Kritik Terhadap System Etika New Morality


Kritik Terhadap System 
Etika New Morality

I.                    Pendahuluan
                Pada hakekatnya old morality merupakan response dan sikap umat Kristen dan Negara-negara yang merasa dirinya beragama Kristen terhadap segala hukum dan kehendak yang dinyatakan dalam PL dan PB tahap demi tahap. Old morality mencerminkan response dan sikap orang Kristen terhadap setiap aspek kehendak Allah. Old morality merupakan standard yang diterima umat Kristen sebagai kaidah fikiran dan perbuatan kita dan sebagai norma yang berlaku bagi kehidupan kita sehari-hari. Dan emiga pembahasan kali ini menambah wawasan bagi kita semua.

II.                  Pembahasan
2.1.               Pengertian New Morality
Kata New Morality berasal dari kata New artinya Baru dan Morallity dalam  bahasa latin Mos (Moris), artinya kelakuan.[1] Menurut KBBI kata moral artinya baik buruk yang diterima umum mengenai perilaku, sikap serta kelakuan (ahklak).[2] Jadi dapat disimpulkan new morality adalah kelakuan atau perbuatan yang baru sehingga meninggalkan perbuatan atau ahklak atau aturan yang lama dalam lingkungan masyarakat. Kata moral mengacu pada baik - buruknya manusia sebagai manusia. Sebagaimana bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia dan norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai.[3]
Maka perlu kita ketahui bahwa segi khusus yang di persoalkan dalam New Morality bukanlah segi sosial politik atau segi ekonomi, melainkan segi kesusilaan dan pergaulan pria dan wanita, muda dan mudi, maupun segala sesuatu yang menyangkut hukum-hukum pernikahan dan perceraian dan juga hubungan seksual di luar atau sebelum pernikahan.[4] Jadi, dapat dikatakan bahwa New Morality mengharapkan umum menyetujui hubungan seksual di luar penikahan bukan sebagai kebiasaan melainkan sebagai necessity (kebutuhan) sewaktu-waktu.[5] Para penganut New Morality tidak menyetujui hukum kesusilaan yang berdasarkan Hukum Allah. Mereka beranggapan bahwa hukum – hukum tersebut tidak menguntunkan manusia melainkan merugikan.[6]

2.2.                                       Latar Belakang New Morality
                New Morality dimulai di dunia Barat melalui beberapa buku karangan, Soundings oleh Vidler tahun 1962 dan tahun 1963 diterbitkan Honest to God oleh J.A. Robinson. Honest to God sungguh mengemparkan umat Kristen di Eropa karena memperkenalkan pikiran dan perkembangan baru dalam bidang Theologia. Orang-orang Kristen sungguh terkejut dan bereaksi keras terhadap konsep-konsep baru itu. New Morality harus ditinjau dari beberapa segi, terutama yang sangat menonjol yaitu kemunduran yang pesat dan nyata dalam legalisasi dan dalam tingkah laku umum. Dengan perkembangan tersebut timbullah masalah baru  yang di ungkapkan dengan istilah “permissive Society”. Yang dimaksud dengan Permissive Society ialah masyarakat menyambut dan menyetujui segala perubahan sikap tehadap mutu hukum kesusilaan yang lama. Kini Masyarakat yakin Permissive Society, mengizinkan perbuatan, tingkah laku, pandangan, dan pikiran yang dahulu tidak diizinkan. Permissive Society membiarkan dan mengiakan praktek-praktek pergaulan yang dahulu merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan. Permissive Society adalah masyarakat dan pandangan masyarakat di Eropa pada masa kini. Masyarakat umum berpendapat bahwa ajaran Tuhan Yesus dan kepercayaan Kristen tidak lagi sesuai dengan perkembangan ilmiah pada abad ke-20 ini. Maka mereka mengungkapkan keadaan pada masa kini sebagai “Post Christian Era” (Zaman setelah Kekristenan). Perbedaan antara norma-norma Kristen dan yang bukan Kristen makin terasa dalam masalah kesusilaan. Tetapi kemunduran ini juga meliputi bidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat modern, terutama dalam bidang kebenaran, kejujuran, ketulusan keiklasan, dan ketegasan. Sehingga muncul angket pendidikan agama di sekolah-sekolah “Apakah pendidikan agama perlu dipertahankan atau dihapuskan?” hasil angket ini mengejutkan dimana lebih dari 80% ingin mempertahankan pendidikan agama di sekolah-sekolah tetapi walaupun banyak orang menyadari dekadensi moral namun sedikit sekali yang bersikap konsekwen, sedikit yang berpikir secara objektif. Mereka tidak menyadari bahwa Etika dan agama berjalan sejajar walaupun pendidikan agama dirasakan penting sebab mempengaruhi Etika.[7]
2.3.                        Tokoh New Morality
                Sigmund Freud (1856-1939) lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg Moravia yang pada masa itu merupakan provinsi di bagian utara Kekaisaran Autro Hongaria dan sekarang adalah wilayah Republik Ceska. Freud seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi.[8] Sigmund Freud yang dipelopori oleh Feurbach, Theologia pengenalan dan pengetahuan akan Allah diganti dengan psikologi (pengetahuan ilmu jiwa). Agama dianggap therapeutic belaka (pengobatan/penghiburan), menurut pandangan Freud, konsepsi Allah Bapa kita di sorga adalah proyeksi jiwa manusia yang mencari perlindungan, sebab manusia merasa kurang aman di tengah-tengah bahaya, ancaman dan ketegangan yang dialaminya di dunia ini. Freud berpendapat agama hanya Psicological chruth atau tongkat yang kita pegang karena merindukan dan mencari stabilitas.[9] Kesadaran moral seseorang berkembang dalam proses penyesuaian dorongan-dorongan instingtualnya pada realitas hidup bersama dalam masyarakat. Secara lebih terinci perkembangan kesadaran moral menurut Freud terjadi dalam proses interaksi kompleks dalam lingkungan keluarga. Di antara dorongan-dorongan spontan manusia (Id) yang paling berperan adalah Libido, nafsu yang ingin memiliki dan menikmati, dan agresi, nafsu yang ingin menghancurkan.[10] Menurut freud, manusia bukan ciptaan Allah atas gambar dan rupa-Nya, melainkan mahkluk yang semata-mata dikuasai oleh libido atau naluri sex, sehingga kebutuhan akan Allah hilang dengan sendirinya dan menolak ajaran Alkitab tengtang manusia sebagai ciptaan Tuhan dan menggantikannya dengan konsepsi baru, yakni bahwa manusia dikuasai oleh Libido.[11]

2.4.                       Faktor-faktor Ilmiah Yang Sangat Berpengaruh Dalam Timbulnya
                                 New Morality
Ada beberapa faktor ilmiah yang sangat berpengaruh dalam persoalan New Morality yaitu sebagai berikut :[12]

1.    Perkembangan Humanisme
Humanisme mulai pada abad ke-18 dengan Comte dan Feuerbach, yang menyangkali eksistensi Oknum Allah. Humanisme menganggap Allah bukan sebagai oknum tersendiri yang menyatakan diri-Nya , melainkan sebagai prinsip tertinggi adalah kasih dalam diri manusia. Ciri- ciri khas daripada seorang Humanis yaitu kepercayaan penuh akan manusia. Manusia cukup cakap dan sanggup menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya, baik yang bersifat intelektual maupun moral. Seorang humanis mempunyai keyakinan dan harapan akan menghasilkan Utopia dalam dunia ( Kemakmuran dalam bidang sosial politik dan ekonomi).

2.                   Perkembangan Filsafat
                                Posisi humanisme bertambah kuat dan sangat mempengaruhi ilmu filsafat, yang dikembangkan oleh Paul Tillich seorang ahli filsafat Jerman, mengajarkan “Extreme Immanentism”. Tillich mengemukakan pendapatnya bahwa Allah itu adalah being itself, dan being itself transcends Existence”. Eksitensi terbatas pada waktu dan ruang, sedangkan Being (berada) melampaui segala batas dan ruang. “Being itu tidaklah terbatas”. Allah itu lah dasar daripada Being (berada). Tillich menganggap agama hanya sebagai ekspresi atau kenyataan daripada kebudayaan nasional sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu filsafat berdasarkan humanisme.

3.                   Perkembangan Theologia
Sesuai dengan pandangan filsafat, Theologia modern menganggap Allah itu hanya Immanen atau sangat dekat dan  bukan lagi jauh ( Transcendent). Dalam Theologia pun Allah tidak lagi oknum Allah Bapa di Sorga, melainkan dasar kehidupan kita ( groud of our being). Allah menjadi impersonal. Para penganut New Morality menyambut pengajaran-pengajaran theologia modern bahwa “God Is Dead Movement “ (Allah sudah Mati) yang pertama kali diutarakan oleh Friedrich Nietzsche, seorang ahli filsafat Jerman pada tahun 1844-1900.  God is dead berarti Theologia lama tengtang Allah yang tertulis dalam kitab suci sudah mati, konsep Allah Bapa yang kita kenal dalam Tuhan Yesus mati seluruhnya.

4.                   Pengaruh Sosiologi
John Dewey dari Amerika Serikat mengatakan bahwa Allah itu bukan suatu oknum di luar manusia, melainkan berada “In man’s highest social experiences” ( Allah terdapat ditengah-tengah kehidupan sosial manusia yang merupakan pengalaman manusia yang paling indah). Durkheim berpendapat bahwa agama dan Etika dalam masyarakat berasal dari “ The collective mind of society” ( Keyakinan dan kepercayaan masyarakat bersama). Allah dibayangkan sebagai kesejahteraan manusia. Maka yang menimbulkan kesejahteraan ialah masyarakat sendiri, masyarakatlah menciptakan security dan rasa aman.

5.                   Pengaruh melalui Darwin
Menurut Darwin, keadaan semula merupakan kekacauan, bukan rencana dan order. Kekacauan berangsur-angsur berubah menjadi order melalui proses seleksi dan “ survival of the fittest” (hanya yang paling kuat mepertahankan eksistensi dan hidup). Darwin menyangkal penciptaan Allah dan memajukan teori evolusi. Padahal dalam Kitab Suci menegaskan bahwa adanya alam semesta dengan segala isinya semata-mata karena penciptaan Allah, karena kehendak Allah yang menciptakannya.

6.                   Pengaruh Psikologi (Sigmund freud )
Freud menyangkal ke-Tuhanan dan agama serta oknum Allah, malah merasa bahwa keagamaan dari manusia merupakan gejala-gejala psikologi yang kurang sehat.  Sigmund Freud yang dipelopori oeh Feuerbach, Theologia (pengenalan dan pengetahuan akan Allah) diganti dengan psikologi (pengetahuan ilmu jiwa). Agama dianggap therapeutic belaka (pengobatan/penghiburan). Menurut pandangan freud, konsepsi Allah Bapa kita di sorga tidak lain daripada proyeksi jiwa manusia yang mencari perlindungan, sebab manusia merasa kurang aman ditengah-tengah bahaya, ancaman dan ketegangan yang di alaminya di dunia ini. freud berpendapat bahwa agama hanya merupakan psychological crutch atau tongkat yang kita pegang karena mencari dan merindukan stabilisasi. Menurut freud, manusia bukan ciptaan Allah atas gambar dan rupaNya, melainkan suatu makhluk yang semata-mata di kuasai oleh libido atau naluri seks, bahkan dari masa kanak-kanak. Pandangan Anthropologi ini sangat penting dan berpengaruh dalam new morality. Sebagai orang Kristen, kita menyadari kontribusi Freud dalam bidang psiko-analisa, tetapi kita tidak dapat menerima pandangannya tentang Anthropologi dan theologia karena freud dalam hal ini melampaui bidangnya.

2.5.               Unsur-unsur terpenting Dalam New Morality
1.      Situation Ethics
         Dalam Etika Situasi, dimana benar atau salah tidak dapat di tetapkan, melainkan harus dipertimbangkan dalam setiap keadaan berdasarkan pertimbangan fisik, psikologis dan materi. Yang dipentingkan sekarang bukan apakah suatu tindakan benar atau tidak, melainkan apakah tindakan itu bertanggung jawab.[13] Sehingga etika situasi mempunyai penekanan bahwa untuk menentukan suatu perbuatan itu benar atau tidak bukanlah berdasarkan pada hukum atau norma yang berlaku, melainkan tergantung pada situasi yang ada.[14]

2.      Kasih
         Kasih menjadi sebuah pengganti bagi hukum,  di dalam Etika New Morality lebih berfokus pada kasih Eros dimana kita mengetahui patokan norma kebenaran dari keempat kasih yaitu Philia, Eros, Storge dan Agave. Sehingga yang menjadi persoalan dalam New Morality adalah kasih Eros yang dialami kaum muda-mudi tentang asmara.[15]

2.6.               Akibat Dari New Morality
Timbulnya free Seks
                Dalam perjanjian baru, percabulan atau perzinahan (dalam bahasa Yunani Porneia atau   Moichos) adalah tindakan- tindakan seksual yang tidak bermoral. Istilah porneia  (pornografi) mencakup hubungan seksual tidak sah di antara orang yang belum menikah dengan siapapun , disamping mereka yang sudah kawin dengan orang lain dari pada orang dengan siapa mereka bersetubuh dan istilah Moichos berarti perzinahan dalam hal hubungan seksual yang tidak sah antara orang yang sudah nikah dengan orang yang bukan suami atau istrinya.[16] Menurut New Morality, free sex senantiasa berdasarkan mutual agreement (persetujuan bersama yaitu kedua belah pihak), oleh karena itu tidak boleh dipersalahkan.
Ada dua efek sosial yang buruk akibat dari free sex yaitu :
a.                      Pertama, Pengaruh Watak.
                  Dimana hati yang lembut berubah menjadi keras, acuh tak acuh, bahkan menjadi kasar dan sadis. Ia kurang menghargai dan menghormati sesamanya dan miliknya kurang dihargainya.
b.                         Kedua efek yang paling buruk yaitu yang menjadi dasar pernikahan adalah nafsu.
New Morality menuntut kebebasan untuk free seks, asal kasih yang menentukan dan ketaatan mutlak akan hukum kesusilaan tidak akan menguntungkan tapi menyatakan ketidak dewasaan mental. Kalau nafsu sudah surut, maka kedua belah pihak merasa bosan dan bebas untuk mencari patner yang lain.[17] New Morality juga menganjurkan “ Trial Marriage” ((Nikah percobaan) sehingga menimbulkan adanya perceraian.[18]
2.7.                                  Kritik Etika Kristen Terhadap New Morality
Kritik Etika Kristen menolak New Morality karena menuntut kebebasan dalam pengalaman Kasih Eros sehingga New Morality menegakkan hanya satu hukum yaitu kasih Eros bukan Kasih Agape. Maka “saling menyerahkan diri” merangkap juga penyerahan fisik sebelum atau diluar pernikahan yang sah.  Kasih Eros berasal dari Allah, sama seperti agape dan Filia, dan merupakan Karunia yang dianugerahkan kepada manusia untuk memperkaya kehidupan kita. Namun, Eros disalah gunakan sehingga mendatangkan kesusahan dan penderitaan bukan kebahagiaan. Kasih tidak terbit dari seks: seks tidak mendahului kasih. Empat hal yang harus diketahui tentang kasih eros selaku orang beriman yaitu :
1. Eros tidak akan selalu berakhir dengan pernikahan.
2. Eros harus dikontrol dan diberi disiplin.
3. Eros harus dipelajari dan diketahui secara matang dan mendalam.
4. Eros harus tunduk kepada Allah.
                Secara kontekstual Iman Kristiani mengajarkan bahwa Eros merupakan titik pertemuan kasih dan Tuhan. Eros disini juga bisa diartikan Tubuh dan Jiwa. Maka untuk mengasihi Tuhan diperlukan keterlibatan Tubuh dan Jiwa juga.[19] Dalam Roma 12 : 28 “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan Kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”. Penganut new morality tidak menyetujui hukum-hukum kesusilaan yang berdasarkan hukum Allah dan menggantikan kepercayaan kepada Allah dengan kepercayaan diri sendiri . Dalam kejadian 1:26 Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Manusia disebut mahluk yang bermoral dan ditempatkan oleh Allah dalam alam yang tunduk kepada hukum moral. Dalam Efesus pasal 4, Rasul Paulus menggariskan rupa Allah dengan sifat-sifat-Nya, yakni kebenaran dan kesucian. Pembaharuan itulah intisari daripada penebusan Yesus Kristus yaitu pembaharu watak dan sifat dalam kebenaran dan kesucian. Dalam II korintus 5:17, dikatakan “ yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Artinya adalah bahwa hanya dalam Kristus kita dikaruniai permulaan baru, change yang baru untuk hidup dengan hati yang tulus iklas.[20]
Ada tiga unsur penting dalam moral manusia yakni:
1)    Mahkluk yang moral mengerti perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk,
2)    Mahkluk yang moral mampu melakukan yang benar dan dapat memilih yang  
   Benar,
3)    Mahluk yang moral hanya memperoleh kebahagiaan yang sejati, kalau ia hidup   
        dalam kebenaran dan kesucian.[21]
Allah menetapkan hubungan seksualitas ketika Dia menciptakan “ laki-laki dam perempuan” dam memerintahkan mereka untuk memiliki anak ( Kejadian 1:27-28), sek diberikan dalam konteks keluarga sejak dari mulanya. Penulis Ibrani menyatakan bahwa “hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan penzinah akan dihakimi Allah” ( Ibrani 13 :4). dalam ke sepuluh hukum menyatakan: “ jangan berzinah” dan “jangan  mengingini istrinya” (Keluaran 20:14,17) bagian ini menjelaskan bahwa Allah menetapkan   seks untuk digunakan antara seorang peria dan wanita di dalam ikatan pernikahan.[22]
III.               Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa New Morality adalah suatu system etika yang mengajarkan hukum baru yang didasarkan pada kebebasan manusia itu sendiri. Para penganut New Morality tidak menyetujui hukum kesusilaan yang berdasarkan Hukum Allah. Mereka beranggapan bahwa hukum–hukum tersebut tidak menguntunkan manusia melainkan merugikan. Dimana New Morality ini timbul karena dipengaruhi oleh faktor faktor ilmiah yaitu: Perkembangan Humanisme, Perkembangan Filsafat, Perkembangan Theologia, Pengaruh Sosiologi, Pengaruh melalui Darwin, Pengaruh Psikologi (Sigmund freud ). Sehingga New Morality menuntut kebebasan dalam pengalaman Kasih Eros sehingga New Morality menegakkan hanya satu hukum yaitu kasih Eros bukan Kasih Agape.

IV.                Daftar Pustaka

KBBI Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Geisler, Norman L. Etika Kristen, Malang, departemen literature SAAT,2001
Marx Dorothy I., New Morality, Bandung:Yayasan Kalam Hidup,1994
Suseno Frans Magnis-, 13 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta:Kanisius,2000
Suseno Frans Magnis-,Etika Dasar masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:Kanisius,1987
Verkuyl, J. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta:BPK-GM,2009
White Jerry, Kejujuran Moral & Hati Nurani Jakarta : BPK-GM,1999




[1] Dorothy I. Marx, New Morality,(Bandung:Yayasan Kalam Hidup,1994),9
[2]KBBI (Jakarta: Balai Pustaka,2005),754
[3] Frans Magnis- Suseno,Etika Dasar masalah-masalah pokok Filsafat Moral,(Yogyakarta:Kanisius,1987),19
[4]  Dorothy I. Marx, New Morality, 15-16
[5] Dorothy I. Marx, New Morality, 49
[6] Dorothy I. Marx, New Morality, 29
[7] Dorothy I. Marx, New Morality,17
[8] Frans Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Abad ke-20,( Yogyakarta:Kanisius,2000),151
[9] Dorothy I. Marx, New Morality,26
[10] ] Frans Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Abad ke-20, 151
[11] Dorothy I. Marx, New Morality,26
[12] Dorothy I. Marx, New Morality,19-27
[13] Dorothy I. Marx, New Morality,48
[14] Frans Magnis-Suseno,13 Tokoh Etika Abad ke-20,104
[15] J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta:BPK-GM,2009),253
[16] Jerry White, Kejujuran Moral & Hati Nurani ( Jakarta : BPK-GM,1999),164
[17] Dorothy I. Marx, New Morality,78
[18] Dorothy I. Marx, New Morality,81
[19] Dorothy I. Marx, New Morality,60-62
[20] Dorothy I. Marx, New Morality, 75-76
[21] Dorothy I. Marx, New Morality,34
[22] Norman L. Geisler, Etika Kristen,( Malang, departemen literature SAAT,2001),342
Share:

Related Posts:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

216436

FOLLOWERS