Latar Belakang Sejarah Penafsiran Alkitab Secara Kanonis dan Urgensinya dalam Gereja saat ini
I.
Pendahuluan
Kanon Alkitab adalah
kumpulan Kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak
menjadi tolak ukur bagi iman umat, proses pengkanon Alkitab yang biasa dikenal
dengan istilah “Kanonisasi” adalah
proses yang berlangsung sebuah proses yang berlangsung selama berabad-abad.
Kanonis bukan hanya melihat apa yang dikatakan teks itu, tetapi juga melihat
arti/ makna teks tersebut pada gereja saat ini.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Kanonis
Kanon dalam bahasa Yunani berarti penggaris atau ukuran dan
dikenakan pada kitab-kitab dalam Alkitab yang dianggap otoritatif baik dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[1]
Menurut Sanders kanonis adalah subdisiplin aksegese yang mengutip hal-hal
kritik sejarah seperti dalam teori sumber, bentuk dan redaksi dan mencari
sesuatu untuk menentukan fungsi tradisi purbakala dalam konteks sejarahnya.[2]
Istilah kanonis ini berakar di dunia semit. Dalam bahasa ibrani kanon berasal
dari kata kanneh yang berarti:
teberau, gelagah, atau buluh. Karena gelagaah itu panjang maka dipergunakan
selaku pengukur, oleh sebab itu kata ini dipakai juga dalam arti: tongkat
pengukur.[3]
2.2.
Latar Belakang Sejarah
Penafsiran Alkitab Secara Kanonis
Pertama-tama yang menggalakan metode kanonis adalah Brevard
Childs dalam buku-bukunya sejak tahun 1964. Childs menekankan bahwa eksegese
teologi harus dikembangkan dalam lingkaran hermeneutika, yang berhubungan secara
dialektis, yaitu:
1.
Teks yang tinggal di baca dalam terang kesaksian PL
2.
PL dibaca dalam terang PB, demikian sebaliknya
3.
PL dibaca dengan terang pernyataan teologinya sendiri,
demikian sebaliknya.
Yang
artinya mencari sesuatu untuk mendengar firman Allah dalam teks jadi bukan
kata-kata tokoh-tooh Alkitab, kesaksian mereka itu adalah wahana untuk Firman
Allah.
Dalam konteks teologi PL Childs memprioritaskan “kanon dalam
kanon”, dimana usahanya untuk menekankan pada sistematika teologi PL atau yang
meloksikan pusat teologi PL sebagai “sejarah keselamatan” melalui sejarah
tradisi.Dalam konteks “kritik baru”, tampaknya ada kaitan kritik Childs yang
berkembang dalam sastra Amerika sejak tahun empat puluhan atau lima puluhan.
Setelah Childs timbul James Sanders, yang menekankan proses
kanon (canonical process). Kritik kanon menurut Sanders adalah subdisiplin
eksegese yang mengutip hasil-hasil kritik sejarah (historical criticism)
seperti dalam teori sumber, bentuk dan redaksi dan mencari sesuatu untuk
menentukan fungsi tradisi purbakala dalam konteks sejarahnya. Dari buku “ Torah
dan Kanon”, Sanders memusatkan bentuk yang kanonis dari Torah dan proses
sejarah yang mengembangkannya.
Buku Sanders yang lain menyangkut hubungan kanon dan
paguyuban dimana ia membahas proses kanonis dan hermeneutika kanon. Proses
kanon yang dibahas disini sebagai pengembangan dari pikirannya tentang Torah
dan Kanon. Peneliti harus mencari sesuatu untuk jejak sejarah dari jalan-jalan
paguyuban. Menyangkut hermeneutika kanon, Sanders menemukan adanya segitiga
antara hermeneutika, teks/tradisi-tradisi dan konteks situasi-situasi. Ketiga
unsur itu butuh bagi paradigma penafsir untuk paguyuban orang beriman, yang
modren. Apabila Childs menekankan hasil kanon maka Sanders menekankan proses kanon.
Bagi Sanders bukanlah tradisi Alkitab yang berwewenang tetpi
ditentukan oleh rangka hermeneutik atau paradigma-paradigma penulis Alkitab
yang menyadur tradisi-tradisi ini pada situasi yang berada secara hermeneutika.[4]
Penafsiran Alkitab secara kanonis dimulai sekitar tahun
1970-an. Munculnya penafsiran ini karena tidak senang kepada analisis sejarah,
dan merasa kwatir terhadap budaya barat yang tidak mengenal Alkitab dan
mundurnya Gerakan Teologi. Sebab anlisis sejarah berusaha menyusun kembali
peristiwa dan sejarah yang ada dibelakang kitab biblikal, yang sering
melalaikan makna kitab itu sendiri. Analisis sejarah menaruh perhatian besar
kepada sebuah kitab serta asal mula dan proses transmisinya. Namun penafsir
analisis sejarah tidak berdasarkan kitab itu serta bentuk terkahir kitab itu.
Dengan demikian hal-hal kecil diperhatikan, sedangkan Alkitab secara menyeluruh
di lalalikan.[5]
Dalam analisis kanonikal semua analisis harus dipakai dengan
syarat bahwa Alkitab ditafsir dalam bentuknya terakhir dan dengan statusnya
sebagai kanon. Ini berarti pola penafsiran yang digunakan mereka adalah
sinkronis, yaitu Akitab secara kesastraan ditafisr menurut bentuk terkahirnya
dan secara teologi seluruh isi Alkitab diperhatikan. Alkitab harus dibaca
sesuai dengan istrinya dan juga fungsinya. Dari susut isi, Alkitab meneruskan
berbagai tulisan rasul yang memberikan informasi kepada komunitas kristen. Dari
sudut segi, Alkitab adalah kanon yang menjadi patokan iman komunitas kristen.
Jadi Alkitab terus memainkan peran yang membentuk kehidupan gereja dalam hal
beribadah dan bersaksi.[6]
2.3.
Tokoh-tokoh
Penafsiran Kanonis
1.Breavard Childs
Childs menekankan
bahwa eksegese teologi harus di kembangkan dari dalam lingkaran hermeneutika
yang berhubungan secara dialektis.
2. James Sanders
Subdisiplin eksegese
yang mengutip hasil-hasil kritik sejarah seperti dalam teologi sumber, bentuk
dan redaksi serta mencari sesuatu untuk menentukan fungsi tradisi purba kala
dalam konteks sejarahnya.
3. M.C Person
Menurutnya ada dua
prinsip tentang kritik kanonis yaitu bentuk akhir teks sebagai hasil yang
kanonis dan faktor-faktor historis dalam kanon sebagai proses yang kanonis.[7]
2.4.
Tujuan Penafsiran
Kanonis
Tujuan dari penafsiran kanonikal ini adalah untuk
melaksanakan tugas teologi dari penafsiran Alkitabiah secara lebih baik dengan
berpangkal Ekspilist (Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh).[8]
Pendekatan kanonikal mencoba meletakan masing-masing teks dalam rencana tunggal
Allah, dengan tujuan sampai pada suatu penafsian kita suci yang sunguh-sungguh
valid untuk jaman sekarang ini untuk mengganti metode historis kritis, namun
sebaliknya metode kanonikal menjadi harapan untuk melengkapi metode historis
kritis.[9]
Tujuan analisa kanonis untuk membuat ruangan bagi kegiatan yang berlanjut dari
eksegese sebagai suatu disiplin gereja. Penelitian dengan kritik kanonis
dilakukan dengan memperhitungkan interaksi persekutuan umat dengan teks, dimana
Alkitab orang Kristen memberikan kesaksiannya sebagai kanon, baik secara
pribadi maupun secara kolektif.[10]
2.5.
Ciri-ciri Penafsiran
Kanonis
1.
Pendekatan kanonik bersifat singkronis, artinya mengarahkan
perhatiannya pada hubungan teks dengan pembaca. Dalam hal ini, penafsir kanonik
memiliki banyak kesejajaran dengan kritik redaksi dan penafsiran struktural.
Teks yang ditafsirkan adalah teks dalam bentuk akhir, maksudnya bentuk teks
yang telag berstatus kanonik.
2.
Pembacaan kanonik bersifat singkronis atas sebuah teks akan
berbeda-beda bergantung pada umat beriman yang sedang membaca dan kanon yang
mana pula yang tengah dibaca. Kanon kristen disusun dalam empat pembagian
berikut: Taurat, Kitab-Kitab Sejarah, Kitab-Kitab Puisi dan Kitab Nabi-Nabi.
3.
Kanonisasi membuat arti nats tidak bergantung kepada
pemakaian kata awal atau pemakaiannya dalam sejarahnya. Proses kanonisasi ini
melonggarkan hubungan teks-teks dengan situasi-situasi historisnya yang khusus
dan membuat teks-teks itu terbuka untuk kalangan yang lebih luas melampui
pendengaran-pendengarannya semula.
4.
Pendekatan kanonik menolak untuk membagi-bagi teks ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil, dan dengan demikian menolak untuk menafsirkan
teks secara sendiri-sendiri. Sebuah teks harus dibaca sebagai baguan dari
Alkitab secara keseluruhan kitab yang lebih besar lagi, yaitu kanon seluruhnya.
5.
Pendekatan kritik kanonik jelas bersifat teologis. Jika
penelitian historis kritis bertanya apa maksud semula kitab-kitab dalam Alkitab
atau bagian-bagianya, maka kritik kanonik memusatkan perhatiannya atas maksud
teks bagi peguyuban yang mengkanonisasikannya dan atas artinya untuk masa kini.[11]
2.6.
Langkah-langkah
Penafsiran Kanonis[12]
1.
Menjelaskan nats
2.
Menempatkan keadaan
3.
Menguji nats yang
telah dibutuhkan
4.
Membuat kritik aparatus
5.
Membuat terjemahan akhir
2.7.
Langkah-Langkah
Memahami Metode Kanonik
1.
Tulisan kanonik itu dibaca dengan harapan-harapan yang
berlainan dari yang diberikan terhadap tulisan lain mana pun. Umat yang percaya
membaca dan mendengarkan Alkitab karena menganggap ada kaitannya dengan masa
kini dan berharap agar melalui kata-kata Alkitab itu mereka mereka mendengar
kesaksian tentang Allah, jika bukan
suara Allah.
2.
Sebuah teks kanonik menghadapkan pendengarannya pada suatu
tuntutan mutlak untuk menerima iman dengan beribawa, teks itu mendesakan
dirinya sendiri kepada pendengarannya.[13]
2.8.
Hal-hal yang Perlu
Diperhatikan Dalam Metode Penafsiran Kanonis[14]
Penafsir kanonikal
atau analisis kanonikal ialah membaca dan menafsirkan teks-teks Alkitabah
sebagai kitab suci yang kanonik. Sehubungan dengan penafsiran kanonikal, ada
beberapa hal yang harus di perhatikan.
1.
Pendekatan kanonik
bersifat sinkronis, jadi mengarahkan perhatiannya pada hubungan teks dengan pembaca.
2.
Pembacaan kanonik atas
sebuah teks akan berbeda-beda bergantung pada umat beriman mana yang sedang
membaca dank anon mana pula yang tengah di baca.
3.
Kanonisasi membuat
arti nas tidak bergantung lagi pada pemakaian kata itu semula atau pemakaiannya
dalam sejarahnya.
4.
Pendekataan kanonik
menolak untuk membagi-bagi teks ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, dan
dengan demikian menolak untuk menafsirkan teks secara sendiri-sendiri.
5.
Pendekatan kritik
kanonikal jelas bersifat teologis.
2.9.
Urgensi Penafsiran
Alkitab sacara Kanonis dalam gereja saat ini[15]
Urgensi penafsiran Alkitab sacara kanonis dalam gereja dapat
kita lihat melalui kelebihan-kelebihan dan kekurangan dari penafsiran Alkitab
secara kanonis:
Metode
penafsiran kanonikal memilki kelebihan yaitu sebagai berikut:
1.
Melihat Alkitab dan menghargai otoritas Alkitab sebagai
Firman Allah. Alkitab adalah firman Tuhan yang di interpretasikan kedalam
konteks saat ini.
2.
Menghargai hubungan keseluruhan kitab suci dengan
meisah-misahkan kitab yang satu dengan yang lain, sehingga makna teologisnya
menjadi nyata
3. Lebih berfokus
kepada arti teks tersebut pada masa kini dari pada teks masa lalu dan membentuk
penafsiran yang holistik dan teologis.
Metode penafsiran kanonikal memilki kekurangan yaitu
sebagai berikut:
1.
Kurang menekankan kepada kritik konteks dan sejarah, sehingga
kurang mendalam untuk melihat teks ditafsir berdasarkan waktu penulisannya
2.
Adanya perbedaan kanon pemelihara kitab suci (Yahudi,
Katolik, Ortodoks dan Protestan)
3.
Akan ada berbgai penafsiran karena hal ini ditentukan oleh
masing-masing pembaca nats tersebut.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa penafsiran kanonis adalah suatu
penafsiran yang pokok perhatiannya ialah teks Alkitab dalam bentuk kanonis,
tujuannya untuk berupaya memahami pendalaman Alkitab secara menyeluruh tidak
sebagian dan Alkitab dipandang sebagai suatu kesatuan. Dalam penafsiran kanonis
juga bertujuan untuk menyempurnakan Historis Kritis atau mengoreksi historis
Kritis sehingga menghasilkan yang lebih baik dan untuk mengetahui makna aslinya.
IV.
Daftar pustaka
Browning W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2007
Duyverman M.E., Pembimbing
ke dalam Perjanjian Baru, Jakarta:BPK-GM, 2015
H Jhon, & Carl, Hollady, Pedoman Menafsir, Jakarta: BPK: Gunung
Mulia, 2005
Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Di dalam Gereja, Yogyakarta:
Kansius, 2001
Marlina Manulang, Rekaman Catatan, 14 November 2012
Purba Grace Ana, Mencari
Tuhan: Suatu Tinjauan Eksegese Kanonikal Terhadap II Tawarikh 15:8-15 dan
Implementasinya Bagi Gereja Masa Kini”, Skripsi S.Th, (Sekolah Tinggi Teologi
Abdi Sabda, Medan, 2013), 59-60
Sitompul A. A., Ulrich Beyer,
Metode Penafsiran Alkitab, Jakarta:
BPK-GM, 2002
Susanto Hasan, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, Malang: Dapertemen
Literatur SAAT, 2007
[1] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta:
BPK-GM, 2007), 170
[2] A. A. Sitompul, Ulrich Beyer, Metode
Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 274
[3] M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, (Jakarta:BPK-GM,
2015), 190
[4]A. Sitompul, Ulrich Beyer, Metode
Penafsiran Alkitab, 274-275
[5] Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab,(Malang:
Dapertemen Literatur SAAT, 2007), 204
[6] Hasan Susanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab,
205-206
[7] A. A. Sitompul, Ulrich Beyer, Metode
Penafsiran Alkitab, 274-275
[8] Jhon H, & Carl, Hollady, Pedoman Menafsir,(Jakarta: BPK: Gunung
Mulia, 2005), 153
[9] Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Di dalam Gereja,
(Yogyakarta: Kansius, 2001), 65-66
[10] A.
Sitompul, Ulrich Beyer, Metode Penafsiran
Alkitab, 281
[11] A. Sitompul, Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, 150-154
[12] J.
H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman
Penafsiran Alkitab, 150-152
[13] Jhon H, & Carl, Hollady, Pedoman Menafsir, 150- 151
[14] Marlina
Manulang, Rekaman Catatan, 14
November 2012
[15]
Grace Ana Purba, Mencari Tuhan: Suatu Tinjauan Eksegese Kanonikal Terhadap II Tawarikh
15:8-15 dan Implementasinya Bagi Gereja Masa Kini”, Skripsi S.Th, (Sekolah
Tinggi Teologi Abdi Sabda, Medan, 2013), 59-60
No comments:
Post a Comment