Sikap Etika Terhadap Adat Kebudayaan


Sikap Etika Terhadap Adat Kebudayaan

       I.            Pendahuluan
Pada pertemuan kali ini kita akan membahas Adat kebudayaan. Adat kebudayaan  tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, manusia dan adat kebudayaan saling berhubungan. Dan bukan hanya itu saja agama dengan adat kebudayaan juga memiliki hubungan, Maka dari itu pada kesempatan kali ini kami para penyaji akan memaparkan bagaimana “Sikap Etika Terhadap Adat Kebudayaan”. Semoga sajian kali ini bermanfaat bagi kita untuk menambah wawasan kita semua.

    II.            Pembahasaan
2.1.  Pengertian Adat Kebudayaan
Asal kata adat ialah dari bahasa Arab: ‘ada’ yang artinya “berbalik kembali”, “datang kembali”. Sehingga adat pertama-tama adalah sesuatu yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali; artinya: yang lazim, yakni kebiasaan, cara yang lazim kelakuan yang telah biasa. Sehingga adat adalah suatu sikap, tingkah laku, kebiasaan dan kelaziman yang sudah sesuai dengan norma yang diturun alihkan.[1]
Dalam KBBI Kebudayaan adalah hasil kegiatan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.[2] Menurut Koentjaraningrat Istilah “kebudayaan” berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu buddhayah, (bentuk jamak dari buddhi). Menurut dia, “Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya itu. Kebudayaan berkaitan erat dengan adat.[3] Kebudayaan meliputi bahasa, kebiasaan, ide, kepercayaan, adat istiadat, organisasi social, hasil buatan manusia yang diwariskan, proses-proses teknis dan nilai-nilai.[4] Budaya mencakup dua hal:
a) sebagai suatu anugerah Allah, dan
b) sebagai suatu ekspresi kebebasan dan kreativitas umat manusia.[5]

                                               
2.2. Adat Kebudayaan Dalam Perspektif Alkitab
2.2.1  Adat Kebudayaan Dalam Perjanjian Lama
Dalam perjanjian lama, kata adat dipakai untuk menyalin kata-kata “chuggah” dan “misphat” yang berati hukum, tatatertib, kebiasaan, susunan dan ketertiban. Arti kata ini di pergunakan dalam  Perjanjian Lama, didalam (Kej 18:3) bahwa kebiasaan orang Kanaan yang tidak boleh diikuti Israel.[6] Perjanjian lama memperlihatkan bahwa aspek-aspek kehidupan sosial dan budaya manusia yang dapat diambil alih oleh umat Allah dan dipertegas secara positif. 

2.2.2 Adat Kebudayaan Dalam Perjanjian Baru
Istilah adat dalam Perjanjian Baru adalah paradosis yang artinya “adat istiadat”. Dalam Markus 7 dan dalam injil – injil sinoptis, “kata paradosis” berarti adat istiadat nenek moyang. Salah satunya contoh adat kebudayaan adalah memebuhi kewajiban persembahan kebait Suci, dengan memperlihatkan bahwa tradisi manusia (adat) ditempatkan atas  Firman Allah.[7]
Sama halnya dengan Efesus Kota yang terkenal dengan pemujaan kepada Dewi Artemis sehingga kehadiran Injil di sana merupakan ancaman besar bagi perkembangan kebudayaan yang dijiwai oleh agama mereka. (Kis 19, 25, 27). Berlawanan dengan Athena, Efesus menolak Injil dengan kekerasan namun hasil penginjilan di Efesus lebih besar. Injil selalu berhadapan dengan kelompok yang bermoral rendah, yang mengejar kepuasan hawa nafsu/kenikmatan hidup, kaum intelektual, kelompok berbudaya yang dijiwai agama asali, dan fanatisme agama. Dalam pertemuan antara Injil dengan kebudayaan, maka Injil akan bersifat menempatkan kebudayaan sebagai pelayan untuk melengkapi manusia hidup memuliakan Allah. Melalui kebudayaan, manusia yang telah menerima Injil akan memancarkan hikmat Ilahi.[8]

2.3  Kebudayaan Manusia Dipandang dari Sudut Alkitab
2.3.1        Tugas Kebudayaan
Allah memberikan tugas kebudayaan kepada manusia. Alkitab mengatakan kepada kita, bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27). Dalam Kejadian 1:28, dalam hubungan yang sangat erat dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah itu, diberikanlah kepada manusia tugas kebudayaan yakni: penuhilah bumi dan taklukkanlah itu. Jadi manusia menerima suatu mandat dari Allah yang ciptaannya, dan mandat itu ialah mandat kebudayaan. Mandat kebudayaan yang di uraiankan lebih lanjut dalam Kej 2:15 sbb : “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Bumi itu bukanlah milik manusia. Bumi itu milik Tuhan, dan Tuhan menghendaki supaya manusia, atas nama Tuhan, mengolah, mengusahakan, mengerjakan bumi itu dengan segala kemungkinan yang tersimpan di dalamnya. Untuk memenuhi tugas itu haruslah manusia memulainya di taman Firdaus.
Taman Eden adalah awal-awal suatu keadaan alam. Alam harus dijadikan kebudayaan. Taman itu harus dijadikan kota. Sejarah mulai di Taman Eden dan berakhir di Yerusalem Baru, ibu kota Kerajaan Allah. Di dalam Alkitab Taman Eden dipandang sebagai awal dunia yang berpenghuni. Dari Taman Eden pandangan kita seakan- akan dapat meliputi seluruh dunia. Semuanya masih belum ditanami, belum bertuan. Tetapi Allah berfirman: “Mulailah mengerjakan bumi dari sini. Pergunakanlah segala kemungkinan di dalam alam yang telah Kujadikan itu”. Di dalam Alkitab sangat di tekankan, bahwa tugas kebudayaan itu adalah suatu tugas yang langsung dari Allah kepada kita. Hal ini mempunyai arti yang sangat penting bagi etika kebudayaan. Barangsiapa menolak bekerja dalam tugas kebudayaan itu adalah orang yang melalaikan kewajibanya, orang yang mogok kerja, pembolos dari dinas pengabdian kepada Allah. Alla mengkehendaki supaya kita mengusahakan kebudayaan. Justru untuk itulah ia menciptakan manusia. Manusia yang tidak mengusahakan kebudayaan adalah hamba yang malas, karena ia menghindarkan diri dari panggilannya.[9]      
2.4 Hubungan Antara Etika dan Kebudayaan
            Etika Kristen menghadapkan manusia kepada pertanyaan: Siapakah kamu, apakah yang kamu yang kehendaki, norma-norma manakah yang menjadi sumber yang menjadi pedoman bagi perbuatan dan tindakanmu? Dari sumber-sumber manakah kamu mengambil kekuatan untuk berbuat? Kepada siapakah kamu mengabdi dalam hidup dan usahamu? Apakah tujuan usaha dan perbuatanmu? Dalam mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan  lain-lain pertanyaan yang sejenis, maka Etika Kristen dengan sendirinya berpapasan dengan soal kebudayaan. Bukankah kebudayaan itu benar-benar buatan manusia, (main-made)?
            Perbedaan antara manusia dan hewan serta tumbuh-tumbuhan terletak dalam kenyataan, bahwa manusia itu suatu makhluk yang menciptakan kebudayaan. Di dalam kebudayaan itu manusia menyatakan bahwa manusia menyatakan hakekatnya, tabiatnya, tujuan-tujuan yang di kerjarnya, idam-idaman yang di cita-citakanya norma-norma yang di junjungnya dalam kebudayaan. Dalam kebudayaan itu manusia menyatakan hakekatnya dan menunjukan, siapa ia berbakti: kepada Allah atau kepada Iblis. Sejarah kebudayaan adalah gelanggang pertempuran antara Kerajaan Allah dan kerajaan kegelapan. Disini tampaklah hubungan antara Etika dan Kebudaan .[10]
2.5 Hubungan Manusia dengan Adat Kebudayaan
Allah memberikan tugas kebudayaan kepada manusia. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26,27). Dalam kejadian 1:28, dalam hubungan yang sangat erat dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah itu, diberikanlah kepada manusia tugas kebudayaan, yakni: penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu. Jadi mansuia itu menerima satu mandat dari Allah yang menciptakannya, dan mandat itu ialah mandat kebudayaan.[11] Manusia diberi tugas untuk bergenerasi, berkuasa, mengusahakan dan memelihara. Untuk melakukan tugas – tugas itu, manusia berbudaya. Namun untuk dapat berbudaya dengan baik manusia, diberi berkat terlebih dahulu (Kej1:28a). berkat inilah sebagai dasar modal utama untuk berbudaya.[12] 
Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah yang menerima tugas kebudayaan ini, sehingga manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan, karena kehidupan manusia sangat terikat dengan kebudayaan. Tanpa manusia tidak ada kebudayaan dan tanpa kebudayaan manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya secara manusiawi, karena tanpa kebudayaan hidup, perilaku dan tindakan manusia tidak berbeda dengan hewan.[13] Manusialah yang menjadi pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiannya lebih nyata.[14] Melalui kebudayaan manusia secara aktif mengerjakan dan mengelola dunia ini. Dia menemui dunia dalam keadaan yang tertentu, tetapi bukan untuk membiarkan dunia dalam keadaan itu, melainkan untuk menglolanya.[15] Dalam Alktab sangat ditekankan, bahwa tugas kebudayaan itu adalah suatu tugas yang langsung dari Allah kepada kita. hal itu mempunyai arti yang sangat penting bagi etika kebudayaan. Allah menghendaki supaya kita mengusahakan kebudayaan. Justru untuk itulah ia menciptakan manusia. Manusia yang tidak mengusahakakn kebudayaan adalah hamba yang malas, karena ia menghindarkan diri dari panggilannya.[16]

2.6 Hubungan Agama dengan Adat Kebudayaan 
Agama dan kebudayaan sangat erat hubungannya, kebudayaan adalah sama dengan  agama. Seperti lazimnya disebut agama-agama duniawi, kita melihat berbagai tingkatan pengaruh kehidupan keagamaan atas kehidupan kebudayaan, lalu persekutuan keagamaan itu didalam kebudayaan menyatakan pula hubungannya dengan Allah atau para dewa yang dipuja atau disembah olehnya, dan hubungan ini terlihat di dalam seni bangunan dan seni pahat, didalam seni lukis dan ilmu pengetahuan, di dalam puji-pujian dan doa, pendeknya didalam segala segi kebudayaan.[17] Agama harus diwujudkan dalam kebudayaan meskipun sumber agama bukan dari kebudayaan. Karena unsur kebudayaan berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem upacara religi dan kontrol sosial.[18]  
Hubungan antara agama dan kebudayaan itu adalah suatu hubungan yang sangat bergerak. Hubungan itu tidak statis, melainkan sangat dinamis. Umat Kristen terdiri di tengah-tengah krisis kebudayaan ini. Dan Allah meminta kepada kita, supaya kita membuka mata kita, supaya kita dengan penglihatan yang terang dan dengan pengetahuan tentang kenyataan mencari apa yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1,2), menginsyafi panggilan dan tanggungjawab kita di segala lapangan kebudayaan.[19] 

2.7 Sikap Etika Kristen terhadap Adat Kebudayaan    
            Manusia adalah makhluk berbudaya, budaya itu adalah karya manusia. manusia diberi tugas berbudaya dan menciptakan hasil karya-karyanya sendiri.[20] Dalam kej. 1:28 terdapat titah Allah kepada manusia untuk dipenuhi. Nats ini dianggap sebagai sumber kebudayaan manusia.[21] Dalam Alkitab dikatakan bahwa kebudayaan itu bertujuan untuk menyatakan kasih kepada sesama manusia. Seperti hukum yang pertama dan utama, yakni hukum kasih kepada Allah, adalah sama nilainya, sama maksudnya dan sama arahnya dengan hukum yang kedua, demikianlah pula kedua tujuan itu adalah satu. Kebudayaan haruslah mengabdi kapada Allah dan sesama manusia. Usaha kebudayaan hendaknya menuju kepada Dia yang menciptakankan kita.[22] Injil yang berbicara tentang penyataan Allah dimengerti oleh manusia melalui konteks dan budaya tertentu. Tidak ada manusia yang berada diluar budaya, sehingga injil yang berkenaan dengan kedatangan Allah ke dalam kehidupan manusia berarti juga kedatangan Allah ketengah-tengah budaya manusia. [23]
            Ada lima macam sikap orang Kristen terhadap kebudayaan, kelima sikap itu ialah:[24]
1.      Sikap antagonistis (sikap menentang) atau sikap negative terhadap kebudayaan yang ada. Maksud dari sikap antagonistis ini ialah sikap yang melihat pertentangan yang tak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan dan sebagai akibatnya ialah menolak dan menghindari kebudayaan.
2.      Sikap akomodasi dan kapitulasi (sikap menyesuaikan diri) terhadap kebudayaan. Mereka, yang menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada, lebih tahu daripada kaum antagonis, bahwa kita dipanggil untuk menjadi garam bagi dunia dna bahwa kita tidak boleh mengasingkan diri dari dunia, tetapi mereka lupa bahwa garam tidak bergarga, jika garam itu kehilangan asinynya (Matius 5:13-16).
3.      Sikap dominasi (sikap menguasai) dari pihak gereja terhadap kebudayaan. Apabila gereja menguasai kebudayaan maka tidaklah kebudayaan yang dipersembahkan kepada Allah itu secara sebenarnya; yang ada hanyalah kebudayaan paksa dimana kebasan menkadi terkekang.
4.      Sikap dualistis (sikap serba – dua) atau sikap yang memisahkan iman dari kebudayaan. Kaum dualis mengatakan: “kebudayaan adalah hasil usaha yang berdosa. Kaum dualis memandang bahwa diantara bidang pekerjaan Allah dalam Kristus dan bidang pekerjaan tangan kita dalam kebudayaan ada mereka lihat suatu pertentangan yang tak terletakkan, yang tak terdamaikan. Gagasan tentang pengudusan kebudayaan atau motif pertobatan dalam kebudayaan.

 III.            Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa adat merupakan suatu sikap, tingkah laku, kebiasaan dan kelaziman yang sudah sesuai dengan norma yang diturun alihkan, sedangkan Kebudayaan meliputi bahasa, kebiasaan, ide, kepercayaan, adat istiadat, organisasi sosial, hasil buatan manusia yang diwariskan, proses-proses teknis dan nilai-nilai. Budaya mencakup dua hal: a) sebagai suatu anugerah Allah, dan b) sebagai suatu ekspresi kebebasan dan kreativitas umat manusia. Manusia dan adat kebudayaan adalah saling berhubungan.
Dalam Alkitab dikatakan bahwa kebudayaan itu bertujuan untuk menyatakan kasih kepada sesama manusia. Seperti hukum yang pertama dan utama, yakni hukum kasih kepada Allah, dan hukum kasih kepada sesama manusia. Kebudayaan haruslah mengabdi kapada Allah dan sesama manusia

 IV.            Daftar Pustaka
                                      KETIK SENDIRI AJA YA GUYS !!! HEHEHE


[1] Rudolf Pasaribu, Teori ETIKA Praktis, (Medan: Penerbit Pieter, 1988), 12-13
[2] Tim Penyusun, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 
[3] R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi, ( Yogyakarta: ANDI, 2007), 114
[4] H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta: Petra Jaya) ,37
[5] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 85
[6] Locthar Schreiner, Adat dan Injil Perjumpaan dengan Iman Kristen di tanah Batak, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 80 
[7] Locthar Schreiner, Adat dan Injil Perjumpaan dengan Iman Kristen di tanah Batak, 82
[9] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 21-22
[10] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 11    
[11] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, (Jakarta: BPK-GM, 1992), 21
[12] R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi, 122
[13] Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 24-25
[14] J.W.M. Bakker . Filsafat Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 14
[15] Plaisier, Arie Jan, Manusia, Gambar Allah, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 164
[16] J.Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 22
[17] Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 19
[18] R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi, 115-116
[19] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 19-20
[20] Plaisier, Arie Jan, Manusia, Gambar Allah, 174-175
[21] A.A. Sitompul, Manusia dan Budaya, (Jakarta: BPK-GM, 1991), 64
[22] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 23
[23] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan, 85-86
[24] J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan, 37-48 
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

FOLLOWERS