan sikap dan eksistensinya dalam dunia ini sebagai garam dan terang. Di tengah-tengah berkembangnya kegiatan manusia yang semakin merusak alam ciptaan, gereja tidak boleh ikut-ikutan. Sebab dunia ini adalah ciptaan Allah. Bagaimana sebenarnya pandangan Alkitab secara khusus dari perspektif PB melihat hal ini?
Dalam memperdalam judul kali ini yaitu EKOTEOLOGI , maka kami kelompok melihat secara khusus kepada teks Perjanjian Baru Kolose 1:15-23 yang akan disoroti dalam judul kali ini serta akan di kembangkan melalui perspektif  Teologi Perjanjian Baru I. Kiranya pembahasan ini menjadi edukasi bagi kita semua yang membacanya dan menjadi refleksi bagi gereja masa kini dan masa depan. Demi keadilan perdamaian dan keutuhan ciptaan.

II.                Pembahasan Terhadap
2.1.Resensi Terhadap Buku “Bab 4 ; EKOTEOLOGI”[1]
Kita tidak dapat melanjutkan kehidupan di muka bumi bila terus berlomba mengejar gaya hidup yang sudah nyaman dengan semua fasilitas modern dan canggih. Kecenderungan itu yang sering terjadi sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah orang Kristen tidak menyadari bahwa bumi ini secara perlahan sedang karam? Kulit bumi semakin tipis karena dikikis sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan mahkluk ciptaan Allah yang bernama Homo Sapiens yang tidak terbatas. Di sisi lain, sebagai orang Kristen, kalau kita kembali ke diri sendiri atau ke gereja, kita akan tercengang menyaksikan bahwa sejujurnya, focus dan pengajaran kita tidak banyak berpusat pada diri sendiri dan kenyamanan persekutuan dengan Allah yang bersifat Vertikal. Sebagai pribadi, sebagian kita banyak sibuk mengurus hubungan persekutuan dengan Allah dengan alas an menikmati bait-Nya, menghadirkan hadirat-Nya, memuji dan memuliakan Dia, dan seringkali lupa tugas lain untuk menyaksikan Dia dan menuaikan amanat agung-Nya. Sebagai Gereja, tanpa harus ditutup-tutupi, waktu kita cukup banyak dialokasikan untuk mengurusi urusan rutin seperti konsumsi, fasilitas dan rapat-rapat, padahal gereja juga punya tanggung jawab untuk memberi contoh dan mengajak jemaat melakukan mandate budaya dan memper-Tuhan-kan Kristus dalam seluruh aspek hidup.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu masalah yang dihadapi dunia saat ini, termasuk dunia kekristenan adalah orang tidak lagi rajin mengembangkan cara pandang yang benar. Akhir-akhir ini sering kita saksikan, seseorang tanpa persiapan yang matang dan secara mendadak menjadi pejabat Negara atau menduduki posisi penting dalam suatu organisasi di kota besar, namun sikap dan etos kerjanya tidak berubah. Hal-hal itu antara lain ditunjukkan masih sulit dalam tepat waktu, merokok di ruang tertutup yang memakai pendingin  ruangan. Hal itu menunjukkan bahwa orang masih menggunakan kacamata lama untuk melihat dunia dan tantangan baru. Secara sederhana worldview dapat didefinisikan sebagaimana seseorang melihat atau memahami realitas. Worldview selalu berakhir pada tindakan, karena apa yang dipikirkan dan di nilai  menuntun pada apa yang diputuskan dan dilakukan.
Memiliki worldview sama seperti seseorang menggunakan semacam kacamata berwarna, sehingga warna kacamata yang digunakan akan menentukan warna terhadap apapun yang dilihatnya. Dalam konteks kita, warna kaca mata tersebut dapat berupa adat dan budaya asli kita, dapat pula berupaya budaya kota, keyakinan agama, bahkan paham-paham yang berkembang seperti materialisme, humanisme, dan hedonisme. Sangat disayangkan bahwa banyak orang yang tidak menyadari kalau sedang menggunakan kacamata dengan warna yang tidak tepat, sehingga menjadi sumber masalah dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, bahkan dunia.
Ini adalah sebuah hal serius dan hal yang serupa dapat kita kembangkan untuk seluruh aspek hidup kekristenan kita. Apabila Cara Pandang Kristen didefinisikan sebagai cara kita memandang dunia dari sudut pandang Allah, dari sudut pandang kekekalan, dan dari maksud semula penciptaan, maka serta merta kita akan tahu bahwa hal itu hanya mungkin bila memiliki pikiran seperti “Kristus” berfikir seperti Kristus (1 Kor. 2:16) dan bahwa kita harus dewasa dalam pikiran (1 Kor. 14:20). Tidak kebetulan bila Rasul Paulus menantang jemaat di Roma untuk membarui pikiran (Rm. 12:2) agar dapat berfikir seperti Kristus atau memikirkan hal-hal yang dari Roh (Rm. 8:5), sehingga dapat terhindar dari kecenderungan berfikir dan hidup seperti manusia lama yang dipenuhi oleh hawa nafsu kedangingan.
Mengembangkan Cara Pandang Kristen tidak terlepas dari pikiran Kristen. Memiliki dan mengembangkan pikiran Kristen tidak berarti bahwa semua orang Kristen harus mengikuti studi Teologi, atau harus memiliki gelar akademis tertentu. Ketika Allah mencipta manusia, kita semua dicipta segambar dengan Dia, tidak ada pengecualian, kita dicipta dengan pikiran untuk berfikir, akal budi, dan potensi-potensi Ilahi sehingga bisa mencerminkan Allah. Dari dunia kita belajar mengenai kesempurnaan karya , pemeliharaan dan topangan Allah bagi dunia ciptaan-Nya. Kita juga belajar masalah yang di hadapi di bumi yang menceritakan kemuliaan Allah. Kita juga bisa belajar masalah yang dihadapi bumi dan manusia yang hidup di dalamnya melalui interaksi sehari-hari. Sementara itu dari Alkitab kita belajar penciptaan, kejatuhan penyelamatan dan rencana kedatangan Kristus yang kedua. Ketika membaca Alkitab, kita belajar fakta dan kehendak Tuhan untuk diterapkan dalam dunia, sehingga  shalom dan damai sejahtera kita hadirkan. Sebaliknya ketika membaca masalah dan pergumulan dunia sekitar kita, bahkan pergumulan bangsa dan dunia, kita kembali ke Alkitab mencari kehendak Tuhan mengenai apa yang seharusnya kita lakukan.
Pengetahuan mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungannya, studi atau telaahan mengenai hubungan antara organisme satu dengan yang lain dengan lingkungan mereka, dengan kata lain Ekologi merupakan studi mengenai mahkluk hidup dalam hubungannya dengan lingkungan. Dari hal tersebut tampak jelas bahwa ekologi menekankan pada hubungan antara mahkluk hidup dan antara mahkluk hidup dengan lingkungan atau habitatnya. Konsep ini sangat  penting untuk dipahami oleh setiap orang demi kelangsungan mahkluk hidup di bumi.
Gereja sebagai sebuah organisasi adalah sebuah system ekologi. Gereja berada dalam satu lingkungan fisik dan social, dan adanya interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. Gedung gereja berdiri di atas sepotong lahan yang terkait dengan iklim mikro, tata air, siklus udara, siklus hara, satwa liar, tumbuhan dan manusia yang bertumbuh di sekitarnya. Gereja juga dipahami sebagai kumpulan murid-murid Kristus, jadi bukan gedungnya. Sehingga ke manapun anggota Gereja pergi, mereka hadir dalam sebuah system ekologi lain atau membangun suatu system ekologi baru. Dengan pemahaman ini, maka konsep ekologi diperluas hingga batas di mana anggota gereja tersebut berinteraksi dengan orang lain, mahkluk hidup dan lingkungannya. Bila dikaitkan dengan hokum dasar ekologi dimana semua kehidupan saling terkait dan saling memengaruhi, maka tidak ada orang Kristen atau gereja yang dapat menjalani kehidupannya terpisah dari orang lain, lembaga atau lingkungan sekitarnya. Ada salingketergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain, langsung atau tidak; disadari atau tidak. Apa yang diperbuat atau tidak diperbuat seseorang atau satu gereja secara langsung atau tidak mempengaruhi kehidupan dan keberadaan orang atau lembaga lain.
Dari berbagai siklus kehidupan ada 3 siklus yang paling jelas menggambarkan pentingnya kesalingtergantungan tersebut, bahkan menjadi alas an utama adanya kehidupan di bumi, termasuk manusia. Ketiga siklus tersebut : a). rantai makanan , perpindahan energy makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makanan (tumbuhan-herbivora-carnivora-omnivora). b). siklus air hidrologi. c)Siklus karbon. Apabila intervensi manusia menyebabkan putus atau terganggunya salah satu siklus, maka kehidupan manusia dan makhluk hidup lain akan terganggu.
Mengingat pentingnya konsep kesalingtergantungan dalam ciptaan menyebabkan Dewan Gereja-Gereja Sedunia mengembangkan konsep keutuhan ciptaan. Keutuhan ciptaan mencakup keseluruhan dan segala ciptaan tanpa terkecuali. Hal ini berarti bagian terkecilpun dari ciptaan menderita, maka seluruh ciptaan mengalaminya. Mengembangkan ekologi tidak berarti menghadirkan cabang ilmu baru yang bersumber dari ekologi atau teologi. Dalam konteks dunia yang lebih membutuhkan jawaban atas masalah disbanding teori-teori dan metode-metode baru, mengembangkan ekoteologi akan lebih bermakna.

2.2. Pengertian Ekoteologi
           Sebagai sebuah Istilah, ekologi (dalam bahasa Inggris ecology) diambil dari kata oikos dan logos. Oikos berarti tempat tinggal sedangkan logos artinya ilmu. Sebagai sebuah Ilmu displin, ekologi yang merupakan cabang dari biologi ini adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme dan hubungan antara organisme-organisme itu dengan lingkungannya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel pada tahun 1866.[2]
           Dalam pengertian yang lebih luas, oikos tidak dipahami hanya sekedar tempat tinggal manusia. Oiskos juga dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya di antara mahkluk hidup dengan mahkluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat. Dengan demikian, oikos bermakna rumah bagi semua mahkluk hidup yang sekaligus menggambarkan interaksi keadaan seluruhnya yang berlangsung di dalamnya.[3]
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat mendefinsikan teologi sebagai berikut: pertama, ilmu tentang hubungan dunia ilahi (dunia ideal, dunia kekal tak berubah) dengan dunia fisik; kedua, ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah; ketiga, doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau para pemikiran perorangan;  keempat, kumpulan ajaran yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungannya dengan umat manusia dan alam semesta; dan kelima, usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan Allah.[4]

2.3. Realitas Alam yang Terjadi dalam Dunia
Jika kita mengikuti dan mengamati perkembangan alam belakangan ini, bisa kita lihat banyak hal-hal yang membuat hati kita miris. Betapa tidak, kerusakan alam yang terjadi membuat manusia mengalami kesusahan juga. Di sana sini kita bisa melihat kebanjiran. Jika hujan turun maka biasanya di beberapa tempat akan mengalami kebanjiran. Kadang kala tidak datang hujan pun bisa terjadi kebanjiran. Hal ini terjadi karena sungai meluap. Di tambah lagi dengan sampah-sampah yang menghambat aliran air.[5] Sungai meluap karena air laut pasang semakin tinggi tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena permukaan laut di seluruh dunia kian naik. Mencairnya bongkahan es di kutub yang seharusnya membeku sejak ratusan ribu tahun lalu, sehingga permukaan air laut semakin tinggi. Mengapa hal ini terjadi? Karena suhu udara kian panas, yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Manusia menebangi pohon, mencemari udara dengan knalpot kendaraan, cerobong asap pabrik pembakaran sampah dan banyak pencemaran lainnya. Begitulah mata rantai kerusakan bumi ini yang terjadi.[6]
Seorang ekolog menggambarkan krisis kerusakan ekologi, ia adalah Thomas Berry. Ia mengatakan bahwa bumi ini sedang mengalami kerusakan hebat bahkan menyebutnya sebagai kehancuran bumi. Ia mengkaji bahwa setiap tahun  ada sekitar sepuluh ribu spesies musnah di bumi. Ia memperkirakan bahwa tidak lama lagi dunia akan musnah.[7]
Kita tidak bisa bersikap diam saja, mengapa? Karena pada akhirnya nanti kita juga yang akan kena imbasnya. Kalau bumi ini rusak, maka kenyamanan manusia hidup di bumi ini akan terancam. Banjir akan terus-menerus terjadi, panas bukan kepalang akan kita rasakan tiap hari, mencari kebutuhan hidup juga akan susah dan berbagai dampak lainnya. Jika alam rusak, bukan hanya pihak yang merusak alam yang merasakan akibatnya. Mereka yang berada di sekitar lingkungan alam yang rusak pun pasti akan merasakan imbasnya.[8]

2.4. Kesalahpahaman Gereja
Dalam perkembangan Eco Teologi Stephen B. Scharper  menyatakan bahwa Joseph Stiller sejak tahun 1961 sudah mengingatkan kebutuhan akan teologi lingkungan. Ia menyatakan bahwa salah satu pihak yang ikut menyebabkan kerusakan dunia adalah manusia, dimulai dari krisis ekologis dan spiritual. Lebih lanjut Stephen B. Scharper juga menyebutkan seorang tokoh yang menuding kekristenan sebagai salah satu perusak lingkungan. Ia menyebutkan Lynn White pada tahun 1967, seorang sejarawan menyatakan bahwa kekristenan adalah “the most anthropocentric religion” yang memicu manusia mendominasi alam semesta.[9]
Di sisi lain Arnold Toynbee menuduh bahwa konsep monteisme kristen, secara khusus dalam Kej. 1:28 menyebabkan manusia mendominasi dan mengeksploitasi alam. Wendell Berry menyatakan ajaran dikotomi Kristen sebagai penyebab eksploitasi atas alam: adanya pemahaman pemisahan antara tubuh dan jiwa, spiritual dan material, suci dan sekuler. Paham eskatologi Kristen, khususnya dalam 2 Ptr. 3:10, mengandung masalah terhadap paradigma ekologi. Teks-teks inilah yang mendorong orang Kristen untuk mengeksploitasi alam.
Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. (2 Ptr. 3:10). Hal ini yang mungkin membuat paradigma orang Kristen mendukung eksploitasi atas alam semesta, sebab pada suatu saat unsur-unsur dunia akan hilang lenyap. Robert P. Borrong juga menyebutkan bahwa berkembangnya rasionalisme yang memisahkan ilmu pengetahuan dari agama. Hal ini mengakibatkan manusia memiliki pendapat bahwa rasiolah satu-satunya ukuran manusia berperilaku, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Sejak itu alam dijadikan sebagai objek bagi kepentingan manusia.[10]

2.5. Bagaimana Sikap Gereja?
Gereja ada di dalam dunia, tetapi tidak berasal dari dunia. Secara faktual gereja ada di dalam dunia, bersama-sama dengan dunia, makan dan minum yang sama dengan makanan dan minuman yang dimakan dan diminum di dunia. Bahkan nasib gereja ikut ditentukan juga oleh dunia di mana ia berada. Namun, pada saat yang sama gereja dikatakan tidak berasal dari dunia. Ini berarti bahwa hakikat gereja tidak dapat dicari di dalam dunia. Ia bukan organisasi yang sama dengan organisasi dunia. Gereja berasal dari Allah. Hak hidupnya ada pada Kristus, Tuhan dan Kepala gereja. Dengan demikian gereja tidak dapat memakai ukuran-ukuran dunia untuk mengukur dan menilai dirinya sendiri.[11] Gereja sungguh-sungguh berpijak di atas bumi. Pergumulan dunia, adalah pergumulannya juga. Sejarah dunia sejaranhya juga.[12] Dengan demikian gereja tidak boleh tinggal diam, gereja harus berusaha untuk merawat ciptaan Allah dan segala isinya secara utuh. Secara intensif gereja dapat melakukan pembinaan biblis terhadap gereja akan pentingnya merawat alam di samping melakukan aksi-aksi revolusioner dalam merawat alam.
Pendekatan dapat dilakukan secara ilmu. Dengan mendalami pengertian Kristen tentang alam semesta dan penciptaan, khsusnya tanggung jawab orang Kristen terhadap lingkungan hidup, pendekatan ini juga sering disebut sebagai pendekatan Teologi Lingkungan Hidup. Dengan mengadakan pendekatan biblis, yang menyoroti berbagai teks Alkitab dan menafsirkannya secara baru. Di mana teks dikonstruksi ulang dengan kacamata baru yang ekologis.[13] Dalam Pembahasan ini akan di soroti pendekatan biblis dan teologis PB secara khusus dalam Kol. 1:15-23. Kiranya pendekatan ini akan menciptkan pemahaman baru yang ekologis di dalam gereja.

2.6. Pendekatan Biblis Terhadap Ekologi Kolose 1:15-23
2.6.1.      Latar Belakang Kitab
Kolose adalah sebuah kota di Asia Kecil tidak jauh dari Laodikia, yang berkembang menjadi semakin makmur dan penting. Pada abad pertama di sana terdapat sejumlah besar penduduk Yahudi, namun bagian yang lebih besar adalah orang-orang Yunani dan bahasa Yunani sangat menonjol.[14]
Mengenai penulisan dari surat ini, secara tradisi dia dipercaya dituliskan oleh Rasul Paulus sendiri. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai kitab pseudo Paulus yang lebih dominan dianut oleh golongan ahli. Pandangan pertama adalah pandangan yang mengatakan bahwa surat ini adalah surat yang dituliskan oleh Paulus sendiri. Penjelasan mengenai pandangan ini dapat dilihat dibawah ini.
Di Kolose sendiri telah berkembang pekabaran dan telah banyak orang yang percaya. Namun ada masalah yang dihadapi oleh jemaat di sanam berkaitan dengan eksistensi kekristenan dan kemurnian Injil. Pada masa ini Paulus tinggal di Roma bersama dengan jemaat yang didirikannya. Pada suatu hari datanglah Epafras dari Kolose, kabar yang dibawanya adalah kabar baik, tetapi ada juga kabar yang menyedihkan. Paulus sendiri tidak pernah megunjungi Kolose (sebelah timur Efesus, di daerah pedalaman Asia Kecil), jadi tidak mengenal jemaat itu secara benar-benar (lih. Kol. 2:1). Epafras, salah satu rekan sekerja Paulus, kemungkinan adalah orang yang mendirikan jemaat Kolose (1:7-8).[15] Di sana timbul berbagai paham sesat, ia merasa perlu meminat nasihat dari Paulus, karena itu ia pergi ke Roma dan selama ia pergi, jemaat diserahkan kepada Arkhipus (Kol. 4:17). Epafras membawa pesan kepada Paulus tentang guru-guru palsu yang sudah menyusupi jemaat Kolose. Guru-guru palsu itu menambahi Injil sederhana yang telah dikhotbahkan Paulus dan yang lain dengan mengatakan bahwa penting untuk menjalankan aturan dan hukum Yahudi tertentu (2:16) serta mengerjakan peran menonjol dari malaikat-malaikat dalam penyembahan mereka (2:18). Paulus memperbaiki kesalahpahaman ini dengan menunjukkan bahwa Kritus merupakan Juruselamat yang telah mencakup semuanya. Dia sajalah dasar dari harapan kita untuk keselamatan dan kehidupan yang kekal.[16] Mendengar kabar-kabar yang disampaikan oleh Epafras itu, Paulus merasa perlu mengirimkan surat kepada jemaat di Kolose.[17] Paulus mengirimkan surat itu sekitar tahun 62 atau 63, ketika ia sedang berada di penjara Roma.[18]
Pandangan kedua adalah pandangan yang menyatakan bahwa yang menulis Kitab Kolose ini adalah bukan Paulus. Hal ini didasarkan atas beberapa pandangan.
Pembukaannya (1:1-2) dibuat singkat saja, dan menyebutkna di sana bahwa Pauluslah pengirim surat ini bersama-sama dengan Timotius dan yang menerima surat ini adalah saudara-saudara yang kudus dan percaya dalam Kristus di Kolose. Hal ini menandakan tidak ada perkataan yang menyebutkan secara jelas bahwa surat ini dikirimkan kepada sebuah ekklesia (gereja). Dalam salam pembukaannya terdapat kesejajaran dengan Filemon 1:1 dan Roma 1:6. Salamnya lebih pendek dari yang biasa pada surat-surat Paulus.[19]
Dalam penjelasan di atas juga telah disebutkan bahwa ketika Paulus mendengar berita itu dari Epafras maka segera Ia mengirimkan surat. Namun yang perlu kita pertimbangkan adalah, bahwa sangat mengejutkan ketika Paulus mendengar berita itu—meskipun ia tidak pernah mendirikan jemaat di sana dan ataupun mengunjunginya, secara tidak langsung menuntut hak untuk memimpinnya atau paling tidak merasa bertanggung jawab atasnya (Kolose). Hal ini juga menunjukkan ketidakadaan kesejajaran dengan tulisan-tulisan Paulus. Apabila kita bandingkan dengan surat Roma, maka kita juga tidak akan dapat menarik suatu perbandingan, karena di sana Paulus tidak ikut campur secara langsung.[20]
Beberapa pertimbangan di atas semakin menunjukkan keraguan kita akan kepengarangan Paulus terhadap surat Kolose ini. Kendati demikian tidak dapat dibantah bahwa dalam Kolose terdapat gema dari gagasan-gagasan Paulus, tetapi kalau Paulus sendiri yang harus menyerang ajaran sesat ini dengan penekanan akan jabatan kerasulan seperti di surat Kolose ini—yang akibatnya jadi kurang lebih sama dengan ajaran suksesi rasuli—sangat dipertanyakan.[21]

2.6.2.      Tafsiran Kolose 1:15-23
Perikop Kolose 1:15-23 merupakan satu bagian utuh dalam surat yang dikirimkan oleh Paulus ke jemaat Kolose. Secara khusus demi meluruskan paham-paham yang salah yang beredar di jemaat Kolose yang telah disebarkan oleh guru-guru palsu. Orang percaya di Kolose disesatkan oleh guru-guru palsu, yang menantang keilahian dan keunggulan Yesus Kristus. Paulus memperbaiki kesalahan ini dengan meyatakan bahwa Yesus adalah Putera Allah yang ilahi, kepala gereja, dan satu-satunya pribadi yang di dalam-Nya Allah Bapa ternyatakan sepenuhnya.[22]
1.      Kolose 1:15-23 ini mengandung ringkasan Kristologi dengan corak seperti nyanyian. Ayat 15 melukiskan Yesus sebagai penyata Allah. Kristus digambarkan sebagai anak dari Kasih (Allah) yang membawa penebusan dan pengampunan.[23] Allah yang tak terlihat kini menjadi terlihat di dalam Yesus. Dengan kata lain, dengan melihat Dia, orang melihat Allah, Bapa (Lih. Yoh. 14:9), sebab Dia adalah gambar (eikon) Allah yang tidak kelihatan, yang sulung dari yang diciptakan, karena di dalam Dia segala sesuatu telah diciptakan di surge dan di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, singgasana kerajaan, pemerintah maupun penguasa; semuanya diciptakan melalui Dia dan untuk Dia.[24] Perumpaan Allah di dalam Yesus Kristus ini membuat Allah sebagai Sang Misteri dapat dikenali, dan menempatkan Yesus Kristus dalam posisi yang unik. Keunikan itu dilukiskan lebih lanjut dalam ungkapan “ … yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Artinya, Yesus adalah Yang Tertinggi; Dia mempunyai kedudukan yang utama. Seperti Daud yang disebut dalam PL sebagai yang sulung, tetapi raja Daud sendiri bukan anak sulung. Istilah “yang sulung” di sini menerangkan posisi unik Yesus Kristus sebagai penyata Allah. Ada hal yang unik dalam hal ini.
2.      Ayat ke-16 lebih jauh melukiskan Yesus sebagai Pencipta. Di dalam Dialah segala sesuatu diciptakan. Bahkan, dikatakan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Segala sesuatu di sini melingkupi hal-hal yang bersifat jasmani maupun rohani, yang kelihatan (materi) maupun yang tidak kelihatan (imaterial). Hal ini tentu meluluhkan pandangan Gnostisisme yang membuat pembedaan dan pertentangan antara hal-hal yang rohaniah dan hal-hal yang jasmaniah, sekaligus mengingatkan jemaat di Kolose akan narasi penciptaan dalam Kejadian 1, bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu baik adanya, termasuk manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa/roh. Karena itulah segala sesuatu yang diciptakan Allah harus dijaga dan dirawat dengan penuh tanggungjawab, bukan dipertentangkan, sebab segala sesuatu adalah milik Dia. Yesus adalah pencipta dan pemilik kosmos dan segala isinya.
3.       Ayat ke-17 menegaskan praeksistensi Yesus. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu. Artinya, keberadaan Yesus tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia adalah penyata Allah, dan Ia adalah Allah itu sendiri. Yesus hidup dalam persekutuan Trinitarian bersama dengan Bapa dan Roh Kudus yang malampaui kategori ruang dan waktu, dan di dalam Dialah waktu (kronos) diciptakan. Sehingga dengan menjalani kronos itu kita dapat menemukan kairos (waktu Tuhan), sebab kairos itu ada di dalam kronos. Dan sebaliknya, kronos ada di dalam kairos. Di dalam Yesus Kristus yang adalah 100% ilahi dan 100% manusiawi, kairos dan kronos berjumpa dan menyatu dalam satu kesatuan.
4.      Dalam ayat ke-18 sang penulis kembali melukiskan keutamaan Kristus sebagai kepala, tetapi kali ini dari jemaat. Setelah Penulis mengungkapkan keutamaan Yesus dalam keseluruhan kosmos dan sejarah universal barulah sang penulis meletakan keutamaan Kristus dalam konteks jemaat. Itu berarti sang penulis mau meletakan hakikat keberadaan jemaat atau gereja dalam konteks karya Allah yang luas dan menyeluruh secara universal di dalam Yesus Kristus. Dan sejarah gereja itu mendapatkan titik tolaknya di dalam kebangkitan Kristus. Yesus dibunuh manusia, tetapi dibangkitkan Allah, dan Ia mengalahkan kuasa dosa dan kematian. Di dalam kebangkitan-Nya, Yesus membunuh kematian, sehingga seluruh ciptaan Tuhan mendapatkan kehidupannya kembali. Karena itu, Yesus disebut lagi sebagai yang utama dari segala sesuatu dan menjadi kepala dari gereja.
5.      Ayat ke-19, sang penulis kembali mengafirmasi posisi dan kedudukan unik Yesus, bahwa di dalam Dialah Allah berdiam dalam kejasmian Yesus Kristus, dan melalui Dialah Allah melakukan karya pendamaian bagi segala ciptaan.
6.      Dalam ayat ke-20 sang penulis melukiskan Yesus sebagai pendamai yang karya pendamaianNya itu tertuju kepada segala sesuatu (ta panta). Itu berarti Allah tidak hanya mendamaikan diriNya dengan manusia, tetapi termasuk alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Relasi yang rusak akibat dosa Allah pulihkan melalui karya pengorbanan Yesus Kristus, baik relasi Allah dengan manusia, relasi manusia dengan sesamanya manusia, maupun relasi manusia dengan alam, sesama ciptaan Allah. Jadi, karya penebusan dan pendamaian Yesus Kristus itu bersifat total, terkait dengan keseluruhan ciptaan-Nya.
7.      Setelah menyatakan bahwa karya pendamaian itu berlaku secara universal kepada segenap ciptaan, barulah di ayat yang ke 21-22 penulis menempatkan jemaat. Jadi, kita kembali bisa menemukan pola dari yang universal ke yang partikular. Yang partikular di sini adalah jemaat atau gereja, yang dulunya memusuhi Allah dan berperilaku jahat, sekarang diperdamaikan dengan Allah melalui karya pendamaian Yesus Kristus. Di dalam Yesus, Allah menjadikan jemaat Kolose sebagai persekutuan yang kudus; persekutuan yang dikhususkan untuk menyatakan karya pendamaian Kristus dalam keseharian hidup mereka.
8.      Karena itulah, dalam ayat yang ke-23 sang penulis mengungkapkan beberapa implikasi praktis-etis yang harus mereka wujudkan sebagai umat yang telah dikuduskan, yakni mereka harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak mudah goncang, dan terus menghidupi pengharapan Injil, sehingga melalui kehidupan mereka Kristus dapat dihadirkan di dalam konteks kehidupan yang mereka jalani. Dengan kata lain, jemaat ini menjadi miniatur Kristus. Sebagaimana Kristus telah menjadi juru damai, maka mereka pun harus hadir sebagai pembawa damai dan menjadi agen transformasi sesuai dengan panggilan iman dan pengharapan di dalam Injil Yesus Kristus.

2.7. Analisis Teks Kolose 1:15-23 “Berdamailah dengan Seluruh Ciptaan”
Teks Kolose di atas juga menyampaikan bahwa perdamaian merupakan anugerah Allah. Allah adalah inisiator perdamaian. Bukan karena inisiatif manusia untuk melakukan karya perdamaian. Karya perdamaian yang dilakukan Allah karena kasih Allah yang begitu besar  ada dunia ini, bukan hanya kepada manusia tetapi juga alam semesta yang juga diciptakan oleh Allah. Seperti yang tertulis dalam Matius 3:16 “Karena Begitu Besar Kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.
Dari penafsiran di atas kita menemukan bahwa pendamaian yang dilakukan Allah melalui Yesus Kristus, bukan hanya pendamaian antara Allah dengan manusia. Pendamaian itu juga berlaku antara manusia dengan manusia dan alam semesta. Dengan mengikuti alur penafsiran yang telah dikemukakan di atas, kita juga menemukan bahwa di dalam Nyanyian Pujian bagi Kristus terdapat ajaran dan keyakinan tentang Yesus Kristus dan karya-Nya di tengah dan bagi dunia. Ternyata, gambaran Kristus yang dikemukakan di sini lebih tepat disebut sebagai Kristus Kosmis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dietrich Bonhoeffer. Seperti Paulus, Bonhoeffer memahami bumi dan seluruh ciptaan sebagai realitas yang diperdamaikan di dalam Yesus Kristus dan yang berusaha untuk direalisasikan dalam kehidupan kita sendiri dan  seluruh ciptaan (kosmos). Dalam buku Bonhoeffer yang berjudul Ethics dikatakan bahwa “di dalam Kristus kita ditawarkan kemungkinan untuk mengambil bagian di dalam realitas Allah dan realitas dunia, tetapi tidak di dalam yang satu tanpa yang lain. Menurut Bonhoeffer, Yesus Kristus  adalah pusat dari alam, kemanusiaan, dan sejarah.[25] Ia sepenuhnya hadir di dalam alam, kemanusiaan dan sejarah, serta mendamaikan segenap semesta dengan diri-Nya. Karena itulah, melalui alam, kemanusiaan, dan sejarah (kronos) kita dapat menemukan wajah Kristus atau wajah Allah. Di dalam wajah kemanusiaan dari orang-orang Yahudi yang dibantai oleh Hitler di zaman Nazi misalnya, Bonhoeffer menemukan wajah Allah yang memanggilnya untuk membela hak hidup orang Yahudi, dan itu berarti ia harus menentang pemerintahan Nazi yang mnjadi symbol pemusnahan dan kematian.
Teolog dan mistikus Katolik seperti Fransiskus dari Asisi adalah contoh lain dari sosok yang sangat memegang teguh dan mengimplementasikan keyakinan Kristus Kosmis itu dalam keseharian hidupnya. Semua mahluk menjadi sahabat Fransiskus dari Asisi. Seperti yang dikisahkan oleh Berkhof, Fransiskus Asisi konon suka bercakap-cakap dengan bunga dan burung-burung.[26] Yesus sebagai pendamai adalah faktor yang mendorong kecintaan Fransiscus kepada alam dan manusia. Kolose 1:16 adalah dasar bagi Fransiscus untuk hidup damai dengan sesama manusia dan alam Hal ini tampak dalam tulisan St. Fransiskus "Kidung Saudara Matahari", dimana semua makhluk ciptaan diundangnya untuk bersyukur dan memuji Allah. Kekuatan Kristus Kosmis membawa Fransiskus Asisi untuk bergiat sebagai pejuang perdamaian, bukan hanya dalam hubungan antarmanusia di kala itu, tetapi juga dalam konteks relasi manusia dengan alam. Karena itu, tidak heran kalau pada 29 November 1975 Paus Yohanes Paulus II mengkukuhkan St. Fransiskus Asisi sebagai "Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup" atau “Pelindung Ekologi.”
Dua tokoh gereja (Protestan dan Katolik) di atas adalah contoh dari praksis hidup bergereja yang secara jitu dapat menimba inspirasi dari pemahaman dan keyakinan Kristus Kosmis, Kristus mati dan bangkit untuk menebus dan mendamaikan seluruh ciptaan dengan Allah. Itu berarti Kristus Kosmis mampu membangkitkan daya dorong yang besar untuk memperjuangkan perdamaian semesta. Bahkan, lewat kematian dan kebangkitan Kristus itu, sebagaimana yang dikemukan oleh Rene Girard, kita dapat melihat bagaimana Allah menelanjangi kuasa kejahatan dan kekerasan. Lewat salib dan pengurbanan Kristus, politik kambing hitam ditelanjangi dan dihentikan. Dan di atas salib itu juga kita menyaksikan bagaimana kasih Allah yang tanpa batas itu merangkul para korban ketidakadilan dan kaum-kaum marjinal.
Dengan kata lain, Kristus yang mati dan bangkit itu menolong kita untuk melihat  kehidupan bukan sebagai ajang kontestasi untuk saling mengalahkan, melainkan menempatkan semua ciptaan sebagai sahabat Allah untuk saling mengisi dan berbagi. Sebab, Allah sudah berkenan berdamai dengan kita. Ia sudah melakukan karya pendamaian itu dengan
total dan utuh dalam Kristus Kosmis, maka kita sekarang dipanggil untuk berdamai dengan
sesama. Sesama yang dimaksudkan di sini bukan hanya manusia, tetapi termasuk alam dan segala isinya.
Teologi pendamaian dari Kristus Kosmis menawarkan kepada kita cara melihat yang baru, dan mendorong kepada praksis yang memuliakan kehidupan. Di dalamnya terdapat panggilan teologis untuk memperjuangkan perdamaian, keadailan, dan keutuhan ciptaan.

III.             Kesimpulan
Ungkapan gereja bukan berasal dari dunia tapi berada di dunia harus dipahami dan diaktualisasikan dalam iman. Kehadirannya di dunia ini adalah untuk mengabarkan dan menunjukkan kasih Allah di dunia ini. Gereja bukan berasal dari dunia, bukan berarti gereja menentang dunia atau menganggapnya sebagai musuh, melainkan gereja harus menunjukkan perannya. Di tengah-tengah kehadirannya di dunia ini, gereja turut memberikan andil dalam kemajuan maupun kemunduran dari dunia ini, kesejahteraan dunia kesejahteraannya juga (Yer. 29:7).
Cara Pandang Iman Kristen juga tentunya dalam menjaga serta merawat Ekoteologi haruslah berperan aktif. Iman harus bergandengan dengan perbuatan berdasarkan pandangan Kristen. Suatu hal yang lumrah atau memang kebiasan dalam menjaga lingkungan, tetapi hal tersebut merupakan hal yang luar biasa, sebab bumi adalah tempat manusia berpijak dan bertempat tinggal (habibat hidup), Tuhan memberikan mandat kepada manusia agar manusia merawat bumi bukan merusak bumi. Mandat yang berdasarkan Allah merupakan tugas yang luar biasa dalam tanggung jawab seorang Iman Kristen. Hal itu tidaklah gampang, tetapi berdasarkan Iman Kristen yang kokoh, Tuhan Allah akan melawat cipataan-Nya.
Kolose 1:15-23 menunjukkan pesan keutuhan dalam Kristus yang tidak terpisahkan. Di dalam Kristuslah semuanya telah dijadikan, segala ciptaan, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Karena itu Yesus adalah pusat dari  segala ciptaan (kosmis). Kita dapat mengatakannya sebagai Kristus yang kosmis. Ketika kita mengatakan iman kita kepada Yesus, maka kita harus menerima eksistensi dari pada Kristus yang kosmis. Penghormatan dan pemeliharaan kepada ciptaan tertentu adalah penghormatan kepada Allah juga. Pengrusakan terhadap ciptaan lainnya juga pengerusakan terhadap Kristus yang Kosmis. Karena itu gereja sudah harus mentransformasi diri dalam pemahaman imannya untuk merawat dunia ini dan menghindari pengerusakan apapun.

IV.             Daftar Pusataka
Bavinck, J. H., Sejarah Kerajaan Allah 2: Perjanjian Baru, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Berkhof, H., Sejarah Gereja, disadur untuk Indonesia oleh I. H. Enklaar, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Browning, W. R. F., Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bible, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Cambah, Tahan M. dan Sartika, Meitha, Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup), dalam Teologi-teologi Kontemporer, disunting oleh Jan S. Aritonang, Jakarta: Gunung Mulia, 2018.
Ismail, Andar, Selamat Bergereja: 33 Renungan Tentang Komunitas Iman, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Knight, George W., The Illustrated Bible Handbook: Pendamping Studi Alkitab Sehari-hari, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Ramussen, Larry L., Komuitas Bumi: Etika Bumi, Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Yewangoe, Andreas A., Tidak Ada Ghetto: Gereja di Dalam Dunia, Jakarta: Gunung Mulia, 2011.



[1] Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan, (Jakarta, Perkantas, 2011), 73-88
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), 182
[3] A.Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup : Alam sebagai sebuah Tanda Kehidupan, (Yogyakarta: KANISIUS, 2014), 43
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1090
[5] Tahan M. Cambah dan Meitha Sartika, Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup), dalam Teologi-teologi Kontemporer, disunting oleh Jan S. Aritonang, (Jakarta: Gunung Mulia, 2018), 203.
[6] Andar Ismail, Selamat Bergereja: 33 Renungan Tentang Komunitas Iman, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 65.
[7] Tahan M. Cambah dan Meitha Sartika, Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup), dalam Teologi-teologi, 203.
[8] Ibid, 208.
[9] Tahan M. Cambah dan Meitha Sartika, Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup), dalam Teologi-teologi, 206.
[10] Ibid, 206-207.
[11] Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di Dalam Dunia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 3-4.
[12] Ibid, 29.
[13] Tahan M. Cambah dan Meitha Sartika, Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup), dalam Teologi-teologi, 208-209.
[14] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bible, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 208.
[15] George W. Knight, The Illustrated Bible Handbook: Pendamping Studi Alkitba Sehari-hari, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 374.
[16] Ibid.
[17] J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2: Perjanjian Baru, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 887.
[18] George W. Knight, The Illustrated, 374.
[19] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru:Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2014), 214.
[20] Ibid, 215-216.
[21] Willi Marxsen, Pengantar, 219.
[22] George W. Knight, The Illustrated, 374.
[23] Willi Marxsen, Pengantar, 216.
[24] Ibid.
[25] Larry L. Ramussen, Komuitas Bumi: Etika Bumi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 524.
[26] H. Berkhof, Sejarah Gereja, disadur untuk Indonesia oleh I. H. Enklaar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 91.
Share:

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS