Manusia Laki-laki dan Manusia Perempuan (Gender)


Manusia Laki-laki dan Manusia Perempuan (Gender)

I.                   Pendahuluan
Di dalam perkembangan peradapan dunia pada saat ini, isu tentang gender masih menjadi pembicaraan yang hangat, karena hal ini sudah menjadi persoalan yang sangat penting. Di mana hak dan martabat laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan, hal ini Nampak dari tradisi dan kebudayaan, bahkan dalam Alkitab juga menyatakan bahwa laki-laki mempunyai harkat dan martabat yang lebih tinggi dari pada perempuan. Apabila ditinjau dari sudut kodrati memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi harus disadari bahwa secara martabat dan hak azasi tidak mempunyai perbedaan. Allah menciptakan perempuan sebagai pasangan yang sepadan dengan laki-laki. Itu berarti perempuan dan laki-laki harus saling melengkapi kekurangan masing-masing dengan kelebihan yang ada pada diri mereka masing-masing. Untuk lebih memberi pemahaman yang benar kepada kita tentang Gender, berikut pemaparan penulis tentang gender secara khusus ditinjau dari sudut Alkitab Perjanjian Lama.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Laki-laki Secara Umum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata laki-laki disejajarkan atau disamakan dengan kata pria (laki-laki dewasa). Kata atau sebutan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari dipergunakan untuk membedakan jenis kelamin manusia, atau dapat dikatakan membedakan antara laki-laki dan perempuan secara seksualitas. Tetapi meskipun demikian, penggunaan kata laki-laki ternyata tidak hanya dipergunakan untuk menunjuk jenis kelamin seseorang, namun juga diidentikkan dengan sifat peberani (memiliki keberanian) di dalam dirinya. Dan lebih jauh lagi pemaknaan kata laki-laki erat kaitannya dengan tanggung jawab seorang laki-laki dalam kehidupan, yaitu sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk memperhatikan dan memenuhi kebutuhan anggota keluarganya.[1]
2.2. Laki-laki dalam Perjanjian Lama
Dalam Alkitab Perjanjian Lama ada beberapa kata yang dipergunakan untuk menyebutkan laki-laki, namun penyebutan itu dipakai dalam tempat yang berbeda-beda karena memiliki makna ataupun pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk melihat bagaimana pandangan Alkitab terhadap laki-laki, maka hal itu dapat dilihat dari istilah-istilah penyebutan yang dipakai yaitu:
a)      ‘Isy
Secara etimologi pengertian dari ‘Isy yaitu “menjadi kuat”. Namun kata ‘Isy dalam dunia sekuler diartikan “laki-laki” karena kata ini dipakai dalam rangka untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara seksualitas. Di samping pengertian tersebut, kata ‘Isy juga dipakai untuk memberikan keterangan akan tingkat kedewasaan dari seorang laki-laki. Untuk itu kata ‘Isy juga diartikan dengan “laki-laki muda”.[2]    
b)      Adam
Nama Adam (‘adham), di samping sebagai nama diri, juga mengandung arti “manusia”[3]. Adam juga merupakan kata Ibrani untuk “laki-laki”, dan menurut Perjanjian Lama bahwa merupakan orang pertama dari manusia.[4]
c)      Abba
Abba adalah kata Aram yang berarti “bapak” Yesus menggunakannya dalam doa di Taman Getsemani (Mrk 14: 36), dan digunakan dua kali oleh Paulus sebagai sapaan bagi Allah di dalam doa umat Kristen. Dan telah diketahui bahwa Abba menggambarkan bentuk sapaan yang akrab, terutama sapaan anak terhadap bapaknya.[5] Kata ini juga masuk ke dalam bahasa Ibrani dan dalam Talmud Babel, yang juga digunakan sebagai sebutan atau sebuah panggilan penghormatan terhadap Rabi, karena kata ini mengandung rasa hormat dan keakraban.[6]  
2.3. Pengertian Perempuan Secara Umum
Istilah perempuan berasal dari bahasa Melayu yaitu Empu: Ibu dan Puan bentuk feminis dari kata Tuan, yang berarti dalam “yang diempukan, dituankan, yang dihormati”. Sedangkan istilah wanita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “elok dan cantik”, meskipun dalam bahasa sehari-hari istilah tersebut dipakai dalam arti yang sama.[7] Citra perempuan pada umumnya adalah perempuan yang berperangai halus, tabah, sabar, penyayang, bersifat keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian, pandai mengurus keluarga. Menurut anggapan masyarakat atau laki-laki gambaran seorang perempuan adalah perempuan  yang ideal, yang dapat diandalkan dalam segala  hal sebab itulah kodrat perempuan.[8] Dari pemahaman ini dapat kita sebutkan bahwa kata perempuan atau wanita adalah memiliki makna yang sejajar yaitu penyebutan atas sapaan penghormatan kepada perempuan atau wanita, dan mendorong kita untuk menyapa dan mempraktekkan sikap menghormati perempuan.[9]
2.4. Perempuan dalam Perjanjian Lama
Alkitab mencatat bahwa Allah menciptakan perempuan pertama dari tulang rusuk Adam (Kej 2: 21), Allah membuat rusuk itu menjadi perempuan (dalam bahasa Ibrani Le’ isysya).[10] Dalam penciptaan Allah memiliki tujuan agar Adam memiliki penolong yang “sepadan” bukan sebagai pembantu atau menganggap rendah posisi perempuan dan menganggap rendah harga diri dan martabat perempuan, melainkan agar manusia saling bergantung, dan saling melengkapi satu dengan yang lain (Kej 1:27, 18:4; Ul 33:7).[11] Dari penjelasan tersebut ada beberapa versi yang timbul tentang definisi perempuan yaitu:[12]
a)      Versi yang berorientasi pada keilahian, dengan penekanan pada kekudusan, kesempurnaan, dan keagungan
b)      Versi yang membumi, berorientasi pada manusia, romantis, dan  secara eksistensial benar karena menyangkut kerentangan, kesepian, dan saling ketergantungan manusia
Perempuan adalah gambar dan rupa Allah sama seperti laki-laki (Kej 1: 27). Misi kesegambaraan manusia dengan Allah adalah misi tanggung jawab sebagai mahkota ciptaan Allah.[13] Laki-laki dan perempuan berbeda bukan dalam arti bahwa perempuan itu adalah makhluk yang lemah dan selalu perlu dilindungi. Pada saat Tuhan membentuk perempuan dari tulang rusuk Adam, dipakai kata kerja בׇנׇה) ) “bana” untuk menggambarkan Allah seperti arsitek yang merancang dan membangun (Kej 2: 22). Dalam Perjanjian Lama kata kerja “bana” sering dipakai dalam konteks membuat sesuatu yang keras seperti menara, mezbah, atau benteng. Dari penjelasan ini memberikan penjelasan dan pemahaman kepada kita bahwa perempuan bukan sebagai makhluk yang lemah, karena perempuan juga makhluk yang kuat.[14] Lampp dalam bukunya mengatakan bahwa perempuan itu adalah pejabat sebagai pelaksana kuasa ibarat seorang gubernur yang memerintah rakyatnya, tetapi harus diingat bahwa jabatan dan kuasa itu harus sesuai dengan sumber kuasa yaitu Allah Sang Pencipta.[15]   Dalam Perjanjian Lama perempuan dikenal sebagai sosok pribadi dan patner laki-laki.  Para istri dan anak-anak perempuan dapat tampil di hadapan umum setiap hari, baik itu dalam perayaan-perayaan atau peristiwa keagamaan (Kej 24: 13; Kel 2: 16; Ul 12:12). Wanita juga dapat melayani di  depan pintu kemah pertemuan (Kel 38: 8; I Sam 2: 22). Demikian juga nabi perempuan yang ambil bagian dalam pelayanan, misalnya Debora (Hak 4: 4-16), Noaja (Neh 6: 14). Anak perempuan juga memperoleh warisan bila tidak ada anak laki-laki di dalam keluarga itu (Bil 27).[16]
2.5. Pengertian Gender
Istilah gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya jenis kelamin.[17] Darwin Lumbantobing dalam bukunya mengatakan bahwa gender adalah laki-laki dan perempuan dalam hubungan dengan peranan dan fungsi sosial dalam kehidupan sehari-hari.[18] Gender adalah suatu sifat dan peranan yang melekat pada laki-laki maupun perempuan, misalnya perempuan lebih cantik, lembut, emosional, Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Namun sifat dan peranan yang melekat itu bisa berubah maupun dipertukarkan. Dari pengertian  tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan gender itu adalah untuk melihat dan menilai status sosial yang sering dibentuk karena kebiasaan atau tradisi budaya.[19]
2.6. Latar Belakang Gender
Sejarah terjadinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini terjadi melalui proses yang sangat panjang, di mana kaum perempuan dikucilkan dan tidak dianggap. Kita mengetahui rendahnya derajat kaum wanita dalam anggapan pada zaman dahulu kala bahkan dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga menyatakan hal yang sama, di mana para kaum perempuan itu dianggap lebih rendah dari laki-laki. Akibat dari pemahaman-pemahaman yang terjadi sejak dahulu kala mengakibatkan hal itu menjadi sebuah kebudayaan yang terjadi dengan atau tanpa kita sadari. Namun hal inilah nantinya yang akan mengakibatkan terjadinya gerakan Feminisme setelah adanya kesadaran perempuan memikirkan dirinya sendiri dan masa depannya.[20] Dalam berabad-abad lamanya gender dipahami sebagai klasifikasi status sosial dan identifikasi kelayakan atau kemampuan berdasarkan jenis kelamin.[21]
Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses melalui budaya dan menciptakan perbedaan gender kemudian juga menciptakan ideologi gender, tidak menjadi masalah apabila dasar dan pikiran dua jenis manusia ini dalam kesetaraan. Mansuor Fakih mengatakan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan.[22] Dari penjelasan di atas ada beberapa faktor yang memicu kepada ketidakadilan gender, yaitu:
a)      Faktor Budaya
Masyarakat kita bersifat Patriakat atau merupakan masyarakat di mana laki-laki dominan sifatnya, sehingga segala ketentuan dan proses penyusunan banyak yang mengandung kepada laki-laki atau yang menjadi ukuran penentu adalah penilaian laki-laki. Ketentuan ini mendapat keabsahan dan memperkuat pandangan masyarakat bahwa perempuan harus menghabiskan waktu di rumah untuk mengurusi rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Bekerja di luar atau di publik dianggap tidak wajar karena tugasnya yang mengikuti budaya harus dipikulnya. Untuk melihat pengaruh budaya dalam diri seseorang ditunjukkan dalam konsep tradisional mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan hingga sekarang ini masih saja mengakar dalam masyarakat. Misalnya mejadi suatu aib jikalau tidak mempunyai anak laki-laki karena baginya tidak akan ada yang menjadi penerus garis keturunannya dan pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan laki-laki.[23]
b)     Faktor ekonomi
Dahulu dalam kehidupan rumah tangga, tulang punggung perekonomian itu adalah didominasi oleh laki-laki, sehingga suami menjadi lebih superior terhadap istrinya. Padahal dalam kalkulasi jam kerja mengurus rumah tangga, perempuan justru lebih banyak bekerja dari suami, akan tetapi pekerjaan tidak mendapatkan upah, maka dianggap suamilah menjadi basis perekonomian keluarga.[24]
c)      Faktor Agama
Adanya pemahaman yang salah dalam menafsirkan teks Alkitab, misalnya penciptaan manusia pertama (Adam) dan penggunaan istilah “Bapa” untuk Allah serta adanya pemahaman yang salah tentang asal-mula dosa. Sehingga dari hal tersebut muncullah pemahaman tentang Patriakal.[25] Dan hal itu juga semakin dipengaruhi oleh konteks penulisan Alkitab yang lebih mengarah pada atau didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga nilai perempuan itu semakin rendah dan bahkan dianggap tidak suatu pribadi.[26]
2.7. Fakta Alkitab Tentang Ketidak-adilan Gender dalam Perjanjian Lama
Ada beberapa kisah yang terdapat di dalam Alkitab yang merupakan bukti dari ketidak-adilan gender, secara khusus yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama, yaitu:
a)      Perempuan dianggap tidak berharga, karena seorang ayah yang atau suami merasa tidak bersalah menyerahkan putri kandungnya untuk diperkosa massa demi keselamatan para tamu-tamunya laki-laki (Kej 19:8)
b)      Nilai seorang perempuan hanyalah separuh dari nilai seorang laki-laki (Im 27: 1-8)
c)      Orang-orang Israel mengorbankan perempuan itu disaat menjalani masa yang sulit, mereka hanya memikirkan keselamatannya tanpa memperdulikan apa yang terjadi pada perempuan itu (Hak 19)
d)     Status istri dijadikan sebagai bagian dari harta milik yang dapat diperlakukan dengan sesuka hati (Ul 24:1-4)
e)      Yefta menyerahkan putri kandungnya sebagai persembahan kepada Allah atas nazar yang dibuatnya (Hak 11: 29-40)
f)       Amnon menjadikan Tamar sebagai pemuas nafsu (2 Sam 13: 1-22) [27]
2.8. Kesetaraan Gender menurut Perjanjian Lama
Manusia laki-laki dan perempuan diciptakan Allah menurut gambar-Nya dalam posisi setara tanpa hierarki. Manusia sebagai gambar Allah, di situlah letak martabatnya. Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat mandat yang sama dari Tuhan untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej 1: 26, 28-29). Laki-laki tidak diciptakan berada di atas perempuan atau sebaliknya di bawahnya. Tak dapat disangkal bahwa sistem masyarakat Israel yang tergambar dalam Perjanjian Lama adalah Patriarki, di dalamnya pria berkuasa dan perempuan harus tunduk. Realitas sosial pada zaman itu adalah bahwa perempuan sering dan mudah dieksploitasikan sebagai objek.[28] Pemahaman ini harus dihilangkan melalui makna penciptaan manusia sebagai gambar Allah. Karena makna dan kesempurnaan akan kemanusiaan dari manusia pertama itu ada dalam kehadiran perempuan di tengah-tengah kehidupan laki-laki. Adam sebagai manusia pertama jelas tidak merasakan adanya kesempurnaannya sebagai manusia sebelum seorang perempuan hadir bersama dengan dirinya.[29] Allah tidak pernah membedakan hakekat dan status dari kedua jenis kelamin ini, tetapi adalah kesatuannya. Meskipun pada dasarnya di antara kedua manusia itu ada perbedaan, tetapi perebedaan itu adalah sebagai sarana untuk melihat kesatuannya. Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah adalah merupakan pemberian dari Allah yang istimewa kepada manusia tanpa membedakan gendernya. Sebagai mahkota ciptaan, maka laki-laki dan perempuan harus menjadi kebanggan Allah, sebab di dalamnya ada hakekat kesegambaran dan hakekat itu tidak ada pada ciptaan lainnya.[30]

2.9. Teologi yang mau Dibangun
Beranjak dari penjelasan di atas, teologia yang hendak dibangun adalah Teologia Pemimpin. Pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang rela mendengar dan mendahulukan kepentingan anggota dan masyarakatnya. Demi kesiapannya mendengar kepentingan orang lain dia rela diam dan membisu dan bahkan mengorbankan hak dan harga dirinya. Hal itu bukan menunjukkan kalau seorang pemimpin itu lemah justru dari hal itulah kelihatan kekuatannya. Sama halnya dengan perempuan yang selalu ditindas, dikucilkan, dan bahkan menjadi objek eksploitasi, dan bahkan perempuan rela mengorbankan harga dirinya. Dari hal ini tanpa kita sadari perempuan itu juga layak menjadi pemimpin yang sesungguhnya karena mereka rela diam dan mengorbankan harga dirinya. Bahkan Yesus sang pemimpin yang sesungguhnya juga direndahkan, dikucilkan, dan bahkan disiksa hingga mati dan pengorbanan Yesus ini sesungguhnya mereflesikan penderitaan kaum perempuan di masa Perjanjian Lama dan memberikan makna bagi seluruh umat manusia dan terkhusus gereja.   
2.10.                     Refleksi Teologis
Tak dapat kita pungkiri bahwa budaya Patriakal masih sangat kental hingga saat ini masih banyak ditemukan perempuan tidak dihargai secara utuh dan sebagaian hak mereka tidak diakui. Budaya Patriakal ini juga sangat kental di budaya orang batak, yang dimana perempuan tidak diperbolehkan memimpin suatu pesta artinya mereka tidak diberikan hak untuk berbicara ketika ada pesta-pesta orang batak terkhususnya budaya batak toba. Dari hal ini sudah seharusnya kita berangkat dan memperbaiki paradigma berpikir orang-orang yang masih meremehkan hak dan tanggung jawab perempuan. Karena perempuan diciptakan Allah segambar dengan-Nya (Kej 1: 27) dan menjadi penolong yang sepadan dengan laki-laki. Tetapi kata penolong tidak boleh kita anggap tolak ukur untuk menilai bahwa perempuan itu berada di bawah derajat laki-laki. Laki-laki dan perempuan harus saling melengkapi sehingga terwujud manusia yang sempurna dan harmonis.
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia laki-laki dan perempuan diciptakan Allah adalah setara tanpa hierarki. Manusia yang pertama yang diciptakan Allah adalah Laki-laki yaitu Adam yang berasal dari tanah dan dari tulang rusuk Adam diciptakan Allah manusia yang sepadan dan menjadi penolong bagi laki-laki yaitu perempuan. Perempuan dalam konteks Perjanjian Lama adalah segambar dengan Allah dan dipandang sebagai makhluk yang kuat. Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapan Allah dan harus saling bekerja sama dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawab mereka kepada Allah yaitu menguasai dan mengelolah Tanah.  
IV.             Daftar Pustaka
. . . . Jurnal Tabernakel, Medan: STT Abdi Sabda, 2009
Bath, Carlth, Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK-GM, 2001
Beauvoir, Simone de, Second Sex Fakta dan Mitos, Surabaya: Pustaka Promethea, 1989
Becher, Jeane, Perempaun, Agama, dan Seksualitas, Jakarta: BPK-GM, 2001
Bratsiotis, N. P., Theological Dictionary of the Old Testament Vol I,  Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997
Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2007
Claire Barth, Marie-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta: BPK-GM, 2003
Cleves Moses, Julia, Gender dan Perkembangan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996
Echols, Jhon M., dkk, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996
Fakih, Mansuor, Analisa Gender dan Transformasi Gender, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001
Florimond, Hortensius, Berteologi Memang Asyik, Jakarta: BPK-GM, 2009
Hoerth, Alfred J., L Gerald. Mattingly & Yamauchi Edwin M., Peoples of the Old Testament Word, Michigan: Baker Books, 1994
Hommes, Anne, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Karman, Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2005
Lampp, Walter, Tafsiran Alkitab Kejadian 1: 1-4: 26, Jakarta: BPK-GM, 1987
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Mitchell, T.C., “Hawa”, dalam Douglas J. D. (Peny. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I A-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2003
Oma, Ihroni, Kisah Kehidupan Wanita untuk Mepertahankan Kelestarian Ekonomi Keluarga, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991
Packer, J.I. dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab II, Malang: Gandum Mas, 2001
Payne, D.F., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Vol I, Jakarta: YKBK/OMF, 2005
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Saragih, Agus Jetron, “Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Edisi XXVI, Medan: STT Abdi Sabda, 2011
Sipayung, Jonriahman, “Perempuan dalam Perspektif Alkitab” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XXV, Medan: STT Abdi Sabda, 2011
Siregar, Hetty, Menuju Dunia Baru, Komunikasi, Media, dan Gender, Jakarta: BPK-GM, 2001



[1] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 702
[2] N. P. Bratsiotis, “’Isy” dalam Theological Dictionary of the Old Testament Vol I, G. Johannes Botterweck Kinggren (ed), (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 222-223
[3] ‘Adham’ berarti “manusia” atau nama yang sebenarnya yaitu “adam” (Kej. 4: 25; 5: 1-5), Lih. Alfred J. Hoerth, Gerald L. Mattingly & Edwin M. Yamauchi, Peoples of the Old Testament Word, (Michigan: Baker Books, 1994), 21
[4] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM,2007), 3-4
[5] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, 1
[6] D.F. Payne, “Abba” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Vol I, J. D. Douglas (ed)., (Jakarta: YKBK/OMF,2005),1
[7] Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 9
[8] Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru, Komunikasi, Media, dan Gender, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 8
[9] Jonriahman Sipayung, “Perempuan dalam Perspektif Alkitab” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XXV, (Medan: STT Abdi Sabda, 2011), 8
[10] T.C. Mitchell, Hawa, dalam J. D. Douglas (Peny. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I A-L), (Jakarta: YKBK/OMF, 2003), 372
[11] Carlth Bath, Teologi Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 56
[12] Jeane Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas, (Jakarta: BPK-GM, 2001)7
[13] Agus Jetron Saragih, “Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan” dalam Jurnal Teologi Tabernakel STT Abdi Sabda Edisi XXVI, (Medan: STT Abdi Sabda, 2011), 23
[14] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 48
[15] Walter Lampp, Tafsiran Alkitab Kejadian 1: 1-4: 26, (Jakarta: BPK-GM, 1987), 39
[16] Jonriahman Sipayung, “Perempuan dalam Perspektif Alkitab”,15
[17] Jhon M. Echols, dkk, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), 265
[18] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 306
[19] Mansuor Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Gender, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), 8
[20] Jurnal Tabernakel, (Medan: STT Abdi Sabda, 2009), 65
[21] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, 307
[22] Mansuor Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Gender, 12
[23] Oma Ihroni, Kisah Kehidupan Wanita untuk Mepertahankan Kelestarian Ekonomi Keluarga, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991), 68
[24] Julia Cleves Moses, Gender dan Perkembangan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), 3
[25] Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 79
[26] Simone de Beauvoir, Second Sex Fakta dan Mitos, (Surabaya: Pustaka Promethea, 1989), 122
[27]J.I.Packer dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab II, (Malang: Gandum Mas, 2001), 865
[28] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 45
[29] Hortensius Florimond, Berteologi Memang Asyik, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 11
[30] Agus Jetron Saragih, Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan, 23-24
Share:

Related Posts:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

SEMUA POSTINGAN

Total Pageviews

216378

FOLLOWERS