Penginjilan Pada Masa Antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Gerakan Misi yang Dilakukan Israel Pada Masa Pembuangan/ Setelah Pembuangan (Diaspora)


Penginjilan Pada Masa Antara
 Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Gerakan Misi yang Dilakukan Israel 
Pada Masa Pembuangan / Setelah Pembuangan (Diaspora)

I.                   Pendahuluan
Dalam sejarah perjalanan bangsa Israel sebagai umat Allah, berdasarkan kesaksian Alkitab dapat kita saksikan pasang surut hubungan antara Israel dengan Allah. Sebagai umat Allah tentulah Allah menjaga dan mengiringi perjalanan bangsa pilihan-Nya. Namun seiring berjalannya waktu Israel didapati adalah sebuah bangsa yang tegar tengkuk (Kel. 32:9; 33:3, 5;34:9; Ul. 9:6, 13; 10:16), mereka tidak setia pada Tuhan. Dalam beberapa kasus mereka tidak mengindahkan Tuhan, yaitu dengan menyembah ilah-ilah lain. Hal ini terjadi beberapa kali sehingga menyebabkan Tuhan murka. Oleh karena itu Tuhan menghukum Israel untuk dijajah oleh bangsa-bangsa. Israel pecah menjadi dua bagian, yaitu Israel Selatan dan Israel Utara (1 Raj. 12:1-24). Bukan hanya sampai di situ saja, dapat kita lihat Tuhan menginzinkan Israel dijajah dan mengalami masa pembuangan di Babel. Selama 70 tahun bangsa Yahudi berada dalam jajahan bangsa Persia dan bangsa Edom menduduki sebagian dari Yehuda Selatan dan permusuhan antara orang Samaria dan Yahudi terus berlangsung. Namun setelah genap 70 tahun, Allah melepaskan bangsa-Nya dari pembuangan di Babel. Lalu berakhirlah masa Perjanjian Lama (PL). Selanjutnya dalam Alkitab kita akan melihat bagaimana kelanjutan kisah dari bangsa Israel yang dapat kita lihat dalam Perjanjian Baru (PB). Namun ada masa di mana sebelum Perjanjian Baru itu dimulai.
Kurun waktu antara pulangnya umat TUHAN dari Babel dan kelahiran Juruselamat, Yesus Kristus, adalah ± 500 tahun. Selama kurun waktu itu kedudukan Israel sebagai bangsa yang terasing tidak berubah secara prinsipiil. Israel tetap diasingkan dari bangsa-bangsa lain oleh perjanjian dan hukum Tuhan. Masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ini disebut juga masa “Diaspora”. Apakah Diaspora itu? Bagaiamana Israel tetap menjalankan kewajibannya sebagai umat Tuhan? Bagaimana Penginjilan yang terjadi selama masa itu? Dalam paper ini akan kita lihat bagaimana proses-proses tersebut berlangsung. Selamat belajar!

II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Diaspora
Istilah Diaspora sendiri adalah sebuah mata uang dari terjemahan Torah Yunani Alexandria, istilah ini muncul pertama kali dalam Ul. 28:25; 30:4-5.[1] Sebuah turunan dari akar kata Yunani dari kata dia + sperein yang berarti menyebar, menabur.[2] Dalam konteks bangsa Israel, kata ini berarti penyebaran, perserakan, perantauan orang-orang Yahudi di luar Palestina sesudah pembuangan di Babel. Sesudah pembuangan di Babel, kaum Yahudi hidup berserak-serak atau “dalam diaspora”.[3] Penyebaran ini dimulai dengan deportasi[4] ke Asyur (abad ke-8 sM) dan Babel (abad ke-6 sM),[5] F. D. Wellem menyebutkan masa ini terjadi pada tahun 722 sM (Asyur) dan tahun 579 sM (Babel).[6] Setelah pembuangan Israel dikuasai oleh berbagai Bangsa lain: Asyur, Babel, Persia, Yunani, Roma (bnd. Dan. 2:7-12).[7] Yang tinggal di Palestina sejuta saja sedang di luarnya kira-kira enam juta orang. Mereka berprofesi sebagai saudagar yang berdagang di segala kota besar di sekitar bagian timur Laut Tengah dan di kota Roma. Pada masa Tuhan Yesus di Roma terdapat 10.000 orang Yahudi di antara 600.000 kota itu. Di Mesir jumlah orang Yahudi sampai 1.000.000 banyaknya. Di Aleksandria sepertiga dari penduduk adalah orang Yahudi.[8] Pada masa setelah pembuangan tidak semua dari bangsa Yahudi memilih untuk kembali ke kampung halaman mereka, keluarga-keluarga yang telah hidup berkecukupan memilih untuk menetap di Babel, yang mana mereka berhasil dalam perdagangan, dalam kekaisaran Persia dan dengan Mesir, dari pada ikut kembali ke Palestina dengan persetujuan Koresy.[9] Dari sana kita dapat melihat bahwa setelah masa pembuangan diberikan kebebasan kepada bangsa Yahudi untuk memilih apakah mereka kembali ke kampung halamannya atau menetap di Babel.
Meskipun mereka berserak-serak, tetapi mereka tetap setia kepada agamanya. Orang Yahudi diaspora ini tetap mempunyai ikatan dengan Palestina, yaitu dengan membayar pajak Bait Allah dan tetap menjalankan agama mereka (Yahudi)[10] diberi hak untuk mempunyai pengadilan sendiri sesuai dengan tradisi mereka,[11] orang Yahudi yang tinggal di kekaisaran Romawi tinggal di setiap kota penting (Yoh. 7:35) sering menempati wilayah tersendiri (seperti di Aleksandria) dan mereka memiliki pemerintahan lokal tersendiri dan pemerintahan ini berpusat di Sinagoge.[12] Mereka juga dibebaskan dari kewajiban mempersembahkan korban kepada kaisar (Romawi). Sedapat mungkin mereka menuruti Taurat Musa dalam dunia pengasingan itu. Di mana-mana terdapat rumah Ibadah (Sinagoge). Pajak untuk Bait Allah di Yerusalem tetap dibayar dan sedapat-dapatnya mereka berziarah ke Yerusalem sekali setahun untuk merayakan hari pesta besar (Paskah, 7 Minggu atau Pentakosta, Pondok Daun)[13] di Bait Allah (contohnya Kis. 2:9-11). Dalam kehidupan sehari-hari mereka (Yahudi) yang dalam diaspora mereka menggunakan bahasa Yunani (Koine) sebab mereka sudah lupa Bahasa Ibrani. Karena itulah Perjanjian Lama diterjemahkan ke Bahasa Yunani, kira-kira tahun 200.000 sM yang kita kenal dengan Septuaginta.[14]

2.2. Tantangan Pada Masa Diaspora
Dalam masa Diaspora, yang mana bangsa Yahudi tidak hidup dalam kesatuan secara politis melainkan berserak-serak. Tentu ada tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Yahudi, terkhusus bagi mereka yang berada di perantauan. Tantangan yang mereka hadapi, di antaranya:
1.      Budaya Helenisme
Helenisme adalah pencampuran budaya pada zaman kejayaan Alexander Agung hingga pada masa Romawi.[15] Budaya ini hidup subur sejak abad ke-4 sM hingga abad ke-5 sM. Kebudayaan ini merupakan campuran antara kebudayaan Yunani asli dan unsur-unsur kebudayaan Asia Barat.[16] Budaya Helenisme diperhadapkan dengan Bangsa Yahudi, secara umum ada dua sikap yang diberikan oleh bangsa Yahudi, yaitu yang menerima dan yang menolak. Selama hampir dua abad hubungan antara orang Yahudi yang menerima dengan baik kebudayaan Helenistik, dan mereka (Yahudi) yang dengan teguh mempertahankan adat istiadat dan keistimewaan Ibrani—dalam arti lain menolak budaya Helenis, tidaklah mudah.[17] Baik bagi orang Yahudi yang berdiaspora maupun yang tinggal di Palestina, Helenisme merupakan bahaya besar karena filsafat Helenisme ini menyamaratakan seluruh kehidupan di seluruh kekaisaran dan kerajaan. Penyeramarataan itu Nampak dalam penggunaan Bahasa Yunani sebagai bahasa umum, dari segi kebudayaan, kebudayaan Yunani dianggap sebagai pola hidup yang paling utama dan yang paling berbahaya adalah pengaruh Heleneisme dalam bidang agama. Dalam persfektif Helenisme semua agama adalah sama. Mitologi Yunani percaya bahwa Zeus sebagai Dewa tertinggi Yunani adalah sama dengan Jupiter, dewa tertinggi Romawi, dan isterinya (Zeus), yaitu Hera sama dengan Yuno (dalam perspektif Romawi), Poseidon (Yunani = dewa lautan) disamakan dengan Neptunus, dsb. Berdasarkan pemahaman ini semua agama dibuat menjadi satu agama umum. Akibatnya terjadi pencampuran dalam agama (sinkretisme). Diperhadapkan dengan Yahudi—bahaya besar yang mencolok, Yahwe, Allah Israel disamaratakan juga seperti Zeus dan Jupiter, sebagaimana disebutkan di atas. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi bangsa Yahudi. Karena mereka dipaksa oleh Raja Antiokhus IV Epifanes,[18] untuk berbakti kepada Zeus dengan mempersembahkan korban babi di dalam Bait Allah di Yerusalem. Banyak orang Israel yang mematuhi paksaan ini, karena takut dan banyak juga yang mati martir karena menolak paksaan ini, karena bagi mereka hanya Tuhanlah Allah yang hidup. [19]

2.      Ejekan
Perbedaan terhadap budaya, bahasa dan agama mengakibatkan bangsa Yahudi diolok-olok dan dihina. Ada orang yang, misalnya mengatakan bahwa orang Yahudi berbakti kepada bintang-bintang di langit, sedangkan yang lainya menyangka, bahwa orang Yahudi mengorbankan manusia sebagai korban persembahan. Orang yang bukan Yahudi heran melihat ibadah yang dilakukan oleh orang Yahudi, sebab tidak ada patung atau sarana dewa yang dapat dilihat. Hal ini sangat aneh bagi mereka. Menurut mereka agama Yahudi adalah agama yang kosong sehingga mereka menolak dengan tertawa mengejek. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami agama Yahudi.[20]

2.3.Misiologi dalam masa antara (Diaspora)
Meskipun Bangsa Israel mengalami tantangan dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain, tetapi Allah tidak meninggalkan bangsa-Nya dan memakai hal yang dialami oleh bangsa Israel sebagai penyebaran firman Allah atau pengenalan akan nama dan kuasa-Nya kepada bangsa-bangsa lain. Ada beberapa signifikansi Misiologis penting yang dapat diuraikan di sini.
1.      Kondisi masa antara menunjukkan bahwa Allah tetap bekerja di dalam kekalutan sejarah manusia, dimana Ia terus berkarya mewujudkan janji berkat-Nya bagi umat-Nya melalui misi-Nya.[21] Israel menjadi Objek misi Tuhan agar bangsa itu bertobat. Karenanya masa-masa ketidakpastian dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain menguji mereka. Apakah mereka itu menyadari statusnya dan bagaimana dengan statusnya itu mereka hidup benar dengan semangat kekudusan Hukum Taurat.[22]
2.      Kondisi masa antara menyiapkan dasar bagi titik balik dalam gerakan misi, di mana dari Yerusalem yang dipakai Allah sebagai pusat misi-Nya, kini ada gerakan penyebaran menggapai bangsa-bangsa. Gerakan penyebaran ini adalah kesaksian umat Allah bagi bangsa-bangsa.[23] Dalam tantangan terhadap budaya Helenisme orang Yahudi berusaha menunjukan keunggulan budaya dan agama mereka. Kaum Yahudi berusaha menampik upaya Helenisme dalam menyamaratakan semua agama, juga penyamarataan kebudayaan kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Di atas telah disebutkan bahwa salah satu tantangan dari bangsa Yahudi adalah ejekan yang mereka terima. Ejekan ini terjadi karena mereka (bangsa lain) tidak memahami dan mengerti agama Yahudi. Dalam kelanjutannya ada upaya untuk menerjemahkan PL kedalam bahasa Yunani, yaitu Septuaginta (LXX). Terjemahan ini sangat berguna dalam membuka mata dunia Yunani/ terhadap pemahaman kepada agama Yahudi itu sendiri. LXX juga menjadi alat untuk menarik banyak orang kepada Tuhan.[24]
3.      Dalam masa antara ini, dinamika nilai-nilai hidup dan pengaruh orang Yahudi menyiapkan jalan bagi bangsa-bangsa (di mana mereka tersebar) untuk mengenal akan Allah (bnd. Kis. 2).[25] Banyak orang yang kendati sangat heran terhadap agama Yahudi (Lihat tantangan nomor 2), tetapi mereka menghormati orang Yahudi. Sebab melihat kesetiaan mereka dalam bergaul dengan Allah yang percaya hanya kepada satu Allah saja (Monoteisme) yang meski tidak kelihatan dan tidak berbentuk.[26] Hal ini bertentangan dengan pandagan orang Yunani yang dalam agama menuntut adanya objek pemujaan dan yang memiliki banyak sekali dewa (yang bias dilihat).
Orang Yunani juga menghormati orang Yahudi terhadap kesetiaan mereka dalam merayakan hari sabat setiap minggu, hukum-hukum ketahiran dan cara hidup mereka, sehingga membuat orang yang bukan Yahudi kagum, yang pada nantinya membuat agama Yahudi dikenal oleh bangsa-bangsa lain.[27]
Dari unsur-unsur di atas maka bisa dilihat secara tidak langsung PI sudah berjalan tanpa disadari oleh bangsa Yahudi sendiri. Hal pertama yang menandakan hal itu adalah bahwa dalam penyebaran (Diaspora) Allah mengijinkan penyebaran itu terjadi sehingga orang Yahudi tersebar seluas mungkin ke seluruh penjuru dunia. Sehingga dengan penyebaran ini nama Tuhan akan semakin dikenal. Hal ini boleh terjadi karena bangsa-bangsa lain memperhatikan bangsa Yahudi dalam menjalankan kewajiban agamanya dan memperhatikan, bahkan menyukai pola kehidupan mereka. Sehingga sebagian dari bangsa-bangsa lain mulai berbakti kepada Tuhan, Allah orang Yahudi. Mereka pada nantinya menjadi takut akan Allah. Artinya, mereka percaya kepada Tuhan dan ingin hidup menurut firman-Nya. Ditambah lagi dengan adanya terjemahan kitab-kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani sehingga semakin memungkinkan bangsa-bangsa lain untuk dapat mengenal dan mempelajari tentang firman Allah, dengan demikian firman Allah menjadi masyhur di kalangan bangsa Asing[28] yang pada nantinya akan membuat mereka menjadi percaya kepada Allah. Orang-orang yang bukan Yahudi yang percaya kepada Allah disebut (dalam bahasa Yunani) sebomenoi atau phoboumenoi (bnd. Kis. 13:43) di antara mereka ada juga yang ingin menjadi anak perjanjian dengan hak penuh, sehingga menerima tanda sunat dan menjadi sama dengan orang Yahudi. Kelompok ini disebut Proselit.[29]
Memang mengenai penerimaan orang non-Yahudi menjadi penyembah Tuhan terdapat pendapat orang Yahudi yang berbeda-beda. Secara garis besar orang Yahudi yang tinggal dipalestina bertindak sangat keras (menolak). Pemimpin-pemimpin mereka, yaitu Mahkamah Agama atau Dewan Yahudi, fanatik sekali menjaga kemurnian. Hukum Adat Musa jangan sekali-kali dinajiskan. Sebaliknya, orang Yahudi yang berdiaspora agak lunak dan terbuka, sehingga bersedia menerima orang luar. Masuknya orang-orang bukan Yahudi menjadi Proselit, bukanlah hasil PI.  Mereka masuk ke dalam agama Yahudi karena mereka tertarik akan keindahan agama Israel. Mereka belajar mengenal Tuhan dan percaya kepada-Nya. Mereka diterima oleh kaum Yahudi sesuai dengan peraturan-peraturan Allah dalam Perjanjian Lama tentang orang asing.[30]
Dari unsur-unsur di atas kendati orang Yahudi tidak giat secara aktif di bidang PI—PI juga belum terstruktur pada masa itu atau belum ditetapkan menjadi sebuah program atau kegiatan dari agama Yahudi,  namun banyak juga orang yang tertarik mempercayai Tuhan. Nama Tuhan disiarkan di seluruh kerajaan Yunani/ Romawi. Dengan demikian Diaspora dipakai oleh Allah untuk menyiapkan dunia bagi penggenapan nubuatan para Nabi: Keselamatan oleh Yesus Kristus bagi seluruh dunia.[31]

III.             Kesimpulan
Amsal pernah berkata, “Hati manusia memikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9). Dalam konteks diaspora, perkataan Amsal ini bisa menjadi suatu gambaran bahwa dalam suatu hal yang tidak dipikirkan oleh manusia atau sesuatu yang menurut pemikiran manusia sesuatu hal yang tidak seharusnya terjadi, tetapi Allah berpikiran lain bukan apa yang dipikirkan oleh manusia yang dilakukan oleh Allah. Melalui peristiwa diaspora ini, secara manusiawi kita melihat bahwa hal ini tidak wajar terjadi terhadap Israel, dengan keyakinan bahwa Israel adalah bangsa Allah, tetapi justru Israel terpecah dan tersebar kemana-mana. Apabila kita mengingat kembali peristiwa Menara Babel (Lih. Kej. 11), pada saat itu manusia berpikir supaya mereka mendirikan suatu menara yang puncaknya sampai ke langit dan mencari nama, supaya mereka jangan terserak ke seluruh bumi (ay. 4), karena pada saat itu mereka satu bangsa dan satu bahasa. Tetapi Allah menghendaki supaya mereka berserak ke seluruh bumi, karena itulah Allah mengacau-balaukan bahasa mereka (Ay. 7-8). Allah ingin supaya nama-Nya dikenal oleh seluruh bangsa. Itulah tanggung jawab yang diemban oleh Israel sebagai umat pilihan Allah. Peristiwa yang bagi bangsa Israel adalah sebuah kekalahan, tetapi dipakai oleh Tuhan untuk memperkenalkan nama-Nya. Sehingga melalui penyebaran itu (diaspora) banyak orang yang mulai tertarik kepada agama Yahudi dan bahkan memberi diri untuk disunat dan hidup sesuai dengan hukum Tuhan. Semoga nama Tuhan dikenal oleh bangsa–bangsa di seluruh dunia. Amin!

IV.             Daftar Pustaka
Sumber Buku
Rajak, Tessa, The Jewish Diaspora, dalam The Cambrige History Of Christianity Origins To Constantine diedit oleh Margaret M. Mitchel & Frances M. Young, Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Napel, Henk ten, Kamus Teologi Inggris-Indonesia, Jakarta : Gunung Mulia, 2011.
Berkhof, H., Sejarah Gereja, disadur untuk Indonesia oleh I. H. Enklaar, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Browning, W. R. F., Kamus Alkitab, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Wellem, F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Venema, H., Injil untuk Semua Orang, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2006.
Bakker, F. L., Sejarah Kerajaan Allah 1: Perjanjian Lama, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Tomatala, Yakob, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumnuhan Gereja, Jakarta : YT Leadership Foundation, 2003.
Naftallino, A., Teologi Misi: Misi di Abad Postmodernisme, Jakarta: Wesleyanist Independent Movement, 2007.

Sumber Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan), diakses dari https://kbbi.web.id/deportasi/ pada 18 Maret 2019 pukul 17.19.



[1] Tessa Rajak, The Jewish Diaspora, dalam The Cambrige History Of Christianity Origins To Constantine diedit oleh Margaret M. Mitchel & Frances M. Young, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 54.
[2] Henk ten Napel, Kamus Teologi Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gunung Mulia, 2011), 111.
[3] H. Berkhof, Sejarah Gereja, disadur untuk Indonesia oleh I. H. Enklaar, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 6.
[4] Pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan), diakses dari https://kbbi.web.id/deportasi/ pada 18 Maret 2019 pukul 17.19).
[5] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 81.
[6] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 75.
[7] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 2006), 134.
[8] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 6.
[9] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, 81.
[10] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 75.
[11] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 6.
[12] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, 81.
[13] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, 135.
[14] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 6.
[15] Henk ten Napel, Kamus Teologi Inggris-Indonesia, 159.
[16] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 162.
[17] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, 136.
[18] Di bawah pemerintahan Raja Negeri Aram, Antiokhus IV, Epifanes, yang memerintah dari 175-164 sM, bangsa Yahudi sangat menderita. Raja ini mencoba membasmi agama Yahudi dan berusaha untuk membuat orang Yahudi menjadi orang Yunani. Ia masuk ke dalam Bait Suci dan mengangkut banyak barang berharga ke Antiokhia. Orang Yahudi harus di Yunanikan. Di mana-mana didirikan berhala-hala Yunani. Bait Suci ditahbiskan untuk Dewa Zeus. Di atas mezbah korban-korban didirikan mezbah untuk Zeus, yang di atasnya dikorbankan binatang-binatang najis. Peringatan akan sabat dan sunat dilarang. Kitab–kitab Perjanjian Lama dibakar dan dengan berbagai cara dipaksa supaya bangsa Yahudi meninggalakan bangsanya. Mereka yang menentang diburu secara bengis dan banyak yang mati. (lihat F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1: Perjanjian Lama, (Jakarta : Gunung Mulia, 2015), 754.).
[19] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, 135-136.
[20] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, 136-137.
[21] Yakob Tomatala, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumnuhan Gereja, (Jakarta : YT Leadership Foundation, 2003), 148.
[22] A. Naftallino, Teologi Misi: Misi di Abad Postmodernisme, (Jakarta: Wesleyanist Independent Movement, 2007), 38.
[23] Yakob Tomatala, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumnuhan Gereja, 148.
[24] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, 138.
[25] Yakob Tomatala, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi, Penginjilan dan Pertumnuhan Gereja, 148-149.
[26] H. Venema, Injil untuk Semua Orang, 137.
[27] Ibid., 137.
[28] F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1: Perjanjian Lama,  753.
[29] Ibid., 137.
[30] Ibid., 137-138  .
[31] Ibid., 139. 
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

FOLLOWERS