Sejarah Perkembangan Homiletika


Sejarah Perkembangan Homiletika

d. Zaman Gereja mula-mula s/d diakuinya homiletika sebagai cabang ilmu teologia

e. Homiletika sebagai alat propaganda doktrin Gereja (Reformasi dan Kontra Reformasi)

f. Homiletika sebagai usaha/tempat menggali kekayaan harta rohani (Zaman Pietisme dan Penginjilan)

I.            Pendahuluan
Setelah membahas pengertian dari pada Homiletika  pada pertemuan sebelumnya, dan kini kita telah memahami apa itu Homiletika, yaitu ilmu yang mempercakapkan tentang Tuhan Yesus Kristus. Pada kali ini kita akan membahas Sejarah perkembangan Homiletika pada Zaman Gereja Mula-mula sampai diakuinya sebagai cabang ilmu Teologia, homiletika sebagai alat propaganda doktrin gereja pada masa Reformasi dan Kontra Reformasi, Homiletika sebagai tempat menggali kekayaan harta rohani (Zaman Pietisme dan Penginilan). Semoga pada pertemuan dan pembahasan kali ini menambah wawasan kita bersama. Tuhan Yesus memberkati.
II.            Pembahasan
2.1.Pengertian Homiletika
Istilah Homiletika berasal dari kata Yunani homilia, yang berasal dari kata sifat Yunani homiletika yang dihubungkan dengan kata techne, jadi techne homiletika, artinya “ilmu pengetahuan” atau “ilmu bercakap-cakap”. Dalam kata sifat homiletika terkandung kata benda homilia, yaitu pergaulan (percakapan) dengan ramah tamah. Kata kerja homilein terdapat empat kali dalam Perjanjian Baru (Luk 24:14,15 ; Kis. 20:11 ; 24:26).[1]
Gereja mula-mula harus dimulai dari catatan kisah para Rasul tentang peribadahan kristen dan surat-surat Paulus yaitu di Korintus dan di Roma terdapat juga nama orang di rumahnya dijadikan tempat ibadah. Di kisah para rasul juga dicatat bahwa setiap mereka berkumpul mereka melakukan makan dan perjamuan kudus dan berkembang masuk nyanyian. Di wahyu dijumpai ada nama-nama gereja yang menceritakan bagaimana cepatnya pertumbuhan gereja.[2]


2.2.Zaman Gereja Mula-Mula sampai dengan Diakuinya Homlietika sebagai cabang Ilmu Teologia.
2.2.1.      Sejarah Homiletika pada Zaman Gereja Mula-Mula
Dalam jemaat mula-mula, naskah Khotbah didasarkan pada tindakan Allah dalam diri Yesus Kristus. Artinya, pada gereja mula-mula itu naskah khotbahnya belum menjadi naskah yg tertulis. Karena itu apa yang dilihat dan dialami para murid di sekitar Yesus, itulah yang mereka kabarkan. Dalam sejarah selanjutnyalah apa yang dilihat dan dialami serta dikabarkan itu dituliskan atau dibuat secara tertulis; sebelumnya teks khotbah itu selain naskah-naskah PL adalah berdasarkan tradisi lisan. Yang dikhotbahkan dalam PL adalah tindakan Yahwe melalui hukuman menuju keselamatan ; sedangkan dalam PB yang dikhotbahkan adalah tindakan penyelamatan Allah pada akhir zaman melalui Yesus Kristus. Selanjutnya yang dilakukan dalam Jemaat Mula-Mula adalah membuat bahan-bahan lama dan memakainya menjadi bahan baru untuk jemaat dalam situasinya yang baru. Oleh sebab itu, ada beraneka macam khotbah dalam jemaat mula-mula.[3] Lambat Laun kebaktian dilangsungkan dengan memakai tatacara atau liturgia yang lengkap. Bagian yang pertama terdiri atas doa, nyanyia, pembacaan Firman Tuhan dan Khotbah ; sesudah itu jemaat duduk makan bersama.[4]
2.2.1.1. Latar Belakang Ke-Yahudian dalam Liturgi Awal 
Pada ibadah Kristen Mula-mula , pengaruh ibadah Yahudi cukup dominan. Pengaruh tersebut berasal dari jemaat-jemaat di Yerusalem dan sekitarnya. Sebagian besar umat adalah Yahudi Kristen, tersebar kearah Timur menggambarkan asal-usul ibadah Yahudi yang dibidani oleh jemaat- jemaat Yahudi Kristen.  Sinaksis adalah perkumpulan umat untuk membaca kitab suci , menyanyikan Mazmur (psalmody), dan berdoa di sinagoge. Ketiga unsur ini adalah bagian utama dalam ibadah Kristen mula-mula, walaupun mereka secara praktis tidak seragam dalam ibadah Yahudi. Misalnya, Gereja menambah sifat ibadah Yahudi dengan eucharistia atau pengucapan syukur. Dalam Kisah Para Rasul digambarkan ibadah di Bait Allah atau sinagoge itu kemudian dilanjutkan dalam perjamuan di rumah salah seorang dari mereka (Kis. 2:46). Salah satu urutan liturgi menurut Yustinus Martir (± tahun 150)  dalam Apologia I adalah sbb :
·         Pembacaan Alkitab, terdiri dari taurat , Nabi-nabi, Surat Rasuli, Injil.
·         Menyanyikan Mazmur-mazmur dan pujian
·         Pembacaan Injil
·         Homilia , yaitu pengajaran dan penjelasan kitab suci
·         Berdoa (termasuk doa syafaat)
Tata Liturgi Ekaristi :
·         Cium salam atau cium damai
·         Anaphora
·         Uskup menaikan doa syukur atas ciptaan dan pemeliharaan (providentia) Allah didalam nama Anak dan Roh Kudus.
·         Pemecahan Roti , lalu uskup memanggil daikon untuk membagikannya kepada umat.
   Karena bagi umat, itu bukan roti dan anggur biasa. Yesus Kristus telah menjadi daging dan darah dengan maksud untuk menyelamatkan. Dan kepada kami diajarkan bahwa makanan ini, setelah diberkati dengan doa-doa yang terdiri dari kata-kata yang pernah Ia ucapkan (1 Kor.11:23-25) yang adalah daging dan darah Yesus, telah menjadi roti dan anggur. Liturgi awal berjalan tanpa terikat pada buku-buku liturgi, tata liturgi (baku), formula liturgis, dan aturan-aturan liturgis lain. Kesederhanaan liturgi awal disebabkan oleh budaya jemaat tentang ibadah. Liturgi gereja mula-mula dikenal melalui cara dan sikap mereka hidup, bukan melalui cara liturgy dilayankan. Ada sikap sehati sejiwa , tidak ada milik pribadi, segala sesuatu adalah kepunyaan bersama. Mereka bertekun dalam doa , membaptis, dan memecah-mecahkan roti (Kis.2:4).[5]
2.2.1.2. Ibadah Harian
Ibadah harian adalah salah satu jenis perayaan penting yang dilakukan oleh Gereja Mula-Mula. Doa yang sekaligus pengakuan iman mereka berbentuk sederhana , yakni Iesous Khristos Kyrios (Yesus Kristus adalah Tuhan). Praktik ibadah atau doa individual dijalankan sejak zaman PL. Daniel 6:11 menuliskan “tiga kali sehari ia berlutut dan berdoa”. [6]
2.2.1.3. Akar- akar Sakramen
Ada beberapa perayaan yang merupakan akar-akar  sakramen gereja. Selain baptisan dan perjamuan kudus, yang juga digolongkan ke dalam sakramen adalah rekonsiliasi tobat[7] dan penahbisan imam. Kedua praktik liturgi sakramen tersebut didasarkan pada pengertian bahwa sakramen adalah tanda suci atau bentuk yang kelihatan yang mengungkapkan rahmat yang tidak kelihatan. Bentuk yang kelihatan tersebut adalah simbolisasi ungkapan manusia yang dirayakan oleh Gereja. Rahmat yang tidak kelihatan tersebut adalah anugrah dari Yang Transenden. Jadi, sakramen adalah tanda suci berupa ungkapan manusia (protestantio fidei = pernyataan iman) berdasarkan pengalaman iman bersama dengan Allah.[8]
2.2.1.4. Penahbisan Jabatan.
Pemilihan pemangku jabatan pelayanan di gereja serta akar-akar penahbisan muncul sejak zaman Gereja Mula-mula. Ada pemilihan beberapa orang yang dinilai cakap. Semula, umat dilayani langsung oleh rasul-rasul. Para Rasul itu melayankan doa, firman, dan meja (Kis.6). Para Rasul bertugas berdoa , melayankan firman, dan meletakkan tangan ke atas daikon yang melayankan meja. Para diakon bertugas mengatur pelayanan meja. Semula pejabat-pejabat itu, termasuk uskup, merupakan suatu dewan. Mereka terdiri dari beberapa orang, tidak hanya satu orang. Para pelayan ini disatukan oleh uskup. Uskup sebagai kepala umat adalah pemersatu antara para pelayan dan umat, sekaligus sebagai penerus pekerjaan para rasul. Tugas penjaga keutuhan umat ini dipegang oleh uskup. Uskup tampil kemuka, dia meneruskan tugas rasul demi kepentingan umat.Secara umum, pelayan-pelayan jemaat adalah orang-orang yang sangat terpandang. Umat memandang mereka karena berkarisma, bukan karena pendidikan. Golongan berkarismalah yang berpengaruh di Gereja Mula-Mula.
Selain itu, bersama-sama dengan pembagian jabatan, pemangku jabatan gereja dihubungkan dengan penahbisan. Pejabat gereja yang ditahbiskan pun beragam dan berbeda. Keragaman jenis pejabat itu lahir dari perkembangan kebutuhan pelayanan Gereja.
1. Uskup ialah yang terhormat, ia berinisiatif mengumpulkan umat. Tindakannya itu dilakukan dalam nama Kristus. Fungsi utama di dalam liturgi adalah melayankan persembahan dan ekaristi, sebagai pengantara Allah dan umat, dan penyampaian firman Allah. Ia berkhotbah dan melayankan baptisan.
 2. Imam/Presbiter  , duduk disebelah uskup. Mereka bertugas membacakan Injil jika daikon tidak ada. Mereka berkhotbah sebelum uskup. Dalam salam damai, mereka memberi salam kepada uskup. Selama Doa Syukur Agung, mereka berdiri di kiri dan kanan uskup di sekitar altar.
3. Diakon sebagai telinga dan mulut uskup. Dalam liturgy, mereka melantunkan doa-doa , mempersiapkan roti dan anggur perjamuan, membagikan roti dan anggur kepada umat dan menjaga tingkah laku umat.
Didalam pelayanan penahbisan berlangsung pada akhir liturgy Firman. Baik itu Tata liturgy Penahbisan Uskup, Penahbisan Imam dan penahbisan daikon.[9]
2.2.2.      Homiletika Zaman Bapa-Bapa Gereja
1.      Origenes (185-254)
Origenes ialah ahli Theologia, yang banyak meninggalkan Khotbah bagi kita. Khotbah-Khotbah itu ditulisnya pada tahun-tahun akhir hidupnya.[10] Ia adalah seorang tokoh aliran Alexandria (Mesir) dalam hermeneutik penafsiran alegoris. Menurut Origenes, homiletika adalah ilmu yang menerangkan atau menjelaskan arti, isi, maksud , dan tujuan Firman Tuhan. Ia mempelopori munculnya metode menerangkan dan mengkhotbahkan Firman Tuhan secara Somatis, Psikis, dan Penumatik. Somatis berarti menerangkan Firman Tuhan sesuai tujuan, maksud dan arti yang tertulis. Psikis artinya mencari pengertian lain yang lebih luas dari yang tertulis dalam teks . Psikis berasal dari kata “psvehe” dalam bahasa Yunani, yang berarti jiwa. Jadi kita mencari dan mengusahakan keterangan khobah yang lebih luas dan mendalam. Pneumatis (roh) artinya jauh lebih mendalam lagi daripada arti psikis.[11]
2.      Agustinus (354-430)
Agustinus adalah teolog Kristen yang terbesar setelah Rasul Paulus. Ia adalah sang Bapa Gereja Barat.[12] Agustinus mengatakan bahwa khotbah mencakup unsur mengajar (docere) dan menyenangkan hati (delectere). Khotbah merupakan percakapan yang penuh arti atau flektere, yaitu percakapan yang menimbulkan rasa cinta, keinginan, dan kerinduan akan isi percakapan dalam Khotbah. Tujuan Khotbah adalah kebenaran semakin luas diketahui supaya kebenaran diterima dengan gembira dan kebenaran tersebut menggerakkan orang yang mendengarkan Firman Allah untuk melak ukannya dalam kehidupan sehari-hari.[13]
3.      Yohannes Krisostomus (354-407)
Krisostomus adalah seorang pengkhotbah yang sangat terkenal sehingga dijuluki Bermulut Emas. Ia lahir di Antiokhia pada tahun 374. Ia belajar iman Kristen selama tiga tahun kepada Uskup Miletus di Antiokhia dan kemudian dibaptiskan.[14] Krisostomus terkenal sebagai pengkhotbah ulung yang tidak pernah lelah dalam pekerjaanya. Menurutnya, orang yang mempelajari Teologi memiliki tujuan mengkhotbahkan Firman Tuhan. Yang artinya, bagi orang itu menafsirkan Firman Tuhan sama dengan berkhotbah dan juga membangkitkan roh pembangun di jemaat (bnd. 1 Korintus 3:10 dan 1 Korintus 14:26; oikodome yang artinya membangun), membangun segala aktivitas jemaat yang membangun iman, tukang untuk pembangunan jemaat Tuhan.[15]
2.2.3. Sejarah Perkembangan Diakuinya Homiletika sebagai Cabang Ilmu  Teologia
Perkembangan Homiletika mempunyai hubungan erat dengan perkembangan gereja. Pertumbuhan Gereja secara kualitas dan kuantitas sangat ditentukan oleh pelayanan diatas mimbar. Dengan mengamati homiletika orang mengenal seberapa serius gereja melakukan pelayanan misi. Sejarah menunjukkan bahwa homiletika merefleksikan interaksi dengan masyarakat yang ada disekitarnya.[16] Dalam Sejarah Gereja, sampai abad ke 5 kata “homilein” diterjemahkan ke dalam Alkitab bahasa Latin (Vulgata) dengan istilah “sermo” (sermon) adalah suatu pekerjaan menafsirkan teks Alkitab untuk dikhotbahkan. Lalu pada akhir abad ke 17 istilah homiletika telah dipakai sebagai ilmu berkhotbah.[17]
2.3. Homiletika sebagai alat Propaganda Doktrin Gereja (Reformasi dan Kontra   Reformasi )
2.3.1.      Pengertian Propaganda
Dalam KBBI, Propaganda adalah penerangan yang benar atau yang salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan agar orang menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.[18] Propaganda (dari bahasa Latin modern: Propagare yang berarti mengembangkan atau memekarkan) adalah rangkaian pesan yang betujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakukan masyarakat atau sekelompok orang.[19]

2.3.2.      Homiletika Sebagai alat Propaganda Doktrin Gereja pada Reformasi.
Reformasi adalah gerakan untuk mengadakan suatu pembaruan dalam kekristenan barat yang dimulai sejak abad ke 14 hingga abad ke 17. Mereka menyerang struktur gereja yang hierarkis dan legalistic serta keburukan-keburukan yang terdapat dalam gereja. Meskipun dalam tubuh Gereja Barat diadakan berbagai pembaharuan gereja yang lebih berarti tetap berjalan.[20]
Abad ke 2 kalender gerejawi sudah mulai disusun. Namun hanya masih berfokus pada perayaan paskah dan pentakosta setelah kristen diakui sebagaimana agama kekaisaran romawi (313) dalam penandatanganan Edict of milano maka gereja semakin mempercepat penyusunan kalender gereja itu diikuti sampai kalender gereja abad pertengahan fase 1 lalu di abad pertengahan fase ke II. Disinilah abad kegelapan gereja karena disinilah kita temukan ajaran gereja tidak bertolak dari Alkitab tapi bertolak belakang dari Alkitab tapi bertolak dari tuntutan-tuntutan moral dan etika sehingga khotbah lebih banyak menyampaikan aturan-aturan moralis.pada abad pertengahan terjadi reformasi karena fungsi dan pengejaran gereja sudah banyak menyimpang.[21]
1.               Diawali, Luther mulai berkhotbah dan mengajar tentang pemahaman barunya . Luther menulis 95 dalil melawan surat-surat penghapusan siksa.[22] Bagi Luther yang terpenting dalam ibadah adalah bagaimana agar jemaat mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus.[23] Alkitab mempunyai otoritas tertinggi, lebih tinggi dari gereja. Alkitab dapat dimengerti dan bersikap konsekuen. Kesulitan manusia dalam mengerti Alkitab adalah ketidaktahuannya tentang arti dan tata bahasa dari Alkitab. Alkitab harus ditafsir dalam pengertian sederhana dan mempertahankan tata bahasanya. Luther mengartikan Firman Tuhan adalah Kristus .Tuhan Allah menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Firman itu telah menjadi daging dan kenyataan itulah yang menjadi Kitab Suci (Alkitab). Dalam visi ini khotbah gereja menjadi firman Tuhan. Karena firman yang telah menjadi nyata dalam Alkitab maka khotbah gereja menjadi pemberitaan firman Tuhan.[24] Di Bait Allah tidak boleh ada sesuatu pun yang menggambarkan atau mengimajinasikan gambar Baal dan dewa-dewa. Secara bertahap dan dengan penuh toleransi ia hanya mengizinkan tiga meja di dalam gereja, yaitu meja untuk pembacaan Alkitab, meja untuk pembacaan Injil dan pemberitaan firman, dan meja untuk perjamuan kudus.[25]
2.                  Zwingly berpendapat bahwa suatu doktrin tidak boleh berlawanan dengan akal.[26] Zwingly melalui pembaharuan gereja melalui seminar Perjanjian Lama di Zurich pada 1525. Hal ini tentu berhubungan dengan Homiletika. Zwingly bersama teman-temannya berusaha menafsirkan kitab-kitab Perjanjian Lama. Setelah selai, mereka mengadakan satu seminar dan khotbah untuk rakyat (penduduk kota). Menurut Zwingly, Khotbah adalah eksplicatio (menggali isi firman Tuhan) dan aplicatio (menghubungkannya dengan kehidupan konkrit). Dari seminar dan khotbah tersebut muncullah “Kebaktian Khotbah”. Kebaktian Khotbah merupakan unsur pembaharuan gereja dan inilah sumbangan Zwingly untuk Homiletika. Menurut Zwingly, Khotbah harus didasarkan pada Alkitab yang sudah dituliskan dalam kanon Alkitab, bukan atas yang lain seperti tradisi atau yang lain. Firman Allah dalam Alkitab ada karena kuasa Roh Kudus. Ia juga berpendapat bahwa Khotbah merupakan pengantara keselamatan dan alat utama untuk pendidikan orang Kristen.[27]
3.                  Calvin  menekankan 3 hal mengenai Khotbah , yaitu : hubungan Alkitab dengan Roh Kudus, Alkitab dengan Kepercayaan, dan Alkitab dengan Khotbah.[28] Bagi Calvin tata ibadah bukan hanya merupakan soal praktis dan incidental, yang bisa disusun dan diselenggarakan menurut selera dan suasana sesaat. Baginya Ibadah dan tata ibadah berkait erat, bahkan merupakan satu kesatuan, dengan pokok-pokok ajaran mendasar, sebab gereja mengungkapkan imannya melalui ibadah. Dengan kata lain, apa yang diyakini gereja terungkap secara nyata dalam ibadahnya. Justru karena hubungan erat antara keyakinan atau ajaran dengan ibadah, Calvin bersama para reformator lainnya tidak hanya melakukan pembaruan dalam hal ajaran, melainkan juga dalam hal ibadah-ibadah di dalam gereja-gereja Calvinis . Lutheran berpusat pada pemberitaan Firman atau Khotbah .Calvin memberi perhatian yang lebih jauh besar atas penataan ibadah, sejalan dengan perhatian besarnya atas tata gereja.[29]
2.3.3.      Homiletika Sebagai alat Propaganda Doktrin Gereja pada masa Kontra     
      Reformasi
            Kontra Reformasi bukanlah berarti bahwa Gereja Katolik telah berpaling pada pemikiran protestan. Melainkan ia berupaya merubah beberapa penyimpangan yang merupakan pelanggaran yang tidak dapat diterima oleh gereja Katolik.[30] GKR juga mengembangkan cara untuk memerangi reformasi Protestan dengan maksud membatasi pengaruhnya, dengan melakukan pembaharuan atas dirinya sendiri untuk menyingkirkan alasan-alasan kritikan Protestan.[31] Dalam rangka gerakan kontra reformasi, didirikan inkuisisi pada tahun 1542 dan GKR juga menetapkan Index Lidrorum Prohibitoru, dan bersamaan itu pula Serikat Yesuit didirikan oleh Ignatius dari Loyola untuk mempertahankan GKR dari penggerogotan gerakan reformasi, sehingga hal ini mengakibatkan gerakan reformasi dibatasi.[32]
Gerakan Kontra Reformasi Gereja Katolik Roma
1.      Serikat Yesuit
Serikat Yesuit didirikan oleh Ignatius dari Layola untuk mempertahankan GKR dari penggerogotan gerakan reformasi.[33] Yang menjadi tujuan utama para Yesuit yaitu mengumpulkan seluruh dunia di dalam Gereja Kristus, yaitu Gereja Katolik. Hal itu berarti bahwa ordo itu merupakan badan missioner. Anggotanya mengabarkan injil kepada orang yang bukan Kristen dan berusaha untuk menanggulangi bidat (Reformasi). Disamping itu, rakyat Katolik harus diberi bimbingan juga.[34]
2.      Konsili Trente
Konsili Trente menolak ajaran Reformasi dengan tidak menunjukkan pengertian sedikitpun. GKR mengamankan diri terhadap serangan yang demikian dengan menetapkan tradisi gereja mempunyai kuasa Ilahi seperti Alkitab. Jadi Alkitab harus ditafsirkan sesuai dengan ajaran gereja, yang menentukan sah-tidaknya tafsiran tertentu adalah hierarki. Orang-orang Katolik Roma dilarang membaca buku yang tidak disahkan olehnya. Beberapa ketetapan Konsili Trente.
a.      Mengenai Alkitab dan Tradisi
Sinode melihat bahwa kebenaran yang menyelamatkan dan ajaran tentang kesusilaan ada di dalam kitab- kitab yang tertulis dan dalam tradisi-tradisi yang tidak tertulis. Tradisi-tradisi itu diterima oleh rasul dari Kristus sendiri, atau didekatkan Roh Kudus kepadanya. Sinode menerima dan menjunjung tinggi, dengan rasa kasih dan hormat yang sama, semua kitab PL dan PB, dan juga tradisi-tradisi yang dipelihara dalam gereja katolik dengan tak putus-putusnya.
b.      Mengenai Pembenaran Oleh Iman
Kalau seseorang mengatakan bahwa orang berdosa dibenarkan hanya oleh iman dan mengartikannya sedemikian, hingga tidak ada dituntut dari orang berdosa itu sesuatu yang lain yang dengannya ia turut mengusahakan karunia pembenaran, dan sehingga tidak perlu sama sekali bahwa ia dipersiapkan dan disediakan oleh kegiatan kehendaknya sendiri, terkutuklah dia. [35]
2.3.4.      Tokoh-Tokoh Kontra-Reformasi
1.      Johan Eck.
Ia dilahirkan di Eck, Swabia, pada tahun 1486. Ia menjadi doctor teologi pada umur 24 tahun, kemudian menjadi mahaguru di Universitas Ingolstadt, Bavaria. Eck adalah seorang yang cerdik dalam berdebat. Pokok perdebatan beralih dari kewibawaan konsili, Eck berpendapat bahwa konsili tidak mungkin keliru dalam mengambil keputusan-keputusannya, Paus adalah pengganti Petrus dan wakil Kristus diatas dunia. Kemudian Luther berpendapat bahwa pendapat Eck itu bertantangan dengan Kitab Suci. Luther berpendapat bahwa konsili tidak luput dari kesalahan. Eck menulis Risalah pembelaan tentang kepausan yang berjudul De Primatu Petri “Mengenal Primasi Petrus”. Eck sampai akhir hidupnya berperan sebagai pembela iman GKR yang gigih. Johan Eck meninggal pada tahun 1543.[36]
2.      Ignatius Layola.
Ignatius adalah pendiri Serikat Yesuit (Societa Yesou=SY). Organisasi serikat Yesuit diatur dengan sangat ketat. Anggota-anggotanya harus taat secara mutlak kepadanya. Mereka dapat diterima sebagai anggota serikat Yesuit sesudah menjalani masa percobaan yang berat dan lama. Kemauan mereka diperkuat oleh latihan-latihan rohani, calon anggota harus membayangkan siksaan-siksaan neraka sampai merasa ngeri dan kemudian dibimbing kepada Kristus. Mereka dibimbing untuk menjadi laskar Kristus guna mempertahankan gereja Khatolik Roma dan untuk menanamkan gereja Katolik roma ditengah bangsa kafir diseluruh dunia. Ia sangat menekankan  ketaatan mutlak kepada paus sebagaimana juga kepada Kristus.[37]
2.4.Homiletika sebagai usaha/tempat menggali kekayaan Harta Rohani (Zaman Pietisme dan Penginjilan)
2.4.1.   Homiletika Pada Zaman Pietisme (± 1650 – 1789)
Kata Pietis berasal dari bahasa Latin, yaitu “pietas” yang berarti kesalehan. Pietisme merupakan gerakan kesalehan dalam gereja Protestan di Jerman abad ke-17.[38] Hal ini dimulai dengan kemorosotan moral yang dahsyat, akibat perang 30 tahun. Perang ini merupakan perang antara penganut-penganut katolik roma dan reformasi. Inilah sebuah perang dengan latar belakang agama, tetapi ternyata menghancurkan semua nilai-nilai agama. Budaya manusia hancur, moral merosot, dan banyak gedung gereja yang ditutup. Akibat perang itu dalam semua bidang kehidupan ternyata sangat fatal. Banyak desa-desa yg musnah, uang kehilangan nilainya, sadism ditemukan dimana-mana, mabuk-mabukan dan pelacuran adalah hal yg biasa.[39] Pietisme adalah aliran yang menekankan kesalehan dan penghayatan iman. Aliran ini merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan di gereja- gereja protestan sesudah reformasi. Gereja- gereja ini mencapai menjaga apa yg diajarkan oleh reformator supaya jangan terjadi penyimpangan dari ajaran mereka. Pietisme menekankan bahwa iman bukan tindakan otak saja, melainkan adalah menyerahkan seluruh pribadi kepada Allah dengan hati dan jiwa, sebagai akibat kelahiran kembali oleh Allah. Oleh sebab itu orang-orang pietis suka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, yang terdiri dari orang-orang sehati dan sejiwa untuk bersama-sama menghayati dan memperdalam iman pribadi dalam suasana bebas dan spontan, yg tidak terdapat dalam kebaktian-kebaktian resmi. Dalam pietisme kecenderungan individualisme, yaitu mengutamakan apa yang dirasa, dihayati, dipercayai, dan dipikirkan oleh perseorangan.[40] Pietisme  adalah perwujudan usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat dan gereja. Ditengah-tengak kemorosotan moral dan kemeralatan akibat perang Tigah Puluh Tahun, gereja-gereja Lutheran tidak mempunyai sarana untuk mengisi atau mengatasi keadaan itu. Pietisme menekankan satu dimensi yang lain dari diri manusia yaitu perasaan. Bukan apa yang ada dalam kepala manusia, tetapi yang paling penting adalah apa yang ada didalam hati manusia. Khotbah- Khotbah pada wakti itu sama sekali tidak cocok dengan kebutuhan manusia, Pietisme lalu berbicara tentang khotbah praktis yang berbicara tentang pengalaman dan kehidupan manusia sehari-hari. Jadi, pietisme adalah sebuah koreksi atau reaksi , yang berusaha keras mengisi sebuah kekosongan di dalam kehidupan jemaat.[41]
Beberapa Tokoh yg berpengaruh perkembangan Homiletika zaman Pietisme :
a.      Philip Jacob Spener
Spener adalah seorang tokoh dan pelopor gerakan pietisme jerman. Ia dilahirkan di Alcase pada tahun 1635. Pada tahun 1666 Spener menjadi pendeta di kota perdagangan Frankfurt. Spener kini menekankan agar diadakan penelitian Alkitab. Dalam khotbah-khotbahnya ia mengajak umat untuk berbuat baik. Ia menghimbau agar para pendeta hidup lebih saleh. Pada tahun 1675 Spener mencetuskan gerakan Pietisme. Ia menerbitkan bukunya yg berjudul Pia Desideria (Cita-cita kesalehan). Ia sendiri mengajukan 6 usul untuk memperbaiki keadaan Gereja:
1.      Harus disediakan waktu yang lebih banyak untuk mendengarkan firman Allah. Tidak hanya cukup mendengar Firman Allah di gereja. Di rumah masing-masing Alkitab harus dibacakan untuk masing-masing keluarga setiap hari.
2.      Harus mengajak anggota jemaat untuk mempraktikkan imamat am-nya.
3.      Iman Kristen harus dipraktikkan.Tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang iman.
4.      Para teolog tidak boleh memakai kata-kata pahit terhadap lawannya.
5.      Lembaga pendidikan teologi haruslah menjadi bengkel-bengkel Roh Kudus.
6.      Khotbah-khotbah harus disusun dengan tujuan membangkitkan iman pendengarannya supaya imannya menunjukkan buah-buah Roh. Khotbah bukanlah alat untuk memamerkan kepandaian pengkhotbah.[42]
b.      Francke Augus Herman
Franke lahir di lubeck pada tahun 1663. Ia berusaha menghubungkan Ortodoksi dengan moralitas. Akibatnya sejak kecil Francke telah hidup di lingkungan ortodoksi dan mempunyai pengetahuan yg baik tentang pengetahuan etis yang harus diwujudkan dalam masyarakat atau pribadi. Menurut Francke, teologi harus melayani perubahan hidup, pembaharuan gereja, pembaharuan bangsa dan yg dipentingkan adalah perwujudan ajaran itu didalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu Francke berbicara tentang pertobatan, penyesalan hati dan lahir baru.  Ia setuju bahwa hidup baru adalah anugrah Allah, bahwa orang yg telah lahir baru, benar-benar berbeda dengan keadaan yg sebelumnya.[43]
2.4.2.   Homiletika Pada Zaman Penginjilan
Pekabaran Injil merupakan kelanjutan dari usaha orang-orang pietis pada abad ke-18 dan seringkali bersifat pietis juga. Perkembangan pekabaran Injil pada abad ke-19 adalah begitu besar sehingga abad ini disebut abad pekabaran Injil. Kemana-mana orang pergi untuk mengabarkan Injil sambil mendirikan sekolah-sekolah.[44] Para pekabar injil tidak hanya memperkenalkan Alkitab kepada masyarakat tetapi juga mentransformasikan kehidupan masyarakat ke arah yg lebih baik lagi. Transformasi ini digunakan sebagai bentuk pendekatan mereka kepada umat agar mau dan tertarik mempelajari Alkitab seperti juga tujuan dari para penafsir abad ke 18 dan abad ke 20. Dimana terjadi pendirian gedung gereja, tempat ibadah, dan didirikan sekolah, pemberian pendidikan bagi setiap anak serta pembentukan sosio ekonomi harus diberikan perhatian oleh pekabar injil.[45]
Beberapa tokoh yg berpengaruh perkembangan Homiletika Zaman Penginjilan:
a.      Rudolf Bultman
Ia lahir pada tahun 1884 di Wiefeltde dekat Oldenburg, di Jerman. Dalam mempelajari injil , ia menggunakan pendekatan penelitian bentuk sastra dan kritik bentuk. Ia menganalisa cerita-cerita Injil dan menggolongkannya dalam berbagai tipe dan bentuk.[46] Bultman adalah seorang ahli perjanjian Baru, ahli bahasa. Menurut Bultman, manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti pemberitaan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru mempunyai pandangan dunia yang sama sekali berbeda dengan pandangan modern tentang dunia. Bultman bergumul dengan perkara bagaimana Injil dapat diberitakan kepada manusia modern pada abad ini yang telah dipengaruhi oleh sekularisasi dan telah menyadari hakikat kemanusiaannya. Ia terpanggil untuk menemukan cara baru agar Injil Yesus Kristus menyapa manusia modern dapat mengambil suatu keputusan yg eksistensial.[47]
b.      Karl Barth
Karl Barth lahir di Basel pada tahun 1886 sebagai anak sulung gembala jemaat Calvinis. Teologi Barth adalah teologi Firman. Firman Allahlah, penyataan Allah yang menjadi pokok persoalan tinggi. Barth sangat menitik beratkan penyataan Allah dan Alkitab. Firman Allah adalah peristiwa Allah yg berbicara kepada manusia dalam Yesus Kristus , ialah penyataan pribadi Allah kepada kita.[48]

III.            Kesimpulan
Dari pemaparan diatas , penyaji menyimpulkan bahwa sejarah perkembangan homiletika dimulai dari Zaman Gereja Mula-mula, dimana pada saat zaman Gereja Mula-mula, khotbah belum menjadi naskah yang tertulis, akan tetapi dalam perkembangan sejarah selanjutnya khotbah itu sudah menjadi secara tertulis. Dilanjutkan dengan penjelasan dari bapa-bapa gereja yang menjelaskan tentang khotbah itu. Pada abad ke 17 homiletika dipakai sebagai ilmu berkhotbah. Dan pada perkembangan sejarah selanjutnya , Homiletika sebagai alat propaganda dalam Doktrin Gereja , yang dimana khotbah-khotbah dalam GKR tidak seturut atau tidak sejalan lagi sejalan dengan isi Alkitab. Oleh sebab itu , beberapa dari tokoh-tokoh yang telah tercantum (Tokoh Reformasi) melawan (meluruskan) akan hal yg sebenarnya dari Alkitab itu. Masa Reformasi Khotbah disampaikan dalam bentuk sederhana dan lebih mementingkan khotbah yang berpusatkan dari Alkitab. Masa Pietisme lebih ditekankan kepada penghayatan dari hati dan jiwa , yang menimbulkan tumbuh zaman penginjilan yang dimana mereka tidak hanya menyebarkan dan memperkenalkan Alkitab  melainkan mereka  mentransformasikan kehidupan masyarakat ke arah yg lebih baik lagi.
IV.            Daftar Pustaka
Rothlisberger H., Homiletika Ilmu berkhotbah, Jakarta : BPK-GM, 2005
dkk H.Berkhof  , Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2014
Rachman Rasid, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi, Jakarta:Gunung Mulia,2010
Abineno J.L.Ch., Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertama,Jakarta : BPK-GM, 1985
Gintings E.P., Homiletika Pengkhotbah dan Khotbahnya, Yogyakarta : ANDI, 2013
Lane Tony, Runtut Pijar, Jakarta : BPK-GM, 2016
Wellem F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2011   
Susanto Hasan, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, Jakarta : BPK-GM, 2004
Gintings E.P., Khotbah dan Pengkhotbah, Jakarta : BPK-GM, 2012
….Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007
…,Ensiklopedia Alkitab M-Z
Wellem F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta : Gunung Mulia 2006
Aritonang Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2015
Gintings E. P., Homilitika Dari Teks sampai Khotbah, Bandung: Bina Media Informasi, 2012
dkk A.Kenneth Curstis, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah, Jakarta : BPK-GM, 2013
Mc Grath Alister E, , Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta : BPK-GM, 2012
End Th. van den, Harta dalam Bejana, Jakarta : Gunung Mulia, 2009   
Hale Leonard, Jujur Terhadap Pietisme, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996
Jonge C.De, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM 2015
Damanik Jan Jahaman, Dari Ilah Menuju Allah, Yogyakarta : ANDI, 2012



[1] H.Rothlisberger, Homiletika Ilmu berkhotbah, (Jakarta : BPK-GM, 2005), 6
[2] Pardomuan Munthe, Rekaman Akademik, (Medan: Abdi sabda 2018) diruang kelas III A, 9 november 08.00-09.30 WIB

[3] E.P.GIntings, Homilitika dari Teks sampai Khotbah, (Bandung : Bina Media Informasi, 2012), 105
[4] H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2014), 11-12
[5] Rasid Rachman, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta:Gunung Mulia,2010), 14-18
[6] Ibid, 21-22
[7] Sakramen Tobat adalah perwujudan dari perdamaian dunia dengan Allah didalam Kristus. Dalam Kristus, Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya (2Korintus 5:19). Itu terjadi melalui peristiwa salib. Bersama Gereja, Ia menyatakan karya itu melalui baptisan kudus dan melestarikannya melalui perjamuan Kudus.
[8] Rasid Rachman, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi, 38
[9] Ibid, 46-56
[10] J.L.Ch. Abineno, Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertama, (Jakarta : BPK-GM, 1985), 36
[11] E.P.Gintings, Homiletika Pengkhotbah dan Khotbahnya, (Yogyakarta : ANDI, 2013), 119-120
[12] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta : BPK-GM, 2016), 38.
[13] E.P.Gintings, Homiletika Pengkhotbah dan Khotbahnya, (Yogyakarta : ANDI, 2013), 121-123
[14] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2011 ),57
[15] E.P.Gintings, Homiletika Pengkhotbah dan Khotbahnya, (Yogyakarta : ANDI, 2013), 123-124
[16] Hasan Susanto, Homiletika Prinsip dan Metode Berkhotbah, (Jakarta : BPK-GM, 2004), 13
[17] E.P.Gintings, Khotbah dan Pengkhotbah, (Jakarta : BPK-GM, 2012) 2
[18] ….Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), 84
[19] …,Ensiklopedia Alkitab M-Z, 325
[20] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta : Gunung Mulia 2006), 391-392
[21] Pardomuan Munthe, Rekaman Akademik, (Medan: Abdi sabda 2018) diruang kelas III A, 9 november 08.00-09.30 WIB

[22] Tony Lane, Runtut Pijar, 132-133
[23] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2015), 49
[24] E. P. Gintings, Homilitika Dari Teks sampai Khotbah, (Bandung: Bina Media Informasi, 2012), 118-119
[25] Rasid Racman, Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 138
[26] Tony Lane, Runtut Pijar,144
[27] E.P.Gintings, Homiletika Pengkhotbah dan Khotbahnya, 134-135
[28] ibid, 135
[29] Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja, 75
[30] A.Kenneth Curstis dkk, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah, (Jakarta : BPK-GM, 2013), 83
[31] Alister E, Mc Grath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta : BPK-GM, 2012), 14
[32] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 249
[33] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 104
[34] Th. van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta : Gunung Mulia, 2009), 197
[35] Ibid, 198-202
[36] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 69-70
[37] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 104
[38] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 365
[39] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996), 5-7
[40] C.De Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM 2015), 78-80
[41] Loenard Hale,  Jujur Terhadap Pietisme, 6-11
[42] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 172-173
[43] Loenard Hale,  Jujur Terhadap Pietisme, 27-29
[44] C. De Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, 84
[45] Jan Jahaman Damanik, Dari Ilah Menuju Allah, (Yogyakarta : ANDI, 2012), 132
[46] Tony Lane, Runtut Pijar, 236-237
[47] F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, 46-47
[48] Tony Lane, Runtut Pijar, 220-221
Share:

Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal



Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal

I.                   Pendahuluan
      Dalam berbagai aliran gereja terdapat jenis-jenis sistem penataan/pemerintahan yang berbeda. Dalam sajian ini akan dibahas mengenai sistem penataan/pemerintahan prebisterial sinodal yang banyak dianut di gereja yang terdapat di Indonesia. Untuk lebih memahaminya maka akan dijelaskan mengenai pengertian prebisterial sinodal, latar belakang dan perkembangan prebisterial sinodal, ciri-ciri prebisterial sinodal, prinsip-prinsip prebisterial sinodal, serta penjelasan mengenai sistem penataan/pemerintahan prebisterial sinodal.
II.                Pembahasan
2.1.  Pengertian Prebisterial Sinodal
            Secara etimologi, kata Prebisterial berasal dari kata Presbuteros  dalam bahasa Yunani atau Zaqen dalam bahasa Yunani yang berarti tua-tua. Jabatan penatua atau prebister ini, secara harafiah diartikan sebagai yang dituakan, yang berpikir matang (sesepuh). Kata sinodal berasal dari kata sinode yang dalam bahasa Yunani berasal dari dua akar kata sun dan hodos. sinode berarti berjalan bersama, seperjalanan, berpikir bersama, bertindak bersama. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan baha pengertian sistem Prebisterial Sinodal adalah para Prebister yang mempunyai sikap hidup, pengakuan, visi dan arah yang sama dan juga bersidang dibawah kepemimpinan Roh Kudus dan Firman Tuhan atau suatu sistem yang mengatur gereja berdasarkan atas kesepakatan bersama dalam memutuskan suatu permasalahan dalam gereja dan keputusan itu melalui sinode yang dihadiri para pejabat gereja (para prebister)[1]
2.2. Latar Belakang dan Perkembangan Prebisterial Sinodal
            Pada dasarnya sistem prebisterial adalah suatu sistem pemerintahan gereja yangg muncul pada masa para rasul dan jemaat gereja mula-mula. Sesuai dengan namanya, sistem prebisterial ini berakar dari diperlakukannya jabatan presbuteros (tua-tua). Ketika jumlah orang yang percaya semakin banyak mulailah bermunculan masalah-masalah yang tidak bisa ditangani sendiri oleh para rasul. Untuk itulah ditunjuk orang-orang khusus untuk melakukan pelayanan ini. Para rasul mempersilahkan jemaat untuk memilih dari antara mereka sendiri. Para rasul hanya menetapkan jumlah dan syarat-syarat (Kis 6:3-5). Cara ini mengikuti tradisi pemilihan tua-tua dan hakim-shakim dalam perjanjian lama. Para tua-tua jemaat merupakan pelayan pelayan yang ditunjuk untuk membantu para rasul untuk mengawasi jemaat dan mengambil keputussan. Mereka juga ditunjuk untuk mengelola jemaat-jemaat lokal seperti Yudea (Kis 11:29-30). Dalam sejarah perkembangan sejarah pemerintahan gereja ini akhirnya dikembangkan Calvin menjadi sistem pemerintahan gereja Prebisterial sinodal, dimana dengan penambahan unsur sinodal di dalamnya menjadikan sistem pemerintahan gereja ini dalam pengambilan keputusan tertinggi berada dalam sidang sinode yang dilakukan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan[2] gereja calvinis mengembangkan apa yang sekarang kita sebut prebisterial sinodal.[3]
            Pada tahun 1559 di Paris dilangsungkan sidang sinode pertama bagi gereja-gereja Calvinis di Perancis. Disitu disepakati suatu satu konsep tata gereja “nasional”, yang kelak menjadi dasar bagi prebisterial sinodal. Tata gereja ini bertolak dari prinsip bahwa gereja protestan di Perancis  terdiri dari jemaat-jemaat. jemaat setempat, yang dipimpin oleh majelis jemaat merupakan unit terkecil dari gereja. Organisasi yang lebih luas didasarkan pada prinsip bahwa semua jemaat adalah sama, sehinnga tidak ada heirarki. Jemaat di suatu wilayah dihimpun dalam suatu sidang yang kemudian disebut klasis, sedangkan jemaat-jemaat di suatu provinsi membentuk suatu sinode provinsi. Kalau keadaan memungkinkan, sekali setahun diadakan sinode nasional yang mengatur dan menetapkan hal-hal yang bersifat umum dan mendasar, seperti misalnya tata gereja dan pengakuan gereja. Ada perkara-perkara yang harus dipercayakan pada badan atau instansi di atas (di luar) jemaat, tetapi cukup besar wewenang dan kebebasan jemaat untuk mengatur dirinya sendiri. Tata gereja ini disebut prebisterial sinodal karena semua keputusan jemaat diambil pada tingkat presbyterium sedangkan perkara perkara yang menyangkut kepentingan seluruh gereja dipurtuskan pada tingkat sinode, yang diikuti oleh wakil-wakil presbyterium dari jemaat.[4] memang disini mereka yang berwenang dipilih oleh anggota jemaat meskipun dalam praktik mungkin bahwa nama-nama calon disampaikan kepada jemaat untuk memenangkan mereka berdasarkan persetujuan.[5]
            Di lingkungan gereja protestan sedunia aliran atau denominasi calvinis anggota gereja penganutnya merupakan yang kedua terbesar di lima benua. Sebagian besar daripadanya, 173 organisasi gereja hingga tahun 1990, bergabung di World Aliance of Reformed Churches (WARC). Kendati di Indonesia tidak ada gereja yang memakai nama calvinis namun diantara 72 gereja anggota PGI (sampai dengan tahun 1994) sekurang-kurangnya separoh mengaku calvinisme. Kita ambil contoh: GPM, GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI (jabar, jateng dan jatim yang sejak agustus 1994 menyatakan bersatu), GKP, GKJ, GKJW, GKPB, GKS, GMIST,GKST, Gereja Toraja (rantepao maupun mamasa), GKSS, Gepsultra, GMIH, GKE.[6]
2.3.Ciri-Ciri Prebisterial Sinodal
1.      Titik tolaknya ialah jemaat (gereja) setempat.
      Jemaat gereja setempat adalah manifestasi dari gereja Kristen yang kudus dan am, yang kita akui dalam Apostolicum, karena itu ia adalah gereja dalam arti yang sesungguhnya. Sebagai gereja yang sesungguhnya ia komplit disitu berlangsung pemberitaan firman dan pelayanan sakramen, disitu berlangsung pelayannan pastoral dan disiplin, disitu berlangsung pelayanan diakonal dan pelayanan-pelayanan yang lain. Jemaat gereja setempat secara prinsipal mempunyai hak untuk mengrus keuangan dan harta miliknya sendiri.
2.      Pimpinan (pemerintahan) gereja dipercayakan kepada suatu majelis, yang beranggotakan pejabat-pejabat gerejawi.
      Angggota-anggota dari majelis ini yang biasanya disebut majelis jemaat (gereja) terdiri dari pendeta, sejumlah penatua dan diaken. Mereka semua adalah pejabat gerejawi. Pejabat-pejabat itu sama tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lain. Tiap-tiap anggota majelis jemaat (gereja) mempunyai tugasnya sendiri, yang dirumuskan dalam peraturan (ordonasi) jemaat atau gereja. Bersama-sama mereka –pendeta dan pengajar- “memanggil” (mengangkat dan menempatkan) pendeta-pendeta. Tugas penatua ialah menggembalakan anggota-anggota jemaat. bersama-sama mereka –pendeta dan penatua- memimpin jemaat adn menjalankan disiplin gerejawi. Tuga diaken ialah membantu orang-orrang sakit dan orang miskin. Bersama-sama sebagai pejabat-pejabat mereka bertanggung jawab atas pelayanan jemaat atau gereja.
3.      Selain daripada mejelis jemaat (gereja), masih ada sidang-sidang lain yang lebih luas bidang cakupannya.
      Sidang-sidang gerejawi ini umpamanya sidang klasis dan sidang sinode terdiri dari wakil-wakil dari majelis-majelis jemaat gereja, yang juga adalah pejabat-pejabat gerejawi. Bedanya dengan majelis jemaat ialah sidang-sidang gerejawi ini terdiri dari semua pejabbat gerejawi, yang berada dalam daerah pelayanan klasis atau sinode. Sidang-sidang gerejawi tidak mempunyai hak –kalau tidak diminta-untuk mencampuri pelayanan-pelayanan  atau persoalan-persoalan dari dari jemaat gereja setempat. Tetapi pada lain pihak hanya sidang-sidang gerejawi (yang lebih luas) yang mempunyai wewenang untuk membicarakan dan mengambil keputusan tentang hal hal yang umum yang menyangkut seluruh gereja. Selain daripada sidang majelis jemaat (gereja), sidang klasis dan sidang sinode, mereka juga mengenal sidang sinode daerah atau wilayah, sidang sinode am atau nasional dan lain-lain.
4.      Gereja mempunyai suatu kemandirian yang tertentu terhadap pemerintah.         Khususnya di bidang tugas dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi. Terjadi perpisahan antara gereja dan negara supaya pemerintah menghormati sifat yang khusus dari gereja dan mengakui hak-haknya.[7]
2.4.Prinsip-Prinsip Prebisterial Sinodal
1.      Imamat orang percaya
      Imamat am orang percaya sebagai imamat yang rajani haruslah berfungsi di dalam gereja. Bukan hanya pendeta, bukan hanya majelis yang menentukan baik buruknya suatu gereja, tapi semua anggota gereja wajib ikut tanggung jawab dan  di dalam sistem/susunan struktur gereja pun, peranan anggota gereja sebagai imamat am harus ada tempatnya .
2.      Jabatan-jabatan khusus
      Suatu organisme tidak dapat berjalan dngan baik tanpa ada pemimpin. Demikian juga gereja memerlukan pemimpin dalam arti pelayanan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki agar kedewasaan jemaat nyata dalam memilih pejabat-pejabat gereja. Pemilihan itu (pemilihan penetua dan diaken) dilakukan warga gereja sebagai jemaat Tuhan. Dengan demikian, pejabat yang terpilih dapat yakin bahwa ia telah dipilih jemaat dan dengan demikian dipilih Tuhan sendiri.[8]
3.      Kepemimpinan
      Pimpinan atau pemerintahan gereja oleh Kristus sebagai kepala dan Tuhannya: kepala dari tubuhnya dan Tuhan dari jemaatNya.
Pimpinan atau pemerintahan berlangsung oleh pekerjaan firman Tuhan dan Roh-Nya. Yang dimaksudkan disini dengan gereja ialah bukan saja gereja sebagai persekutuan, tetapi juga gereja sebagai institut dan lembaga. Pimpinan atau pemerintahan gereja itu Ia jalankan dengan perantaraan pejabat-pejabat gerejawi sebagai alat atau hamba-hamba-Nya.[9]
      Secara kolektif disebut majelis jemaat. pejabat-pejabat gerejawi ini bukanlah wakil-wakil dari jemaat melainkan orang-orang yang memegang jabatan itu atas nama Tuhan Yesus Kristus dan berhadapan dengan jemaat. setiap majelis jemaat memiliki kedudukan yang sama tidak ada seorangpun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Masing-masing mempunyai tugasnya sendiri.
4.      Kepenuhan dalam kesatuan (fulness in unity).
       Tiap-tiap jemaat yang dipimpin oleh majelis jemaat memiliki kemandirian penuh; tetapi pada saat yang sama setiap jemaat yang ada, berada dalam kesatuan dengan jemaat-jemaat lain dalam satu sinode sebagai satu kesatuan. Dalam sistem prebisterial sinodal semua keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan wewenag yang ada pada salah satu pihak
5.      Dalam sistem ini terdapat dua garis timbal balik antara jemaat-klasis-sinode wilayah-sinode am tetapi juga antara sinode am-sinode wilayah-klasis-jemaat. hubungan yang ada bukanlah yang bersifat hierarkis (dari atas ke bawah) melainkan lebih bersifat mengarah kepada kesatuan sebagai keluarga besar yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah keatas.[10]
2.5.Sistem Penataan/Pemerintahan Prebisterial Sinodal
            Bentuk prebisterian dari pemerintahan gereja sendiri melewati pemanggilan Alkitab yaitu  pemerintahan gereja oleh penatua/penilik,  para pejabat ini melaksanakan tanggung jawab mereka secara serempak dan pada paritas (kesepadanan) satu sama lain dan dengan perawatan dan pelayanan material dari gereja yang dirawat oleh diaken dibawah pengawasan paara penatua. Pemerintahan oleh penatua/penilik memiliki sejarah panjang dalam Alkitab. Musa, para imam dan orang lewi, para hakim, dan bahkan raja-raja israel, semuanya dibantu dalam pengaturan mereka terhadap orang Israel, dengan izin Allah, oleh “para penatua Israel” atau “para penatua sidang”. Praktik pemerintahan  oleh para penatua terus berlanjut ke dalam era perjanjian baru. Jemaat yang memilih penatua orang prebisterial percaya bahwa jemaat memilih para penatua oleh karunia dan rahmat yang diberikan oleh Roh kudus, sehingga pemilihan mereka adalah kehendak Kristus. Seperti yang dinyatakan Paulus dalam Kisah Para Rasul 20:28 Roh Kuduslah yang menempatkan orang-orang ini di jabatan penatua.  Jadi “dalam memilih pejabat, gereja tidak memberi mereka wewenang, tetapi mengakui otoritas dan panggilan Kristus” dan dari Dia mereka menerima otoritas mereka dan kepadaNya mereka bertanggung jawab. Ketika dia dipilih oleh orang-orang  tidak menyiratkan bahwa dia mendapatkan otoritas dari mereka. Oleh karena itu, mereka bukan deputi atau alat yang hanya melayani untuk melaksanakan keinginan rakyat, tetapi menangkap dan menerapkan secara cerdas hukum-hukum Kristus. gereja-gereja Kristen oleh diatur oleh dewan-dewan yang terdiri dari para penatua/penilik rohani yang akan dipilih oleh orang-orang dan yang kemudian mengawasi sidang mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Allah.[11]
            Prebisteri memiliki kekuasaan pengawas atas semua aktivitas keagamaan dalam batas-batasnya yang berarti ia melakukan fungsi-fungsi yang telah dimiliki. Dalam banyak hal, prebisteri menjalankan fungsi pengawasan meskipun para majelis gereja berkumpul melalui sistem panggilan prebisteri memiliki hak veto atas pendirian semua hubungan pastoral. Badan-badan pemerintahan yang lebih tinggi dari gereja memperoleh tertinggi adalah majelis umum yang dibuat setiap tahun terdiri dari sejumlah penatua yang setara (teaching elders and ruling elders)[12] Teaching elders berfungsu sebagaimana gembala sidang bekerja (oleh sebab itu pendeta juga disebut penatua). Ruling elders berfungsi dalam berbagai administrasi.[13] Badan pengatur yang tertinggi adalah majelis umum. Majelis umum bersifat menditail dan luas seperti ketentuan konstitusional yang mengatur gereja, masalah doktrinal, logistik organisasi untuk operasi gereja, keuangan, resolusi dan strategi misi. Banyak tawaran dibuat untuk setiap majelis umum, disortir menurut subjeknya dan dilaporkan kembali dengan rekomendasi (untuk melawan atau dengan modifikasi kemudian panitia memutuskan) dan jika musyawarah tidak selesai dalam waktu yang diberikan, diskusi sering ditunda sampai akhir pertemuan perbaikan. Majelis gereja harus mengadopsi pengukuhan (baik sebagaimana disampaikan atau direvisi) dan  mengirimkannya ke presbiteri untuk penerimaa atau penolakan mereka. Jika mayoritas presbiteri setuju, majelis umum berikutnya menyatakan perubahan yang efektif. Ini berarti bahwa hal-hal  yang mempengaruhi tata pemerintahan mendasar dari denominasi, pemimpin memiliki kekuatan yang sangat penting tetapi tidak menentukan. Namun prebisteri tidak bisa mengesampingkan majelis umum untuk membuat undang-undang tentang hal-hal prosedural. Majelis umum bertindak secara mayoritas dan tindakan tersebut menjadi kebijakan gereja. Ini disebut sinode dan juga menjadi aspek-aspek  yang membentuk tatanan dan dapat berubah pada sidang umum berikutnya. Sinode tidak  berurusan dengan masalah konstitusional sehingga fungsi mereka terutama untuk memajukan misi dan program kehidupan gereja.[14]

III.             Kesimpulan
      Sistem Prebisterial Sinodal adalah para Prebister yang mempunyai sikap hidup, pengakuan, visi dan arah yang sama dan juga bersidang dibawah kepemimpinan Roh Kudus dan Firman Tuhan atau suatu sistem yang mengatur gereja berdasarkan atas kesepakatan bersama dalam memutuskan suatu permasalahan dalam gereja dan keputusan itu melalui sinode yang dihadiri para pejabat gereja (para prebister). Dalam prebisterial sindodal para penatua dipilih oleh warga jemaat. keputusan gereja lokal diambil berdasakan kesepakatan bersama dalam sidang gereja lokal namun keputusan yang bersangkutan dengan seluruh gereja diambil berdasarkan kesepakatan bersama sidang sinode yang dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Dalam tidak ada hierarki yang ada adalah hubungan timbal balik dari bawah keatas dan dari atas kebawah.
IV.             Daftar  Pustaka
Abineno, J.L.Ch,  Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta:Gunung mulia, 2015
Akin,  Daniel, dkk, Perspectives On Church Government, Amerika, Broadman &        Holman, 2014
Aritonang,  Jan ., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta:BPK-         Gunung Mulia, 2013
Ginting,  E.P., Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal Info Media, 2009
Koffeman, Leo J., In Order To Serve, Germany: Lit Verlag GmbH & Co. KG Wien, 2014
Long,  Edward Leroy, Patterns Of Polity, Amerika: The Pilgrim Press Cleveland,         2001
Meliala, S. Jonathan & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, Jakarta:     Pranata Aksara, 2016
S, Jonar, Eklesiolohgi, Yogyakarta: ANDI, 2016Edward Leroy Long JR, Patterns       Of Polity, Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001




                [1] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, (Jakarta: Pranata Aksara, 2016), 44-47
                [2] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, 35-36
                [3] Leo J. Koffeman, In Order To Serve, (Germany: Lit Verlag GmbH & Co. KG Wien, 2014), 55
                [4] Jan . Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2013),70-71
                [5] Leo J. Koffeman, In Order To Serve, 55
                [6] Jan . Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2013), 52
                [7] J.L.Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta:Gunung mulia, 2015 ), 79-82
                [8] E.P.Ginting, Apakah Hukum Gereja, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 70-73
                [9] J.L.Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta:Gunung mulia, 2015 ), 79
                [10] S. Jonathan Meliala & Berthalyna Br. Tarigan, Prebisterial Sinodal, (Jakarta: Pranata Aksara, 2016), 88-89
                [11] Daniel Akin, dkk, Perspectives On Church Government, (Amerika, Broadman & Holman, 2014), 93-95
                [12] Edward Leroy Long JR. Patterns Of Polity, (Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001), 67-68, 72
                [13] Jonar S, Eklesiolohgi, (Yogyakarta: Andi, 2016), 129
                [14] Edward Leroy Long JR, Patterns Of Polity, (Amerika: The Pilgrim Press Cleveland, 2001),72-73
Share:

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS