Manusia Laki-laki dan Manusia Perempuan (Gender)
I.
Pendahuluan
Di dalam perkembangan peradapan dunia pada saat ini, isu tentang
gender masih menjadi pembicaraan yang hangat, karena hal ini sudah menjadi
persoalan yang sangat penting. Di mana hak dan martabat laki-laki lebih tinggi
dari pada perempuan, hal ini Nampak dari tradisi dan kebudayaan, bahkan dalam
Alkitab juga menyatakan bahwa laki-laki mempunyai harkat dan martabat yang
lebih tinggi dari pada perempuan. Apabila ditinjau dari sudut kodrati memang
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi harus disadari bahwa
secara martabat dan hak azasi tidak mempunyai perbedaan. Allah menciptakan
perempuan sebagai pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Itu berarti perempuan
dan laki-laki harus saling melengkapi kekurangan masing-masing dengan kelebihan
yang ada pada diri mereka masing-masing. Untuk lebih memberi pemahaman yang benar
kepada kita tentang Gender, berikut pemaparan penulis tentang gender secara
khusus ditinjau dari sudut Alkitab Perjanjian Lama.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian
Laki-laki Secara Umum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata laki-laki disejajarkan
atau disamakan dengan kata pria (laki-laki dewasa). Kata atau sebutan laki-laki
dalam kehidupan sehari-hari dipergunakan untuk membedakan jenis kelamin
manusia, atau dapat dikatakan membedakan antara laki-laki dan perempuan secara
seksualitas. Tetapi meskipun demikian, penggunaan kata laki-laki ternyata tidak
hanya dipergunakan untuk menunjuk jenis kelamin seseorang, namun juga
diidentikkan dengan sifat peberani (memiliki keberanian) di dalam dirinya. Dan
lebih jauh lagi pemaknaan kata laki-laki erat kaitannya dengan tanggung jawab
seorang laki-laki dalam kehidupan, yaitu sebagai kepala keluarga yang
bertanggung jawab untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya.[1]
2.2. Laki-laki
dalam Perjanjian Lama
Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada beberapa kata yang dipergunakan untuk
menyebutkan laki-laki, namun penyebutan itu dipakai dalam tempat yang
berbeda-beda karena memiliki makna ataupun pengertian yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk melihat bagaimana pandangan
Alkitab terhadap laki-laki, maka hal itu dapat dilihat dari istilah-istilah
penyebutan yang dipakai yaitu:
a)
‘Isy
Secara etimologi pengertian dari ‘Isy yaitu “menjadi kuat”.
Namun kata ‘Isy dalam dunia sekuler diartikan “laki-laki” karena kata
ini dipakai dalam rangka untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara
seksualitas. Di samping pengertian tersebut, kata ‘Isy juga dipakai
untuk memberikan keterangan akan tingkat kedewasaan dari seorang laki-laki.
Untuk itu kata ‘Isy juga diartikan dengan “laki-laki muda”.[2]
b)
Adam
Nama Adam (‘adham), di samping sebagai nama diri, juga mengandung
arti “manusia”[3].
Adam juga merupakan kata Ibrani untuk “laki-laki”, dan menurut Perjanjian Lama bahwa
merupakan orang pertama dari manusia.[4]
c)
Abba
Abba adalah kata Aram yang berarti “bapak” Yesus menggunakannya
dalam doa di Taman Getsemani (Mrk 14: 36), dan digunakan dua kali oleh Paulus
sebagai sapaan bagi Allah di dalam doa umat Kristen. Dan telah diketahui bahwa
Abba menggambarkan bentuk sapaan yang akrab, terutama sapaan anak terhadap
bapaknya.[5]
Kata ini juga masuk ke dalam bahasa Ibrani dan dalam Talmud Babel, yang juga
digunakan sebagai sebutan atau sebuah panggilan penghormatan terhadap Rabi,
karena kata ini mengandung rasa hormat dan keakraban.[6]
2.3. Pengertian
Perempuan Secara Umum
Istilah perempuan berasal dari bahasa
Melayu yaitu Empu: Ibu dan Puan bentuk
feminis dari kata Tuan, yang berarti dalam “yang diempukan, dituankan, yang
dihormati”. Sedangkan istilah wanita berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti “elok dan cantik”, meskipun dalam bahasa sehari-hari istilah tersebut
dipakai dalam arti yang sama.[7]
Citra perempuan pada umumnya adalah perempuan yang berperangai halus, tabah,
sabar, penyayang, bersifat keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian,
pandai mengurus keluarga. Menurut anggapan masyarakat atau laki-laki gambaran
seorang perempuan adalah perempuan yang
ideal, yang dapat diandalkan dalam segala
hal sebab itulah kodrat perempuan.[8]
Dari pemahaman ini dapat kita sebutkan bahwa kata perempuan atau wanita adalah
memiliki makna yang sejajar yaitu penyebutan atas
sapaan penghormatan kepada perempuan atau wanita, dan mendorong kita untuk
menyapa dan mempraktekkan sikap menghormati perempuan.[9]
2.4. Perempuan dalam Perjanjian Lama
Alkitab mencatat bahwa Allah menciptakan perempuan pertama dari
tulang rusuk Adam (Kej 2: 21), Allah membuat rusuk itu menjadi perempuan (dalam
bahasa Ibrani Le’ isysya).[10]
Dalam penciptaan Allah memiliki tujuan agar Adam memiliki penolong yang
“sepadan” bukan sebagai pembantu atau menganggap rendah posisi perempuan dan
menganggap rendah harga diri dan martabat perempuan, melainkan agar manusia
saling bergantung, dan saling melengkapi satu dengan yang lain (Kej 1:27, 18:4;
Ul 33:7).[11]
Dari penjelasan tersebut ada beberapa versi yang timbul tentang definisi
perempuan yaitu:[12]
a)
Versi yang
berorientasi pada keilahian, dengan penekanan pada kekudusan, kesempurnaan, dan
keagungan
b)
Versi yang
membumi, berorientasi pada manusia, romantis,
dan secara eksistensial benar karena
menyangkut kerentangan, kesepian, dan saling ketergantungan manusia
Perempuan adalah gambar dan rupa Allah sama
seperti laki-laki (Kej 1: 27). Misi kesegambaraan manusia dengan Allah adalah
misi tanggung jawab sebagai mahkota ciptaan Allah.[13]
Laki-laki dan perempuan berbeda bukan dalam arti bahwa perempuan itu adalah
makhluk yang lemah dan selalu perlu dilindungi. Pada saat Tuhan membentuk
perempuan dari tulang rusuk Adam, dipakai kata kerja בׇנׇה) ) “bana”
untuk menggambarkan Allah seperti arsitek yang merancang dan membangun (Kej 2:
22). Dalam Perjanjian Lama kata kerja “bana”
sering dipakai dalam konteks membuat sesuatu yang keras seperti menara, mezbah,
atau benteng. Dari penjelasan ini memberikan penjelasan dan pemahaman kepada
kita bahwa perempuan bukan sebagai makhluk yang lemah, karena perempuan juga
makhluk yang kuat.[14] Lampp
dalam bukunya mengatakan bahwa perempuan itu adalah pejabat sebagai pelaksana
kuasa ibarat seorang gubernur yang memerintah rakyatnya, tetapi harus diingat
bahwa jabatan dan kuasa itu harus sesuai dengan sumber kuasa yaitu Allah Sang
Pencipta.[15] Dalam
Perjanjian Lama perempuan dikenal sebagai sosok pribadi dan patner laki-laki.
Para istri dan anak-anak perempuan dapat
tampil di hadapan umum setiap hari, baik itu dalam perayaan-perayaan atau
peristiwa keagamaan (Kej 24: 13; Kel 2: 16; Ul 12:12). Wanita juga dapat
melayani di depan pintu kemah pertemuan
(Kel 38: 8; I Sam 2: 22). Demikian juga nabi perempuan yang ambil bagian dalam
pelayanan, misalnya Debora (Hak 4: 4-16), Noaja (Neh 6: 14). Anak perempuan
juga memperoleh warisan bila tidak ada anak laki-laki di dalam keluarga itu
(Bil 27).[16]
2.5. Pengertian
Gender
Istilah gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya jenis
kelamin.[17]
Darwin Lumbantobing dalam bukunya mengatakan
bahwa gender adalah laki-laki dan perempuan dalam hubungan dengan peranan
dan fungsi sosial dalam kehidupan sehari-hari.[18]
Gender adalah suatu sifat dan peranan yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan, misalnya perempuan lebih cantik, lembut, emosional, Sedangkan
laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Namun sifat dan peranan yang
melekat itu bisa berubah maupun dipertukarkan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan
gender itu adalah untuk melihat dan menilai status sosial yang sering dibentuk
karena kebiasaan atau tradisi budaya.[19]
2.6. Latar Belakang
Gender
Sejarah terjadinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini
terjadi melalui proses yang sangat panjang, di mana kaum perempuan dikucilkan
dan tidak dianggap. Kita mengetahui rendahnya derajat kaum wanita dalam
anggapan pada zaman dahulu kala bahkan dalam kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru juga menyatakan hal yang sama, di mana para kaum perempuan itu
dianggap lebih rendah dari laki-laki. Akibat dari pemahaman-pemahaman yang
terjadi sejak dahulu kala mengakibatkan hal itu menjadi sebuah kebudayaan yang
terjadi dengan atau tanpa kita sadari. Namun hal inilah nantinya yang akan
mengakibatkan terjadinya gerakan Feminisme setelah adanya kesadaran perempuan
memikirkan dirinya sendiri dan masa depannya.[20]
Dalam berabad-abad lamanya gender dipahami sebagai klasifikasi status sosial
dan identifikasi kelayakan atau kemampuan berdasarkan jenis kelamin.[21]
Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses
melalui budaya dan menciptakan perbedaan gender kemudian juga menciptakan
ideologi gender, tidak menjadi masalah apabila dasar dan pikiran dua jenis
manusia ini dalam kesetaraan. Mansuor Fakih mengatakan bahwa perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama
kaum perempuan.[22]
Dari penjelasan di atas ada beberapa faktor yang memicu kepada ketidakadilan
gender, yaitu:
a)
Faktor Budaya
Masyarakat kita bersifat Patriakat atau merupakan masyarakat di mana
laki-laki dominan sifatnya, sehingga segala ketentuan dan proses penyusunan
banyak yang mengandung kepada laki-laki atau yang menjadi ukuran penentu adalah
penilaian laki-laki. Ketentuan ini mendapat keabsahan dan memperkuat pandangan
masyarakat bahwa perempuan harus menghabiskan waktu di rumah untuk mengurusi
rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Bekerja di luar atau di publik dianggap
tidak wajar karena tugasnya yang mengikuti budaya harus dipikulnya. Untuk
melihat pengaruh budaya dalam diri seseorang ditunjukkan dalam konsep
tradisional mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga sekarang
ini masih saja mengakar dalam masyarakat. Misalnya mejadi suatu aib jikalau
tidak mempunyai anak laki-laki karena baginya tidak akan ada
yang menjadi penerus garis keturunannya dan pembagian harta warisan yang lebih
mengutamakan laki-laki.[23]
b)
Faktor ekonomi
Dahulu dalam kehidupan rumah tangga, tulang punggung perekonomian
itu adalah didominasi oleh laki-laki, sehingga suami menjadi lebih superior
terhadap istrinya. Padahal dalam kalkulasi jam kerja mengurus rumah tangga,
perempuan justru lebih banyak bekerja dari suami, akan tetapi pekerjaan tidak
mendapatkan upah, maka dianggap suamilah menjadi basis perekonomian keluarga.[24]
c)
Faktor Agama
Adanya pemahaman yang salah dalam menafsirkan teks Alkitab,
misalnya penciptaan manusia pertama (Adam) dan penggunaan istilah “Bapa” untuk
Allah serta adanya pemahaman yang salah tentang asal-mula dosa. Sehingga dari
hal tersebut muncullah pemahaman tentang Patriakal.[25]
Dan hal itu juga semakin dipengaruhi oleh konteks penulisan Alkitab yang lebih
mengarah pada atau didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga nilai perempuan itu
semakin rendah dan bahkan dianggap tidak suatu pribadi.[26]
2.7. Fakta Alkitab Tentang Ketidak-adilan Gender dalam Perjanjian Lama
Ada beberapa kisah yang terdapat di dalam Alkitab yang merupakan
bukti dari ketidak-adilan gender, secara khusus yang terdapat dalam kitab
Perjanjian Lama, yaitu:
a)
Perempuan
dianggap tidak berharga, karena seorang ayah yang atau suami merasa tidak
bersalah menyerahkan putri kandungnya untuk diperkosa massa demi keselamatan
para tamu-tamunya laki-laki (Kej 19:8)
b)
Nilai seorang
perempuan hanyalah separuh dari nilai seorang laki-laki (Im 27: 1-8)
c)
Orang-orang
Israel mengorbankan perempuan itu disaat menjalani masa yang sulit, mereka
hanya memikirkan keselamatannya tanpa memperdulikan apa yang terjadi pada
perempuan itu (Hak 19)
d)
Status istri
dijadikan sebagai bagian dari harta milik yang dapat diperlakukan dengan sesuka
hati (Ul 24:1-4)
e)
Yefta
menyerahkan putri kandungnya sebagai persembahan kepada Allah atas nazar yang
dibuatnya (Hak 11: 29-40)
f)
Amnon
menjadikan Tamar sebagai pemuas nafsu (2 Sam 13: 1-22) [27]
2.8. Kesetaraan Gender menurut Perjanjian Lama
Manusia laki-laki
dan perempuan diciptakan Allah menurut gambar-Nya dalam posisi setara tanpa
hierarki. Manusia sebagai gambar Allah, di situlah letak martabatnya.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya
mendapat mandat yang sama dari Tuhan untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej
1: 26, 28-29). Laki-laki tidak diciptakan berada di atas perempuan atau
sebaliknya di bawahnya. Tak dapat disangkal bahwa sistem masyarakat Israel yang
tergambar dalam Perjanjian Lama adalah Patriarki, di dalamnya pria berkuasa dan
perempuan harus tunduk. Realitas sosial pada zaman itu adalah bahwa perempuan
sering dan mudah dieksploitasikan sebagai objek.[28]
Pemahaman ini harus dihilangkan melalui makna penciptaan manusia sebagai gambar
Allah. Karena makna dan kesempurnaan akan kemanusiaan dari manusia pertama itu
ada dalam kehadiran perempuan di tengah-tengah kehidupan laki-laki. Adam
sebagai manusia pertama jelas tidak merasakan adanya kesempurnaannya sebagai
manusia sebelum seorang perempuan hadir bersama dengan dirinya.[29]
Allah tidak pernah membedakan hakekat dan status dari kedua jenis kelamin ini,
tetapi adalah kesatuannya. Meskipun pada dasarnya di antara kedua manusia itu
ada perbedaan, tetapi perebedaan itu adalah sebagai sarana untuk melihat
kesatuannya. Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah adalah
merupakan pemberian dari Allah yang istimewa kepada manusia tanpa membedakan
gendernya. Sebagai mahkota ciptaan, maka laki-laki dan perempuan harus menjadi
kebanggan Allah, sebab di dalamnya ada hakekat kesegambaran dan hakekat itu
tidak ada pada ciptaan lainnya.[30]
2.9. Teologi yang mau
Dibangun
Beranjak dari
penjelasan di atas, teologia yang hendak dibangun adalah Teologia Pemimpin.
Pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang rela mendengar dan mendahulukan
kepentingan anggota dan masyarakatnya. Demi kesiapannya mendengar kepentingan
orang lain dia rela diam dan membisu dan bahkan mengorbankan hak dan harga
dirinya. Hal itu bukan menunjukkan kalau seorang pemimpin
itu lemah justru dari hal itulah kelihatan kekuatannya. Sama halnya dengan
perempuan yang selalu ditindas, dikucilkan, dan bahkan menjadi objek
eksploitasi, dan bahkan perempuan rela mengorbankan harga dirinya. Dari hal ini
tanpa kita sadari perempuan itu juga layak menjadi pemimpin yang sesungguhnya
karena mereka rela diam dan mengorbankan harga dirinya. Bahkan Yesus sang
pemimpin yang sesungguhnya juga direndahkan, dikucilkan, dan bahkan disiksa
hingga mati dan pengorbanan Yesus ini sesungguhnya mereflesikan penderitaan
kaum perempuan di masa Perjanjian Lama dan memberikan makna bagi seluruh umat
manusia dan terkhusus gereja.
2.10.
Refleksi Teologis
Tak dapat kita
pungkiri bahwa budaya Patriakal masih sangat kental hingga saat ini masih
banyak ditemukan perempuan tidak dihargai secara utuh dan sebagaian hak mereka
tidak diakui. Budaya Patriakal ini juga sangat kental di budaya orang batak,
yang dimana perempuan tidak diperbolehkan memimpin suatu pesta artinya mereka
tidak diberikan hak untuk berbicara ketika ada pesta-pesta orang batak
terkhususnya budaya batak toba. Dari hal ini sudah seharusnya kita berangkat
dan memperbaiki paradigma berpikir orang-orang yang masih meremehkan hak dan
tanggung jawab perempuan. Karena perempuan diciptakan Allah segambar dengan-Nya
(Kej 1: 27) dan menjadi penolong yang sepadan dengan laki-laki. Tetapi kata
penolong tidak boleh kita anggap tolak ukur untuk menilai bahwa perempuan itu
berada di bawah derajat laki-laki. Laki-laki dan perempuan harus saling
melengkapi sehingga terwujud manusia yang sempurna dan harmonis.
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan di
atas dapat disimpulkan bahwa manusia laki-laki dan perempuan diciptakan Allah adalah
setara tanpa hierarki. Manusia yang pertama yang diciptakan
Allah adalah Laki-laki yaitu Adam yang berasal dari tanah dan dari tulang rusuk
Adam diciptakan Allah manusia yang sepadan dan menjadi penolong bagi laki-laki
yaitu perempuan. Perempuan dalam konteks Perjanjian Lama adalah segambar dengan Allah dan dipandang sebagai
makhluk yang kuat. Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapan Allah dan
harus saling bekerja sama dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawab mereka
kepada Allah yaitu menguasai dan mengelolah Tanah.
IV.
Daftar Pustaka
. . . . Jurnal Tabernakel, Medan:
STT Abdi Sabda, 2009
Bath, Carlth, Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK-GM,
2001
Beauvoir, Simone de, Second Sex Fakta dan Mitos, Surabaya:
Pustaka Promethea, 1989
Becher, Jeane, Perempaun, Agama, dan Seksualitas, Jakarta:
BPK-GM, 2001
Bratsiotis,
N. P., Theological Dictionary of the Old Testament Vol I, Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1997
Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2007
Claire
Barth, Marie-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta:
BPK-GM, 2003
Cleves Moses, Julia, Gender dan Perkembangan, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 1996
Echols, Jhon M., dkk, Kamus Bahasa Inggris Indonesia,
Jakarta: Gramedia, 1996
Fakih,
Mansuor, Analisa Gender dan Transformasi Gender, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2001
Florimond, Hortensius, Berteologi
Memang Asyik, Jakarta: BPK-GM, 2009
Hoerth,
Alfred J., L Gerald. Mattingly & Yamauchi Edwin M., Peoples of the Old
Testament Word, Michigan: Baker Books, 1994
Hommes,
Anne, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat,
Yogyakarta: Kanisius, 1992
Karman, Yonky, Bunga
Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2005
Lampp, Walter, Tafsiran
Alkitab Kejadian 1: 1-4: 26, Jakarta: BPK-GM, 1987
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang
Siantar: L-SAPA, 2007
Mitchell,
T.C., “Hawa”, dalam Douglas J. D. (Peny. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini,
Jilid I A-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2003
Oma,
Ihroni, Kisah Kehidupan Wanita untuk Mepertahankan Kelestarian Ekonomi
Keluarga, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991
Packer, J.I. dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab II, Malang:
Gandum Mas, 2001
Payne, D.F., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Vol I, Jakarta:
YKBK/OMF, 2005
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Saragih, Agus Jetron, “Kesetaraan
Laki-laki dan Perempuan” dalam Jurnal
Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Edisi XXVI, Medan: STT Abdi Sabda, 2011
Sipayung,
Jonriahman, “Perempuan dalam Perspektif Alkitab” dalam Jurnal Teologi
Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XXV, Medan: STT Abdi Sabda, 2011
Siregar,
Hetty, Menuju Dunia Baru, Komunikasi, Media, dan Gender, Jakarta:
BPK-GM, 2001
[1] W. J. S. Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 702
[2] N. P. Bratsiotis, “’Isy” dalam Theological
Dictionary of the Old Testament Vol I, G. Johannes Botterweck Kinggren
(ed), (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 222-223
[3] ‘Adham’ berarti “manusia” atau
nama yang sebenarnya yaitu “adam” (Kej. 4: 25; 5: 1-5), Lih. Alfred J. Hoerth,
Gerald L. Mattingly & Edwin M. Yamauchi, Peoples of the Old Testament Word, (Michigan: Baker Books, 1994),
21
[4] W.R.F. Browning, Kamus
Alkitab, (Jakarta: BPK-GM,2007), 3-4
[5] W.R.F. Browning, Kamus
Alkitab, 1
[6] D.F. Payne, “Abba” dalam
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Vol I, J. D. Douglas (ed)., (Jakarta:
YKBK/OMF,2005),1
[7] Marie Claire Barth-Frommel, Hati
Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 9
[8] Hetty Siregar, Menuju Dunia
Baru, Komunikasi, Media, dan Gender, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 8
[9] Jonriahman Sipayung, “Perempuan
dalam Perspektif Alkitab” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda
Medan Edisi XXV, (Medan: STT Abdi Sabda, 2011), 8
[10] T.C. Mitchell, Hawa, dalam J.
D. Douglas (Peny. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I A-L), (Jakarta:
YKBK/OMF, 2003), 372
[11] Carlth Bath, Teologi
Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 56
[13] Agus Jetron
Saragih, “Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Edisi XXVI, (Medan: STT
Abdi Sabda, 2011), 23
[16] Jonriahman Sipayung, “Perempuan
dalam Perspektif Alkitab”,15
[17] Jhon M. Echols, dkk, Kamus
Bahasa Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), 265
[18] Darwin Lumbantobing, Teologi
di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 306
[19] Mansuor Fakih, Analisa Gender
dan Transformasi Gender, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), 8
[20] Jurnal Tabernakel, (Medan: STT
Abdi Sabda, 2009), 65
[21] Darwin Lumbantobing, Teologi
di Pasar Bebas, 307
[22] Mansuor Fakih, Analisa Gender
dan Transformasi Gender, 12
[23] Oma Ihroni, Kisah Kehidupan
Wanita untuk Mepertahankan Kelestarian Ekonomi Keluarga, (Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1991), 68
[24] Julia Cleves Moses, Gender
dan Perkembangan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), 3
[25] Anne Hommes, Perubahan
Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius,
1992), 79
[26] Simone de Beauvoir, Second
Sex Fakta dan Mitos, (Surabaya: Pustaka Promethea, 1989), 122
[27]J.I.Packer dkk, Ensiklopedi
Fakta Alkitab II, (Malang: Gandum Mas, 2001), 865
No comments:
Post a Comment