Arti
dan Makna Upacara Kematian
Bagi Suku Batak Toba
Kematian merupakan peristiwa
alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia.
Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur pendek,
ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang
berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada
yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah,
remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak,
peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang
yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka
Cita.
Upacara
kematian pada masyarakat batak toba merupakan pengakuan bahwa masih ada
kehidupna lain dibalik kehidupan dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat
Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang
kepercayaan tentang kehidupan. Saur matua adalah orang yang meninggal dunia
telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya
lengkap/ sempurna dalam kekekrabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah
meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan itu maka harus dilaksanakan
dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun
suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal
seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada drai keturunannya belum
sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus
melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalaui oleh setiap yang
melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai
berikut:
1. Acara Sebelum Upacara di Mulai
Dalam kehidupan ini, setiap manusia
dala suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi
dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mnecapai keinginan
tersebut adalah diluar jangkauan manusia, karena keterbatasan, kemampuan dan
akal pikiran yang dimiliki manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah
mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir
kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi
dikarenakan berbagai hal, misalnya karena penyakit yang diterima dan tidak
dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lainnya yang tidak dapat
diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.
Bagi masyarakat toba bila ada orang
tua yang menderita penyakityang sulit disembuhkan, maka pada keturunannya
beserta sanak family biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut
dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka
pada keturunannya beserta family lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk
menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan berbagai musyawarah,
seperti menentukan hari pelaksanakan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlah nya
serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan
hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunana dan sanak family di
rumah orangtua tersebut dan dipotonhlah seekor ternak babi untuk kemudian
dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan
bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongar
tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan dikampung tersebut).
2.
Acara
Pelaksanaan upacara Kematian Saur Matua
Setelah keperluan upacara selesai
dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua ini dapat dimualai.
Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu:
a.
Upacara di jabu (didalam rumah) termasuk
didalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara dirumah menuju ke
halaman).Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang
meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan
kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan
ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditingalkan duduk, disebelah kanan tempat
disamping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak-anak laki-laki mual
dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil.
b.
Upacara maralaman (di halaman) Kedua
bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum
mengantarkan jenazah ke liang kubur.
1.
Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat upacara
di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu
bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal
ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau
isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang
meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling
besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang
meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya
ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan
semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan
ulos. Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib)
oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan
acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian
kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung,
diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat
yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan
pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih
dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh
suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang
beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan
sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata
atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih). Setelah
acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas
rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua
pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam
rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya
dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun
sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi
memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang
memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka
untuk turut menari bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman
kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat
gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan
topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai.
Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut
berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan
hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri
yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama
dengan suhut hanya tapi mereka paling depan. Kemudian kegiatan margondang
dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu
berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar
dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa
segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan
kehormatan.
Gondang ke dua yaitu
gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya).
Setelah gondang berbunyi, maka semua menari. Gondang Liat-liat, para pengurus
gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan
tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan
meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja. Gondang
Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut
menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka
dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan
pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut. Gondang yang
terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat
hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka
semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
1. Upacara di jabu
menuju maralaman
Keesokan
harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap
dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman.
Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada
waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di
sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri,
hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan
sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja
mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara
gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti
mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan
oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara
hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan
sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos
sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di
depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang
meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas
kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah
kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
2. Upacara
Maralaman (di halaman rumah)
Upacara
maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di
dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus
diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna).
Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini
posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika
mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri
(yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen
(menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di
hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak
boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di
samping kanan rumah duka.
Semuanya
mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi
kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat
diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan
Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika
di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman
rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada
di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan
instrumennya masing-masing.
Setelah semua
unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja
membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu
pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari
pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian
rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali
mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut
nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar
kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga
akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa
mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut
tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu
Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi
yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan
dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis
gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan
kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan
gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan
digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak
pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut. Kemudian pengurus gereja meminta gondang
Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut
saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan
unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan
meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur
Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini
selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta
kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu
menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan
margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang
Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda
sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan
tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka
menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi
pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan
ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut. Setelah hasuhutan
selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga
dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada
suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil
memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak
hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos
kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak
perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos
holong.
Biasanya
setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula,
lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang
mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri
dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap
kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan
mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali. Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu
menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong
daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang
berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus
berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada
pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua
unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara
gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata
sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat
dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang
telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan
boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh
hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya
kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang
turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah
Upacara Kematian.
Sesampainya
pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka
acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan
tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta
atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini
dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada
beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang
diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
·
Kepala untuk tulang
·
Telur untuk pangolin
·
Somba-somba untuk bona tulang
·
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
·
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
·
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah pembagian jambar ini selesai
dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal
saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”,
yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan
masing-masing dan keadaan. Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka
diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari
ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau
abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang
meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang
ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta
kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai
kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah
selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa
hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula dating untuk
mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal
saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan
keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi,
berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah
acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua.
Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena
faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal
tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada
orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat
menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para
kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia
itu di dunia dan di akhirat. Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka
pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan
Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan
natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur
khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak
menyimpang dari adat yang sudah ada.