Showing posts with label BATAK TOBA. Show all posts
Showing posts with label BATAK TOBA. Show all posts

BAGINDA SOALOON DAN BORU PANJAITAN (Sejarah Hutabarat Parbaju Bosi)

BAGINDA SOALOON DAN BORU PANJAITAN

(Sejarah Hutabarat Parbaju Bosi – sekarang dikenal Parbaju Tonga)

       Menurut buku silsilah marga-marga Batak, tulisan Richard Sinaga bahwa Baginda Soaloon ini beristri dua, istri pertama boru baringbing dan istri kedua boru Panjaitan. Istri kedua ini sangat cantik dan terkenal di samping itu dia juga keturunan dukun besar.

         Dalam buku Pustaka Batak, tulisan W.M Hutagalung bahwa pada suatu hari boru Panjaitan pulang dari ladang dan dia melihat dari kejauhan bahwa ada seekor ular masuk yang ingin masuk kerumahnya dan segeralah dia berlari dari kejauhan menuju kerumahnya melalui pintu belakang rumahnya berhubung ular tersebut masih di depan pintu rumah. Boru Panjaitan menceritakan tentang ular tersebut setelah suaminya tiba di rumah. Bersama suaminya Baginda Soaloon menyerahkan bertih yang diucapkan bunyinya “inilah Ompung pemberian kami kepadamu, Ompung telah datang mengunjungi kami, semogalah selalu selamat dan mendapat peruntungan”.

    Sebulan setelah kedatangan ular itu, ketika Baginda Soaloon tidak dirumah, datang seorang lelaki tampan. Lalu boru Panjaitan melempangkan lage tiar (tikar pandan) dan dipersilahkan duduk dan menyajikan makanan berbentuk ayam bakar karena tadinya mau dipersiapkan daging babi tetapi tamunya tidak memakan daging babi, tapi anehnya sang tamu hanya menghirup uap makanan, tidak  makan seperti biasa. Setelah itu sitamu langsung pulang dan berpesan agar tikar pandan yang diduduki tadi disimpan baik-baik dan terhormat. Setelah 7 malam, barulah bisa dibuka gulungan tikar tersebut. 

    Setelah tiba waktu yang telah ditentukan, tikar pandan itupun dibuka, ternyata mereka menemukan sebungkah emas dan sebilah pisau bergagang emas. Mereka bergembira mendapatkan benda-benda yang berharga tersebut. Malam harinya silelaki tampan datang dan menanyakan apa yang ditemukan setelah membuka gulungan tikar itu. Baginda Soaloon dan isterinya boru Panjaitan menceritakan hal yang sebenarnya terjadi dan apa yang mereka dapati. Lalu silelaki tampan itu berpesan agar pisau itu tidak digunakan dengan sembarang. Apabila pisau itu hendak dihunus atau dibuka dari sarungnya, hendaknya dimandikan terlebih dahulu dengan air jeruk purut. Penggunaannya pun untuk menyembelih kerbau sebagai persembahan kepadaku, kata silelaki tampan tersebut kepada Baginda Soaloon dan Boru Panjaitan.

        Sekitar 3 bulan kemudian, silelaki tampan datang lagi memberi baju besi, kalung emas dan tas tangan bertali rantai emas. Semuanya itu menjadi harta berharga pada keluarga Baginda Soaloon dan keturunannya. Keturunan Baginda Soaloon pun dikenal menjadi HUTABARAT PARBAJU BOSI, yang kemudian hanya HUTABARAT PARBAJU. Ketika Tuanku Rao dari Sumatera Barat (Bonjol) datang ke Tapanuli, Baju Besi itu hilang tidak tahu kemana rimbanya. Ada sebagian masyarakat Hutabarat Parbaju Bosi mengatakan bahwa Baju Besi tersebut dibawa oleh Belanda dan yang tinggal hanya Pisau dari Baginda Soaloon. Pisau sampai sekarang masih berada di HUTABARAT PARBAJU. 

        Dalam keterlibatan keturunan Baginda Soaloon terkait Pisau yang masih ada sampai saat ini, selalu dilaksanakan upacara khusus siapa yang akan menjadi Ketua Baginda Soaloon. Masyarakat Hutabarat Parbaju akan berjalan dari tempat pemegang asal pisau sampai ke makam Ompu Baginda Soaloon. Sembari berjalan dari rumah ketua sebelumnya, pisau tersebut akan di gendong oleh seorang wanita yang sudah tua dan tidak bisa berketurunan (sining ; bhs Batak Toba). Upacara tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2018 kemarin di Hutabarat Parbaju – Makam Ompu Baginda Soaloon.

*Jika ada kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian keterangan mohon dimaklumi. Karena hal ini bersumber dari beberapa buku dan cerita orangtua Marga Hutabarat Parbaju.


Share:

Arti dan Makna Upacara Kematian Bagi Suku Batak Toba


Arti dan Makna Upacara Kematian 
Bagi Suku Batak Toba

               Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.
Upacara kematian pada masyarakat batak toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupna lain dibalik kehidupan dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan. Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/ sempurna dalam kekekrabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan itu maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada drai keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalaui oleh setiap yang melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:

1.   Acara Sebelum Upacara di Mulai
        Dalam kehidupan ini, setiap manusia dala suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mnecapai keinginan tersebut adalah diluar jangkauan manusia, karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal, misalnya karena penyakit yang diterima dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-sebab lainnya yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.
         Bagi masyarakat toba bila ada orang tua yang menderita penyakityang sulit disembuhkan, maka pada keturunannya beserta sanak family biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta family lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan berbagai musyawarah, seperti menentukan hari pelaksanakan adat panulangion itu, jenis  ternak yang akan dipotong, dan jumlah nya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunana dan sanak family di rumah orangtua tersebut dan dipotonhlah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongar tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan dikampung tersebut).
2.         Acara Pelaksanaan upacara Kematian Saur Matua
           Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua ini dapat dimualai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu:
a.    Upacara di jabu (didalam rumah) termasuk didalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara dirumah menuju ke halaman).Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditingalkan duduk, disebelah kanan tempat disamping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak-anak laki-laki mual dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. 
b.      Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.
1.         Upacara di jabu (di dalam rumah)
                  Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos. Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih). Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.
       Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan. Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
           Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.



1. Upacara di jabu menuju maralaman
 Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
2. Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.  Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut. Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali. Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
·         Kepala untuk tulang
·         Telur untuk pangolin
·         Somba-somba untuk bona tulang
·         satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
·         Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
·         Leher dan sekerat daging untuk boru
    Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan. Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula dating untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.
   Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat. Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.



Share:

Umpasa dan Umpama


Umpasa dan Umpama
I.                   Patujolo
 Di parngoluon ni halak batak adong do na ni dok umpasa dohot umpana jala on jot-jot di pangke di ganup-ganup ulaon ni halak batak, marhite sian umpasa dohot umpama I do tarida hadirion habata-onta. umbahen i di tingkion naeng ma hita patorangkon taringot tu umpasa dohot umpama tu piga-piga ulaon ni halak batak.    
II.                Pembahasan
2.1.  Lapatan ni Umpasa
Umpasa I ma na marisi pangidoan pasu-pasu, hagabeon, pangaramotion dohot sude angka na uli, silehonlehon ni Tuhan i.[1] Jala umpasa i songon sada pantun manang boi ma didok hata parjolo patoranghon hata parpudi.[2]
a.      Umpasa di Ulaon Pamasu-masuon[3]
Ø  Sada tangan siamun, sada tangan hambirang;
 Manumpak ma Amanta Debata,
Diparsaripeonmuna unang olo sirang.
b.      Umpasa di Ulaon Na Tardidi
Ø  Sahat-sahat ni solu ma, di rondang ni bulan;
 Leleng ma ibana mangolu mangu-sung
 Goarna I, sai tongtong diiringiring Tuhan


c.       Umpasa di Ulaon Manghatindakhon Haporseaon
Ø  Martahuak manuk di toru ni bara ruma,
Na pantun marnatoras, ido halak na martua
d.      Umpasa di Ulaon Na Martohonan (Penabalan Sintua/ Pandita)
Ø  Siala gumba siarum na tata;
asa unang lupa damang di tona ni Debata
e.       Umpasa di Na Monding (Mangapuli)
Ø  Hau ni gunungtua, dangkana mardagul-dagul;
 Tibu ma dilehon Tuhanta dihamu tua,
 Jala tibu ma hamu di apul-apul
f.       Umpasa Tingki Parsirangan (Perpisahan)
Ø  Mangerbang bunga-bunga, di tiur ni mataniari;
Selamat jalan ma dihamu, selamat tinggal ma di hami
Ø  Pidong sitapitapi, habang diatas hauma;
Horas ma hamu na hupaborhat hami,
Horas ma hami na tinadingkon muna
2.2.  Lapatan ni Umpama
Umpama ima hata tudosan hampir mirip tu Falsafah ni natua-tua, Molo mandok umpama, unang hata (isi) ni Umpasa didok jala sebalikna molo mandok Umpasa unang ma hatani Umpama didok, asa taparrohahon ma I molo mandok Umpama manang Umpasa.[4]
a.      Umpama di Ulaon Pamasu-masuon[5]
ü  Bintang na rumiris,
Ombun na sumorop
Anak pe riris,
Boru pe torop
Lapatanna: hata pangidoan pasupasu, anggiat gabe situtu anak dohot boru na pinasupasui
b.      Umpama di Ulaon Na Tardidi
ü  Mangimbur songon ansimun,
Mabalga songon gundur,
Lapatanna : hatop magodang: nidok tu dakdanak.
c.       Umpama di Ulaon Manghatindakhon Haporseaon
ü  Manomba di tano nidegem
Manomba di langit jinujungmu
Lapatanna: Patuduhon toruk ni roha
d.      Umpasa di Na Monding (Mangapuli)
ü  Sarindan ni pinasa,
Tanotano ni hapadanan
Na manginjam do di hosa,
Tano do nampunasa badan.
Lapatanna: na ingkon marujung do ngolu on
III.             Panimpuli
Sian hatorangan na di ginjang boi ma taida umpasa ima na marisi pangidoan pasu-pasu, hagabeon, pangaramotion dohot sude angka na uli, silehonlehon ni Tuhan i. Jala umpasa i songon sada pantun manang boi ma didok hata parjolo patoranghon hata parpudi. Umpama ima hata tudosan hampir mirip tu Falsafah ni natua-tua.
IV.             Angka Buku Panguhalan
J. Sihombing, Umpama Batak dohot Lapatanna, P. Siantar: Penerbit PARDA, 1976 S.T.P.Siahaan, Angka Umpasa dohot Umpama Batak, Jakarta:--, 2015
Sumber lain:




[1] J. Sihombing, Umpama Batak dohot Lapatanna, (P. Siantar: Penerbit PARDA, 1976), 5
[3] S.T.P.Siahaan, Angka Umpasa dohot Umpama Batak, (Jakarta:--, 2015), 7-64
                [4] http://sian-porsea.blogspot.co.id/2011/09/pengertian-umpasa-umpama-dan-falsafah.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2017
[5] J. Sihombing, Umpama Batak dohot Lapatanna, 152-205
Share:

POSTINGAN POPULER

Postingan Berdasarkan Kategori

Total Pageviews

FOLLOWERS