Bentuk dan Sifat Aliran-Aliran Kepercayaan
dalam Agama Suku
I.
Pendahuluan
Agama Suku merupakan sesuatu yang tidak baru lagi untuk dibahas. Agama Suku
membuat banyak orang tertarik untuk mencari tahu bahkan untuk mendalaminya.
Termasuk pada kesempatan kali ini, pada mata kuliah Okultisme kita akan
membahas salah satu yang berkaitan dengan Agama Suku, yaitu bagaimana bentuk
dari Agama suku serta bagaimana Sifat Agama Suku dalam penerapannya. Semoga
bermanfaat bagi kita semua.
II.
Pembahasan
Berbicara tentang Agama Suku, maka yang dimaksudkan di sana
adalah agama-agama primitif
yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat suku yang ada di dalam
dunia ini.Agama Suku adalah agama yang dianut oleh suku-suku tertentu pula,
misalnya: terbatas dipercayai oleh suatu kumpulan persekutuan suku tertentu,
yang memiliki suatu Tuhan yang juga wibawa dan kekuasaannya hanya memberkati
suku/bangsa tertentu saja. Juga dengan dogmanya atau kepercayaan mereka di
tengah-tengah persekutuan mereka tersebut.[1]Dalam
penggolongannya, Agama Primitif juga
dapat digolongkan berdasarkan sifat/karakteristik, yaitu sebagai berikut:
2.1. Bentuk-bentuk
Aliran Kepercayaan dalam Agama Suku
2.1.1. Animisme
Animisme berasal dari kata “anima” yang artinya nyawa.[2]Animisme
adalah susunan keagamaan yang harus diartikan sebagai suatu rangkaian upacara-upacara,
tanggapan-tanggapan, mite[3]dan
sebagainya yang religious-magis yang dapat melukiskan adanya mahkluk-mahkluk
halus sakti yang ada kepribadiannya.Di dalam Animisme kita bertemu dengan
kekuatan-kekuatan yang bekerja pada manusia karena kehendaknya.Kehendak
daya-daya kekuasaan itu dialami oleh manusia Primitif.Apa yang dikehendaki dan yang diperbuatoleh
daya-daya kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia itu sebenarnya mereka tidak
memahaminya. Mereka menganggap mahkluk-mahkluk yang berkehendak itu dapat
mengelilingi manusia di rumah, di desa, di ladang, di dalam rimba dan di atas
air.[4]
E. B. Tylor berpendapat bahwa agama Primitif timbul dari Animisme. Menurutnya, ada 4
tahap proses yang harus dilalui oleh Animisme supaya dapat dikatakan sebagi
agama Primitif,
yaitu:
1.
Masyarakat
primitif
mengkhayalkan adanya hantu-jiwa orang mati yang dapat mengunjungi orang-orang
hidup. Hantu-jiwalah yang mengganggu orang hidup.
2.
Jiwa
yang menampakkan diri.
3.
Timbul
kepercayaan dalam masyarakat bahwa segala Sesutu berjiwa.[5]
Kepercayaan Animisme terdapat ragam
kepercayaan. Kepercayaan ini terbagi menjadi 4, yaitu:
1.
Kepercayaan
dan penyembah kepada benda-benda. Seperti penyembahan pada api, matahari,
binatang.
2.
Kepercayaan
penyembahan kepada benda-benda. Dalam anggapan mereka siapa saja yang memakai
atau menggunakan benda-benda tersebut akan terhindar dari malapetaka dan
kesengsaraan hidup, seperti kepercayaan besi buat jimat, air buat obat, api
untuk membakar mayat
3.
Kepercayaan
penyembah kepada binatang-binatang ini dipuja karena dianggap memberikan keselamatan
dan kemanfaatan. Seperti sapi di Bali, dan ular di India.
4.
Kepercayaan
dan penyembahan kepada roh nenek moyang. Dalam kepercayaan orang primitif, roh orang-orang yang mati masih hidup dan
dapat meminta pertolongannya. Maka tidak jarang
lagi orang yang mengadakan peringatan bagi si mati selama 3 hari atau 7 hari,
seterusnya ditambah dengan pemberian sesajen kepadan roh-roh. Bahkan roh-roh
ini dapat dipanggil oleh orang-orang tertentu untuk diminta doa restu.[6]
2.1.2. Dinamisme
Kata Dinamisme berasal dari kata Yunani, dynamos
artinya kekuatan, power, kuasa dan dynamo.Dinamisme adalah kepercayaan (aliran)
yang mempercayai adanya kekuatan, dynamo, kuasa di dalam suatu benda-benda
tertentu.Kuasa ini bukan tenaga yang berbentuk person atau pribadi sehingga
menjurus pada hal-hal yang magis.[7]
Jadi Dinamisme yang
primitif itu bukan semacam susunan pantheistis yakni menurut susunan atau
sistem segala mahkluk dan benda mengandung daya ilahi. Dinamisme kadang-kadang
menjadi sistem pantheistis serupa itu di dalam perkembangan kebudayaan yang
lebih tinggi. Tetapi manusia primitif tidak menyusun sesuatu sistem, ia
lebih baik secara enpiris (menrut
pengalaman), ditetapkannya begitu saja bahwa benda ini mengandung daya kekuatan
dan benda itu tidak.[8]
Masyarakat yang menganut
ajaran Dinamisme memberi berbagai nama pada kekuatan gaib. Orang Malanesia
menyebutnya mana¸orang Jepang kami, orang India hari dan shakti, dan
orang Pigmin di Afrika oudah.
2.1.3. Politeisme
Politeisme adalah
kepercayaan kepada berbagai dewa personal, yang masing-masing memegang
kekuasaan atas bidang kehidupan yang berlainan, dapat diterangkan dari berbagai
sudut panadang. Pertama, bagi kesadaran
religius seluruh jalan hidup eksistensi manusia berada dalam hubungan dengan Tuhan.
Kehidupan sehari-hari mempunyai arti religius dan segala sesuatu dapat
dipandang sebagai bagian dari keagungan Tuhan.Kedua, pemahaman religius tentang alam, terutama di antara
masyarakat kuno, yang telah menghantar pada pemikiran bahwa fenomena alam
merupakan manifestasi kekuatan ilahi.Ketiga,
dalam agama-agama yang menganggap kehidupan kosmos sebagai wilayah pokok
pewahyuan ilahi, kehidupan kosmik adalah kehidupan sorga dan bumi, kuasa air
dan api, serta berbagai fenomena yang mempunyai peranan pasti dalam kehidupan
manusia. Jadi, manusia mengabdi para dewa dengan mempersembahkan kurban dan
melakukan ritus, dimana ia mengakui dan menyatakan ketergantungan dan
kesatuannya dengan kosmos. Keempat, kita
memperoleh beberapa pemahaman nilai religius politeisme kalau yang keluar di
sana bukan refleksi mengenai misteri kehidupan pada umumnya, melainkan suatu
persepsi intuitif mengenai berbagai bentuk dari mistrei tersebut yang berbeda
satu sama lain.[9]
2.1.4. Henoteisme
Henoteisme adalah kepercayaan
yang tidak menyangkal adanya Tuhan banyak, tetapi hanya mengakui Tuhan yang
satu/tunggal saja sebagai tuhan yang disembah. Orang-orang yang berpikir lebih
dalam, sistem kepercayaan politeisme tidak memuaskan. Karena itu, mereka
mencari sitem kepercayaan yang lebih masuk akal dan sekaligus memuaskan. Kepercayaan
kepada satu Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima akal sehat. Dari
sini timbullah aliran yang mengutamakan satu dewa dari beberapa dewa untuk
disembah. Dewa/Tuhan ini dianggap sebagai kepala atau bapak dari Tuhan-tuhan
yang lain. Umpamya Zeus dalam agama Yahudi atau Brahmana dalam agam Hindu.[10]
2.1.5. Monotheisme
Paham selanjutnya dari
Henoteisme adalah Monoteisme. Kalau Tuhan-tuhan asing yang disangka musuh atau
saingan itu tidak diakui lagi dan tinggal hanya satu Tuhan untuk seluruh alam,
maka paham yang demikian disebut monotheisme.[11]
Adanya pengakuan yang
hakiki bahawa Tuhan satu, Tuhan yang Maha Esa, pencipta alam semesta, dan
seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak disebut
dengan Monoteisme.[12]Monoteisme
adalah kepercayaan kepada Allah yang tunggal, atau kepercayan yang berpegang
pada kepercayaan tersebut, sebagai lawan dari politeisme yang menyembah banyak
ilah.[13]
2.1.6. Totemisme
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada
hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa atau klan suatu spesies
tertentu dalam wilayah binatang atau tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan
sebgaian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian dalam aturan-aturan khusus
seperti upacara perkawinan antarsuku. Mereka menggunakan totem sebagai simbol
kelompok sosial dan menganggapnya sebagai pelindung kelompok secara
keseluruhan. Fenomena ini mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi,
seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau mengganggu
tanaman totem.Totem-totem itu bisa menjadi suci hanya dengan melambangkan klan
mereka. Lambang totem mempunyai sifat kesucian melebihi binatang yang
disimbolkannya. Dalam tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang
paling utama adalah pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok. Totemisme
adalah perkembangan khusus dari relasi yang lebih umum antara manusia dan
jenis-jenis alam; merupakan sistem struktural yang tidak saja menyatukan
antarmanusia sendiri, tetapi juga dengan lingkungannya.[14]
2.1.7. Pra
Animisme/Animatisme
Animisme dapat dipahami dalam dua
cara, sebagai kepercayaan atau sebagai teori untuk menjelaskan asal-usul
historis dari agama dalam konteks pemikiran evolusionis. Sebagai suatu
kepercayaan, animisme berarti bahwa suatu daya atau kekuatan supernatural ada
dalam diri pribadi tertentu, bunatang, objek tak berjiwa lainnya. Hakikat ini
dianggap bisa dipindahkan dari satu pribadi ke pribadi atau objek ke pribadi
atau objek lain. Daya ini bersifat adikodrati dan tak berpribadi, jadi bukan
setan, jiwa, atau roh.
Fenomena hakikat adikodrati ini
setiap suku primitif hampir mempunyai dengan penyebutan yang berbeda-beda,
seperti orenda, manitu, wakenda, mana, kami, dan wakan.
Konsepsi-konsepsi mengenai daya adikodrati membentuk suatu konstelasi tiga
unsur konsep: konsep personifikasi, impersonal dan efisiensi adikodrati(sebab
mekanis atau kejadian tertentu).[15]
2.1.8. Urmonoteisme
Perkembangan agama yang melihat
bahwa perkembangan agama bermula dari bentuk yang paling sederhana, dari
politeisme dan akhirnya monoteisme. Monoteisme ada dua, eksplisit, yaitu
kepercayaan hanya kepada satu Tuhan dengan mengecualikan semua Tuhan lain dan
implisit, yaitu kepercayaan akan satu Tuhan. Monoteisme eksplisit dalam
sejarahnya tidak lepas dari sejarah perkembangan tetomisme dan animisme.Setelah
adanya penyatuan beberapa Tuhan dan akhirnya mereka mempunyai kesepakatan
tentang adanya Dzat yang adikodrati.[16]
2.1.9. Pemujaan Terhadap Leluhur
Pemujaan terhadap leluhur dapat
dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan
dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas,
khususnya dalam hubungan kekeluargaan.Akan tetapi, ada banyak kasus di mana
orang mati tidak diilahikan, melainkan diannggap sebagai makhluk-makhluk
berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi.Orang yang melakukan praktik ini
mempunyai anggapan bahwa orang yang sudah mati sebenarnya masih hidup dalam
wujud yang efektif dan bisa bercampur tangan dalam kehidupan manusia.Maka dari
itu, anak keturunannya harus memperhatikan atau mendoakannya.Pemujaan leluhur
hanyalah satu bagian dari kompleksitas total kelembagaan religius dan ritual
masyarakat, dan hal ini bukan menunjukkan kerendahan peradaban mereka. Tetapi
lebih kepada penjagaan tradisi dan perintah agama.Dasar umum dari pemujaan ini
adalah struktur keluarga, pertalian keluarga, dan keturunan.Tanda khas dari
leluhur adalah bahwa mereka dilantik dengan hak dan autoritas mitis. Orang lain
dapat bercampur tangan hanya kalau mempunyai autoritas, yakni terhadap
keturunan.Intinya, pemujaan kepada leluhur mempunyai beberapa aspek pengertian
tergantung kebudayaan setempat. Dalam agama islam dan kebudayaan jawa, pemujaan
terhadap leluhur merupakan penghormatan. Hal ini mereka yakini dan praktikkan
berdasarkan perintah agama dan pewarisan nilai-nilai keluarga.Perintah agama,
karena kematian manusia hanyalah kematian jasad atau badan. Roh atau nyawa
manusia tetapi hidup dan akan menerima pertanggung jawaban selama kehidupan
mereka di dunia. Sedangkan pewarisan nilai-nilai luhur keluarga adalah adanya
ikatan batin yang terus-menerus saling menyambung.Ikatan ini tidak hanya ikatan
darah tetapi ikatan ilmu.Ikatan ini juga tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Keyakinan dan praktik ini tentu berbeda dengan keyakinan dan praktik yang ada
di daerah lain yang mempunyai kebudayaan berbeda dan agama yang berbeda.[17]
Agama suku
berbeda satu sama lain agama suku A berbeda dengan agama suku B, namun memiliki
sifat/ ciri khusus yang sama.
2.2.1.
Eksklusifisme
Penampilan, terminology, simbol, tata cara
peribadatan hanya ada pada kelompok suku itu sendiri dan tidak dapat ditemukan
di agama suku lain.
Contoh: Nama dewa, tempat keramat, simbol yang
digunakan.
2.2.2.
Primitif=
sederhana= simpel= kuno
Ada pada masa lalu dan dikenal pada masa lalu namun masih ada dan
dilaksanakan hingga sekarang.
Contoh: pakaian, upacara ( upacara tolak bala,
upacara memotong rambut bayi)
2.2.3.
Statis= baku=
tidak berkembang
Apa yang sudah
ada, itu saja yang dilaksanakan tanpa ada inovasi ataupun renovasi
2.2.4.
Non
Triupalistik
Agama yang merasa tidak memiliki kekuatan/hak lebih
dari agama lain untuk menyebarkan agamanya. Jadi, dia tidak berusaha untuk
menyebarkan agamanya.
2.2.5.
Non
Proseulit=tidak memaksa ataupun menyebarkan agamanya kepada agama lain
2.2.6.
Komunal=kolektif
Melibatkan seluruh anggota suku sehingga setiap anggota suku adalah anggota
persekutuan agama suku, karena tidak ada orang yang dapat bekerja dan beragama
sendiri, mereka selalu melakukannya secara bersama-sama.
2.2.7.
Tidak punya
tokoh spiritual ataupun pendiri, hanya ada pemimpin-pemimpin, misalnya pemimpin
sosial.
2.2.8.
Agama suku terbentuk begitu saja dan tidak sistematis, hanya dengan peraturan
lisan turun temurun.
2.3. Ajaran-ajaran
Utama Agama Suku
1.
Magisme
2.
Spiritisme
3. Shamanisme/
perdukunan
Spiritismeà berkaitan
dengan paham tentang manusia. Manusia terdiri dari tubuh/ materi+roh/ jiwa.Hal ini
erat hubungannya dengan spiritisme. Arwah/ roh/jiwa adalah sosok yang
ada pada manusia, tidak kelihatan, bisa keluar dari tubuh. Roh membuat
manusia dapat beraktifitas, sementara daging/ tubuh hanyalah wadah untuk roh
itu. Jika manusia
masih hidup, rohnya bisa saja keluar/ melayang-layang, yakni ketika sedang
tidur. Buktinyaàmimpi=pengalaman roh seperti kehidupannya sehari-hari. Yang paling
jelas roh itu keluar adalah pada saat orang itu meninggal dunia. Di dalam
agama suku tidak ada istilah surga, yang ada hanya istilah dunia roh=tempat
tinggal para roh. Alam semesta (pengganti konsep surga
dan neraka dalam agama suku) terdiri dari:
·
Alam bawah= alam kejahatan/ alam makhluk jahat/tempat
bagi dewa yang jahat/ hewan-hewan.
·
Alam tengah= alam tempat hidup manusia yang juga
merupakan tempat bagi makhluk alam bawah dan alam atas.
·
Alam atas= alam roh/ dewa-dewi
Dalam agama
suku, rumah tinggi diibaratkan sebagai alam semesta, atapnya sebagai alam atas,
dan kolongnya sebagai alam bawah.Konsep ketuhanan dalam agama sukuàtidak ada
Tuhan yang berpribadi dalam agama suku.Sumaran=tentang nafsuàtidak berdiri
sendiri.Nafsu dapat membuat manusia menjadi baik dan dapat juga menjadi
jahat.Nafsu mempengaruhi kehidupan manusia.
a.
Sikap Agama Suku Terhadap Masyarakat
Melindungi diri dari pengaruh lingkungan yang asing tidak berarti menolak
pengaruh tersebut.Agama suku bersifat menerima dan menyesuaikan, sebaliknya
masyarakat dapat mengambil unsur-unsur agama suku.
Beberapa sikap agama suku:
a)
Kontradiktif
Agama suku
menolak (menyendiri) agama lain karena agama lain itu tidak benar, tidak tepat,
tidak baik, dan tidak bisa diterima di lingkungan komunitas agama suku itu. Mempertahankan
diri.
b)
Submisif
Agama suku
menerima, tunduk, mengalah terhadap agama lain, mau berada dibawah dominasi
kekuasaan pihak agama lain. Mereka merasa
lebih aman memeluk agama sendiri daripada menundukkan agama lain/ mereka
menganut agama lain.
c)
Kompromis
Agama suku
menerima, menghargai status, keberadaan, orang, dan kualitas agama lain.àagama
lain boleh hidup, tetapi agama sendiri juga harus boleh hidup. Bisa menjadi
satu, bisa juga terpisah dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
·
Menerima ajaran-ajaran/ dogma dari agama baru
·
Upacara-upacara keagamaan (agama baru dan agama
sendiri).
d)
Adaptif/ Akomodatif
Menyesuaikan diri, mendorong
kearah usaha untuk akulturasi/ inkulturasi/ kontekstualisasi.
e)
SinkretismeSinkretisasi
Ditakuti
orang.
f)
Sikap Kompromis dan Adaptif/Akomodatif
Merupakan
sikap yang paling berlaku di Indonesia. Hasilnya adalah penyempurnaan paham dan
praktek keagamaan yang dianut dan juga yang ada lainnya.
III.
Kesimpulan
Agama Suku merupakan
aliran kepercayaan yang bersifat primitif. Agama Suku merupakan agama yang dianut oleh suku-suku tertentu,
misalnya: terbatas dipercayai oleh suatu kumpulan persekutuan suku tertentu. Agama Suku juga
memiliki bentuk-bentuk dalam perkembangannya di tengah-tengah masyarakat.
Setiap bentuk dari kepercayaan tersebut adalah berbeda, baik dalam ajarannya,
baik dalam pemahamannya, serta allah yang mereka kenal atau yang mereka anut
pun berbeda. Jika bentuk dalam kepercayaaan tersebut berbeda, maka sifat-sifat
dari bentuk-bentuk itu pun juga berbeda. Bagaimana pun juga jika Agama Suku
tidak bisa disamakan dengan kepercayaan yang satu serta kepercayaan yang
lainnya.
IV. Sorotan
Teologis
Agama Suku dikenal sebagai agama yang primitif. Agama yang primitif ini
memiliki berbagai perbedaan, baik dalam bentuk, paham tentang Tuhan, dan
perilakunya juga sangat berbeda. Dalam
kepercyaannya juga sangat menonjol bahwa mereka sangat berbeda. Para
penganut Agama Suku memahami bahwa tuhan mereka itu bisa berupa pepohonan,
tumbuhan, dan lain sebagainya yang terutama berhubungan dengan alam. Namun pada
ajaran Kristen, kepercayaan diartikan
sebagai pengorbanan. Percaya berarti kebangkitan untuk memulai hidup
yang baru (Gal. 6:14). Percaya adalah
berjuang untuk menjadi percaya. Percaya itu adalah laksana hubungan
pribadi antara dua “oknum” : antara saya sendiri dan Yesus Kristus. Allah telah
menyatakan diriNya. Ia sendiri telah datang kepada kita di dalam Yesus Kristus,
agar supaya kita memandang pada Dia (percaya) (Yoh. 14:9) sehingga percaya
menurut Ajaran Kristen adalah untuk mengambill keputusan supaya ditempatkan
dalam kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu kemerdekaan untuk memberi kesaksian
tentang pengenalan dan pengtahuan kita tentang kebenaran yang dari Allah.
Dengan kata lain: percaya adalah juga “mengaku” dan memberi “kesakian”.
[1]
Rudolf Pasaribu, Agama dan Batakologi,
(Medan: Penerbit Pieter, 1988), 20
[2]E.
P. Ginting, Religi Karo, (Kabanjahe:
Abdi Karya: 1999), 7-8
[3]Mite
adalah konsep asali yang
berkelanjutan membentuk cara kehidupan yang sekarang, sehingga menjadi dasar
yang kuat untuk kehidupan zaman sekarang.
[4]A.
G. Honig Jr, Ilmu Agama¸(Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000), 34
[5]Mariasusai
Dhavamony, Fenomonoligi Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), 66
[6]Abu
Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1970), 35
[7]
Rudolf Pasaribu, Agama dan Batakologi,
17
[8]A.
G. Honig Jr, Ilmu Agama¸33-34
[9]
Mariasusai Dhavamony, Fenomonoligi Agama,140-141
[10]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 72
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 74
[12] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress, 1995), 48
[14]http://ahmadyanifathurrohman.blogspot.co.id/2016/04/bentuk-bentuk-primitif-dari-agama.html, diakses pada tanggal 17 September pukul
17.14
[15]Mariasusai Dhamony, Fenomonolgi Agama, 53
[16]Mariasusai Dhamony, Fenomonolgi Agama, 76
[17]Mariasusai
Dhavamony, Fenomonologi Agama, 79
[18]http://sendawakurasapisang.blogspot.co.id/2012/05/agama-suku.html, diakses pada tanggal 18 Septemder 2017,
pukul 06.40
No comments:
Post a Comment