Kitab Kidung Agung

 Kidung Agung

I.                   Pendahuluan
Kitab Kidung Agung adalah jenis kitab puisi cinta. Kitab Kidung Agung terkenal satu-satunya buku yang romantis dalam Alkitab. Kitab Kidung Agung mencermikan kisah percintaan sebagai lambang hubungan anatara Allah dengan umat-Nya. Kitab ini berisi sanjak percintaan dan nyanyian yang bersahut-sahutan. Kidung Agung memberikan penghargaan yang tinggi terhadap cinta yang merupakan satu wujud dari berkat Allah atas manusia.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Kitab Kidung Agung
Kitab Kidung Agung adalah salah satu kitab yang sering diperdebatkan dalam pembacaan dan penafsirannya. Dalam bahasa Ibrani disebut syir hassyirim yang arti sebenarnya melampaui arti lagu atau nyanyian. Istilah syir hassayirim adalah nyanyian yang terindah (song of song) “lagu di atas segala lagu”.[1] Kitab Kidung Agung berisi sanjak-sanjak percintaan. Sebagian besar berupa nyanyian bersahut-sahutan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Nyanyian ini sering diartikan oleh orang Yahudi sebagai gambaran hubungan Allah dengan umat-Nya, dan diartikan pula oleh orang Kristen sebagai lambang hubungan antara Kristus dan jemaat.[2]
Kitab Kidung Agung (Syirul’Asyar, Song of Song) termasuk dalam kumpulan Lima Megillot (lima kitab yang dibacakan secara khusus pada lima hari besar keagamaan Israel). Kidung Agung dibaca pada hari raya Paskah, hari besar agama Yahudi yang penting yaitu mengenang peristiwa keluaran bangsa Israel dari perbudakan Mesir.[3]

2.2. Latar Belakang Kitab Kidung Agung
Kesejajaran atau kiasan sejarah yang jelas tidak dijumpai dalam Kidung Agung. Dalam pemerintahan Salomo secara umum (sekitar tahun 970-930 SM), tidak ada yang dapat dikemukakan tentang latar belakang sejarah kitab ini. Kemungkinan besar syair cinta tersebut mencerminkan kejadian-kejadian nyata yang berhubungan dengan pemerintahan Salomo dan mungkin juga kejadian-kejadian yang ada di kitab Kidung Agung diringkas oleh para sejarahwan Perjanjian Lama dalam I Raja-Raja 3-11 dan II Tawarikh 1-9. Keberadaan Salomo yang dikuasai oleh sensualitas dan kemewahan yang berlebih-lebihan selama pemerintahannya sebagai raja ternyata mengakibatkan kehancurannya (I Raj. 4:20-28; 10:14-29). Ironisnya, orang bijaksana yang menasehati kaum muda untuk menjauhi tipu muslihat perempuan “jalang” justru terjebak sendiri olehnya (Amsal 5:1-23).[4]
2.3. Penulis, Waktu dan Tempat Penulis Kitab Kidung Agung
2.3.1.      Penulis
Menurut tradisi Kidung Agung ditulis oleh Salomo. Kata lisylomo yang secara harfiah berarti “untuk Salomo” atau dengan gaya Salomo. Keahlian Salomo sebagai penulis Kidung Agung sudah dikenal dari I Raja-Raja 4:32 (bnd. Mazmur 72; 127), namun hubungannya dengan kidung cinta ini tidak jelas.[5]
Tradisi Yahudi menyakini bahwa penulis kitab ini adalah raja Salomo dan penerimaan kitab ini dalam kanon kitab suci besar kemungkinan karena hubungannya dengan raja yang bijaksana ini. Ada beberapa alasan yang mendasari pandangan ini :
1.      Ada beberapa kesaksian yang menunjuk pada salomo, kemudian kata lisylomo (untuk Salomo) sering diakui sebagai milik salomo.
2.      Pengalaman cinta kasih dalam perkawinan, dia memiliki banya istri dan selir.
3.      Ada kesan bahwa Israel pada waktu itu masih dalam satu kesatuan sebagai bangsa, dimana masih ada nama-nama kota di wilayah Israel Utara/Palestina (Saron 2:1, Libanon 3:9, Amana, Hermon, Damsyik 7:4, Karmel 7:4). Ini hanya mungkin jika ditulis zaman Salomo.[6] Kesimpulannya, walaupun mungkin bukan Salomo penulisnya namun mencerminkan pemikiran dan zaman Salomo.
2.3.2.      Waktu Penulis
Sulit memastikan soal waktu penulisannya tetapi penyuntingan dapat dipastikan sesudah Salomo yaitu zaman Nehemia (± 350 sM) sebab ada pengaruh bahasa Aram.[7] Menurut pendapat Schonfield, kitab ini ditulis pada masa Persia, atau lebih tepat antara masa Nehemia dan tahun 350 sM.[8]
2.3.3.      Tempat Penulis
Latar kisah ini terletak di kerajaan utara pada masa awal perpecahan kerajaan. Seorang sarjana yang menggunakan pendekatan yang berhubungan dengan tipologi atau kultus akan menekankan ciri-cri linguistik (seperti pengaruh bahasa Aram, Persia dan Yunani) dan sarana “fiksi sastra” dalamsyairnya, yang menggambarkan Salomo sebagai “kekasih yang agung”, dan menyimpulkan bahwa kitab ini seharusnya ditarikhkan pada periode Persia. Bukti sastra, sejarah, dan linguistik menunjuk bahwa tempat penulisan kitab di kerajaan Utara.[9]
2.4. Tujuan Penulisan Kitab Agung
Kitab ini diilhamkan oleh Roh Kudus dan dimasukkan ke dalam Alkitab untuk menggarisbawahi asal-usul ilahi dari sukacita dan martabat kasih manusia di dalam pernikahan. Kitab kejadian menyatakan bahwa seksualitas manusia dan pernikahan mendahului kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej 2:18-25). Walaupun dosa telah menodai bidang pengalaman manusia yang paling penting ini, Allah ingin kita tahu bahwa pernikahan itu bisa murni, sehat, dan indah. Karena itu Kidung Agung, memberikan model yang bersifat memperbaiki di antara dua ekstrem dalam sejarah :
1.      Peninggalan kasih pernikahan untuk perilaku seksual yang tidak wajar (yaitu hubungan homoseksual atau lesbian) dan hubungan heteroseksual sepintas di luar pernikahan.
2.      Pertapaan yang sering kali secara keliru di anggap pandangan Kristen terhadap seks, yang menyangkal kasih jasmaniah di dalam hubungan pernikahan.[10]


2.5. Struktur Kitab Kidung Agung[11]
a.       Dua kekasih yang saling merindukan (ps 1)
b.      Mempelai Perempuan Menanti pasangannya (ps 2-3)
c.       Mempelai laki-laki memuji pasangannya (ps 4-5)
d.      Kegelisahan tanpa kehadiran pasangan (ps 6)
e.       Kenikmatan cinta (ps 7)
f.       Cinta kuat seperti maut (ps 8)

2.6. Ciri-ciri Khas Kitab Kidung Agung
Empat ciri utama menandai kitab ini :
1.      Inilah satu-satunya kitab Alkitab yang khususnya membahas kasih unik di antara dua orang mempelai. Seluruh kitab ini melukiskan masa bercumbu-cumbuan dan kasih pernikahan, khususnya kebahagiaan orang yang baru menikah.
2.      Kitab ini merupakan karya satra akbar yang penuh dengan kiasan sensual yang sopan, terutama diambil dari alam. Aneka metafora dan bahasa deskriptif melukiskan perasaan, kuasa, dan keindahan dari kasih pernikahan yang romantis, yang dipandang murni dan suci pada zaman Alkitab.
3.      Kitab ini termasuk salah satu dari sejumlah kecil kitab PL yang tidak dikutip atau disinggung dalam PB.
4.      Merupakan satu dari dua kitab PL yang tidak secara jelas menyebutkan Allah (sekalipun beberapa naskah berisi petunjuk kepada “Tuhan” dalam 8:6).[12]

2.7. Tema-tema Teologi Kitab Kidung Agung[13]
1.      Kidung Agung adalah kitab yang menceritakan hubungan cinta kasih dengan sangat terbuka dan dalam (erotis) antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Hubungan Erotis adalah simbol hubungan antara Allah dengan umatNya.
2.      Cinta kasih dalam kitab ini adalah cinta kasih antara pasangan laki-laki dengan perempuan yang mendorong keharmonisan dalam sebuah keluarga melalui pertumbuhan cinta kasih antara suami dan istri.
3.      Ada yang menentang dua hal yang berhubungan dengan cinta yaitu perbuatan seksual yang berlebihan dan menyangkal kebaikan cinta jasmani.
4.      Kidung agung bukan hanya menggambarkan tentang cinta kasih manusia tetapi mengingatkan kita akan adanya cinta yang lebih murni yaitu cinta kasih Allah.

2.8. Ayat Menarik Kitab Kidung Agung
Taruhlah aku seperti materai pada hatimu, seperti materai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api TUHAN! Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina (Kidung Agung 8:6-7). Di dalamnya ada garis lembut cerita, yang membangun klimaks yang diungkapkan dengan kata-kata hikmat dalam 8:6, karena cinta kuat seperti maut.
III.             Refleksi Teologis
Kidung Agung 2:16, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaaku”. Yang artinya bahwa cinta kedua orang kekasih itu satu sama lain adalah sejati dan bersifat monogami. Tidak ada kerinduan atau tempat untuk orang lain. Di dalam pernikahan juga haruslah demikian, harus ada kasih dan komitmen sedemikian rupa kepada satu sama lain sehingga kesetiaan kepada pasangan menjadi yang terpenting di dalam hidup kita. Dalam Ibrani 13:4 “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” yang artinya kita harus mengendalikan diri dan menjauhi segala tindakan dan ransangan seksual yang dapat menajiskan kemurnian seseorang di hadapan Allah. Kata ini juga menekankan agar menahan diri dari segala tindakan dan pikiran yang merangsang keinginan yang tidak selaras dengan keperawanan ataupun janji nikah janji nikah seseorang. Hal itu termasuk menguasai tubuh kita sendiri dan “hidup dalam pengudusan dan penghormatan” (1 Tes 4:4), dan bukan “di dalam keinginan hawa nafsu” (1 Tesalonika 4:5).
IV.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan, bahwa kitab Kidung Agung merupakan suatu pelajaran, suatu perumpamaan luas yang menggambarkan keajaiban dan kekayaan cinta manusia yang merupakan pemberian kasih Allah, meskipun bahasanya terang-terang. Kidung agung bukan hanya menggambarkan tentang cinta kasih manusia tetapi mengingatkan kita akan adanya cinta yang lebih murni yaitu cinta kasih Allah. Kitab Kidung Agung banyak menceritakan tentang cinta seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang dimana cinta seorang laki-laki dan seorang perempuan itu menggambarkan cinta kasih Allah kepada umatNya. Walaupun dosa telah menodai pengalaman manusia yang paling penting Allah ingin kita tahu bahwa pernikahan itu bisa murni, sehat, dan indah.
V.                Daftar Pustaka
Saragih, Agus Jetron, Kitab Ilahi, Medan : Bina Media Perintis, 2016.
Baker, David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015.
Blommendaal,J., Pengantar Perjanjian Lama,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2016.
Hill, Andrew E., Jhon H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Jawa Timur : Gandum Mas, 2008.
Lasor, W.S., D.A. Hubbard & F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama II,Jakarta : Gunung Mulia, 2012.
tnp, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang : Gandum Mas, 2008.



[1] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, (Medan : Bina Media Perintis, 2016), 149
[2] David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015), 86
[3] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, 149
[4] Andrew E. Hill & Jhon H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Jawa Timur : Gandum Mas, 2008), 491
[5] W.S. Lasor, D.A. Hubbard & F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama II, (Jakarta : Gunung Mulia, 2012), 167
[6] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, 150
[7] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, 151
[8] W.S. Lasor, D.A. Hubbard & F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama II, 168
[9] Andrew E. Hill & Jhon H. Walton, Survei Perjanjian Lama, 491
[10] tnp, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Malang : Gandum Mas, 2008), 1026
[11] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, 154
[12] tnp, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, 1026
[13]Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi, 154
Share:

GEREJA MULA-MULA


GEREJA MULA-MULA

 ( Dalam Konteks Religio Illicito)

I.              PENDAHULUAN
Sejarah Gereja ialah kisah tentang perkembangan-perkembangan dan pembaharuan-pembaharuan yang dialami oleh Gereja selama di dunia ini. Yaitu kisah tentang permulaan ajaran Injil dengan bentuk-bentuk yang kita pakai untuk mengungkapkan Injil itu. Kata “gereja” melalui kata Portugis igreja, berasal dari kata Yunani ekklesia. Selain itu, dalam bahasa Yunani ada satu kata lain yang berarti “gereja” yaitu kuriakon yang artinya rumah Tuhan. Dalam bahasa Inggrisnya church dan Belanda kerk yang berasal dari kata Yunani itu.  Ekklesia berarti, mereka yang dipanggil. Yang pertama dipanggil oleh Kristus ialah para murid, Petrus dan yang lain-lain. Sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga dan pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, para murid itu menjadi “rasul”, artinya “mereka yang diutus”. Rasul-rasul diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah gereja Kristen.[1] Dari pengertian tentang gereja tersebut, pada kesempatan ini, akan dibahas Gereja Mula-Mula serta kedudukan Gereja sebagai Religio Illicito dan sebagai Religio Licito di wilayah Kekaisaran Romawi. Melalui sajian ini, semoga dapat menambah wawasan kita bersama..

II.           PEMBAHASAN
2.1         Sekilas Mengenai Gereja Mula-Mula
Hari kelahiran Gereja ialah hari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Keadaannya nampaknya seperti mazhab Yahudi saja, karena mula-mula orang Kristen masih mengunjungi Bait Allah dan rumah ibadat serta taat kepada taurat Musa. Walaupun demikian, nyata juga perbedaan besar antara orang Kristen Yahudi ini dengan kawan sebangsanya, karena mereka percaya dan mengajarkan bahwa Yesus dari Nazaret ialah Mesias yang dijanjikan itu. Dengan demikian taurat, Bait Allah dan sinagoge lambat laun kurang penting bagi kaum Kristen.[2]
Pada masa Gereja mula-mula, Gereja lahir dan berkembang terbagi atas 2 negara besar, yaitu kekaisaran Roma dan kekaisaran Persia, dan perang kekaisaran Roma Kekristenan mengalami tekanan serta aniaya, namun Kekristenan justru semakin berkembang.[3]
Dalam buku Berkhof dengan judul Sejarah Gereja mengatakan bahwa jemaat yang mula-mula itu bersifat komunis berhubung dengan penjualan harta benda yang hasilnya dibagi-bagikan di antara semua saudara sesuai dengan keperluan masing-masing (Kis. 2:44).
Pada masa itu tak sedikit orang Kristen yang diberi Tuhan rupa-rupa “karunia oleh Roh Allah” seperti karunia menyembuhkan orang sakit, mengadakan mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (glosolalia), yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak, tetapi yang perlu diterangkan maknanya (1 Kor. 12:10). Dalam sejarah Gereja dapat kita lihat bahwa pada abad-abad kemudian juga orang ada yang di anugerahi karunia semacam itu (1 Kor. 14).[4]
Pola ibadah jemaat mula-mula tidaklah jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Gereja saat ini. Mereka mengadakan pertemuan pada hari minggu, hari kebaktian, bukan hari sabtu (sabat orang yahudi). Dalam pertemuan itu mereka merayakan ekaristi, mempelajari kitab suci, berdoa dan menyanyikan lagu pujian. Dan biasanya mereka mengadakan pertemuan pagi-pagi sekali, mereka membaca kitab nabi-nabi yahudi dan tulisan para rasul serta para penginjil. Mereka juga mengadakan berdoa bersama bagi mereka yang membutuhkan dan mereka yang sakit, dengan menyanyikan lagu pujian bagi Kristus.
Dalam abad mula-mula jemaat Kristen terlebih yang di kota-kota mempunyai jemaat yang lebih banyak. Diakibatkan penyebaran Injil mengikuti lalu lintas raya. Berhubungan dengan itu penginjilan di Timur tidak diselenggarakan oleh orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani. Bahkan, orang-orang Yahudi Kristen Syria dan Palestina. Itulah sebabnya sehingga dalam beberapa hal Kekristenan di Syria Timur dan di Mesopotamia adalah Edessa. Pada tahun 179 Raja Edessa masuk ke Kristen, sehingga Edessa merupakan negara Kristen yang pertama.[5] Salah seorang yang menjadi penginjil di sebelah Timur adalah Addai. Penginjil inilah yang kemudian menahbiskan uskup Kristen yang pertama di kota Mesopotamia, dari sanalah Injil menyebar ke arah Timur dan Tenggara. Maka pada zaman ini sudah timbul cara yang berbeda untuk mengungkapkan keselamatan yang diberikan Allah di dalam diri Yesus Kristus.[6]

2.2         Kedudukan Gereja Sebagai Religio Illicito
Gereja mula-mula dalam konteks Religio Illicito (Agama yang belum sah) pada tahun 33 Kehidupan Gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul memperoleh kesan bahwa Injil  tersebar dari Yerusalem menuju dunia mencapai Roma. Kota Alexandria di Mesir telah lama menjadi pusat koloni orang-orang Kristen. Di Kirenchester ditemukan sisa-sisa tulisan yang berbahasa latin, yang berisi dua kata pertama dari Doa Bapa Kami, dan keterangan ini menunjukkan bahwa penyebaran Injil tidak hanya menurut satu jalur Yerusalem dan Roma. Pada masa ini kebaktian jemaat Kristen belum mempunyai gedung-gedung Gereja, anggota-anggotanya berkumpul di rumah salah seorang diantara mereka, atau juga ruang lain yang tersedia. Di dalam kebaktian ada pembacaan firman dari surat-surat rasuli, lalu dari PL yang berlangsung cukup lama. Kemudian dinyanyikan salah satu mazmur.
Pada masa ini, alat musik tidak ada sebab dianggap tidak pantas dipakai dalam kebaktian, yang ada ialah seorang chantol, yaitu seorang biduan pemimpin. Dia dan jemaat menyanyikan mazmur bersahut-sahutan. Setelah itu, uskup berkhotbah ia tidak berdiri tetapi duduk diatas kursi yang cukup tinggi.[7] Namun pada masa ini Gereja mulai memperkembangkan bentuk organisasi, liturgi dan teologia meskipun banyak hambatan dan ancaman yang dihadapi oleh Gereja. Bentuk organisasi atau tata Gereja dikembangkan Gereja berdasarkan organisasi yang terdapat di rumah-rumah ibadah ataupun di masyarakat. Namun seiring dengan bertumbuhnya tata Gereja di tempat-tempat tertentu rakyat mulai menyiksa dan menganiaya kaum Kristen. Banyak orang Kristen mati Syahid karena ancaman-ancaman dari sistem pemerintahan kaisar Romawi. Akan tetapi, akibatnya adalah Gereja tidak hilang, melainkan bertambah anggotanya, sebab keberanian iman yang diperlihatkan para Syahid sangat mengesankan.[8]

2.3         Tantangan dan Hambatan Gereja
a.             Godaan Dari Pihak Gnostik
Kata gnostik ini berarti “pengetahuan” tetapi di sini dimaksudkan suatu “hikmat tinggi” yang berahasia dan tersembunyi tentang asal dan tujuan manusia. Pada zaman itu banyak orang terpelajar mengejar hikmat tinggi itu dengan giat, sebab akal sanubarinya kurang dipuaskan oleh agama biasa yang mudah dipahami. Gnostik menganggap berita Injil itu terlampau sederhana. Hikayat-hikayat yang terang isinya dan ajaran Gereja yang mudah dimengerti kurang digemari oleh pihak Gnostik sehingga mereka mencari suatu hikmat yang lebih dalam, lebih indah dan penuh rahasia. Oleh sebab itu mereka mulai menafsirkan Injil secara alegoris, tetapi dengan demikian “kebodohan salib” ditukarkankannya dengan “hikmat dunia” (1 Kor. 1:18-25).
b.             Dari Pihak Marcion
Marcion ialah seorang kaya di bandar Sinope di pesisir Laut Hitam, dan ada usaha perkapalannya di daerah itu. Tetapi ia meninggalkan kota itu untuk menyebarkan kemana-mana di dalam Gereja pandangan-pandangannya yang baru tentang Injil. Akan tetapi, Gereja menolak ajarannya, pada tahun 144 ia dikucilkan oleh jemaat Roma. Marcion sangat bersemangat dan seorang organisator yang cakap. Ia membentuk sebuah Gereja Baru (Gerejanya Sendiri), yang berkembang dengan cepat, sehingga beberapa puluh tahun kemudian hampir sama besarnya dengan Gereja Katolik. Barulah pada abad ke V Gereja Marcion berangsur-angsur lenyap, oleh karena perlawanan dari negara, yang menghendaki satu Gereja Kristen. 
c.              Dari Pihak Montanisme
Salah benar ajaran Montanus bahwa Roh Tuhan mengaruniakan pernyataan baru lagi, yang lebih tinggi dan sempurna daripada pernyataan Tuhan dalam Alkitab. Injil saja sudah cukup, sehingga tak perlu ditambah lagi. Jikalau jemaat Kristen mengasingkan diri supaya boleh mengarahkan pikirannya kepada kedatangan Kristus saja, tak dapat tidak jemaat mengabaikan tugasnya di dalam dan untuk dunia ini. Gereja tak boleh menjadi sekta, yang hanya mengutamakan kesalehan dan keselamatannya sendiri saja, tetapi ia terpanggil untuk memasyhurkan Injil kepada semua manusia di tengah-tengah masyarakat.[9]

2.4         Senjata-Senjata Gereja
1.             Kanon
Gereja mempunyai sebuah kitab saja yang menjadi kanon (yaitu ukuran atau kaidah) bagi kepercayaan dan kehidupan anggotanya, yaitu Perjanjian Lama. Segala cerita Lisan dan tulisan mengenai Tuhan sangat berkuasa dalam Gereja. Gereja dalam melawan sekta-sekta yang telah mengumpulkan banyak gnostik dan marcion surat-surat kudus yang menjadi kanonnya, Gereja membuat suatu penetapan kanon. Gereja menyatakan bahwa masa penyataan Tuhan telah diakhiri dengan Perjanjian Baru.
2.             Pengakuan
Pengakuan yang tertua hanyalah mengenai Kristus: “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor. 12:3). Pengakuan ini kemudian ditambah dengan keterangan-keterangan mengenai Kristus, seperti yang nyata dalam Roma 1:3, berikutnya hal-hal mengenai keselamatan ditambah juga sehingga perkembangan tersebut menjadi “Keduabelas Pasal Iman”.
Pengakuan keduabelas Pasal Iman itu erat hubungannya dengan Alkitab dan selalu dijelaskan tentang rasul-rasul. Sebab itu timbullah nama “Pengakuan Iman Rasuli”.
3.             Pewarisan Jabatan Rasuli
Pemimpin-pemimpin Gereja menunjuk jemaat kepada uskupnya yang dipilih dengan jalan yang sah. Dia sajalah yang sanggup memberi keputusan tentang segala masalah, yang mengharu-birukan jemaat karena khotbah dan pengajaran semua sekta dan nabi palsu itu.[10]

2.5         Tindakan Pemerintah Romawi terhadap kaum Kristen
a.             Kaisar Nero (54-68 M)
Kaisar Nero merekayasa suatu kejahatan berupa pembakaran kota Roma, yang dituduhkan secara keji sebagai perbuatan kaum Kristen. Akibatnya, banyak orang Kristen yang ditangkap, serta dianiaya dengan siksaan yang kejam dan akhirnya dibunuh.
b.             Kaisar Domitianus (81-96 M)
Kaisar Domitianus menganiaya kaum Kristen karena dia takut terhadap persaingan dalam bentuk apapun. Tatkala sang penguasa menuntut rakyat untuk mengakui dirinya dominus et deus (tuhan dan allah), kaum Kristen tegas menolak, sehingga banyak diantara mereka yang dihukum mati syahid.
c.              Kaisar Aurelius (161-180 M)
Kaisar Aurelius menganiaya kaum Kristen karena dia berpihak kepada kepentingan aliran Stoa.
d.             Kaisar Decius (249-251 M)
Kaisar Decius menganggap bahwa semakin bertambah banyaknya orang Kristen merupakan ancaman terhadap ketentraman kekaisaran. Decius adalah kaisar pertama, yang mengadakan penganiayaan secara besar-besaran terhadap orang-orang Kristen, yaitu meliputi seluruh wilayah kekaisaran.
e.              Kaisar Diocletianus (284-305)
Kaisar Diocletianus menganiaya kaum Kristen karena khawatir bahwa mereka akan bersikap tidak loyal, sehingga dia menganggap mereka akan menghambat pembaruan dan pembangunan negeri. Dia telah memerintah suatu penganiayaan yang paling dahsyat sepanjang sejarah Gereja Lama. Pejabat-pejabat dan para penguasa di setiap wilayah kekaisaran diperintahkan untuk membakar kitab-kitab suci kaum Kristen, menghancurkan tempat peribadahan mereka, mengejar-ngejar mereka, mengadili serta membunuh siapa pun yang tidak bersedia untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa.[11]

2.6         Tokoh-Tokoh Gereja Pada Masa Religio Illicito
1.             Polikarpus
Polikarpus dilahirkan sekitar tahun 69. Polikarpus bekerja sebagai uskup di jemaat Smirna, Asia kecil pada pertengahan abad ke 2. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki iman yang teguh dan hidupnya sangat sederhana. Sebagai seorang uskup, ia berhadapan juga dengan kelompok Marcion, Ia menyebutnya sebagai anak sulung iblis. Pada tahun 154 Polikarpus pergi ke Roma untuk menyelesaikan pertikaian tentang perayaan Paskah dengan jemaat Roma. Polikarpus diterima dengan hormat oleh Anicetus, uskup Roma. Ia memperoleh persetujuan dari Anicetus bahwa jemaat-jemaat di Asia kecil boleh meneruskan kebiasaan mereka dalam merayakan Paskah pada 14 bulan Nissan.
Tidak lama sesudah kembali dari Roma Polikarpus ditangkap dan digiring ke Roma. Ia diminta oleh kaisar supaya menyangkal Kristus serta mengutuk Kristus, namun ia tidak mau. Sampai tiga kali kaisar bertanya kepadanya apakah ia mau mengutuk Kristus agar sang uskup dilepaskan dari hukuman mati namun ia secara tegas dan teguh iman kepada Kristus menjawab perkataan sebagai berikut “ aku telah melayani Kristus 86 tahun lamanya, namun belum pernah sekalipun ia berbuat jahat kepadaku, bagaimana aku dapat mengutuk Kristusku? Juruselamatku?”. Kemudian Polikarpus dibakar dan disiksa, sisa tubuhnya dibawa dan dikuburkan di Smirna.[12]
2.             Irenaeus
Irenaeus adalah salah seorang Bapak Gereja Timur yang terpenting pada abad ke 2. Masa mudanya ia habiskan di Asia kecil, ia biasa mendengar khotbah-khotbah dari Polikarpus dan diperkirakan ia lahir sekitar tahun 115 sampai tahun 125. Setelah dewasa ia menjadi Presditer di Lyons. Irenaeus adalah seorang pembela kesatuan Gereja. Ajaran dan aliran sesat dilawannya dengan keras. Tulisannya yang sangat terkenal adalah /adversus haeresias (melawan aliran-aliran sesat).[13]

2.7         Dampak Penganiayaan Terhadap Kehidupan Orang Kristen
Banyak orang Kristen yang setia hingga kematian dan melakukan perbuatan herois. Irenaeus mengatakan bahwa Gereja, disebabkan oleh kasihnya kepada Allah, mereka diutus ke segala tempat dan pada setiap waktu untuk menjadi martir bagi Bapa.
Philip Schaff, seorang ahli sejarah Gereja mengatakan bahwa pentingnya kesyahidan itu di dalam Gereja-gereja lama tidak diukur dari jumlah korban ataupun kejamnya siksaan terhadap mereka, melainkan lebih utama pada kesaksian mereka yang menentang kegelapan sehingga dengan demikian mereka telah mempertahankan Kekristenan dari pemusnahan.[14]

2.8         Kedudukan Gereja Sebagai Religio Licito
Masa Religio Licito (Agama yang sudah sah) adalah masa dimana Gereja dan Kristen diakui sebagai Gereja dan Agama negara Romawi. Diakuinya Gereja Religio Licito diawali dengan pertempuran yang terjadi antara Konstantinus, seorang prajurit Roma yang ada di Inggris dan Prancis. Pada tahun 313, kaisar Konstantinus Agung ketika ia berada di kota Milano, Italia mengeluarkan edik (surat perintah) yang disebut edik Milano. Dalam edik ini diberi kebebasan kepada warga negara Romawi untuk menganut agama Kristen. Dengan Edik Milano ini mulailah periode baru bagi Gereja, Gereja dapat berkembang dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain. Lambat laun Gereja mulai memperoleh bantuan dan hak-hak istimewa dari pemerintah. Hak para uskup mengatur Gereja diakui dan dihormati oleh negara. Konstantinus Agung telah menaruh perhatian besar bagi Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea.[15]
Keadaan ini menjadi hukum negara pada tahun 380 waktu kaisar Theodosius mengeluarkan edik. Dalam edik theolosius agama Kristen dijadikan agama negara dan semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota Gereja Katolik. Akibat perkembangan ini bagi Gereja adalah sangat positif, karena kebebasan dan dukungan yang diberikan negara Gereja dapat maju dan mekar. Pada pihak lain juga ada akibat negatif yaitu dibukanya kesempatan bagi negara untuk campur tangan dalam hal-hal Gereja. Gereja disamping lembaga Rohani juga menjadi kuasa politik. Demikian juga uskup bukan tokoh Rohani saja tetapi sekarang juga diberi peran politik. Jumlah anggota Gereja bertambah besar tetapi yang masuk Kristen tidak semua didorong lagi karena keyakinan murni, ada juga yang menjadi anggota Gereja karena wajib atau karena karir.[16]

2.9         Tokoh-Tokoh Gereja Pada Masa Religio Licito
1.             Augustinus
Augustinus adalah teolog Kristen yang terbesar setelah rasul paulus, ia juga adalah sang Bapa Gereja barat. Aurelius augustinus lahir di tagaste tahun 354. Ayahnya bernama patricius seorang kafir dan ibunya bernama monika seorang Kristen Katolik. Dia memulai pendidikannya di tagaste dan kemudian belajar retorika dan filsafat chartago. Setelah belajar di chartago augustinus kembali ke kota kelahirannya dan menjadi Guru retorika disana. Tahun 372, dia pindah ke chartago dan menjadi retorika disana. Augustinus mengalami pergumulan yang hebat yaitu keinginan untuk mencari kebenaran yang sejati dan memberikan kepadanya suatu kedamaian hidup.
Ada dua karya penting Augustinus yaitu antara tahun 399 dan 419 ia menulis karya yang terbesar di bidang dogmatika: De Trinitate (Trinitas), di dalamnya ia menyimpulkan semua pandangan para Bapa Gereja terdahulu dan ia menyajikan ajaran ketritunggalan secara sistematis. Yang kedua antara tahun 413 dan 427 augustinus menulis karyanya yaitu De Civitate Bei (Kota Allah) yang pertama ia mengemukakan bahwa para ilah kafir pada hakikatnya gagal memberi harta surgawi. Pada bagian kedua augustinus menelusuri sejarah sejak penciptaan hingga kekekalan dan dua kota atau masyarakat yang berbeda: yaitu kota Allah dan kota iblis. Kota itu adalah dua kelompok manusia yang berbeda karena cinta yang berbeda. Kasih kepada Allah melawan cinta kepada diri sendiri, cinta akan hal yang baka melawan cinta akan hal yang fana. [17]
2.             Origenes
Origenes lahir sekitar 185 dari keluarga Kristen di Aleksandria. Ia mengabdikan diri sepenuhnya dengan hidup sederhana dan tidak melupakan imannya.  Demetrius, uskup Aleksandria, mengangkatkatnya sebagai kepala sekolah katekisasi (tempat mereka yang ingin dibaptis dan diberi pengajaran).
Akan tetapi, ia akhirnya bertengkar dengan Demetrius, yang ingin memperluas kekuasaannya sebagai uskup. Origenes pindah ke Kaisarea di Palestina, tempat ia melanjutkan pekerjaannnya dan sangat dihormati. Pada zaman penganiayaan Decius, ia di penjara dan disiksa dengan harapan bahwa ia akan menyangkal imannya. Beberapa tahun kemudian, ia meninggal karena luka-lukanya.[18]

III.        KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dikatakan Gereja mula-mula sebab Hari kelahiran Gereja ialah hari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Murid-murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan percaya kepada Yesus Kristus, dan di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Pada masa Gereja mula-mula, Gereja lahir dan berkembang terbagi atas 2 negara besar, yaitu kekaisaran Roma dan kekaisaran Persia, dan perang kekaisaran Roma Kekristenan mengalami tekanan serta aniaya, namun Kekristenan justru semakin berkembang. Dalam abad mula-mula jemaat Kristen terlebih yang di kota-kota mempunyai jemaat yang lebih banyak. Diakibatkan penyebaran Injil mengikuti lalu lintas raya.
Kedudukan Gereja Sebagai Religio Illicito, ataupun kedudukan Gereja pada masa itu belum diakui secara sah. Banyak orang Kristen mati Syahid karena ancaman-ancaman dari sistem pemerintahan kaisar Romawi. Akan tetapi, akibatnya adalah Gereja tidak hilang, melainkan bertambah anggotanya, sebab keberanian iman yang diperlihatkan para Syahid sangat mengesankan yang tetap mempertahankan keyakinannya kepada Tuhan. Sehingga Pada tahun 313, kaisar Konstantinus Agung ketika ia berada di kota Milano, Italia mengeluarkan edik (surat perintah) yang disebut edik Milano. Dalam edik ini diberi kebebasan kepada warga negara Romawi untuk menganut agama Kristen. Dengan Edik Milano ini mulailah periode baru bagi Gereja, Gereja dapat berkembang dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain atau dikatakan juga Gereja yang kedudukannya sebagai Religio Licito (kedudukan Gereja yang sudah diakui secara sah). Lambat laun Gereja mulai memperoleh bantuan dan hak-hak istimewa dari pemerintah. Hak para uskup mengatur Gereja diakui dan dihormati oleh negara. Konstantinus Agung telah menaruh perhatian besar bagi Gereja, memulihkan harta, menyumbangkan uang serta mengadakan konsili-konsili Gereja di Arles dan Nicea. Keadaan ini menjadi hukum negara pada tahun 380 waktu kaisar Theodosius mengeluarkan edik. Dalam edik theolosius agama Kristen dijadikan agama negara dan semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota Gereja Katolik. Akibat perkembangan ini bagi Gereja adalah sangat positif, karena kebebasan dan dukungan yang diberikan negara, Gereja dapat maju dan mekar. Pada pihak lain juga ada akibat negatif yaitu dibukanya kesempatan bagi negara untuk campur tangan dalam hal-hal Gereja. Gereja disamping lembaga Rohani juga menjadi kuasa politik.

IV.        DAFTAR PUSTAKA
Berkhof, H, Sejarah Gereja,  H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2012
Culver, Jonathan E, Sejarah Gereja Umum, Bandung: Biji Sesawi, 2013
End, TH. Van Den, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
Jonge, C. De, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Lembong, Ferry H. A, Sejarah Gereja Umum, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama, 1992
S, Jonar, Sejarah Gereja Umum, Yogyakarta: ANDI, 2014
Schie, G. Van, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Agama-Agama lain, Jakarta: Obor, 1994
Wellem, F. D, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003



[1] Ferry H.A Lembong, Sejarah Gereja Umum, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama, 1992), 2
[2] H. Berkhof, Sejarah Gereja,  H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 7
[3] Jonar S, Sejarah Gereja Umum, (Yogyakarta: ANDI, 2014), 14
[4] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 8
[5] TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 1-2
[6] G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Agama-Agama lain, (Jakarta: Obor, 1994), 390
[7] TH. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 59
[8] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 53-56
[9] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 19-26
[10] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 26-29
[11] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013), 104-105
[12] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 160-162
[13] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 109
[14] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Umum, 106-107
[15] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 56-57
             [16] C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, 58          
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 43
[18] Jonar S, Sejarah Gereja Umum, 194

Share:

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS