Kesadaran Yesus Sebagai
Mesias dan Refleksinya dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat
I.
Pendahuluan
Pertanyaan
mengenai siapa Yesus baik yang menyangkut mengenai kemanuisaan dan
keilahian-Nya merupakan pertanyaan yang paling sering mengalami perdebatan.
Begitu banyak gelar-gelar yang dikenakan kepada-Nya. Pada sajian kali ini kita
akan membahas gelar Yesus sebagai Mesias yang populer pada zaman Yesus. Gelar
ini terkait kepada pengharapan masyarakat Yahudi akan kedatangan seorang raja,
pembebas yang akan memerintah mereka. Semoga pembahasan kali mampu memberikan
pemahaman kepada kita akan arti dan makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dan
dapat merefleksikannya bagi kehidupan kita.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian
Mesias
Kata
Mesias dari bahasa Aram “mesyiha”,
yaitu dialek dari bahasa Ibrani Masyiah yang
berarti “yang diurapi”. Kata dalam Aram mesyiha
sama dengan bahasa Ibrani hamasyiah, yang dua-duanya diterjemahkan
dalam Septuaginta dengan ho kristos.
Pada awalnya kata ini menunjuk pada raja yang sedang berkuasa di Kerajaan
Israel Raya, terutama yang berasal dari dinasti Daud. Kemudian hari istilah ini
digunakan untuk Raja Keselamatan yang akan datang sebagai pengharapan bangsa
Israel, yang sering dikumandangkan oleh para nabi. Raja yang dinanti-nantikan
tersebut diberitakan dan dinubuatkan sebagai raja keturunan Daud, yang telah
dikumandangkan oleh Nabi Natan dalam 2 Samuel 7:7-14.[1]
Dalam
Perjanjian Lama, terutama dalam kitab-kitab nabi-nabi, banyak disebutkan
tentang masa depan kemesiasan yang akan datang yang menawarkan masa depan yang
cerah bagi umat Allah (Bnd. Yes 26-29; 40 dst; Yeh.40-48; Dan 12, Yl.
2:28—3:21). Walaupun istilah Mesias itu tidak muncul secara tersendiri, ada
bermacam-macam penggunaannya dalam rangkaian kata seperti Mesias Tuhan (yaitu
yang diurapi Tuhan). Gagasan mengenai pengurapan seseorang muncul beberapa
kali, terutama bagi raja-raja dan imam-imam (Im. 4:3, dst), juga nabi-nabi (1
Raj. 19:16) dan bapak-bapak leluhur Israel (Mzm 105:15) (bnd. 1 Sam.24:6 dst.;
26:9), dan bahkan bagi seorang raja kafir, yaitu Koresy (Yes. 45:1). Pengurapan
yang menunjuk tugas khusus ini kemudian digunakan dalam hal yang lebih teknis,
khususnya bagi seseorang yang dipilih Allah sebagai alat-Nya untuk
menyelamatkan umat-Nya. Perjanjian Lama mempersiapkan jalan bagi Mesias dan
banyak perikop-perikop Perjanjian Lama mengenai Mesias itu dikutip dalam PB.
Pengharapan
akan kedatangan Mesias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tetapi yang paling
menonjol ialah gagasan mengenai Raja keturunan Daud, yang akan mendirikan
kerajaan di dunia bagi umat Israel dan akan menghancurkan musuh-musuh Israel.
Mesias akan merupakan tokoh politik, tetapi dengan kecendrungan ke arah agama.
Konsep ini merupakan gabungan dari pengharapan bersifat nasional dan
pengharapan rohani.
Gagasan
tentang Mesias yang akan datang sudah tersebar luas di antara orang-orang
Yahudi, tetapi asal usul dan watak dari Mesias yang akan datang itu tidak
dimengerti dengan jelas. Dalam pemikiran bagaimana Yesus menggunakan istilah
Mesias kita harus ingat bahwa Ia memperhatikan pengertian yang paling populer
dari istilah itu. Sudah tentu pemikiran populer cenderung pada pengharapan akan
kedatangan seorang pemimpin yang akan membebaskan orang-orang Yahudi dari beban
tekanan Roma. Dengan mengingat gagasan populer tersebut, dapat dimengerti
mengapa Yesus menghindari penggunaan istilah ini.
2.3.
Mesias
dalam Injil Sinoptik
Dalam
Injil Matius, makna Mesias dapat kita temukan dalam penderitaan dan
kebangkitan-Nya. Gambaran Mesias dalam Matius tidak jauh berbeda dengan Markus.
Hampir semua teks yang membahas tentang Mesias diambil alih oleh Matius. Hanya
saja (dalam Mrk. 15:32) “Mesias Raja Israel”, dalam Matius 27:42 kata Mesias
dihilangkan dan hanya disebut “Raja Israel”.[3]
Dalam Injil Matius, kita dapat
melihat makna Mesias itu dalam pengakuan Petrus (Mat. 16:13-20). Dalam
pengakuan Petrus ini, pastilah Petrus salah mengerti hakikat peran Mesias,
seperti yang terlihat ketika ia segera menegur Yesus yang menubuatkan
kesengsaraan-Nya (Mat. 26:21, dst); tetapi hal ini tidak menghilangkan
kemungkinan bahwa ia telah melihat dalam diri Yesus sesuatu yang lebih dari
Mesias manusia. Apa yang kita pelajari dari pengakuan itu mengenai kesadaran
kemesiasan dari Yesus sendiri. Tentu saja Yesus menolak gagasan menjadi seorang
Mesias politik. Ajaran Yesus tentang misi-Nya tidak dibuat dalam bentuk ini. Ia
sengaja menjauhkan diri dari cara kekerasan dan menganjurkan pendekatan yang
dengan jelas tidak akan diterima oleh golongan-golongan politik. Jadi dalam
arti apa Yesus menganggap diri-Nya sebagai Mesias? Jawabannya terletak pada
kesadaran-Nya bahwa Perjanjian Lama harus digenapi, yaitu kesadaran bahwa
Dialah wakil Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dalam arti rohani dan bukan
dalam arti nasional. Pastilah penekanan gelar Mesias pada hal politik yang
membuat Yesus enggan untuk memakai gelar itu dan yang menyebabkan Dia menyuruh
murid-murid-Nya diam (Mrk. 8:30). Yesus mengerti bahwa Petrus tidak hanya
memberikan sekedar kesimpulan atau intuisi yang berasal dari manusia saja pada
saat ia menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi juga pemberian Allah.
Hal ini merupakan suatu pengakuan yang
jelas bahwa orang banyak tidak mengerti peran Mesias secara demikian, sehingga
cukup dapat dibenarkan adanya perintah untuk tinggal diam.[4]
Perikop kedua yang akan dibahas
berpusat pada pertanyaan Kayafas (Mat. 26:63 “Demi Allah yang hidup, katakanlah
kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” dan Mrk. 14:63 “Apakah Engkau Mesias, Anak dari
Yang Terpuji”). Kayafas menghubungkan gagasan kemesiasan dengan gelar Anak
Allah. Ada kemungkinan suatu laporan telah sampai kepada Kayafas bahwa beberapa
orang telah membuat pernyataan mengenai Yesus yang menghubungkan kedua gelar
itu. Dalam Injil Markus mengenai pertanyaan Kayafas ini berbunyi “Akulah Dia”,
sedangkan dalam Matius berbunyi “Engkau telah mengatakannya”.[5]
Lukas menyaksikan kemesiasan Yesus
berbeda dengan Matius dan Markus. Lukas menghubungkan gelar Mesias dengan nama
diri Yesus yaitu Tuhan Yesus dan Yesus Kristus (Luk. 24:3; Kis. 2:38). Lukas
menyaksikan kemesiasan Yesus sejak kelahiran-Nya, “Hari ini telah lahir bagimu
Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11; Luk. 4:21;
13:23-33; 19:5-9; 23:43). Selain itu Lukas menampilkan keunikan Mesias sebagai
seoang tokoh yang menderita dan mati sebagai orang benar (Luk. 23:4,14,15,22,47
dan Kis. 3:18). Sehingga dengan tegas Yesus berdoa di atas kayu salib “Ya Bapa,
ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat” (Luk.
23:34; bdk juga Kis. 7:59-60). Lukas memperjelas perbedaannya dengan Matius dan
Markus, menderita sebagai orang benar bahkan rela memberi pengampunan kepada
orang-orang yang membuatnya menderita merupakan keunikan Mesias dalam Lukas.[6]
2.4.
Mesias
dalam Tulisan-tulisan Yohanes
Dalam
Injil Yohanes dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis dengan tegas menyangkal bahwa
dialah Mesias (Yoh. 1:20). Kemudian terdapat keterangan yang menceritakan bahwa
murid-murid Yesus yang pertama justru dengan pertemuan mereka dengan Yesus pada
pertama kalinya, mereka bahwa mereka telah menemukan Mesias (Yoh. 1:41).[7]
Penggunaan
gelar Mesias oleh perempuan Samaria (Yoh. 4:25) dapat dimengerti karena bagi
orang-orang Samaria, gelar itu tidak akan menimbulkan salah pengertian ke arah
politik. Orang-orang Samaria mempunyai pemikiran tentang pembaharu yang akan
datang. Istilah Mesias dipakai pada
peristiwa lain ketika gelar itu diucapkan Andreas yang memberitahu Petrus,
saudaranya, “Kami telah menemukan Mesias” (Yoh. 1:41). Segera sesudah itu
Filipus memberitahu Natanael, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa
dalam kitab Taurat dan oleh para nabi (Yoh. 1:45). Hal ini menyatakan bahwa
kemesiasan di antara para murid yang mula-mula ini dimengerti sesuai dengan
latar belakang Perjanjian Lama. Pada pengakuan Marta (Yoh. 11:27), pada saat
itu kemesiasan dihubungkan dengan gelar Anak Allah, suatu pandangan yang jauh
dari konsep politik. Yohanes menunjuk bahwa Yesus sebagai terang menyinari
kegelapan pikiran mereka (Yoh.12:35) yang berarti bahwa untuk percaya kepada
Mesias yang menderita, seseorang memerlukan pengertian rohani. Penyajian Mesias
tetap memainkan peran penting dalam kitab Injil Yohanes, walaupun konsep Yesus
sebagai Anak Allah lebih banyak dibicarakan. Yesus adalah Mesias, bukan dalam
arti pandangan umum pada waktu itu, tetapi dalam arti kesadaran rohani yang
baru yang tidak dapat dimengerti terlepas dari kesadaran Yesus akan
kedudukan-Nya sebagai Anak. Yohanes menegaskan bahwa menerima Yesus sebagai
Mesias merupakan bagian hakiki dalam iman Kristen (1 Yoh. 5:1).[8]
2.5.
Mesias
dalam Kisah Para Rasul
Kata-kata
dalam Kisah Para Rasul 2:36 berarti bahwa sejak kematian dan kebangkitan Yesus,
Allah telah mengagungkan Dia dan menyatakan Dia bukan hanya sekedar Mesias
tetapi Mesias-Tuhan, yaitu Mesias yang dinobatkan. Dalam Kisah Para Rasul 4:26,
terdapat ungkapan “Yang Diurapinya”. Orang ini segera dikenal sebagai “Yesus,
HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi”. Hal ini merupakan bagian dari
kesadaran-Nya akan panggilan-Nya pada peran Mesias. Pada masa Kristen mula-mula,
pengajaran dan pemberiataan dapat diringkaskan dengan tema pemberitaan “ Yesus
yang adalah Mesias” (Kis. 5:42). Rasul-rasul menganggap ini sebagai misi
mereka. Dalam khotbah Petrus kepada Kornelius ia menyebut Yesus Kristus sebagai
Tuhan atas semua orang, juga menyebutkan pengurapan Allah atas Yesus dari
Nazareth (Kis. 10:36, 38). Walaupun dalam bentuk gelar, nama di sini jelas
meliputi ketuhanan maupun kemesiasan sebagai pengakuan iman (Kis. 24:24). Tema
tentang Mesias terdapat dalam pernyataan Paulus di Tesalonika (Kis. 17:3), dan
di Korintus (18:5). Hal yang sama dikatakan tentang pengajaran Apolos (Kis.
18:28).[9]
2.6.
Mesias
dalam Surat Paulus
Dalam
Roma 9:5 merupakan satu-satunya contoh yang memakai gelar khristos secara khusus dalam arti “Mesias”. Menurut Kisah Para
Rasul, Paulus, segera setelah pertobatannya, tidak hanya mengaku bahwa Yesus
adalah Mesias, tetapi sungguh-sungguh membuktikannya pada orang-orang Yahudi di
Damsyik. Pengenalan akan peran Mesias dalam diri Yesus dengan jelas memainkan peranan
yang penting dalam pertobatannya. Paulus telah sampai pada pandangan Kristus
(Mesias) dengan cara yang baru. Sebagai orang Yahudi, pasti ia memiliki
pandangan yang sama dengan orang-orang sebangsanya mengenai kedatangan Mesias,
yaitu pandangan yang kuat secara politik dan materialistik.[10] Keinginan
Paulus yang terbesar ialah bahwa umat Allah akan menerima Mesias. Bagi Paulus,
kedatangan Mesias akan membawa orang Yahudi bersama dengan bangsa-bangsa dan
menjadikan mereka “menjadi satu manusia baru di dalam iri-Nya, dan dengan itu
mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya di dalam satu
tubuh dengan Allah oleh salib.....”(Ef. 2:15-16).[11]
2.7.
Kesadaran
Yesus sebagai Mesias[12]
Ada beberapa peristiwa
penting di mana orang lain menyebut Yesus “Mesias”, dan kelihatannya Yesus
menerima saja sebutan ini :
1. Ketika
Petrus akhirnya menyadari kebenaran pernyataan Yesus mengenai diri-Nya sendiri,
dan berkata kepada-Nya, “Engkau adalah Mesias” (Mat. 16:16-17), Yesus menjawab
bahwa Petrus “berbahagia” sebab bukan manusia yang menyatakan hal itu
kepadanya, melainkan Bapa di Sorga.
2. Waktu
diadili di hadapan para pemimpin Yahudi, Yesus mengakui bahwa Dialah Mesias
(Mrk. 14:61-62).
3. Yesus
meneymbuhkan seseorang yang dirasuki oleh roh jahat (Mrk. 5:19).
4. Ketika
seorang pengemis Buta yang bernama Bartimeus berseru dan Menyapa Yesus (Mrk.
10:46-52).
Dari
peristiwa di atas dapat tarik sebuah pemahaman mengenai kesadaran Yesus sebagai
Mesias. Pertama, Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya Sang Mesias. Para penulis
kitab Injil menulis cerita-cerita mereka berdasarkan iman mereka terhadap
Yesus. Mereka percaya Yesus lah Mesias karena mereka hidp setelah peristiwa
kebangkitan. Yesus dianggap cocok sebagai seseorang yang telah menggenapi
janji-janji Allah yang dimuat dalam PL. Kedua, Yesus mengetahui, tetapi tidak
pernah mengatakan, bahwa Dialah Mesias. Yesus enggan mengatakannya karena
orang-orang sezaman-Nya mempunyai maksud yang berlainan bila berbicara tentang
Mesias. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus,
Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah
(Mrk. 8:14-21; 9:30-32; 10:35-45). Jika Ia mengakui dan meyatakan
terang-terangan bahwa diri-Nya Mesias, ini akan menimbulkan konfrontasi yang
dini dari pihak penguasa Roma. Ia tidak memakai kata Mesias mengenai diri-Nya
sendiri karena Ia mengetahui, para pendengar-Nya akan mengartikannya sebagai
raja duniawi yang akan mendirikan suatu negara baru. Jelas Yesus tidak
bermaksud menjadi “Mesias” seperti itu. Ia dengan tegas menolak pandangan
tersebut sewaktu Ia dicobai. Seluruh pelayanan-Nya dituangkan dalam suatu
rangka yang akan meyembunyikan pernyataan diri-Nya sebagai Mesias dari orang
yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan maksud-Nya; namun bagi yang
benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang sejati akan terungkap.
2.8.
Kesimpulan
Yesus merupakan penggenapan dari
pengharapan akan Mesias yang dinubuatkan dalam kitab-kitab dalam PL. Memang
timbul pemahaman yang berbeda mengenai arti dan makna Mesias dalam tradisi Pl
dalam umat Yahudi dengan arti dan makna Mesias yang ingin Yesus nyatakan dalam
diri-Nya. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus,
Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah.
Ini menyebabkan Yesus enggan untuk menyatakan diri-Nya sebagai Mesias secara
eksplisit. Namun Yesus sadar akan diri-Nya sebagai Yesus. Yesus menyembunyikan
identitasnya untuk menghindari konfrontasi dan meyembunyikan pernyataan
diri-Nya sebagai Mesias dari orang yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan
maksud-Nya; namun bagi yang benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang
sejati akan terungkap.
2.9.
Refleksi
Arti dan Makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dalam Kehidupan Beregreja
Ada
beberapa arti dan makna yang dapat kita teladani dari kesadaran Yesus sebagai
Mesias. Pertama, Kehadiran Yesus di dunia sebagai Mesias bukan sebagai pemimpin
dalam arti politis ataupun duniawi, namun kehadiran-Nya di dunia merupakan
sebagai pemimpin yang melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak
Allah. Yesus memberikan seluruh hidup-Nya sebagai tebusan semua orang, agar
semua orang yang ditebus di dalam nama-Nya kembali kepada Allah satu-satunya
sumber keselamatan. Sama halnya dengan gereja sebagai bentuk manifestasi dari
kehadiran Yesus harus menunjukkan sikap yang melayani dengan rendah hati dan
penuh ketaatan kepada Allah, gereja harus dapat memberikan pemahaman dan
pengenalan yang benar mengenai Yesus sebagai Mesias yang menyelamatkan umat
manusia.
Kedua,
sikap yang perlu diteladani dari kesadaran Yesus sebagai Mesias adalah sikap
Yesus yang menyembunyikan identitas-Nya untuk menghindarkan orang dari
pemahaman yang salah yang menimbulkan konfrontasi. Namun Ia menunjukkannya
melalui mujizat dan pengorbanan-Nya di kayu salib, sehingga semua ornag percaya
bahwa Dialah Mesias, Sang Juruselamat. Sebagai umat Kristen, kita jangan hanya
menjadi Kristen KTP. Identitas kita saja yang Kristen namun sikap dan tindakan
kita tidak mencerminkan sikap Yesus Kristus. Maka dara itu sikap kita pun harus
mencerminkan sikap selayaknya Umat Kristen, agar masyarakat dapat melihat karya
Yesus dalam diri kita dan mereka ikut percaya dan mau mengenal Yesus melalui
diri kita. Biarlah orang mengenal pohonnya melalui buahnya.
III.
Daftar
Pustaka
Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005
Drewes, B.F., Satu
Injil Tiga Pekabar, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018
Siahaan, S.M., Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 2008
Ucko, Hans, Akar Bersama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001
Sumber
lain :
Sinta.ukdw.ac.id diakses tanggal 10
April 2019, pukul 19.00 WIB
[1] S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, (Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 2008), 4.
[2] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2018), 266-268.
[3] B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, (Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2012), 130.
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 271-272.
[5] Ibid., 273.
[6] Sinta.ukdw.ac.id diakses
tanggal 10 April 2019, pukul 19.00 WIB
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 269.
[8] Ibid., 275-277.
[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 277-279.
[10] Ibid., 279-281.
[11] Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2001), 92.
[12] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2005), 77-80.
No comments:
Post a Comment