Perjumpaan Islam dan
Kristen
Sebagai Panggung Dialog
I.
Pendahuluan
Dialog antarumat beragama
merupakan proses komunikasi kerjasama antarumat beragama yang tidak dapat
dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah
perlu dilakukannya dialog antar agama. Pertemuan dialog zaman sekarang memang bukan
pertemuan yang pertama, sebab sejak awal agama-agama, seperti Yahudi, Kristen
dan Islam sudah saling bertemu. Ketika agama Kristen muncul berhadapan dengan
agama Yahudi; ketika Islam muncul berhadapan dengan agama Yahudi dan Kristen,
semua agama ini telah merangkul, bahkan berpolemik antara satu dan lainnya.
Oleh karena itu dalam pertemuan kali ini kita akan membahas bagaimana panggung
dialog yang terjadi ketika pejumpaan islam-Kristen semoga bermanaat.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian Dialog
DP[1]
9 membedakan tiga macam arti dialog. Pertama,
dalam tingkat manusiawi sehari-hari, sebagai komunikasi timbal balik. Tujuan
komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih
kesepakatan atau menjalin persatuan. Kedua,
lebih berkaitan dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat
dialogis. Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap hormat, penuh
persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan orang lain. Ketiga, merupakan arti khusus. Dialog
merupakan hubungan antar agama yang
positif dan kontruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan
pribadi-pribadi dan Jemaah-jemaah dari agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya,
dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan. Juga termasuk di
dalamnya kesaksian dan pendalaman keyakinan keagamaan masing-masing. Arti
ketiga inilah yang dimaksudkan Gereja dalam dokumen-dokumennya tentang dialog
(seperti Dialogue and Mission dan Dialogue and Proclamation). Dialog yang
sebenarnya dijalankan dalam lingkup kebenaran dan kebebasan dan tidak membuntu
pencarian terhadapnya. Sebab dialog yang sejati tidak hanya memajukan kerjasama
dan sikap terbuka, melainkan juga memurnikan dan mendorong untuk menggapai
kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih, dan perdamaian serta aneka
dimensi dari kerajaan Allah.[2]
2.2. Bentuk-bentuk dialog agama
Yang dimaksud dengan bentuk
ialah cara atau model dialog itu
diuangkapkan cara disini tidak hanya menunjuk pada metode atau aturan
prinsip-prinsip, melainkan juga mencakup onjek atau tema yang didialogkan. Dan
karena dalam kenyataan, objek atau tema yang didialog kan beraneka ragam
bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan
pembedaan-pembedaan. Dalam Dialogue and mission
diajukan empat bentuk dialog:
pertama, dialog kehidupan, kemudian dialog karya, menyusul dialog para ahli
untuk tukar-menukar pandangan teologis, dan akhirnya dialog mengenai pengalaman
keagamaan.
1.
Dialog
Kehidupan (bagi semua orang)
Dialog kehidupan
diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling
mendasar (bukan paling rendah). Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam
masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan
sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam dan menggembirakan
dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas dalam
kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama senantiasa tergerak untuk
membagikan pengalamannya. Dialog kehidupan sering kali memang tidak langsung
menyentuh perpsektif agma atau iman. Dialog itu lebih digerakkan oleh
sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat. Bairpun demikian sebagai
orang yang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan
sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka.
Setiap pengikut Kristus, karena
panggilannya sebagai orang Kristen, diminta untuk menghayati doalog
kehidupannya dalam semangat injili; tak peduli dalam situasi apapun, baik
sebagai minoritas maupun mayoritas. Artinya, setiap pengikut kristus harus
mengungkapkan nilai-nilai injil dalam tugas dan karyanya sehari-hari, dalam
segala bidang kehidupannya: sosial, politik, ekonomi, kesenian, pendidikan,
filsafat, dst.
2.
Dialog
karya (untuk bekerjasama)
Yang dimaksudkan dengan
dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para
pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni
pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini
sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi
internasional, di mana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain
bersama menghadapi masalah-masalah dunia. Sejak konsili Vatikan II, gereja
secara kongkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga
secretariat sekurang-kurangnya yang menangani masalah-masalah dunia,didirikan.
Secretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian
pelaksanaan kerjanya meminta kerja sama dengan para penganut agama-agama lain.
3.
Dialog
pandangan teologis (untuk para ahli)
Sebenarnya
dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk
siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi karena menyangkut
soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para
ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan
memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masin, serta sekaligus diajak untuk
mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan
yang di hadapi umat manusia pada umumnya. Karenanya dialog semacam ini
membutuhkan visi yang mantap. Dialog pandangan teologis tidak (dan idak boleh )
berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama
masing-masing dn penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog
teologis tidak boleh tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesame
reka dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari masing-masing untuk
menerima dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang makin sesuai dengan
nilai-nilai rohaninya.
4.
Dialog
pengalaman keagamaan (Dialog pengalaman Iman)
Dialog
pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog
tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling mempercaya dan
memajukan penghayatan nilai-nilai tertingi dan cita-cita rohani masing-masing
pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan
masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman
iman dalam arti yang lebih mendalam. Dialog
and mission melihat bahwa perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang besar
tidak menjadi halangan dalam dialog semacam ini, tentu saja sejauh orang
mengembalikan perbedaan-perbedaan itu kepada Tuhan “yang lebih besar dari
pertimbangan kita” (1 Yoh 3:20). Dari sebab itu, dialog pengalaman keagamaan
sangat mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog
iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan panjang. Kristus
mengundang kita untuk masuk dalam dialog iman ini dan kepada kita dia berkata,
“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyai dalam segala
kelimpahan” (Yoh 10:10).[3]
2.3. Prinsip-prinsip dialog agama
Umat beragama yang hendak
melakukan dialog hendaklah berpegang pada 10 prinsip dialog yang dalam istilah
Leonard Swidler disebut dengan “Ten
Commandments”.
1) Mempelajari
perubahan dan perkembangan persepsi, serta pengertian tentang realitas kemudian
berbuat menurut apa yang sesungguhnya diyakini.
2) Dialog
antarumat beragama harus merupakan suatu proyek dua pihak, internal pemeluk
agama, dan antar masyarakat penganut agama yang berbeda.
3) Setiap
peserta dialog harus datang untuk mengikuti dialog dengan kejujuran dan
ketulusan yang sungguh-sungguh.
4) Setiap
peserta dialog harus mendefinisikan dirinya sendiri atau partner dialognya.
5) Setiap
peserta dialog tidak diperbolehkan melakukan perbandingan antara yang ideal
dengan yang praktis. Tapi sebaliknya yang diperbandingkan adalah antara yang
ideal dengan yang ideal dan antara yang praktis dengan yang praktis dari partner dialog.
6) Dialog hanya
dapat dilakukan di antara pihak-pihak yang setara, misalnya kalau Hindu
dianggap inferior oleh Kristen. Dalam kasus seperti ini dialog akan sulit untuk
dilaksanakan.
7) Dialog
harus dilakukan dengan saling percaya.
8) Peserta
dialog harus bersifat kritis, baik pada agama yang dianut oleh partner
dialognya maupun pada agama yang dianutnya sendiri.
9) Setiap
peserta dialog harus mencoba mengalami agama mitra dialognya dari dalam.
10) Peserta
dialog harus mengikuti dialog tanpa asumsi-asumsi yang kukuh dan tergesa-gesa
mengenai perkara yang tidak bisa disetujui.[4]
2.4. Dialog Merupakan Bagian Misi
Penginjilan
Redemptoris Missio 55
mengatakan bahwa dialog antaragama merupakan bagian dari misi penginjilan
Gereja. Dialog mempunyai kaitan khusus dan menjadi salah satu pengungkapan misi
penginjilan Gereja. Dan bila dialog dipahami sebagai metode dan sarana untuk
saling memperkaya dan saling mengenal, dialog tidak bertentangan dengan tugas
perutusan gereja. dengan ungkapan-ungkapan ini, sebenarnya Redemptoris Missio tidak dapat dikatakan telah menganjurkan untuk
memanfaatkan dialog sebagai sarana dan metode misi. Redemptoris Missio hanya hendak mengatakan bahwa kalaupun dalam
dialog pewartaan missioner tidak kelihatan jelas, dialog itu tidak bertentangan
dengan tugas perutusan gereja. Artinya, apabila dialog dijalankan untuk saling
memperkaya dan menyelamatkan satu sama lain, tugas perutusan Gereja tidak
berhenti, sekalipun lantas tidak ada atau tidak memprioritaskan pewartaan injil
secara langsung dengan maksud pertobatan sehingga tidak memunculkan
komunitas-komunitas Kristen baru. Gereja tidak melihat suatu pertentangan antara memberitakan Kristus dan dialog
antaragama. Sebaliknya, gereja merasakan adanya kebutuhan untuk menghubungkan
kedua-duanya dalam konteks tugas perutusannya kepada para bangsa. Keduanya
tidak boleh dikacaukan, dimanipulasi ataupun dipandang sebagai sesuatu yang identik,
seolah-olah dapat saling dipertukarkan. Tetapi juga sebaliknya, keduanya tidak
dapat dipisahkan dengan tegas, sekalipun dapat dibedakan baik secara teologis
maupun praktis, sebab keduanya memiliki jalur teologi sendiri-sendiri (yakni
teologi dialog dan teologi misi).[5]
2.5. Asal mula islam dan hubungannya dengan agama
Kristen
Sebenarnya pada masa
permulaan munculnya Islam, tidak ada satupun alasan yang kuat untuk tidak
melihat agama tersebut sebagai sebagai sesuatu yang mempunyai kaitan khas
dengan agama kristen. Cara yang diberlakukan oleh sebagian suku-suku Abesinia
dalam menyesuaikan agama Kristen dengan tradisi-tradisi kuno mereka, pada
berbagai segi telah menyimpang jauh dari ajaran agama Kristen, jikalau
dibandingkan dengan yang ada dalam Islam. Ada dugaan yang menyatakan bahwa di
waktu timbulnya Islam seakan-akan menggantikan peranan yang di Abesinia telah
dimainkan oleh agama Kristen. Akan tetapi alasan lebih hakiki mengenai hubungan
antara keduanya terletak pada kayak inan
dalam Qur’an, bahwa Muhammad adalah penerus langsung dari garis-garis
nabi serta Kitab Suci Yahudi-Kristen. Satu-satunya perbedaan dengan rasul-rasul
yang mendahuluinya ialah bahwa Muhammad adalah orang Arab, diutus kepada bangsa
yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi oleh seorang rasul pun untuk
memberitakan sekarang ini kepada mereka kabar atau berita yang sebenarnya sudah
lama ada. Penyebaran agama Kristen di Arab sampai saat itu tidak pernah
dilakukan oleh seorang pekabar injil yang menonjol, dan diarab bagian tengah
malah tidak terasa samasekali adanya suatu kegiatan pemberitaan injil yang
dilakukan secara sadar. Di dalam kekosongan ini Muhammad tampil sebagai rasul
di antara orang-orang Arab. Peranan yang diberikan kepadanya melalui panggilan
Allah, dinyatakan dalam Qur’an yang menyebut Muhammad sebagai: al-nabi al-ummi. Sebagai nabi, ia
disamakan dengan para nabi dari ahl
al-kitab (ahli-ahli kitab: Yahudi dan Kristen) yang mendapat tugas untuk
menyampaikan wahyu dalam bentuk buku. Arti perkataan ummi, kurang begitu jelas. Yang paling sesuai dengan tempat-tempat
di mana istilah itu digunakan ialah arti yang menghubungkan ummi dengan bentuk jamak yang berasal
dari bahasa Ibrani-Aram “umma”, yang berarti suku-suku atau bangsa-bangsa. Jadi
Qur’an menamsksnnys sebagai “nabi, yang bangkit di antara bangsa-bangsa. Akan
tetapi sebagaimana pengertian yang sama dalam Perjanjian Baru, maka kata ethne (bukan-Yahudi, kafir) bagi
pengertian Yunani mengandung pula arti tambahan “barbar”, demikian juga dalam ummi tersirat arti yang bertentangan
dengan “maju terpelajar”. Tradisi Islam sendiri lebih menyukai tafsiran seperti
itu, sebab dengan demikian terbuktilah bahwa Qur’an berasal dari Allah dan
keluar dari mulut “nabi yang tiddak terpelajar”. Tetapi juga tanpa keterangan
yang bersifat dogmatic ini Muhammad mengetahui bahwa buku-buku suci yang
terdahulu pun, yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani, tentunya adalah
juga pencerminan dari suatu taraf peradaban yang tinggi.[6]
2.6 . Hubungan Islam dan
Kristen Sebagai Panggung Dialog
2.6.1. Dinamika Hubungan
Islam-Kristen dalam Dialog.
Hubungan
Islam dan Kristen dalam dialog di Indonesia dari sudut pandang seorang muslim
diungkapkan Dr. Burhanuddin Daja, ia menulis secara panjang lebar tentang
hubungan Islam dan Kristen dalam materi ceramah yang diberikan pada kursus
penataran dosen studi agama di kaliurang. Konteks pembahasan berkisar pada
perkembangan Islam semenjak Nabi Muhammad.[7] Ada beberapa
peristiwa yang, konon kabarnya, menceritakan tentang perjumpaan Muhammad dengan
orang Kristen. Misalnya, cerita tentang perjumpaan Muhammad dengan seorang
Rahib Kristen, yang bernama Bahira, dalam perjalanan Muhammad ke Siria. Bahira
melindungi Muhammad dari orang-orang yang ingin berbuat jahat pada Muhammad.
Selama tinggal di Siria, Muhammad mendapatkan informasi-informasi mengenai
Kerajaan Romawi dan agama Kristen serta Kitab Suci orang Kristen. Agama Kristen
yang ada di Siria sama dengan agama Kristen yang ada di Konstantinopel. Namun,
agama Kristen di Siria tidak sekuat agama Kristen yang ada di Konstantinopel
karena jemaatnya terpecah antara yang menerima dan menolak hasil Konsili
Kalsedon. Berita lain juga menjelaskan bahwa Waraqah ibn
Naufal seorang sepupu dari istri Muhammad, Khadijah, adalah seorang Kristen.
Muhammad digambarkan adalah seoranghanif, yaitu sebuah istilah yang digunakan
untuk seseorang yang selalu merasa tidak puas dengan penyembahan berhala dan
sangat tertarik pada ide-ide tentang monoteistik. Terdapat bukti lainnya bahwa
di Semenanjung Arabia terdapat kelompok-kelompok orang Kristen yang sudah
terbentuk dari abad ke-4. Kelompok tersebut berada di daerah perbatasan timur
Kekaisaran Romawi, di sekitar Teluk Persia dan juga di bagian selatan yaitu di
Yaman. Ketika pengikut Muhammad mengalami penghambatan, sekelompok pengikut
Muhammad mengungsi ke negara Etiopia dan mereka disambut dengan baik oleh
orang-orang Kristen. Muhammad menyebut orang Yahudi maupun Kristen dengan
sebutan ‘Ahlul Kitab’ yang berarti People of the Book. Ia memberi
sebutan tersebut dengan alasan, orang Yahudi maupun orang Kristen memiliki
sebagian Firman Tuhan, yaitu Alkitab. Ketika Muhammad merebut kekuasaan dengan
jalan diplomasi maupun peperangan di Arabia, suku-suku di beberapa wilayah
Arabia membuat perjanjian dengan penganut agama Islam untuk mengakui
ke-Rasul-an Muhammad. Tetapi berbeda dengan orang Kristen di Yaman. Gereja di
Yaman dapat dikatakan sudah berakar dengan kuat, sehingga orang-orang Arab di
Yaman tidak diharuskan untuk memeluk agama Islam, namun hal tersebut diperbolehkan
dengan syarat. Syarat tersebut ialah mengakui pemerintahan Muhammad dengan
membayar pajak. Pembayaran pajak ini biasa disebut dengan jizyah. Di
wilayah lain, orang kafir animisme terpaksa memeluk agama Islam. Suku-suku Arab
lainnya, meskipun sebelumnya telah memeluk agama Yahudi atau Kristen, harus
beralih menjadi penganut Islam. Kecuali suku Taghlib yang berada di daerah
Timur Laut Arab. Suku Taghlib adalah suatu suku yang mayoritas masyarakatnya
telah menganut agama Kristen Nestorian. Mereka diperbolehkan tetap pada imannya
dengan syarat membayar pajak yang tinggi. Dengan demikian, diberlakukannya
penarikan pajak yang tinggi merupakan bentuk desakan dari penguasa agar banyak
orang beralih dari penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Animisme menjadi penganut
Islam.[8] Dialog pertama diakui pernah terjadi
dalam sejarah Islam antara Siti Khadijah (seorang nasrani). Kemudian sejarah
membuktikan bahwa hubungan islam-kristen makin memperoleh momentumnya dalam
pengakuan sejarah agama-agama sebagai “tiga
bersaudara” yang terpancar dari satu sulbi
Ibrahim. Beberapa ayat Al-Quran yang dikutip dalam tulisan tersebut adalah
sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa hubungan yang baik antara agama-agama
yang ada pada periode Muhamad telah berjalan dengan baik dalam persfektif Abrahamic Religion. Menurut Burhanuddin
Daja, dialog yang paling mengesankan dalam hubungan Kristen dan Islam adalah
riwayat tentang kaum Musyrik yang terkesan mendengar sejumlah pengikut Muhammad
sudah Hijrah ke Abisinia dan diperbolehkan tinggal di daerah itu oleh kaisar
Negus. Kaum Musyrik mengirim utusan agar kaisar mengusir para pengungsi, namun
raja dikatakan tidak jadi menyerahkan mereka kepada kaum Musrik.
Dalam
tulisan Burhanuddin Daja tersebut terkesan bahwa dialog Islam-Kristen sudah ada
sejak Nabi, maupun setelah Nabi hijrah ke medinah yang diikat dalam komunitas Abrahamic religion. Namun hubungan itu
semakin rentan akibat pengaruh perkembangan politik ekonomi. Hal itu ditandai
oleh peristiwa perang salib dan ekspansi Kristen
dalam masa penjajahan. Dirasakan oleh umat islam bahwa kedatangan penjajah
merupakan bercap orang Kristen. Demikian berlanjut juga dengan masalah
Kristenisasi dalam konteks indonesia. Dari pergolakan yang terjadi dirasakan
bahwa hubungan Islam dan Kristen semakin renggang oleh sebab itu melalui
kegiatan-kegiatan yang bernuansa menuju kerukunan kembali diaktifkan dengan
melihat pentingnya pemeliharaan hubungan kemanusiaan dalam konteks indonesia.
Menurut Alwi Shihab perkembangan keagamaan berkaitan dengan hubungan
Islam-Kristen telah banyak mengalami perkembangan khususnya dalam menanggapi
perubahan-perubahan paradigma baru dari misi Kristen yang sangat membantu dalam
upaya membangun saling pengertian kedua komunitas, Islam dan Kristen. Menurut
pengamatan Alwi Shihab, sejarah hubungan Islam Kristen bermula dengan lahirnya
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sejarah itu telah diwarnai oleh aneka
ragam corak. Terkadang, kooperatif
konstruktif yang dilandasi oleh semangat saling pengertian, namun masih sering
juga menampakkan wajah dan watak yang saling curiga bahkan bermusuhan. Ada yang
berpendapat bahwa ajaran kedua agama turut berperan menyulut penganut masing-masing
untuk berprilaku curiga. Al’Quran misalnya sejak awal menyatakan bahwa beberapa ajaran isa, telah
mengalami distorsi. Lebih jauh Islam mengecam doktrin Trinitas dan konsep anak
Tuhan yang berkembang dalam tradisi kristen. Sebaliknya, doktrin agama Kristen
jauh sebelum diutusnya nabi Muhammad, menyatakan bahwa satu-satunya jalan
keselamatan dunia akhirat hanya ditawarkan oleh Yesus sebagaimana terdapat
dalam Matius 12:30 yang kemudian berkembang dengan slogan ekstra ecclesia nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan). [9]
2.6.2.
Misi Kristen Penyebab Tidak Terjalinya Dialog
Dalam rentan waktu sekitar 2000 tahun, misi
Kristen secara dinamis telah mengalami evolusi, pergeseran, dan perubahan yang
tidak terlepas dari aneka faktor. Hasil interaksi dengan kebudayaan setempat,
interpretasi inovatif terhadap teks, dan gerekan reformis dalam tubuh gereja,
memberi sumbangsih dalam memformulasikan garis misi kristen. Pada masa formatif
misi kristen atau ajakan kristiani tidak melampaui batas suatu aktivitas
sederhana yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Mereka mengajak sesamanya untuk
ikut bergabung dalam keluarga besar pengikut Yesus yang pada saat itu
dipengaruhi oleh keyakinan akan hadirnya hari kiamat yang akan ditandai dengan
kebangkitan kembali Yesus. Betapapun ragamnya pengertian misi kristen, namun
puncaknya terekspresi pada abad 19-20 dengan memfokuskan pada teks Matius
20:18-20. Jelas pengertian misi sebagai tugas suci (Holly Burden) untuk mematuhi perintah Tuhan. Misi ini juga dikenal
sebagai great Commission (Amanat
Agung) bagi setiap penganut Yesus untuk mengkristenkan siapapun dimana pun dan
kapanpun. Tak dapat disangkal bahwa great
Commission telah membuahkan hasil yang positif dan sekaligus menciptakan
dampak negatif. Dampak positif dengan bertebarnya institusi pendidikan dan
kesehatan atas nama Yesus. Namun, pada saat yang sama benih konflik dan
permusuhan juga tumbuh subur dalam agama lain yang dianggap menjadi sasaran great Commission. Dengan menyadari
dampak negatif ini, beberapa tokoh kristen melakukan refleksi mendalam tentang
esensi misi yang sesuai dengan tuntutan masa kini, mereka berupaya
memperkenalkan paradigma baru dengan menawarkan teologi misi yang baru.
Paradigma baru itu untuk menjelaskan
bahwa secara teoritis, teologi misi Modren pertama-tama Teks Bible (Mat.
28:18-20) yang menjadi acuan misi “conversion”
(peng-kristenan) masih dipertanyakan keabsahanya. Kedua terlepas dari nilai
keabsahanya tersebut, yang jelas paradigma lama tidak lagi sejalan dengan
pandangan pluralisme agama non-absolutis masa kini. Paradigma baru itu lebih
mengarah kepada saling pengertian dan kebersamaan dalam mencari kebenaran
paradigma yang beranjak dari hermeneutics
of supicion yakni melakukan kritik intern atas interpretasi teks kepada hermeneutics of retriveal yaitu upaya untuk menemukan kembali semangat kooperatif, liberlatif dan kasih sayang. Yang
terkasndung dalam teks. Paradigma lama yang menonjolkan superioritas agama Kristen dan mendeskritkan agama lain harus
ditinggalkan karena justru counter-productive.
Paradigma baru juga menekankan
rasa tanggung jawab kolektif yang diemban oleh setiap agama demi tercapainya
kerukunan dan perdamainan di bumi. Teologi misi yang ditawarkan sama sekali
tidak berarti bahwa komitmen keagamaan penganut kristen memudar, tetapi justru
menunjukkan bahwa semangat cinta kasih dan persaudaraan yang diajarkan Yesus
akan tampak lebih nyata. Jika saja paradigma baru ini dapat dipahami oleh
pemuka agama kristen dunia, dengan tegas Alwi Shihab, jelas warna hubungan
Islam-Kristen akan mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Apa yang
selama ini menjadi titik rawan dalam paling utama dalam hubungan Islam-Kristen adalah
keberatan umat islam terhadap pengertian “tugas suci” (yang berorentasi
pengkristenan) yang masih diyakini oleh mayoritas penganut Kristen. Memang benar,
perubahan suatu paradigma- khususnya yang menyangkut pengertian keagamaan
bukanlah hal yang mudah. Ia merupakan proses yang membutuhkan keberanian,
pandangan jauh, dan teristimewa kejernihan pikiran akan pemahaman semangat
ajaran agama itu sendiri. Keberanian yang dimaksud adalah upaya untuk melakukan
koreksi atas sesuatu kekeliruan yang telah mapan diterima. [10]
2.6.3
Hubungan Islam-Kristen sebagai Panggung Dialog
Menurut
Burhanuddin Daja serta Alwi Shihab setidaknya dapat memberikan infororganisasi kemasyarakatan
penting tentang spiritualitas Islam
dilihat dari persfektif historis, karena kita didasarkan kembali untuk melihat
dan memahami bahwa hubungan Islam dan Kristen sejak zaman Nabi telah terjalin
dengan baik lewat percakapan—percakapan yang mengandung makna spiritual yang
mendalam dan kompherensif sehingga terjalin kerukunanan antara komunitas pada
zaman itu. Hubungan spiritualitas Islam Kristen dalam panggung dialog antara
siti khadijah dan nabi dengan rahib waraqa membuktikan bahwa dalam pengakuan
sejarah agama-agama sebagai tiga bersaudara yang terpancar dari satu sulbi:
Ibrahim yang menciptakan kenyamanan dan ketentraman atas sebuah usaha dan
suasana yang dialami secara bersama. Alwi Shihab menegaskan, suasana ini bisa
tercapai apabila semua menyadari akan tuntutan kenyataan pluralisme agama di
indonesia, sehingga dibutuhkan paradigma baru dalam menyusun strategi misi dan
dakwah yang mengarah kepada perwujudan hidup damai dan rukun diatas permukaan
bumi. Alwi Shihab sebagai seorang NU penulis
pandanganya atas sikap Muhammadiyah tentang kerukunan. Menurut Alwi Shibab
sejak dari pembentukan Muhamddiyah hubungan harmonis antara muhammadiyah dan
kristen cukup menonjol. Perjumpaan islam dan kristen menurut Shibab berarna
taktis gesit membendung arus pentrasi kristen dengan cara positif berfokus pada
pembangunan infrastruktur umat islam. Shibab berpandangan bahwa Muhammaddiyah
bersikap rukun, toleran, damai, lugas menjalin hubungan dengan para pendeta dan
penganut agama-agama lain.[11] Untuk
memahami hubungan islam-Kristen lebih luas dari sudut pandang Kristen karya
Djaka Soetapa sangat penting dipelajari untuk melihat dan mengamati perjalanan
hubungan antar islam-Kristen dalam upaya perluasan pemahaman untuk tujuan
dialog. Menurut djaka Soetepa wacana mengenai hubungan Kristen-Islam sebenarnya
terjadi semenjak kekhalifahan Arab, abad ke 7-11 yaitu pada masa perjumpan
Islam dan teologi gereja timur. Sebagai contoh yang terkenal antara lain: a.
Perjumpaan dan diskusi antara katholikos Timotius I (728-823) dengan khalifah Al-Mahdi (775-785), pada tahun 781/782 selama kurang
lebih dua hari dengn mendiskusikan banyak hal antara lain (Trinitas, Keilahian
Tuhan Yesus kristus kitab suci dan tokoh muhammad b. Tulisan-tulisan Johannes
Damescenus (665-750), dalam bukunya De
Haeresibus yang merupakan bagian
kedua dari bukunya page gnoseos,
memuat antara lain diskusi mengenai siapakah Yesus Kristus itu perjumpaan demi
perjumpaan berlanjut terus, pada abad pertengahan masa reforganisasi
kemasyarakatan dan masa pencerahan abad ke-19-20.[12]
2.6.4.
Misi atau Dialog Pandangan Kristen dan Islam
Islam dan
Kristen adalah agama-agama yang universalis. Keduanya, bukan agama-agama yang
bersifat kesukuan dan buka juga agama-agama yang mengajarkan kebencian kepada
orang lain. Umat beriman kedua agama ini memiliki kesadaran akan pengajaran
suatu kebenaran yang bersifat tunggal an universal sebagai bagian dari
pengalaman religius meeka. Karena kebenaran itu
tunggal, maka dalam proses pengajaranya, seorang yang beragama, entah
Muslim atau Kristen, harus saling memperhatikan pandangan-pandanan agama satu
dengan yang lain. Hal ini menunjukkan kenyataan dalam hubungan-hubungan pribadi
dengan orang-orang lain dari berbagai keyakinan agama, dia menyadari nilai
keberagamanya. Disini Islam dan Kristen berkewajiban secara intelektual dan
moral saling memperhatikan keyakinan agama lain. Maksudnya, untuk memahami dan
belajar dari keyakinan-keyakinan ini mereka terpanggil untuk menganilisis dan
menilainya secara kritis serta berbagai pengetahuan tentang kebenaran dengan
para penganutnya. Islam dan Kristen masing-masing merupakan “Agama Allah”.
Al-Faruqi berpendapat bahwa inilah disebut “misi” yang berusaha “untuk membagi
pengalaman spiritual yang dimiliki.[13] Dalam hal ini Islam mengakui eksistensi
agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip ajaranya. Namun demikian
bukan berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab setiap agama memiliki
kekhasan, keunikan dan karakterristik yang membedakanya dengan agama lain yang
disebabkan karena kelahiran setiap agama memiliki konteks historis dan
tantanganya yang tersendiri. Justru itulah setiap pemeluk agama berbeda juga
mengekspresikan imanya. Namun, demikian tujuan
setiap agama yang berada dalam rumpun abrahamik selalu berakhir pada
tujuan yang sama. Islam mengakui agama lain yang sudah agama dan memiliki
kitb-kitab sucinya sebelum islam. Misalnya agama yang sudah percaya kepada
Taurat dan Injil. Pengakuan atas kitab-kitab tersebut secara otomatis mengakui
penganutnya. Al-Quran sebagai kitab suci Islam terbuka menjelaskan kitab
taurat, injil dan berikutnya menjelaskan sebuah kitab yang diturunkan kepada
Muhammad. Hal ini adalah salah satu bukti pengakuan Al-Quran terhadap
kitab-kitab dan penganutnya yang sudah ada sebelum islam. [14]
2.6.5.
Usaha-usaha Mewujudkan Panggung Dialog Islam dengan Kristen di Indonesia [15]
Sejak tahun 1981
SAA mulai dilaksanakan untuk memenuhi rekomendasi PGI dalam sidang raya Tomohan
tahun 1980. SAA dilaksanakan tahun 1981 di PPAG Malang, dengan tema “islam ditinjau dari segala aspeknya”.
Karya Dr. Harun Nasution merupakan buku wajib baca bagi peserta untuk memahami
islam. Sebagaimana biasa dilakukan, bahwa pada setiap sebuah seminar, dua
minggu atau sebulan sebelum menghadiri seminar kepada peserta telah dikirimkan
beerapa buku wajib baca, dan sebagian dari peserta diberi kesempatan. Pada SAA
I itu, substansi pembahasan materi berkisar pada pemahaman pergerakan dan
pemikiran islam baik dari pendekatan sosiologis, historis, dan fenoenologis.
SAA
II (1982) dilaksanakan di wisma Oikumene, sukabumi dengan tema “perkembangan Gerakan dan Pemikiran Islam di
Indonesia” dengan menghadirkan untuk pertama kalinya Abdurrahman Wahid
sebagai pembicara. Buku yang dibahas antara lain, karangan Delier Noer, Dr.
Harun Nasution. Pada kesempatan ini pula, Dr. F Ukur memberi saran kepada
peserta bahwa dalam hubungan keseharian dengan saudara-saudara yang lain tidak
perlu menyandarkan kepada rumusan-rumusan hasil konferensi yang susah
dimengerti.
SAA
III (1983) dilaksanakan di wisma Bahtera cipayung dengan tema “Pandangan Islam Tentang Masyarakat”.
Seminar ini bertujuan untk memperdalam pengetahuan bidang islam untuk membantu
gereja-gereja mengenal lingkungan sekitar dan meninkatkan hubungan antar umat
beragama. Pembicara menekankan bahwa bangsa indonesia tidak bisa terhindar dari
arus modernisasi dan sekularisasi. Untuk itu agama harus mampu menjawab
tantangan.
SAA
IV (1984), di Wisma Bahtea Cipayung dengan tema “pembinaan manusia dalam agama dan masyarakat: sorotan khusus terhadap
tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam”. Seminar ini menguak
perkembangan pesantren di Indonesia yang semakin memperliatkan momentumnya,
baik yang tradisional maupun yang benar yang terbesar di desa-desa dan kota
indonesia.
SAA
V (1985) di Cisarua, dengan tema “agama
dan modernisasi” pada intinya menyoroti isu-isu sekularisasi yang dipahami
menimbulkan pergeseran-pergeseran nilai yang akhirnya menyisihkan kebersamaan,
persekutuan, dan spiritualitas dalam kehdupan bermasyarakat.
SAA
VI (1986) dengan tema “ agama dan
keadilan”. SAA VII di Tugu, Bogor dengan tema “Moral dan etik dalam pembangunan bangsa”, dengan tujuan membangun
kesadaran bahwa tujuan pembangunan bukan saja material tetapi juga manusia
dalam kebutuhan moral dan etiknya perlu dikembangkan ke-arah yang lebih baik. “Lingkungan dan Pembangunan Nasional
menjadi tema pada SAA VIII (1988), DI Tugu,Bogor. Sorotan khusus seminar ini adalah melihat bahwa kemajuan
tenologi dan modernita memberikan dampak negatif bagi kelestarian alam sehingga
peran agama-agama dituntut tanggung jawabnya.
SAA
IX (1989), Mengambil tema “Spiritualitas
dalam Masyarakat Modern”, bertujuan agar umat beragama dapat bergandengan
tangan bekerjasama secara terbuka, membangun komitmen bersama dalam mewujudkan
kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuan dan damai untuk kepentingan bersama dan
bangsa indonesia.
SAA
X (1990) dengan tema “agama-agama dan masalah kepemimpinan”.
Islam memahami bahwa pemimpin adalah “umara” (jujur saleh mengacu pada karakter
Nabi) dimana pemimpin harus senantiasa memperhatikan pertimbangan ulama,
keadilan, kemurahan hati orang kaya, dan doa orang miskin. Sedang kaum kristen
memahami pemimpin dalam pengertian karakter “seorang gembala” yang bertujuan
mensejahterakan umat gembalanya dalam prinsip menggerakkan dan keadilan.
SAA
X1 (1991), Dengan tema “Agama dan
Pembangunan Ekonomi”, ekonomi harus dilihat
sebagai hasil karya manusia. Dlam pembangunan nasional, pertumbuhan
ekonomi, sangatlah ditekankan dengan maksud meningkatkan sumber daya manusia
ang berkualitas dan bermoral dan memiliki kesadaran yang tinggi.,
SAA
XII (1992), dengan tema “pluraisme dan
demokasi” pluralisme dilihat sebagai bagian yang tidak terelakkan bagi
bangsa indonsia. Oleh sebab itu, sebagai wara bangsa harus memilki sikap,
pengakuan, penghargaan, dan kesetaraan. Pluralisme dilihat sebagai bagian yang
tidak terelakkan bagi bangsa Indonesia, oleh sebab itu, sebagai warga bangsa
harus memiliki sikap, pengakuan, penghargaan, dan kesearaan. Pluralisme dan
demokrasi dipahami sebagai yang berkaitan satu ama lain. Tidak ada demokrasi
tanpa penghargaan terhadap pluralitas.
SAA
XIII (1993), dengan tema “agama, masyarakat
dan Demokrasi”, ditekankan bahwa agama bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk kepentingan manusia, ia
bertanggung-jawab mengembangkan etika tentang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
SAA
XIV (1994), dengan tema “agama-agama dan
tantangan kebudayaan” tema ini bertujuan untuk menyadarkan umat beragama
mengkritsi jalannya pembangunan yang tidak lagi berpihak kepada dimensi
kemanusiaan.
SAA
XV (1995), dengan tema “ Berteologi dalam
Konteks agama-agama di Indonesia” disini teologi Religionum menjadi pusat
pembahasan dengan tujuan dan wacana di samping menghindari sinkritisme dalam
agama, ia merupakan upaya mnerobos pandangan makna agama melalui penambahan
wawasan.
SAA
XVI (1996), dengan tema”agama-agama
memasuki Milenium III, di Kaliurang
memasuki Milenium III yang merupakan era kemajuan teknologi, sehingga dunia
lewat proses globalisasi ditantang untuk mengantisipasi dan melakukan perubahan
pola pikir dan agama-agama yang dipangil untuk menghidupkan spiritualita.
SAA
XVII, (1997), dengan tema “peran
agama-agama dan wawasan kebangsaan di indonesia”. Agama dipahami sebagai
lembaga yang memberi inspirasi dan sekaligus memberikan kritik konstruktifnya
sebagai perwujudan suara kenabian.
SAA
XVIII (1998), dengan tema “Agama-agama
kekerasan dan perdamain yang dibahas dalam SA XIX, tahun1999, dibahas
berkaitan denganbergulirnyamasa reforganisasi kemasyarakatan. Agama dan
kekerasan dipahami sebagai sesuatu yang bertolak belakng.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa panggung dialog antara agama
Islam-Kristen sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad, dimana dialog agama
terjalin dengan baik, bahkan kita ketahui juga bahwa Muhammad memiliki seorang
istri yang beragama Kristen. Bahkan Muhammad juga pernah mengatakan bahwa agama
Kristen adalah Ahlul Alkitab, panggung dialog ini terjadi begitu baik. Bahkan
pada masa orde baru juga banyak terlihat panggung dialog yang terjadi, banyak
hal yang dapat dilakukan agar terjalin kerukunan umat beragama salah satunya ialah
dengan membuat seminar-seminar antar umat beragama. Oleh karena itu terjalinlah
perdamaian antara agama.
IV.
Daftar
Pustaka
Bastian Adolu, Jiwa Kerukunan Masyarakat Sipirok, Bekasi: Dian Karsa
Kencana, 2008
Den
End Van, D Jonge, Christian, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta:
BPK-GM, 2002
Pomalingo Samsi, Membumikan Dialog Liberatif,
Yogyakarta: CV Budi Utama,2012
Riyanto
F.X.E. Armada, Dialog Agama,
Yogyakarta: KANISIUS, 1995
Schumann Olaf, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog
Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan
Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, Tomohan:Ukit Press, 2018
Van Leeuwen Arend Th., Agama Kristen Dalam Sejarah Dunia,
Jakart: BPK-GM,1964
Woly
Nicolas, Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK-GM, 2010
[1] DP adalah Dialogue and Proclamation (dokumen
Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa dan Sekretariat untuk dialog antar
agama).
[2] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995), 102-103.
[3] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama,110-113.
[4] Samsi Pomalingo, Membumikan Dialog Liberatif, (Yogyakarta: CV Budi Utama,2012),
4-5.
[5] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama,105.
[6] Arend Th. Van Leeuwen, Agama Kristen Dalam Sejarah Dunia, (Jakart: bpk-GM,1964), 64-65.
[7] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam
Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku
Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, (Tomohan:Ukit
Press, 2018. 76.
[8] Van Den End, Christian D Jonge, Sejarah
Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 147.
[9] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam
Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku
Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 78-79.
[10] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam
Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku
Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 80-82
[11]Adolu Bastian, Jiwa
Kerukunan Masyarakat Sipirok, (Bekasi:
Dian Karsa Kencana, 2008), 151.
[12] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam
Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku
Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 83-85.
[13]Nicolas Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, (Jakarta: BPK-GM, 2010),
71.
[14] Adolu Bastian, Jiwa Kerukunan Masyarakat Sipirok, 45.
[15] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam
Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku
Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann,89-94.
No comments:
Post a Comment