Liturgi sebagai Perayaan Kehidupan


Liturgi sebagai Perayaan Kehidupan

a.      Sejarah Liturgi dalam Tradisi PL

b.      Sejarah Liturgi dalam TradisiPB

c.       Makna Liturgi sebagai Perayaan Kehidupan

I.                   Pendahuluan
Gereja memiliki peran yang amat menentukan perwujudan narasi Injil Yesus Kristus kepada semua orang, secara khusus kepada warga jemaat dalam berbagai kesempatan peribadatan yang dikembangkan agar diselamatkan dalam kehidupan yang kekal. Pemantapan pola ibadah formal yang harus dikembangkan, seperti liturgi yang digunakan dalam ibadah agar lebih kreatif dan inovatif serta bisa memberikan warna yang mengesankan, namun tetap pada koridor semata-mata untuk memuliakan Tuhan. Dalam pembahasan kali ini kita akan melihat bagaiamana sejarah liturgi itu dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan melihat perkembahangannya dalam konteks perayaan kehidupan.
II.                Pembahasan
2.1.            Sejarah Liturgi dalam Perjanjian Lama
Kata Liturgi berasal dari bahsa Yunai leitourgia yang menunjukkan kerja bakti atau kerja pelayanan yang tidak dibayar, iuran atau pajak untuk masyarakat dan negara. Dengan begitu menurut asal-usulnya, leitourgia memiliki arti profan-politis, dan bukan arti kultis.[1] Dalam Perjanjian Lama, istilah lietourgia tidak pernah dipakai dengan pengertian “pelayanan kepada manusia”, akan tetapi dalam pengertian “pelayanan kultus yakni pelayanan imam-imam dan orang-orang Lewi di dalam Bait Allah”.[2] Perjanjian Lama menegaskan bahwa satu-satunya pencipta dan penguasa alam semesta telah menyatakan diri-Nya kepada nenek moyang Israel pada waktu dan tempat-tempat tertentu. Allah, melalui Abraham, yang kemudian dipertegas oleh Ishak, Yakub dan keturunannya, berjanji untuk menjadikan mereka bangsa yang besar. Mereka akan memiliki Tanah Kanaan dan secara unik diberkati Allah, sehingga semua bangsa di bumi akan diberkati melalu mereka (bdk. Kej. 12:1-3,7; 13:14-17; 15:1-8, 12-16). Abraham, Ishak dan Yakub membangun mezbah-mezbah di seluruh Kanaan untuk menandai tempat di mana Allah menyatakan diri-Nya kepada mereka memakai berbagai nama (bdk. Kej. 12:7-8; 13:14-18; 28: 10-22).  Kurban tidak dipersembahkan di sembarangan tempat walaupun di situ nyaman, melainkan hanya di tempat-tempat khusus.[3]
Israel menyatakan hubungannya dengan Tuhan melalui kurban dan ritual dan bergantung pada mediasi imam. Dengan kata lain, itu secara teknis disebut kultus atau pemujaan. Selanjutnya, bangsa Israel dalam penyembahannya kepada Allah membangun tempat kudus (miqdas ‘tempat suci’(Kel. 25:8) dan membangun sebuah tabut yang dalam konteks Perjanjian Lama disebut Tabut Allah yang seca khusus menjadi simbol kehadiran Allah dan Allah sendiri yang memberi ketentuan bagaimana itu harus di bangun (bdk. Kel. 25; Ul. 4 : 1-20). Kemah Suci dan Tabut Allah dimaksudkan untuk memberikan ekspresi kehadiran Allah di tenga umat-Nya yang berpindah-pindah, dan ditempatkan di pusat kehidupan Israel selama perjalanan dari Sinai ke tanah perjanjian.[4] Dalam Tradisi Perjanjian Lama sudah ditetapkan yang berperan dalam menerangkan ibadah atau kebaktian kepada Tuhan dalam Kemah Suci atau Bait Allah ditugaskan kepada para imam dan orang-orang dari suku Lewi. Mereka dalah orang-orang yang bertanggungjawab untuk melayani TUHAN dan beribadah kepada TUHAN yang digambarkan juga sebagai melayani mezbah (Yl. 1:9,13; bdk. Kel. 28:43), melayani di tempat kudus dan bertugas melayani di Bait Suci (Yeh. 44:11, 45:5; 46:24).[5]
Dalam kitab Raja-raja menerangkan bagaimana selanjutnya fungsi Bait Allah itu memburuk dan lama-lama hilang ketika Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan oleh penjajah Babel pada tahun 587 SM. Yehezkiel menegaskan bahwa hilangnya Bait Suci berarti kemulian Allah meninggalkan mereka, demikian juga kehadiran-Nya.[6] Namun Nabi Yezkiel telah bernubuat tentang pemulihan kembali bait suci ini. Setelah kurang lebih 70 tahun masa pembuangan bangsa Israel di Babel, kemudian Kerajaan Babilonia ditaklukkan oleh kerajaan Persia dan bangsa Israel dapat kembali dari pebuangan pada tahun 515 SM. Lalu Tuhan Allah menggerakkan hari raja orang Peria itu yang bernama raja Koresh untuk mengizinkan orang-orang Israel pulang ke Yerusalem dan mendirikan Bait Suci di sana (bdk. Ez. 1:1-6).
2.2.            Sejarah Liturgi dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru dimulai dengan jaminan bahwa seluruh sejarah mengarah kepada Yesus Kristus sebagai tujuannya, bahwa Ia adalah manifestasi utama dan nyata dari kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Dalam Injil Matius tema yang paling ditekankan adalah Yesus sebagai Anak Allah. Secara singkat dalam injil Matius dapat kita lihat bahwa Yesus menegaskan bahwa Ia mewakili kehadiran kerajaan Allah dan otoritas lebih tinggi daripada Bait Allah. Injil Matius lebih sering menggunakan istilah proskynein sebagai kata ganti penyembahan. Beberapa salinan berbahasa Inggris menerjemahkannya sebagai ibadah (NIV, RSV, AV). Injil Yohanes lebih banyak membahas tentang bagaimana Yesus menggantikan kebiasaan-kebiasaan ibadah perjanjian lama. Kehadiaran Allah tidak terbatas di Bait Allah saja, tetapi Firman yang “pada mulanya” bersama-sama dengan Allah: dan yang sebenarnya, adalah Allah”, telah menjadi manusia dan berdiam di antara kita (Yoh. 1:14).[7]
Dalam kitab Injil kita juga dapat melihat beberapa praktek ibadah atau liturgi. Misalnya pada Lukas 4 : 16-21. Ayat ini mengisahkan tentang Yesus yang ditolak di Nazareth. Dikatakan pada hari Sabath, Yesus masuk kerumah Ibadah lalu berdiri dan membaca Alkitab lalu mulai mengajar di sana. Dalam ayat ini kita sudah melihat beberapa unsur-unsur liturgi dan praktek liturgi itu sendiri. Begitu pula dalam Lukas 22:7-23 yang menceritakan mengenai persiapan untuk makan paskah dan penetapan perjamuan malam, terlihat juga beberapa praktek liturgi dan sikap konkret dari Yesus dan murid-murid-Nya dalam mengadakan Persiapan untuk makan paskah dan Perjamuan malam.[8] Selanjutnya dalam Kisah Para Rasul 2 : 42 memberikan suatu rangkuman kegiatan jemaat Kristen mula-mula di Yerusalem; diceritaken bahwa “mereka bertekun dalam pengajaran para rasul dan dalam persekutuan, ... berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Beberapa penafsir menganggap empat unsur yang disebutkan di dalam ayat ini sebagai sebuah urutan tata ibadah sederhana, yang mengesankan bahwa pertemuan-pertemuan mereka selalu disertai pengajaran, persekutuan [meja], kemudian perjamuan Tuhan atau Perjamuan Kudus dan doa-doa. Kisah Para Rasul 2 : 44-47 muncul sebagai penjelasan dari rangkuman kegiatan yang disebutkan sebelumnya dan beberapa kegiatan yang disebutkan di situ dengan jelas dilakukan pada saat dan tempat yang berbeda.[9]
Selanjutnya dalam surat-surat Paulus. Pengajaran Paulus tentang Ibadah sangat kental dalam setiap suratnya. Akan tetapi Rasul Paulus tidak pernah secara langsung ataupun spesifik mendeskripsikan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai ibadah. Paulus lebih sering mengambarkannya dengan istilah penyembahan atau douleuein (bdk. 1 Tes. 1:9). Nasihat yang terkenal dalam surat Paulus mengenai Ibadah dan Persembahan mislanya Rm.12:1 yaitu tubuhmu sebagai persembahan yang hidup yang berkenan kepada Allah; itu adalah ibadahmu yang sejati.[10] Dalam 1 Korintus 16 : 2 dikatakan di sini pada hari pertama dan tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing, sesuai dengan apa yang kamu peroleh menyisihkan sesuatu dan menyimpannya di rumah, supaya jangan pengumpulan itu baru diadakan kalau Aku datang. Di sini terlihat bahwa inti dari Liturgi di sini adalah ada waktu yang sudah ditentukan yaitu “Ibadah pada hari minggu atau hari pertama dari tiap-tiap minggu.[11]

2.3.            Makna Liturgi sebagai Makna Kehidupan

Liturgi adalah pelayanan kepada Allah dan kepada sesama manusia dan tempat di mana kita menyanyikan akan pengharapan dan masa depan.[12]
Hidup manusia dan hidup kita ini adalah karunia yang berasal dari Allah agar manusia mengambil bagian dalam hidup Allah agar manusia mengambil bagian dalam hidup Allah dan terarah bagi Allah. Dalam kitab Suci dipahami bahwa hanya Allah yang mempunyai hidup (Maz 21:5) dan memanngil sesuatu kepada kehidupan (Kej 1). Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia (Yoh 1:3-4). Hidup kita sehari-hari terdiri atas seribu satu macam kegiatan, baik yang bersifat pribadi maupun bersama orang lain. Dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupan kita itu, kita selalu berada dalam situasi kebersamaan dengan Allah. Maka, kehidupan kita sebenarnya bermakna kebersamaan dengan Allah. Kebersamaan itu merangkum makna perjumpaan dan komunikasi, entah bagaimana komunikasi itu terjalin. Kebersamaan dengan Allah yang kita hayati setiap detik dan setiap saat dalam hidup sehari-hari itu dirayakan, disadari, diakui, dinyatakan, dan disyukuri serta dimohon dalam perayaan liturgi. Kebersamaan denga Allah itu, perayaan liturgi menjadi perayaan kehidupan. Kehidupan di sini adalah kehidupan dalam artian konkret shari-hari. Liturgi bukan hal terpisah, tetapi perayaan kehidupan itu sendiri. Sebab dalam liturgi itu, kebersamaan dengan Allah mencapai ungkapan dan pelaksanaannya secara paling padat.[13]

III.             Kesimpulan
Liturgi merupakan bentuk pelayanan manusia kepada Allah. Allah telah bertindak menyatakan kasih-Nya kepada kita dan Ia juga yang mendorong tanggapan kita atas semua pernyataan kasih-Nya. Liturgi sebagai perayan kehidupan bukan berarti kita melakukan perayaan seperti “pesta pora”, namun untuk merespon karya penyelamatan Allah kepada mereka, melalui hasil yang kita miliki. Dalam Konteks perkembangan sejarahnya dalam PL dan PB juga sudah dilakukan dan ditemukan beberapa unsur liturgi  itu sendiri, seperti tempat dan cara melaksanakannya dan unsur lain yang berkaitan dengan liturgi itu sendiri.

IV.             Daftar Pustaka
Damamain, M., Program Penyetaraan D-II Guru Pendidikan Agama Kristen Protestan Sekolah Dasar Materi Pokok LITURGIKA, (Jakarta : Departemen Agama Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan, 1995
Martasudjita, E., Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Martasudjita, E., Pengantar Liturgi, Yogyakarta : KANISIUS, 1999
Peterson, David, LITURGIKA Suatu Teologi dan Penyembahan, Malang : Gandum Mas, 2017
van Olst, E.H.,  Alkitab dan Liturgi, Jakarta: BPK-GM, 2009





[1] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, (Yogyakarta : KANISIUS, 1999), 18  
[2] M. Damamain, dkk, Program Penyetaraan D-II Guru Pendidikan Agama Kristen Protestan Sekolah Dasar Materi Pokok LITURGIKA, (Jakarta : Departemen Agama Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan, 1995), 7 
[3] David Peterson, Op. Cit., 18-19
[4] Ibid., 25
[5] David Peterson, Op. Cit., 59
[6] David Peterson, Op.Cit.,41
[7] Ibid., 71-74, 84
[8] M. Damamain, dkk, Op.Cit., 31
[9] David Peterson, Op.Cit., 139-140
[10] Ibid., 154
[11] M. Damamain, dkk, Op.Cit., 31
[12] E.H. van Olst, Alkitab dan Liturgi , (Jakarta: BPK-GM, 2009), 111
[13] E. Martasudjita,  Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 79-80 
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

FOLLOWERS