Homiletika, Apakah itu?

Homiletika, Apakah itu?

a.      Pengertian, Makna, Ciri dan Kedudukannya Dalam Studi Teologi
b.      Fungsi, Peranan dan Kedudukannya Dalam Ibadah
c.       Homiletika sebagai Bentuk dan Model pemberitaan Firman



I.                   Pendahuluan
Sebagai seorang yang akan menyampaikan firman Tuhan, maka ia harus mengetahui isi firman itu. Namun dia juga harus mengetahui bagaimana firman itu sebaiknya disampaikan. Oleh karena itu, seseorang perlu memahami dan mengenal serta mempelajari apa yang disebut dengan istilah Homiletika. Istilah Homiletika adalah suatu ilmu yang menerangkan ataupun menguraikan firman Tuhan (khotbah).
Berbicara tentang homiletika bukan berarti kita selalu berbicara tentang khotbah, namun khotbah tersebut adalah salah satu dari bentuk-bentuk dari homiletika itu sendiri, dimana mereka memiliki suatu keterikatan yang tidak dapat dipisahkan namun juga tidak dapat dikatakan memiliki kesamaan. Untuk membahas lebih dalam kita akan membahas apa arti, makna, ciri homiletika serta kedudukannya dalam studi teologi dan apa yang menjadi fungsi, peranan homiletika serta kedudukannya dalam ibadah dan juga membahas bentuk dan model homiletika dalam pemberitaan firman Tuhan.  
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian, Makna, Ciri dan Kedudukannya Dalam Studi Teologi
2.1.1.      Pengertian dan Makna Homiletika
Istilah Homiletika berasal dari kata sifat Yunani “homiletika” yang dihubungkan dengan kata “techne homiletika”, artinya “ilmu pengetahuan” atau “ilmu bercakap”. Dalam kata sifat homiletika terkandung kata benda Homilia, yaitu pergaulan (percakapan) dengan ramah tamah.[1] Homiletik berasal dari kata gerika “homilia” yang berarti “percakapan atau pembicaraan yang membawa suatu pengertian”.[2] Kata homily berasal dari bahasa latin Homilia yang diterjemahkan dari kata Yunani yaitu untuk percakapan, wacana, atau pidato. Istilah ini terutama dingunakan dalam konteks gereja Katolik Roma dan Episkopal.[3]
Dalam bahasa asing pelajaran ini dinamakan Homiletik artinya ilmu yang menerangkan ayat mas atau kepandaian menguraikan suatu hal. Dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dengan ilmu berkhotbah atau pelajaran berbicara dihadapan orang banyak (sidang). Homiletika adalah suatu pembicaraan yang menerangkan jalan keselamatan manusia melalui Yesus Kristus yang dilakukan oleh mulut manusia, supaya menjadi kesaksian bagi manusia lainnya.[4]
Eksegese yang cermat dan hermeneutika yang baik memungkinkan pengkhotbah mempraktikkan homiletika. Dimana homiletika yaitu seni dan ilmu yang mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh nats Kitab Suci. Secara teknis homiletika adalah kajian mengenai persiapan khotbah yang menciptakan suatu pertalian yang tak terpisahkan antara khotbah tersebut dan pemahaman yang benar atas makna nats Alkitab yang mendasarinya. Homiletika merupakan puncak dari penerapan semua prinsip hermeneutika dan eksegese dalam upaya memahami suatu nats Alkitab dan kemudian menyampaikannya kepada pendengar.[5]
Makna dari Homiletika adalah isi khotbah yang di sampaikan adalah Injil. Sebab ini adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan orag percaya. Sebab Yesus datang kedalam dunia oleh karena pemberitaan injil. Isi khotbah hendaknya relevan, kontekstual mengikuti perkembangan zaman dan hendaknya khotbah menjawab isi pergumulan jemaat yang mendengarkan khotbah.Tujuan ilmu ini adalah salah satu cara atau usaha agar khotbah tentang keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus dapat disampaikan secara nyata, terang, jelas dan berkuasa.[6]
Dari uraian diatas baiklah kita ambil kesimpulan bahwa Homiletika itu berasal dari bahasa Yunani yaitu Homilia. Itu artinya bahwa sebelum istilah ini menjadi istilah Kristen, kata homilia sudah dipergunakan dalam lapangan kehidupan Yunani. Kata homilia dahulu dipergunakan dalam lapangan pergaulan. Kata pergaulan mengingatkan kita kepada pertemuan dan persahabatan. Istilah teman dengan sahabat jauh berbeda. Sahabat itu berkaitan dengan hati dan perasaan. Kita tidak ingin sahabat kita disakiti tetapi kita ingin sahabat kita bersukacita. Makna itulah yang termaksud dalam homilein.
Lukas melihat arti kata yang sangat mulia dalam kata homilein dan kemudian Lukas mengambil kata ini dan memasukkannya dalam Injil dan Kisah Para Rasul (Lukas 24:14-15, 17-26; Kisah 10: 27; 24:26). Yang paling penting di dalam ayat-ayat ini adalah pada Lukas 24:14-15 yang isi percakapannya adalah tentang kebangkitan Yesus Kristus.
Ceritanya adalah: Ada perempuan pergi ke makam Yesus untuk merempahi mayat Yesus, tetapi setelah sampai di makam, mereka menjumpai pintu kubur terbuka dan kubur Yesus kosong. Oleh karena peristiwa itu, sebagian perempuan panik dan berlari untuk memberitahu murid-murid. Mendengar itu, murid-murid pun pergi untuk memastikannya. Tapi beberapa perempuan lain bertemu dengan Yesus. Dalam pertemuan itu Yesus berkata kepada perempuan itu: pergilah dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea dan sanalah mereka akan melihat Aku. Setelah itu perempuan itu menceritakan hal itu kepada murid-murid. Tetapi murid-murid tidak percaya. Namun kabar itu cepat menyebar ke seluruh Yerusalem sehingga terkabar sampai kepada dua orang murid yang bercakap-cakap tentang Yesus.
Istilah homilia adalah istilah Kristen, yaitu yang mempercakapkan Yesus Kristus. Hanya Alkitab yang menggunakan kata ini karena itu orang Kristen sudah terikat dengan ini. Istilah asli homilia : Ilmu pergaulan, timbul pertanyaan : apa yang membuat sahabat damai?. Lukas menjawab : Mempercakapkan Yesus Kristus yaitu sumber keselamatan itu. Itulah arti etimologi kata itu dari istilah Yunani menjadi istilah Kristen dalam ilmu teologi.[7]
2.1.2.      Ciri-ciri Homiletika
Homiletika mempunyai beberapa ciri-ciri, yaitu :[8]
1.      Homiletika tidak terlepas dari Kitab Suci. Kitab Suci memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus, maka nats-nats Alkitab harus menjadi dasar khotbah. Karena tidak baik jika kita membaca nats khotbah saja, karena penghayatan dan Firman Allah disaksikan dalam nats Alkitab harus dihubungkan dengan masa, tempat, dan peristiwa-peristiwa tertentu. Jadi, nats khotbah selalu dihubungkan dan harus berdasar pada Alkitab. Sebuah khotbah tanpa nats Alkitab, kemungkinan jadi itu adalah pidato yang mengemukakan pikiran si pengkhotbah bukan Firman Allah.
2.      Homiletika adalah khotbah manusia yang berbicara tentang Allah kepada kita. Hal itu karena Allah lebih dulu berfirman kepada manusia yaitu menyatakan diri kepada kita dan yang paling sempurna yaitu di dalam Yesus Kristus (Ibr 1:1-3; Mat 13:16-17). Di dalam pemberitaan kita harus berpusat pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, karena oleh-Nya kita mendapat hidup yang baru. Itulah intisari “Uanggelion” yaitu kabar kesukaan.
3.      Dalam hal menjalankan tugas pemberitaan injil, si pengkhotbah tidak tergantung atau tidak bertanggung jawab kepada Tuhan saja, melainkan juga kepada gereja yang memanggil dan mentahbiskan dia sebagai pendeta atau pemberita.
Ciri –ciri Homiletika adalah :
1). Berlangsung Dalam peribadahan.
2). Mempercakapkan Yesus Kristus (Firman Allah yang hidup) kepada jemaat, agar imannya bertumbuh dan hatinya dibukakan bagi pekerjaan Roh Kudus: Firman Allah di dalam Kristus adalah Injil atau kabar baik yang membebaskan.
3). Mengacu kepada nats Alkitab (Karena Alkitab satu-satunya yang menjadi tolak ukur untuk mempercakapkan isi berita Gereja).Alkitab memperkenalkan Yesus yang mengasihi manusia, sampai Dia sendiri mati di kayu salib untuk menebus dosa kita, mengandung aspek pembinaan, penghiburan dan nasihat (2 Tim. 4:2).[9]
2.1.3.      Kedudukan Homiletika Dalam Studi Teologi
Homiletika memiliki kedudukan yang erat dalam teologi dan semua jurusannya. Suatu khotbah harus berdasarkan teologi yang baik, yaitu tidak boleh berbeda atau berselisih dengan hasil yang sudah dicapai di dalam exegese (tafsir) atau dogmatika. Dengan ringkas hubungan homiletika dengan jurusan teologi masing-masing : jurusan yang terpenting untuk homiletika adalah exegese, karena dasar khotbah tidak lain dan tak bukan adalah Alkitab. Oleh sebab itu seorang pengkhotbah harus menyelidiki nats khotbah dengan seksama dan teliti. Bukan pikiran-pikiran pendeta yang harus diberitakan kepada jemaat melainkan Firman Allah, dan Firman itu hanya dapat disampaikan kepada banyak orang jika pendeta lebih dahulu menyelidiki, merenungan dan memahaminya.[10]
Dalam kedudukan teologi, ada empat bidang teologi yang tertua yaitu antara lain, :[11]
1.      Historika
·         Sejarah pernyataan Allah kepada Israel (terdapat dalam PL) dan sejarah pernyataan melalui Yesus Kristus (terdapat dalam PB) yang disatukan menjadi Teologi Biblika.
·         Sejarah pertumbuhan dan perkembangan orang-orang percaya (Gereja) yang menjadi SGU (Sejarah Gereja Umum), SGA (Sejarab Gereja Asia), SGI (Sejarah Gereja Indonesia) dan Oikumenika.
2.      Teologi Biblika
·         PL (Perjanjian Lama)
·         PB (Perjanjian Baru)
3.      Sistematika
·         Apologetika (pergumulan Dogmatika) yaitu bagaimana sikap hidup kita di tengah-tengah konteks.
·         Etika perilaku (sikap hidup)
·         Ilmu Agama (otonomi Agama-agama)
4.      Praktika
·         Diakonologi, Pastoral (penggembalaan), Homiletika, Liturgika (musik) dan PWG (Pembinaan Warga Gereja)
5.      Teologi Agama-agama
Kedudukan Homiletika dalam Studi Teologi :
1.      Historika
2.      Sistematika
3.      Praktika
-          Historika terdiri dari:
1.      Sejarah penyataan Allah kepada Israel yaitu Perjanjian Lama (PL).
2.      Sejarah pernyataan Allah kepada Manusia melalui Yesus Kristus yaitu Perjanjian Baru (PB).
3.      Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Gereja.
Kemudian PL dan PB di otonomikan dalam ilmu teologia menjadi Biblika. Kemudian sejarah pertumbuhan dan perkembangan Gereja menjadi sejarah Gereja.
-          Sistematika terdiri dari:
1.      Apologetika yaitu pembelaan iman Kristen
2.      Etika yaitu praktik hidup Kristen.
Kemudian Apologetika diganti dengan Dogmatika. Kemudian Dogmatika ini perlu di kontekstualisasikan sehingga perlu melihat agama-agama lain. Maka dengan demikian, dimasukkan dalam “Ilmu agama-agama” yang kemudian di otonomikan menjadi satu bidang yaitu “agama-agama”.
-          Praktika terdiri dari:
1.      Diakonologi (Pelayanan sosial)
2.      Poimenika (Penggembalaan menjadi Pastoral).
Homiletika menjadi bidang ilmu pada abad ke-17 yaitu sesudah Reformasi, homiletika menjadi satu bidang ilmu. Dari ketiga bidang ini muncul beberapa bidang lagi:
-          Liturgika : Musik yang lama-kelamaan menjadi satu bidang yaitu Musik Gerejawi.
-          Pembinaan Warga Gereja
-          Pendidikan Agama Kristen
Homiletika menjadi satu bidang dalam ilmu praktika. Disini sekarang kita mempelajari lima bidang teologia:
1.      Historika
2.      Biblika
3.      Sistematika
4.      Praktika
5.      Ilmu Agama
Homiletika ini ibaratnya seperti kuali yang kedalamnya bermuara semua bidang-bidang teologi ini. jadi semua bidang teologi ibarat bahan-bahan masakan yang kemudian diolah dalam kuali untuk menghasilkan menu khotbah yang baik, yang menjawab kebutuhan, pergumulan warga jemaat. Oleh karena itu maka homiletika mengandung dua unsur:
1.      Unsur pengolahan (mempersiapkan)
2.      Unsur penyajian (Penyampaian)
Apa yang diolah?. Yang diolah adalah semua bidang teologi sehingga bisa menghasilkan suatu kothbah yang akan disampaikan. Jadi untuk berkhotbah yang baik harus ada unsur-unsur lain : harus ada unsur biblika (Exegese), sejarah Gereja, Dogmatika, Etika, Sistematika, maka kothbah itu disukai dan dimengerti serta diterima jemaat yang mendengarkan.[12]
2.2. Fungsi, Peranan dan Kedudukannya Dalam Ibadah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ibadah adalah untuk menyatakan atau bakti kepada Allah yang disadari ketaatan mengerjakan perintahNya.[13]
2.2.1.      Fungsi Homiletika Dalam Ibadah
Homiletika atau ilmu khotbah tidak dapat dipelajari seperti ilmu atau keahlian yang lain saja. Tidak cukup orang menghafal beberapa kaidah saja supaya menjadi ahli dalam hal berkhotbah. Karena hasil yang diharapkan daripada khotbah, yaitu supaya orang percaya dan taat kepada Tuhan, supaya dihiburkan dan dilengkapi dengan karunia-karunia Tuhan. sebenarnya tidak bergantung kepada Pendeta dan Khotbahnya melainkan kepada Allah sendiri dan Roh-Nya.[14]
Tadi ciri-ciri homiletika yang pertama adalah berlangsung dalam ibadah, maka jikalau homiletika berlangsung dalam ibadah maka homiletika masuk dalam unsur liturgika. Dalam ibadah ada beberapa unsur liturgi. Jadi homiletika adalah salah satu unsur. Sebagai salah satu unsur, homiletika ditempatkan di tengah sehingga ada unsur yang mendalam yang mendahului dan yang mengikuti. Unsur yang mendahului merupakan persiapan untuk menerima kothbah, sedangkan unsur yang mengikuti adalah respon dan peneguhan terhadap khotbah. 1). Itu sebabnya maka khotbah itu sering disebut sebagai pusat Liturgi. 2). Fungsi homiletika juga dilihat dari letak atau posisinya.[15]
Pada umumnya semua khotbah yang alkitabiah bertujuan agar pendegarnya menjadi taat kepada Allah, menyampaikan iman dan keyakinan serta berusaha menyalurkan kasih karunia Allah kepada orang yang percaya maupun tidak percaya. Homiletika berfungsi sebagai sumber pengetahuan jemaat, disebut demikian karena gereja merupakan agen pembaharuan. Oleh sebab itu, khotbah juga harus menyangkut ilmu pengetahuan terutama tentang lingkungan hidup yang perlu dipelihara dengan baik. Homiletika berfungsi sebagai media pengajaran, dari khotbah yang disampaikan pendengar khotbah menemukan pengajaran tentang pendekatan dengan Tuhan, arti iman, nilai-nilai kristiani, pengharapan dan peran orang Kristen di masyarakat.[16] Maka fungsi homiletika dalam ibadah yaitu menyampaikan firman Allah dalam bentuk dan model yang sesuai dengan konteks tertentu. Dengan kata lain, mendidik jemaat, memberitakan bahwa keselamatan dari Allah dalam Yesus Kristus, serta meneguhkan iman kepercayaan Jemaat.[17]
2.2.2.      Peranan Homiletika Dalam Ibadah
Khotbah menyampaikan maksud Allah yang ingin manusia mengenal-Nya. Secara khusus khotbah menyampaikan kehendak Allah yang mengingini umat-Nya hidup makin dekat dengan-Nya. Itu sebabnya setiap khotbah harus mempunyai tujuan yang konkret agar isi khotbah itu relevan dengan kehidupan para pendengar. Berkhotbah adalah suatu pelayanan yang unik. Melalui khotbah, pendengar diajak mengenal dan bertemu dengan Tuhan.[18] Adapun yang menjadi peranan homiletika dalam ibadah menurut para tokoh adalah sebagai berikut :
1.      Hasan Susanto
·         Khotbah merupakan bagian yang sangat penting dan sentral dalam ibadah. Karena melalui khotbah yang bersumber dari Alkitab, maka pendengar dapat mengetahui apa yang di kehendaki Allah, maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa khotbah adalah pusat dari ibadah.
·         Khotbah adalah sebuah media atau sarana yang efektif untuk mengajar orang-orang yang belum percaya.
·         Khotbah menjadi cermin bagi masyarakat yang jauh tidak sadar mereka telah menjauh dari Tuhan.[19]
2.      Jahenos Saragih
·         Khotbah sebagai sarana penyampaian sekaligus proses penyadaran warga jemaat.
·         Khotbah suatu pembangunan hidup kerohanian.
·         Khotbah adalah berita karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus.
·         Khotbah mengharapkan pertobatan dan meneguhkan iman kepercayaan.[20]
2.2.3.      Kedudukan Homiletika Dalam Ibadah
Di dalam Gereja Evangelis (Injil) khotbah itu mempunyai tempat yang sentral, karena tugas gereja yang utama ialah mengabarkan Firman Tuhan di dalam dunia. Biarpun kesaksian gereja tidak terdiri atas perkataan saja, melainkan berbentuk persekutuan dan pelayanan juga, namun pekabaran Injil adalah tugas yang utama daripada saksi-saksi Kristus. Dalam perjanjian Baru nampak bahwa Yesus Kristus sendiri menganggap hal mengajar orang sebagai tugas-Nya yang paling penting (Markus 1:38-39).[21]
Firman Tuhan merupakan intisari kebaktian dalam hidup gereja. Jika pemberitaan Firman Tuhan mempunyai tempat yang sentral dalam gereja, maka pelayanan utama seorang Pendeta adalah berkhotbah, yaitu menyampaikan Firman Allah. Maka dengan demikian khotbah dalam gereja reformasi mendapat tempat yang lebih tinggi dibandingkan sakramen. Karena gereja menganggap sakramen akan mempunyai makna yang lebih dalam apabila di dahului dengan pemberitaan Firman.[22]
Martin Luther mengatakan isi khotbah adalah Firman. Maksudnya adalah khotbah menjadi sentral dalam gereja reformasi. Karena khotbah merupakan pusat ibadah. Khotbah harus mengandung ajakan kepada warga jemaat tentang tanggung jawab dalam pekabaran Injil, atau lebih konkret lagi pada tri tugas panggilan gereja. Perlu disadari bahwa pengkhotbah adalah wakil Allah dalam menyampaikan pesan.[23]
Di Gereja Lutheran : Kedudukan khotbah itu tempatnya adalah setelah Pengakuan Iman Rasuli (PIR) baru khotbah. Artinya, orang mengaku percaya dulu baru di khotbahi. Jadi khotbah adalah bagi orang percaya. Fungsinya : Mengajar, menghibur dan menguatkan.Di Gereja Calvinis : Kedudukan Khotbah itu tempatnya adalah khotbah dulu baru Pengakuan Iman Rasuli (PIR). Artinya di Khotbahi dulu baru pengakuan Iman Rasuli. Fungsinya : menumbuhkan kepercayaan, menambah dan meneguhkan Iman[24]
Sedangkan pada Gereja Khatolik kedudukan sakramen lebih tinggi daripada Khotbah, pemberitaan bagi gereja Khatolik dianggap sebagai persiapan untuk Sakramen. Dalam hal ini pemberitaan Firman hanya menyapa pendengaran manusia dan bukan seperti Sakramen yang dapat menyapa penglihatan dan indera-indera lainnya. Sehingga dalam gereja Khatolik pemberitaan itu tidak terwujud nyatakan dalam bentuk khotbah tetapi lebih menekankan dalam bentuk layanan Sakramen.[25]
Oleh karena itu peranan homiletika terikat dengan arti homiletika yaitu mempercakapkan Yesus Kristus yang tujuannya seperti yang disebutkan/diuraikan dari fungsi. Jadi dari semua unsur Liturgi dari sebelum dan sesudah, itu berlangsung dari konsep tatanan yang sudah ada. Tetapi di dalam khotbah ada pemberitaan Firman yang menyapa, menegur dan menuntun Jemaat dalam konteks kehidupannya, karena peranan khotbah di situ supaya jemaat dapat hidup di dalam Iman kepada Yesus Kristus.Jika berbicara soal kedudukan, maka bicara soal wibawa. Di Gereja Katolik, kedudukan Sakramen itu lebih tinggi dari kothbah. Oleh karena itu, Kothbah itu dipandang sebagai pengantar kepada misa atau sakramen. Jadi pusat ibadah  adalah sakramen.
Di Gereja Lutheran, kedudukan khotbah dengan sakramen sejajar atau setara karena keduanya adalah pemberitaan Firman; Khotbah adalah pemberitaan Firman yang kedengaran sedangkan sakramen adalah pemberitaan firman yang kelihatan. Sakramen adalah pemberitaan Firman dengan menggunakkan bahan material sedangkan khotbah adalah pemberitaan Firman secara verbal (kata-kata).
Lalu di Gereja Calvinis, kedudukan khotbah lebih tinggi dari sakramen, karena sakramen adalah tanda Firman, sama seperti pelangi yang adalah tanda perjanjian Allah dengan Nuh. Jadi begitulah sakramen, keselamatan tidak terjadi dari sakramen, tetapi Firman.[26]
2.3. Homiletika Sebagai Bentuk Dan Model Pemberitaan Firman
Pemberitaan Firman artinya menyebarkan, memberitakan, atau mengabarkan Firman Tuhan kepada orang lain dan hal ini merupakan tugas yang harus disampaikan dan harus dilakukan setiap orang percaya kepada Yesus.[27] Homiletika itu bisa berlangsung dalam berbagai bentuk. Dalam ibadah Dewasa, bentuknya adalah khotbah. Dalam ibadah sekolah minggu bentuknya adalah cerita Alkitab. Dalam ibadah singkat bentuknya adalah renungan. Dalam kelompok-kelompok bentuknya adalah Penelaahan Alkitab. Dalam pertemuan para penatua untuk pembinaan adalah dalam bentuk sermon (bahwa sermon itu harus berlangsung dalam ibadah baru di sebut homiletika).[28]
Adapun yang menjadi bentuk-bentuk dan model dari homiletika itu sendiri, antara lain :
2.3.1.   Khotbah
Khotbah berasal dari kata Homilein dan kata bendanya Homilia yang artinya adalah berada bersama-sama, bergaul atau bercakap-cakap. Khotbah dalam firman Tuhan yang didasarkan pada Alkitab. Allah menyatakan firmanNya agar Dia dikenal, diketahui dan dimengerti serta diterima dan diamalkan.[29] Dalam gereja Evangelis khotbah itu mempunyai tempat yang sentral, karena tugas Gereja yang utama adalah mengabarkan Firman Tuhan di dalam dunia. Jikalau pemberitaan Firman Tuhan mempunyai tempat sentral di dalam Gereja, maka pelayanan utama seorang pendeta ialah berkhotbah, yaitu mengabarkan Firman Allah.[30]
Khotbah adalah bentuk Firman Allah yang dikabarkan sebagai Firman Allah. Firman Allah diberitakan supaya manusia pada segala abad mendengar penyataan Allah yang sekali untuk selama-lamanya yaitu Yesus Kristus.[31] Khotbah berarti menyampaikan Firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Oleh karena itu, haruslah teliti dengan seksama, bahwa yang menjadi pusat pemberitaan khotbah adalah apa yang dilakukan Tuhan kepada manusia, dan bukan pengetahuan manusia tentang Tuhan.[32]
2.3.2.   Penelahaan Alkitab (PA)
Menurut KBBI, penelahaan berasal dari kata “telaah” yang berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan dan penelitian. Sementara penelahaan adalah berkenan dengan proses atau cara telaah.[33] Penelahaan Alkitab (PA) adalah upaya mempelajari (membaca dan merenungkan) Firman Allah, memahaminya, dan berkomitmen untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.[34] Tujuan dari menelaah Alkitab ialah untuk mempelajari serta mengenal maksud, tujuan, perbuatan dan rencana Allah di dunia, dimulai dengan penciptaan dan panggilan terhadap bangsa Israel, dahulu sampai sekarang, juga terhadap seluruh bangsa-bangsa di dunia, termasuk di negara kita ini hingga masa yang akan datang.
Tujuannya bukan hanya untuk memperdalam pengetahuan kita tentang firman Allah pada waktu menelaah Alkitab, tetapi juga untuk meningkatkan tanggung jawab kita, supaya perbuatan dan tingkah laku kita selalu benar serta dewasa dihadapan-Nya, supaya kita patuh melaksanakan pesan dan supaya buah-buah iman nyata dalam kehidupan kita. Tujuan penelahaan Alkitab adalah membangun jemaat, melengkapi anggota-anggotanya, di atas dasar Yesus Kristus sebagai pusat Firman Allah. Pembangunan jemaat bukanlah bertujuan untuk dirinya sendiri, tetapi suatu jalan untuk memberitakan Injil dan menjadi suatu sarana kehadiran Allah dalam dunia ini. Dalam menghayati Firman Allah, kita harus memohon bantuanNya, supaya kita disertai oleh Roh Kudus.[35]
Penelahaan Alkitab berfungsi sebagai wadah dimana orang-orang percaya belajar bersama kebenaran Firman Allah, saling melengkapi dalam memahami kebenaran yang tertera di dalamnya, dan saling memotivasi untuk melakukannya di dalam kehidupan sehari-hari.[36]
2.3.3.   Sermon
Dalam sejarah gereja sampai abad ke-5 kata homilein diterjemahkan ke dalam Alkitab bahasa Latin (Vulgata) dengan istilah “Sermo” yang menjadi Sermon adalah suatu pekerjaan menafsirkan teks Alkitab untuk dikhotbahkan.[37] Seron atau kata Ceremonia juga berasal dari bahasa Latin yang berarti kegiatan atau upacara kudus, yakni kegiatan-kegiatan dalam ibadah jemaat.[38] Bentuk dan model sermon adalah suatu bentuk pemberitaan firman Tuhan yang dilakukan kepada beberapa orang dan dipimpin satu atau dua orang yang dianggap lebih mengerti mengenai firman Tuhan. Dalam model sermon ini dilakukan diskusi dengan tujuan dapat mempelajari lebih dalam lagi tentang firman Tuhan dan mempersiapkan seseorang untuk menyampaikan firman Tuhan.[39]
III.             Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Homiletika adalah ilmu bercakap-cakap yang membahas ayat mas atau kepandaian dalam menguraikan sesuatu yang menggunakan Alkitab sebagai landasan atau pedoman yang berfungsi untuk mengajak orang percaya maupun yang tidak percaya agar mendekat dengan Tuhan. Peran Homiletika dalam ibadah adalah sebagai sarana yang efektif untuk mengajar dan mendidik umat Kristen dan penyampaian pengajaran pertobatan jemaat serta meneguhkan iman kepercayaan jemaat dalam pemberitaan karya penyelamatan Allah.
Dalam studi teologi, homiletika mempunyai kedudukan yang erat pada keseluruhan teologi karena harus berdasarkan teologi yang baik dan tidak boleh berselisih dengan hasil yang sudah dicapai dalam eksegese (tafsir) dogmatika. Maka dapat dipastikan kedudukan Homiletika dalam ibadah adalah sebagai sentral atau pusat peribadahan namun tidak demikian dengan gereja Khatolik yang menganggap Sakramen lebih tinggi daripada Khotbah.
Selain itu, homiletika ialah sebuah keutuhan dalam hal pemberitaan dan pengajaran Firman Tuhan, karena bentuk dan model ini akan menjadikan ciri khusus dalam memahami homiletika secara baik dan benar dengan penerapan yang menghadirkan kehidupan lewat Firman dalam komunitas yang berhimpun.
IV.             Daftar Pustaka
......, KBBI, Jakarta : Balai Pustaka, 2007
......, KBBI, Jakarta : Balai Pustaka, 1998
Bekker, Dietter, Pedoman Dogmatika, Jakarta : BPK-GM, 2009
Buttrik, Dafid G., Memberitakan Yesus Kristus Dalam Khotbah, Jakarta : Gunung Mulia, 1996
Gintings, E. P., Khotbah dan Pengkhotbahnya, Jakarta : BPK-GM, 2002
Koller, Charles, W., Khotbah Ekspositori Tanpa Catatan, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2011
Maiaweng, Peniel C.D., Kelompok Penelahaan Alkitab, Makassar : STT Jaffray, 2013
Maryanto, Ernest, Kamus Liturgi Sederhana, Yogyakarta : Kanisius, 2004
MeClure, John S., Firman Pemberitaan, Jakarta : BPK-GM, 2012
Munthe, Pardomuan,Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A, STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
Pasaribu, Netty, Catatan Akademik Kelas III-D, STT ABDI SABDA MEDAN
Pouw, I. H., Uraian Tentang Homiletik Ilmu Berkhotbah, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2006
Rothlisberger, H., Homiletika Ilmu Berkhotbah, Jakarta : BPK-GM, 1988
Saragih, Jahenos, Ini Aku Utuslah Aku, Jakarta : Suara Gereja Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2005
Senduk, H. L., Pengkhotbah Yang Dinamis,......, 1990   
Sitompul, A. A., Bersahabat Dengan Firman, Jakarta : BPK-GM, 1987
Susanto, Hasan, Homiletik Prinsip dan Metode Berkhotbah, Jakarta : BPK-GM, 2004
Tambunan, Lukman, Khotbah & Retorika, Jakarta : BPK-GM, 2011
Vines, Jerry, & Shaddix, Jim, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, Jakarta : Gunung Mas


[1] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, (Jakarta : BPK-GM, 1988), 6
[2] H. L. Senduk, Pengkhotbah Yang Dinamis,(......, 1990), 1           
[3] John S. MeClure, Firman Pemberitaan, (Jakarta : BPK-GM, 2012), 71
[4] I. H. Pouw, Uraian Tentang Homiletik Ilmu Berkhotbah, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2006), 8-9
[5] Jerry Vines & Jim Shaddix, Homiletika Kuasa Dalam Berkhotbah, (Jakarta : Gunung Mas), 37-38
[6] Jahenos Saragih, Ini Aku Utuslah Aku, (Jakarta : Suara Gereja Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2005), 68-69
[7] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018.
[8] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, 12-20
[9] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A, STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
[10] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, 8
[11] Netty Pasaribu, Catatan Akademik Kelas III-D, STT ABDI SABDA MEDAN
[12] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
[13] ......., KBBI, (Jakarta : Balai Pustaka, 1998), 367
[14] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, 7
[15] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
[16] Charles W. Koller, Khotbah Ekspositori Tanpa Catatan, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2011), 14-15
[17] Jahenos Saragih, Ini Aku Utuslah Aku, 104
[18] Hasan Susanto, Homiletik Prinsip dan Metode Berkhotbah, (Jakarta : BPK-GM, 2004), 27
[19] Hasan Susanto, Homiletik Prinsip dan Metode Berkhotbah, 7
[20] Jahenos Saragih, Ini Aku Utuslah Aku, 105
[21] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, 5
[22] Dietter Bekker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta : BPK-GM, 2009), 158
[23] Lukman Tambunan, Khotbah & Retorika, (Jakarta : BPK-GM, 2011), 18-19
[24] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
[25] E. P. Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya, (Jakarta : BPK-GM, 2002), 2
[26] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 6 September 2018
[27] E. P. Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya, 3
[28] Pardomuan Munthe, Catatan Rekaman Akademik di kelas III-A,STT ABDI SABDA MEDAN: Kamis, 4 September 2018
[29] E. P. Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya, 3
[30] H. Rothlisberger, Homiletika Ilmu Berkhotbah, 5-6
[31] E. P. Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya, 84-85
[32] Lukman Tambunan, Khotbah & Retorika, 2
[33] ......, KBBI, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), 1160
[34] Peniel C.D. Maiaweng, Kelompok Penelahaan Alkitab, (Makassar : STT Jaffray, 2013), 10
[35] A. A. Sitompul, Bersahabat Dengan Firman, (Jakarta : BPK-GM, 1987), 24-25
[36] Peniel C.D. Maiaweng, Kelompok Penelahaan Alkitab, 11
[37] E. P. Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya, 2
[38] Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), 203
[39] Dafid G. Buttrik, Memberitakan Yesus Kristus Dalam Khotbah, (Jakarta : Gunung Mulia, 1996), 77
Share:

Kesadaran Yesus Sebagai Mesias dan Refleksinya dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat


Kesadaran Yesus Sebagai Mesias dan Refleksinya dalam Kehidupan Gereja dan Masyarakat
I.                   Pendahuluan
Pertanyaan mengenai siapa Yesus baik yang menyangkut mengenai kemanuisaan dan keilahian-Nya merupakan pertanyaan yang paling sering mengalami perdebatan. Begitu banyak gelar-gelar yang dikenakan kepada-Nya. Pada sajian kali ini kita akan membahas gelar Yesus sebagai Mesias yang populer pada zaman Yesus. Gelar ini terkait kepada pengharapan masyarakat Yahudi akan kedatangan seorang raja, pembebas yang akan memerintah mereka. Semoga pembahasan kali mampu memberikan pemahaman kepada kita akan arti dan makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dan dapat merefleksikannya bagi kehidupan kita.
II.                Pembahasan
2.1.    Pengertian Mesias
Kata Mesias dari bahasa Aram “mesyiha”, yaitu dialek dari bahasa Ibrani Masyiah yang berarti “yang diurapi”. Kata dalam Aram mesyiha  sama dengan bahasa Ibrani hamasyiah, yang dua-duanya diterjemahkan dalam Septuaginta dengan ho kristos. Pada awalnya kata ini menunjuk pada raja yang sedang berkuasa di Kerajaan Israel Raya, terutama yang berasal dari dinasti Daud. Kemudian hari istilah ini digunakan untuk Raja Keselamatan yang akan datang sebagai pengharapan bangsa Israel, yang sering dikumandangkan oleh para nabi. Raja yang dinanti-nantikan tersebut diberitakan dan dinubuatkan sebagai raja keturunan Daud, yang telah dikumandangkan oleh Nabi Natan dalam 2 Samuel 7:7-14.[1]
2.2.    Pengharapan Akan Mesias[2]
Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab-kitab nabi-nabi, banyak disebutkan tentang masa depan kemesiasan yang akan datang yang menawarkan masa depan yang cerah bagi umat Allah (Bnd. Yes 26-29; 40 dst; Yeh.40-48; Dan 12, Yl. 2:28—3:21). Walaupun istilah Mesias itu tidak muncul secara tersendiri, ada bermacam-macam penggunaannya dalam rangkaian kata seperti Mesias Tuhan (yaitu yang diurapi Tuhan). Gagasan mengenai pengurapan seseorang muncul beberapa kali, terutama bagi raja-raja dan imam-imam (Im. 4:3, dst), juga nabi-nabi (1 Raj. 19:16) dan bapak-bapak leluhur Israel (Mzm 105:15) (bnd. 1 Sam.24:6 dst.; 26:9), dan bahkan bagi seorang raja kafir, yaitu Koresy (Yes. 45:1). Pengurapan yang menunjuk tugas khusus ini kemudian digunakan dalam hal yang lebih teknis, khususnya bagi seseorang yang dipilih Allah sebagai alat-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya. Perjanjian Lama mempersiapkan jalan bagi Mesias dan banyak perikop-perikop Perjanjian Lama mengenai Mesias itu dikutip dalam PB.
Pengharapan akan kedatangan Mesias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tetapi yang paling menonjol ialah gagasan mengenai Raja keturunan Daud, yang akan mendirikan kerajaan di dunia bagi umat Israel dan akan menghancurkan musuh-musuh Israel. Mesias akan merupakan tokoh politik, tetapi dengan kecendrungan ke arah agama. Konsep ini merupakan gabungan dari pengharapan bersifat nasional dan pengharapan rohani.
Gagasan tentang Mesias yang akan datang sudah tersebar luas di antara orang-orang Yahudi, tetapi asal usul dan watak dari Mesias yang akan datang itu tidak dimengerti dengan jelas. Dalam pemikiran bagaimana Yesus menggunakan istilah Mesias kita harus ingat bahwa Ia memperhatikan pengertian yang paling populer dari istilah itu. Sudah tentu pemikiran populer cenderung pada pengharapan akan kedatangan seorang pemimpin yang akan membebaskan orang-orang Yahudi dari beban tekanan Roma. Dengan mengingat gagasan populer tersebut, dapat dimengerti mengapa Yesus menghindari penggunaan istilah ini.
2.3.    Mesias dalam Injil Sinoptik
Dalam Injil Matius, makna Mesias dapat kita temukan dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya. Gambaran Mesias dalam Matius tidak jauh berbeda dengan Markus. Hampir semua teks yang membahas tentang Mesias diambil alih oleh Matius. Hanya saja (dalam Mrk. 15:32) “Mesias Raja Israel”, dalam Matius 27:42 kata Mesias dihilangkan dan hanya disebut “Raja Israel”.[3]
Dalam Injil Matius, kita dapat melihat makna Mesias itu dalam pengakuan Petrus (Mat. 16:13-20). Dalam pengakuan Petrus ini, pastilah Petrus salah mengerti hakikat peran Mesias, seperti yang terlihat ketika ia segera menegur Yesus yang menubuatkan kesengsaraan-Nya (Mat. 26:21, dst); tetapi hal ini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa ia telah melihat dalam diri Yesus sesuatu yang lebih dari Mesias manusia. Apa yang kita pelajari dari pengakuan itu mengenai kesadaran kemesiasan dari Yesus sendiri. Tentu saja Yesus menolak gagasan menjadi seorang Mesias politik. Ajaran Yesus tentang misi-Nya tidak dibuat dalam bentuk ini. Ia sengaja menjauhkan diri dari cara kekerasan dan menganjurkan pendekatan yang dengan jelas tidak akan diterima oleh golongan-golongan politik. Jadi dalam arti apa Yesus menganggap diri-Nya sebagai Mesias? Jawabannya terletak pada kesadaran-Nya bahwa Perjanjian Lama harus digenapi, yaitu kesadaran bahwa Dialah wakil Allah untuk menyelamatkan umat-Nya dalam arti rohani dan bukan dalam arti nasional. Pastilah penekanan gelar Mesias pada hal politik yang membuat Yesus enggan untuk memakai gelar itu dan yang menyebabkan Dia menyuruh murid-murid-Nya diam (Mrk. 8:30). Yesus mengerti bahwa Petrus tidak hanya memberikan sekedar kesimpulan atau intuisi yang berasal dari manusia saja pada saat ia menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi juga pemberian Allah. Hal  ini merupakan suatu pengakuan yang jelas bahwa orang banyak tidak mengerti peran Mesias secara demikian, sehingga cukup dapat dibenarkan adanya perintah untuk tinggal diam.[4]
Perikop kedua yang akan dibahas berpusat pada pertanyaan Kayafas (Mat. 26:63 “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” dan  Mrk. 14:63 “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji”). Kayafas menghubungkan gagasan kemesiasan dengan gelar Anak Allah. Ada kemungkinan suatu laporan telah sampai kepada Kayafas bahwa beberapa orang telah membuat pernyataan mengenai Yesus yang menghubungkan kedua gelar itu. Dalam Injil Markus mengenai pertanyaan Kayafas ini berbunyi “Akulah Dia”, sedangkan dalam Matius berbunyi “Engkau telah mengatakannya”.[5]
Lukas menyaksikan kemesiasan Yesus berbeda dengan Matius dan Markus. Lukas menghubungkan gelar Mesias dengan nama diri Yesus yaitu Tuhan Yesus dan Yesus Kristus (Luk. 24:3; Kis. 2:38). Lukas menyaksikan kemesiasan Yesus sejak kelahiran-Nya, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:11; Luk. 4:21; 13:23-33; 19:5-9; 23:43). Selain itu Lukas menampilkan keunikan Mesias sebagai seoang tokoh yang menderita dan mati sebagai orang benar (Luk. 23:4,14,15,22,47 dan Kis. 3:18). Sehingga dengan tegas Yesus berdoa di atas kayu salib “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat” (Luk. 23:34; bdk juga Kis. 7:59-60). Lukas memperjelas perbedaannya dengan Matius dan Markus, menderita sebagai orang benar bahkan rela memberi pengampunan kepada orang-orang yang membuatnya menderita merupakan keunikan Mesias dalam Lukas.[6]
2.4.    Mesias dalam Tulisan-tulisan Yohanes
Dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis dengan tegas menyangkal bahwa dialah Mesias (Yoh. 1:20). Kemudian terdapat keterangan yang menceritakan bahwa murid-murid Yesus yang pertama justru dengan pertemuan mereka dengan Yesus pada pertama kalinya, mereka bahwa mereka telah menemukan Mesias (Yoh. 1:41).[7]
Penggunaan gelar Mesias oleh perempuan Samaria (Yoh. 4:25) dapat dimengerti karena bagi orang-orang Samaria, gelar itu tidak akan menimbulkan salah pengertian ke arah politik. Orang-orang Samaria mempunyai pemikiran tentang pembaharu yang akan datang.  Istilah Mesias dipakai pada peristiwa lain ketika gelar itu diucapkan Andreas yang memberitahu Petrus, saudaranya, “Kami telah menemukan Mesias” (Yoh. 1:41). Segera sesudah itu Filipus memberitahu Natanael, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi (Yoh. 1:45). Hal ini menyatakan bahwa kemesiasan di antara para murid yang mula-mula ini dimengerti sesuai dengan latar belakang Perjanjian Lama. Pada pengakuan Marta (Yoh. 11:27), pada saat itu kemesiasan dihubungkan dengan gelar Anak Allah, suatu pandangan yang jauh dari konsep politik. Yohanes menunjuk bahwa Yesus sebagai terang menyinari kegelapan pikiran mereka (Yoh.12:35) yang berarti bahwa untuk percaya kepada Mesias yang menderita, seseorang memerlukan pengertian rohani. Penyajian Mesias tetap memainkan peran penting dalam kitab Injil Yohanes, walaupun konsep Yesus sebagai Anak Allah lebih banyak dibicarakan. Yesus adalah Mesias, bukan dalam arti pandangan umum pada waktu itu, tetapi dalam arti kesadaran rohani yang baru yang tidak dapat dimengerti terlepas dari kesadaran Yesus akan kedudukan-Nya sebagai Anak. Yohanes menegaskan bahwa menerima Yesus sebagai Mesias merupakan bagian hakiki dalam iman Kristen (1 Yoh. 5:1).[8]
2.5.    Mesias dalam Kisah Para Rasul
Kata-kata dalam Kisah Para Rasul 2:36 berarti bahwa sejak kematian dan kebangkitan Yesus, Allah telah mengagungkan Dia dan menyatakan Dia bukan hanya sekedar Mesias tetapi Mesias-Tuhan, yaitu Mesias yang dinobatkan. Dalam Kisah Para Rasul 4:26, terdapat ungkapan “Yang Diurapinya”. Orang ini segera dikenal sebagai “Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi”. Hal ini merupakan bagian dari kesadaran-Nya akan panggilan-Nya pada peran Mesias. Pada masa Kristen mula-mula, pengajaran dan pemberiataan dapat diringkaskan dengan tema pemberitaan “ Yesus yang adalah Mesias” (Kis. 5:42). Rasul-rasul menganggap ini sebagai misi mereka. Dalam khotbah Petrus kepada Kornelius ia menyebut Yesus Kristus sebagai Tuhan atas semua orang, juga menyebutkan pengurapan Allah atas Yesus dari Nazareth (Kis. 10:36, 38). Walaupun dalam bentuk gelar, nama di sini jelas meliputi ketuhanan maupun kemesiasan sebagai pengakuan iman (Kis. 24:24). Tema tentang Mesias terdapat dalam pernyataan Paulus di Tesalonika (Kis. 17:3), dan di Korintus (18:5). Hal yang sama dikatakan tentang pengajaran Apolos (Kis. 18:28).[9]
2.6.    Mesias dalam Surat Paulus
Dalam Roma 9:5 merupakan satu-satunya contoh yang memakai gelar khristos secara khusus dalam arti “Mesias”. Menurut Kisah Para Rasul, Paulus, segera setelah pertobatannya, tidak hanya mengaku bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi sungguh-sungguh membuktikannya pada orang-orang Yahudi di Damsyik. Pengenalan akan peran Mesias dalam diri Yesus dengan jelas memainkan peranan yang penting dalam pertobatannya. Paulus telah sampai pada pandangan Kristus (Mesias) dengan cara yang baru. Sebagai orang Yahudi, pasti ia memiliki pandangan yang sama dengan orang-orang sebangsanya mengenai kedatangan Mesias, yaitu pandangan yang kuat secara politik dan materialistik.[10] Keinginan Paulus yang terbesar ialah bahwa umat Allah akan menerima Mesias. Bagi Paulus, kedatangan Mesias akan membawa orang Yahudi bersama dengan bangsa-bangsa dan menjadikan mereka “menjadi satu manusia baru di dalam iri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya di dalam satu tubuh dengan Allah oleh salib.....”(Ef. 2:15-16).[11]
2.7.    Kesadaran Yesus sebagai Mesias[12]
Ada beberapa peristiwa penting di mana orang lain menyebut Yesus “Mesias”, dan kelihatannya Yesus menerima saja sebutan ini :
1.      Ketika Petrus akhirnya menyadari kebenaran pernyataan Yesus mengenai diri-Nya sendiri, dan berkata kepada-Nya, “Engkau adalah Mesias” (Mat. 16:16-17), Yesus menjawab bahwa Petrus “berbahagia” sebab bukan manusia yang menyatakan hal itu kepadanya, melainkan Bapa di Sorga.
2.      Waktu diadili di hadapan para pemimpin Yahudi, Yesus mengakui bahwa Dialah Mesias (Mrk. 14:61-62).
3.      Yesus meneymbuhkan seseorang yang dirasuki oleh roh jahat (Mrk. 5:19).
4.      Ketika seorang pengemis Buta yang bernama Bartimeus berseru dan Menyapa Yesus (Mrk. 10:46-52).
Dari peristiwa di atas dapat tarik sebuah pemahaman mengenai kesadaran Yesus sebagai Mesias. Pertama, Yesus tidak pernah menyebut diri-Nya Sang Mesias. Para penulis kitab Injil menulis cerita-cerita mereka berdasarkan iman mereka terhadap Yesus. Mereka percaya Yesus lah Mesias karena mereka hidp setelah peristiwa kebangkitan. Yesus dianggap cocok sebagai seseorang yang telah menggenapi janji-janji Allah yang dimuat dalam PL. Kedua, Yesus mengetahui, tetapi tidak pernah mengatakan, bahwa Dialah Mesias. Yesus enggan mengatakannya karena orang-orang sezaman-Nya mempunyai maksud yang berlainan bila berbicara tentang Mesias. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus, Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah (Mrk. 8:14-21; 9:30-32; 10:35-45). Jika Ia mengakui dan meyatakan terang-terangan bahwa diri-Nya Mesias, ini akan menimbulkan konfrontasi yang dini dari pihak penguasa Roma. Ia tidak memakai kata Mesias mengenai diri-Nya sendiri karena Ia mengetahui, para pendengar-Nya akan mengartikannya sebagai raja duniawi yang akan mendirikan suatu negara baru. Jelas Yesus tidak bermaksud menjadi “Mesias” seperti itu. Ia dengan tegas menolak pandangan tersebut sewaktu Ia dicobai. Seluruh pelayanan-Nya dituangkan dalam suatu rangka yang akan meyembunyikan pernyataan diri-Nya sebagai Mesias dari orang yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan maksud-Nya; namun bagi yang benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang sejati akan terungkap.
2.8.    Kesimpulan
Yesus merupakan penggenapan dari pengharapan akan Mesias yang dinubuatkan dalam kitab-kitab dalam PL. Memang timbul pemahaman yang berbeda mengenai arti dan makna Mesias dalam tradisi Pl dalam umat Yahudi dengan arti dan makna Mesias yang ingin Yesus nyatakan dalam diri-Nya. Bagi orang Yahudi Mesias adalah seorang raja politis. Bagi Yesus, Mesias berarti melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah. Ini menyebabkan Yesus enggan untuk menyatakan diri-Nya sebagai Mesias secara eksplisit. Namun Yesus sadar akan diri-Nya sebagai Yesus. Yesus menyembunyikan identitasnya untuk menghindari konfrontasi dan meyembunyikan pernyataan diri-Nya sebagai Mesias dari orang yang tidak mau mengartikannya sesuai dengan maksud-Nya; namun bagi yang benar-benar ingin mengetahuinya, diri-Nya yang sejati akan terungkap.
2.9.    Refleksi Arti dan Makna kesadaran Yesus sebagai Mesias dalam Kehidupan Beregreja
Ada beberapa arti dan makna yang dapat kita teladani dari kesadaran Yesus sebagai Mesias. Pertama, Kehadiran Yesus di dunia sebagai Mesias bukan sebagai pemimpin dalam arti politis ataupun duniawi, namun kehadiran-Nya di dunia merupakan sebagai pemimpin yang melayani dengan rendah hati dan ketaatan kepada kehendak Allah. Yesus memberikan seluruh hidup-Nya sebagai tebusan semua orang, agar semua orang yang ditebus di dalam nama-Nya kembali kepada Allah satu-satunya sumber keselamatan. Sama halnya dengan gereja sebagai bentuk manifestasi dari kehadiran Yesus harus menunjukkan sikap yang melayani dengan rendah hati dan penuh ketaatan kepada Allah, gereja harus dapat memberikan pemahaman dan pengenalan yang benar mengenai Yesus sebagai Mesias yang menyelamatkan umat manusia.
Kedua, sikap yang perlu diteladani dari kesadaran Yesus sebagai Mesias adalah sikap Yesus yang menyembunyikan identitas-Nya untuk menghindarkan orang dari pemahaman yang salah yang menimbulkan konfrontasi. Namun Ia menunjukkannya melalui mujizat dan pengorbanan-Nya di kayu salib, sehingga semua ornag percaya bahwa Dialah Mesias, Sang Juruselamat. Sebagai umat Kristen, kita jangan hanya menjadi Kristen KTP. Identitas kita saja yang Kristen namun sikap dan tindakan kita tidak mencerminkan sikap Yesus Kristus. Maka dara itu sikap kita pun harus mencerminkan sikap selayaknya Umat Kristen, agar masyarakat dapat melihat karya Yesus dalam diri kita dan mereka ikut percaya dan mau mengenal Yesus melalui diri kita. Biarlah orang mengenal pohonnya melalui buahnya.   
III.             Daftar Pustaka
Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005
Drewes, B.F.,  Satu Injil Tiga Pekabar, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru I, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018
Siahaan, S.M., Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008
Ucko, Hans, Akar Bersama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001

Sumber lain :
Sinta.ukdw.ac.id diakses tanggal 10 April 2019, pukul 19.00 WIB 



[1] S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 4. 
[2] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2018), 266-268.
[3] B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012), 130. 
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 271-272.
[5] Ibid., 273.
[6] Sinta.ukdw.ac.id diakses tanggal 10 April 2019, pukul 19.00 WIB  
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 269.
[8] Ibid., 275-277.
[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, 277-279.
[10] Ibid., 279-281.
[11] Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001), 92. 
[12] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005), 77-80.
Share:

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS