Kritik terhadap System Etika Utilitarianisme
I.
Pendahuluan
Pada
sajian sebelumnya kita telah membahas hati nurani sebagai sumber etika. Manusia
sebagai makluk sosial pastilah memerlukan system etika dalam bertindak dan hal
ini menimbulkan banyak teori tentang etika. Salah satunya adalah etika
utilitarianisme yang Setiap kegiatan dan usahan manusia diharapkan mempunyai
kegunaan, faedah dan keuntungan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas etika
utilitarianisme dan kritik etika Kristen terhadap system etika utilitarianisme.
Semoga pemaparan kali ini dapat menambah wawasan kita semua.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Etika
Kata
etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
yang artinya kebiasaan, adat.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika berarti ilmu tentang yang baik
dan yang buruk dan tentang kewajiban sosial.[2]
Dalam Kamus Alkitab etika diartikan sebagai prinsip-prinsip perbuatan yang
benar dan salah. Dasar untuk melakukan apa yang benar dan moral-moral ketajaman
untuk melihat apa yang benar yang merupakan hal-hal mendasar dalam seluruh
Alkitab.[3]
2.2.Pengertian
Utilitarianisme
Istilah
utilitarianisme barasal dari bahasa latin utilis
yang berarti berguna, berfaedah dan menguntungkan. Utilitarianisme merupakan
suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna,
berfaedah dan menguntungkan dan dikatakan tidak baik atau buruk jika tidak
bermamfaat, tidak berfaedah dan tidak menguntungkan.[4]
Utilitarianisme dikenal dengan semboyan: “hasilkanlah sesuatu yang paling besar
untuk jumlah yang paling besar” maka paham ini menganggap bahwa moralitas
seseorang ditentukan oleh kemampuannya untuk mempromosikan kebahagiaan yang
terbesar bagi masyarakat.[5]
Utilitarianisme memadukan antara paham konsekuensialisme
yang berpendirian bahwa yang baik ditetapkan akibat dan paham welfarisme yang berpendirian bahwa usaha
masyarakat terutama negara harus ditunjukan untuk kesejahteraan masing-masing
warga negara dan rakyat secara keseluruhan.[6]
Utilitarianisme dianggap juga sebagai etika sukses karena sama sama menilai
kebaikan dari apakah perbuatan menghasilkan suatu hal yang baik atau buruk.[7]
Jadi dapat disimpulkan bahwa utilitarianisme adalah paham etis yang menganggap
bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat baiknya, mamfaatnya dan
keuntungannya bagi orang banyak atau
masyarakat.
2.3.Latar Belakang
Munculnya Utilitarianisme
Aliran
ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Ia dan orang-orang sezamanya menghadapi masalah bagaimana menilai
baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara
moral. Lalu Bentham berusaha mencari dasar objektif yang dapat dijadikan
pegangan sekaligus norma yang diterima umum dalam menentukan dan menilai suatu
kebijaksanaan umum atau politik. Lalu ia menemukan jawabannya bahwa dasar yang
paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan
tertentu membawa mamfaat atau hasil yang berguna atau sebaliknya.[8]
Bentham juga ingin memperbaharui sistem hukum Inggris yang dianggapnya sudah
ketinggalan zaman. Ia mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan
atas berat atau tidaknya pelanggaran yang diukur berdasarkan kesusahan atau
penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Ia
menekankan bahwa moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang
kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan manusia. Prinsip kegunaan ini hanya
diterapakan secara kuantitatif saja. Pelopor lainnya Jhon Stuart Mill
(1806-1873) yang mengkritik pendapat Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus
diukur secara kuantitatif tatapi ia berpendapat bahwa kualitas perlu juga
dipertimbangkan. Sebab ada kesenagan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang
lebih rendah. Kesenangan manusai harus lebih tinggi dari kesenangan hewan.[9]
Ia mengatakan bahwa lebih baik umat manusia yang tidak terpuaskan daripada
menjadi hewan yang terpuaskan. Ia mengajarkan kesenangan yang intelektual dan
bermotifkan kesenangan pada perasaan sosial yang menusiawi dan persekutuan
antara menusia dengan ciptaan lainnya.[10]
2.4.Ajaran Pokok
Utilitarianisme
1. Seseorang
hendaknya bertindak sedemikian rupa sehingga menunjukkan kebahagiaan
(kesenangan) terbesar dari sejumlah terbesar orang.
2. Tindakan
secara moral benar a) kalau ia menghasilkan lebih banyak kebaikan dari pada
kejahatan dibandingkan dengan tindakan lainnya yang dapat diambil, atau b)
kalau ingin menghasilkan sebanyak mungkin kebaikan dalam dunia dibandingkan dengan tindkan yang mungkin
diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
3. Secara
umum harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan
akibatnya.
4. Ajaran
bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis
dan kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari
keputusan-keputusan etis.[11]
2.5.Prinsip Prinsip
Utilitarianisme
Prinsip
utilitarianisme mengatakan bahwa menusia wajib berusaha untuk selalu
menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesar-besarnya terhadap
akibat-akibat buruk apabila kita bertindak, artinya semua tindakan yang kita
ambil adalah betul jika kita dapat perhitungkan dampak yang paling besar untuk memajukan
kepentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi. Utilitiarisme juga disebut
universal artinya ia mengaku adanya suatu kewajiban terhadap semua orang.
Utilitarianisme menuntut perhatian terhadap kepentingan dari semua orang yang
terpengaruh oleh akibat tindakan itu, termaksud kepentingan dirinya sendiri.
Adapun yang menjadi norma bukanlah akibat baik bagi si pelaku itu sendiri,
melainkan akibat-akibat baik di seluruh bumi.[12]
Utilitarianisme memperhatikan akibat-akibat dari suatu tindakan sehingga
mengungkapkan prinsip moral yang fundamentalis yaitu kita bertanggung jawab
atas akibat-akibat dari apa yang kita lakukan. Kita tidak dapat cuci tangan,
dengan demikian utilitarianisme memuat prinsip bahwa manusia bertanggung jawab
atas sesamanya.
2.6. Macam-Macam
Utilitarianisme
2.6.1.
Utilitarianisme
Tindakan
Utititarianisme
tindakan dikemukakan oleh Stephen Toulmin yang menegaskan bahwa prinsip
kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan melainkan atas
aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan kita.[13]
Prinsip Utilitarianisme yaitu bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakan
itu menghasilkan kebaikan/kebahaggiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.[14]
2.6.2.
Utilitarianisme
peraturan
Utilitarianisme
aturan dikemukakan oleh Richard B. Brandt. Menurutnya, perbuatan itu baik
secara moral bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral
yang paling berguna bagi suatu masyarakat.[15]
Prinsip utilitarianisme peraturan adalah bertindaklah menurut peraturan yang
pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan/kebahagiaan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang.[16]
2.7.Kelebihan dan Kelemahan
Utilitarianisme
Utilitarianisme
sebagai paham etis mempunyai kelebihan yaitu pahan etis ini bersifat universal
dalam arti bahwa utilitarianisme lebih mengutamakan mamfaat atau akibat baik suatu
tindakan bagi banyak orang. Utilitarianisme juga menciptkan suasana
pertanggungjawaban dalam arti manusai bertanggungjawab terhdap sesamanya.[17]
Sebagai prinsip moral, utilitarianisme tidak seluruhnya mulus tanpa kelemahan
yang pertama, orang yang berprinsip utilitarianisme dapat dengan tenang
melanggar hak asasi menusia karena utilitarianisme sangat memperhatikan akibat
dan bukan hakikat perbuatan maka atas nama utilitarianisme, orang tidak perlu
sibuk berpikir denagn pemikiran tentang apa hakikat perbuatan tetapi apa
akibatnya bagi hidup kita. Yang kedua, utilitarianisme mendorong tumbuhnya
semangat seketika (instant), langsung
(immadiate) dan pandangan pendek (short sight) artinya utilitarianisme
memupuk semagat tiba-tiba, seketika dan langsung. Semangat ini menghambat pemikiran
jauh ke depan dan menghidupi semangat “aji mumpung”, sembari sekarang ada
persetan kelak atau nikmati yang ada hari ini.[18]
2.8.Kritik terhadap System
Etika Utilitarianisme
Etika
utilitarianisme lebih mementingkan hasil, mamfaat, kegunaan, faedah dari suatu
perbuatan. Utilitarianisme menganggap bahwa perbuatan baik ditentukan menurut
akibat baiknya, mamfaatnya dan keuntungannya bagi orang banyak atau masyarakat. Misalnya
apabila seseorang melakukan tindakan penyelamatan tetapi galal maka
utilitarian menilai itu salah tetapi
kalau menurut pandangan etika Kristen hal itu juga benar walaupun gagal. Etika
Kristen yakin bahwa melakukan perbuatan,
mengasihi dan kehilangan dari pada tidak sama sekali.[19]
Para penganut utilitarianisme tidak memikirkan cara itu baik atau tidak tetapi yang
terpenting adalah hasil dan dalam hal ini banyak menimbulkan pelanggaran
hak-hak orang yang yang minoritas dengan kata lain utilitarianisme menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan kebahagiaan bagi orang banyak. Paham ini
memberikan implikasi bahwa tujuan membenarkan cara apapun yang harus ada untuk
mencapainya.[20] Etika
Kristen mengkritik ini karena etika Kristen memandang bahwa tujuan mungkin
membenarkan penggunaan cara yang baik, tetapi tidak berarti membenarkan
penggunaan cara apa saja apalagi cara-cara jahat. Etika Kristen mengajarkan
bahwa tujuan yang mau dicapai haruslah didapatkan dengan menggunakan cara yang
baik pula dan semua harus berdasarkan Alkitab. Dalam 2 Raja-Raja 10:30,
berfirmanlah Tuhan kepada Yehu: “oleh karena engkau telah berbuat baik dengan
melakukan apa yang benar di mataKu dan telah berbuat kepada keluarga Ahab tetap
seperti yang dikehendaki hatiKu, maka anak-anakmu akan duduk diatas takhta
Israel sampai keturunan yang keempat”. Nats ini mengajarkan semua orang percaya
agar melakukan sesuatu haruslah benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Berarti
Tuhan tak mengigini cara yang jahat walaupun hasilnya baik.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa etika utilitarianisme adalah paham
etis yang menganggap bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat baiknya,
mamfaatnya dan keuntungannya bagi orang
banyak atau masyarakat. Dan etika Kristen menuntun kita agar untuk melakukan
yang benar menurut kehendak Tuhan berdasarkan Alkitab. Dalam hal ini etika
utiliratianisme dan etika Kristen memang sama sama mementingkan hasil namun,
cara kedua etika ini berbeda. Dalam utilitarianisme orang akan menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujaun dan inilah yang dikritik etika Kristen karena etika Kristen mengajarkan supaya
melakukan sesuatu yang benar dengan cara yang benar pula.
IV.
Daftar
Pustaka
Bagus
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT
Gramedia, 2000
Brotosudarto
R.M.Drie.S, Etika Kristen Untuk Perguruan
Tinggi, Yogyakarta: ANDI, 2007
Browning
W.R.F, Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2013
Geisler
Norman L, Etika Kristen Pilihan dan Isu, Malang:
LITERATUR SAAT, 2003
Geisler
Norman L, Etika Kristen, Malang:
LITERATUR SAAT, 2010
Keraf
A. Sonny, Etika Bisnis, Yogyakarta:
Kasinus, 1998
Mangunhardjana,
Isme-Isme Dalam Etika, Yogyakarta:
Kasinus, 1997
Nainggolan
Binsar, Pengantar Etika Terapan, Pematang
Siantar: L-SAPA, 2007
Poerwadarminta
W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005
Suseno
Franz Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta:
Kasinus, 2005
Verkuyl
J, Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009
[1]J.Verkuyl, Etika Kristen
Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 1
[2]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 217
[3] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 98
[4]Mangunhardjana, Isme-Isme
Dalam Etika, (Yogyakarta: Kasinus, 1997), 228
[5]Binsar Nainggolan, Pengantar
Etika Terapan, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 17
[6] Mangunhardjana, Isme-Isme
Dalam Etika, 229
[7]R.M.Drie.S. Brotosudarto, Etika
Kristen Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: ANDI, 2007), 68
[8]A. Sonny Keraf, Etika Bisnis,
(Yogyakarta: Kasinus, 1998), 93
[9]K. Bertens, Etika,
(Jakarta: Gramedia, 1993), 265
[10]Binsar Nainggolan, Pengantar
Etika Terapan, 17
[11]Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1144
[12]Franz Magnis Suseno, Etika
Dasar, (Yogyakarta: Kasinus, 2005), 125
[13]K. Bertens, Etika, 268
[14]Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
1145
[15] K. Bertens, Etika, 268
[16] Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, 1145
[17] Franz Magnis Suseno, Etika
Dasar, 125
[18]Mangunhardjana, Isme-Isme
Dalam Etika, 230
[19]Norman L. Geisler, Etika
Kristen, (Malang: LITERATUR SAAT, 2010), 17
[20]Norman L. Geisler, Etika
Kristen Pilihan dan Isu, (Malang: LITERATUR SAAT, 2003), 44