Perjumpaan Islam dan Kristen Sebagai Panggung Dialog

Perjumpaan Islam dan Kristen 
Sebagai Panggung Dialog

I.                   Pendahuluan
Dialog antarumat beragama merupakan proses komunikasi kerjasama antarumat beragama yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, salah satu bagian dari kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar agama. Pertemuan dialog zaman sekarang memang bukan pertemuan yang pertama, sebab sejak awal agama-agama, seperti Yahudi, Kristen dan Islam sudah saling bertemu. Ketika agama Kristen muncul berhadapan dengan agama Yahudi; ketika Islam muncul berhadapan dengan agama Yahudi dan Kristen, semua agama ini telah merangkul, bahkan berpolemik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu dalam pertemuan kali ini kita akan membahas bagaimana panggung dialog yang terjadi ketika pejumpaan islam-Kristen semoga bermanaat.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Dialog
 DP[1] 9 membedakan tiga macam arti dialog. Pertama, dalam tingkat manusiawi sehari-hari, sebagai komunikasi timbal balik. Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan atau menjalin persatuan. Kedua, lebih berkaitan dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat dialogis. Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan orang lain. Ketiga, merupakan arti khusus. Dialog merupakan hubungan antar agama yang positif dan kontruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan pribadi-pribadi dan Jemaah-jemaah dari agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan. Juga termasuk di dalamnya kesaksian dan pendalaman keyakinan keagamaan masing-masing. Arti ketiga inilah yang dimaksudkan Gereja dalam dokumen-dokumennya tentang dialog (seperti Dialogue and Mission dan Dialogue and Proclamation). Dialog yang sebenarnya dijalankan dalam lingkup kebenaran dan kebebasan dan tidak membuntu pencarian terhadapnya. Sebab dialog yang sejati tidak hanya memajukan kerjasama dan sikap terbuka, melainkan juga memurnikan dan mendorong untuk menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih, dan perdamaian serta aneka dimensi dari kerajaan Allah.[2]
2.2. Bentuk-bentuk dialog agama
 Yang dimaksud dengan bentuk ialah cara atau model dialog itu diuangkapkan cara disini tidak hanya menunjuk pada metode atau aturan prinsip-prinsip, melainkan juga mencakup onjek atau tema yang didialogkan. Dan karena dalam kenyataan, objek atau tema yang didialog kan beraneka ragam bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan pembedaan-pembedaan. Dalam Dialogue and mission  diajukan empat bentuk dialog: pertama, dialog kehidupan, kemudian dialog karya, menyusul dialog para ahli untuk tukar-menukar pandangan teologis, dan akhirnya dialog mengenai pengalaman keagamaan.
1.      Dialog Kehidupan (bagi semua orang)
 Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar (bukan paling rendah). Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam dan menggembirakan dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas dalam kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya. Dialog kehidupan sering kali memang tidak langsung menyentuh perpsektif agma atau iman. Dialog itu lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat. Bairpun demikian sebagai orang yang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka. Setiap pengikut Kristus, karena panggilannya sebagai orang Kristen, diminta untuk menghayati doalog kehidupannya dalam semangat injili; tak peduli dalam situasi apapun, baik sebagai minoritas maupun mayoritas. Artinya, setiap pengikut kristus harus mengungkapkan nilai-nilai injil dalam tugas dan karyanya sehari-hari, dalam segala bidang kehidupannya: sosial, politik, ekonomi, kesenian, pendidikan, filsafat, dst.
2.      Dialog karya (untuk bekerjasama)
 Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi internasional, di mana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama menghadapi masalah-masalah dunia. Sejak konsili Vatikan II, gereja secara kongkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga secretariat sekurang-kurangnya yang menangani masalah-masalah dunia,didirikan. Secretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian pelaksanaan kerjanya meminta kerja sama dengan para penganut agama-agama lain.
3.      Dialog pandangan teologis (untuk para ahli)
Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi karena menyangkut soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masin, serta sekaligus diajak untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang di hadapi umat manusia pada umumnya. Karenanya dialog semacam ini membutuhkan visi yang mantap. Dialog pandangan teologis tidak (dan idak boleh ) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama masing-masing dn penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog teologis tidak boleh tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesame reka dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.
4.      Dialog pengalaman keagamaan (Dialog pengalaman Iman)
Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling mempercaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertingi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam. Dialog and mission melihat bahwa perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang besar tidak menjadi halangan dalam dialog semacam ini, tentu saja sejauh orang mengembalikan perbedaan-perbedaan itu kepada Tuhan “yang lebih besar dari pertimbangan kita” (1 Yoh 3:20). Dari sebab itu, dialog pengalaman keagamaan sangat mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan panjang. Kristus mengundang kita untuk masuk dalam dialog iman ini dan kepada kita dia berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyai dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10).[3]
2.3. Prinsip-prinsip dialog agama
 Umat beragama yang hendak melakukan dialog hendaklah berpegang pada 10 prinsip dialog yang dalam istilah Leonard Swidler disebut dengan “Ten Commandments”.
1)      Mempelajari perubahan dan perkembangan persepsi, serta pengertian tentang realitas kemudian berbuat menurut apa yang sesungguhnya diyakini.
2)      Dialog antarumat beragama harus merupakan suatu proyek dua pihak, internal pemeluk agama, dan antar masyarakat penganut agama yang berbeda.
3)      Setiap peserta dialog harus datang untuk mengikuti dialog dengan kejujuran dan ketulusan yang sungguh-sungguh.
4)      Setiap peserta dialog harus mendefinisikan dirinya sendiri atau partner dialognya.
5)      Setiap peserta dialog tidak diperbolehkan melakukan perbandingan antara yang ideal dengan yang praktis. Tapi sebaliknya yang diperbandingkan adalah antara yang ideal dengan yang ideal dan antara yang praktis dengan yang praktis dari partner dialog.
6)      Dialog hanya dapat dilakukan di antara pihak-pihak yang setara, misalnya kalau Hindu dianggap inferior oleh Kristen. Dalam kasus seperti ini dialog akan sulit untuk dilaksanakan.
7)      Dialog harus dilakukan dengan saling percaya.
8)      Peserta dialog harus bersifat kritis, baik pada agama yang dianut oleh partner dialognya maupun pada agama yang dianutnya sendiri.
9)      Setiap peserta dialog harus mencoba mengalami agama mitra dialognya dari dalam.
10)  Peserta dialog harus mengikuti dialog tanpa asumsi-asumsi yang kukuh dan tergesa-gesa mengenai perkara yang tidak bisa disetujui.[4]
2.4. Dialog Merupakan Bagian Misi Penginjilan
 Redemptoris Missio 55 mengatakan bahwa dialog antaragama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja. Dialog mempunyai kaitan khusus dan menjadi salah satu pengungkapan misi penginjilan Gereja. Dan bila dialog dipahami sebagai metode dan sarana untuk saling memperkaya dan saling mengenal, dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan gereja. dengan ungkapan-ungkapan ini, sebenarnya Redemptoris Missio tidak dapat dikatakan telah menganjurkan untuk memanfaatkan dialog sebagai sarana dan metode misi. Redemptoris Missio hanya hendak mengatakan bahwa kalaupun dalam dialog pewartaan missioner tidak kelihatan jelas, dialog itu tidak bertentangan dengan tugas perutusan gereja. Artinya, apabila dialog dijalankan untuk saling memperkaya dan menyelamatkan satu sama lain, tugas perutusan Gereja tidak berhenti, sekalipun lantas tidak ada atau tidak memprioritaskan pewartaan injil secara langsung dengan maksud pertobatan sehingga tidak memunculkan komunitas-komunitas Kristen baru. Gereja tidak melihat suatu pertentangan  antara memberitakan Kristus dan dialog antaragama. Sebaliknya, gereja merasakan adanya kebutuhan untuk menghubungkan kedua-duanya dalam konteks tugas perutusannya kepada para bangsa. Keduanya tidak boleh dikacaukan, dimanipulasi ataupun dipandang sebagai sesuatu yang identik, seolah-olah dapat saling dipertukarkan. Tetapi juga sebaliknya, keduanya tidak dapat dipisahkan dengan tegas, sekalipun dapat dibedakan baik secara teologis maupun praktis, sebab keduanya memiliki jalur teologi sendiri-sendiri (yakni teologi dialog dan teologi misi).[5]
2.5.  Asal mula islam dan hubungannya dengan agama Kristen
  Sebenarnya pada masa permulaan munculnya Islam, tidak ada satupun alasan yang kuat untuk tidak melihat agama tersebut sebagai sebagai sesuatu yang mempunyai kaitan khas dengan agama kristen. Cara yang diberlakukan oleh sebagian suku-suku Abesinia dalam menyesuaikan agama Kristen dengan tradisi-tradisi kuno mereka, pada berbagai segi telah menyimpang jauh dari ajaran agama Kristen, jikalau dibandingkan dengan yang ada dalam Islam. Ada dugaan yang menyatakan bahwa di waktu timbulnya Islam seakan-akan menggantikan peranan yang di Abesinia telah dimainkan oleh agama Kristen. Akan tetapi alasan lebih hakiki mengenai hubungan antara keduanya terletak pada kayak inan  dalam Qur’an, bahwa Muhammad adalah penerus langsung dari garis-garis nabi serta Kitab Suci Yahudi-Kristen. Satu-satunya perbedaan dengan rasul-rasul yang mendahuluinya ialah bahwa Muhammad adalah orang Arab, diutus kepada bangsa yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi oleh seorang rasul pun untuk memberitakan sekarang ini kepada mereka kabar atau berita yang sebenarnya sudah lama ada. Penyebaran agama Kristen di Arab sampai saat itu tidak pernah dilakukan oleh seorang pekabar injil yang menonjol, dan diarab bagian tengah malah tidak terasa samasekali adanya suatu kegiatan pemberitaan injil yang dilakukan secara sadar. Di dalam kekosongan ini Muhammad tampil sebagai rasul di antara orang-orang Arab. Peranan yang diberikan kepadanya melalui panggilan Allah, dinyatakan dalam Qur’an yang menyebut Muhammad sebagai: al-nabi al-ummi. Sebagai nabi, ia disamakan dengan para nabi dari ahl al-kitab (ahli-ahli kitab: Yahudi dan Kristen) yang mendapat tugas untuk menyampaikan wahyu dalam bentuk buku. Arti perkataan ummi, kurang begitu jelas. Yang paling sesuai dengan tempat-tempat di mana istilah itu digunakan ialah arti yang menghubungkan ummi dengan bentuk jamak yang berasal dari bahasa Ibrani-Aram “umma”, yang berarti suku-suku atau bangsa-bangsa. Jadi Qur’an menamsksnnys sebagai “nabi, yang bangkit di antara bangsa-bangsa. Akan tetapi sebagaimana pengertian yang sama dalam Perjanjian Baru, maka kata ethne (bukan-Yahudi, kafir) bagi pengertian Yunani mengandung pula arti tambahan “barbar”, demikian juga dalam ummi tersirat arti yang bertentangan dengan “maju terpelajar”. Tradisi Islam sendiri lebih menyukai tafsiran seperti itu, sebab dengan demikian terbuktilah bahwa Qur’an berasal dari Allah dan keluar dari mulut “nabi yang tiddak terpelajar”. Tetapi juga tanpa keterangan yang bersifat dogmatic ini Muhammad mengetahui bahwa buku-buku suci yang terdahulu pun, yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani, tentunya adalah juga pencerminan dari suatu taraf peradaban yang tinggi.[6]
2.6 . Hubungan Islam dan Kristen Sebagai Panggung Dialog
2.6.1. Dinamika Hubungan Islam-Kristen dalam Dialog.
          Hubungan Islam dan Kristen dalam dialog di Indonesia dari sudut pandang seorang muslim diungkapkan Dr. Burhanuddin Daja, ia menulis secara panjang lebar tentang hubungan Islam dan Kristen dalam materi ceramah yang diberikan pada kursus penataran dosen studi agama di kaliurang. Konteks pembahasan berkisar pada perkembangan Islam semenjak Nabi Muhammad.[7] Ada beberapa peristiwa yang, konon kabarnya, menceritakan tentang perjumpaan Muhammad dengan orang Kristen. Misalnya, cerita tentang perjumpaan Muhammad dengan seorang Rahib Kristen, yang bernama Bahira, dalam perjalanan Muhammad ke Siria. Bahira melindungi Muhammad dari orang-orang yang ingin berbuat jahat pada Muhammad. Selama tinggal di Siria, Muhammad mendapatkan informasi-informasi mengenai Kerajaan Romawi dan agama Kristen serta Kitab Suci orang Kristen. Agama Kristen yang ada di Siria sama dengan agama Kristen yang ada di Konstantinopel. Namun, agama Kristen di Siria tidak sekuat agama Kristen yang ada di Konstantinopel karena jemaatnya terpecah antara yang menerima dan menolak hasil Konsili Kalsedon. Berita lain juga menjelaskan bahwa Waraqah ibn Naufal seorang sepupu dari istri Muhammad, Khadijah, adalah seorang Kristen. Muhammad digambarkan adalah seoranghanif, yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk seseorang yang selalu merasa tidak puas dengan penyembahan berhala dan sangat tertarik pada ide-ide tentang monoteistik. Terdapat bukti lainnya bahwa di Semenanjung Arabia terdapat kelompok-kelompok orang Kristen yang sudah terbentuk dari abad ke-4. Kelompok tersebut berada di daerah perbatasan timur Kekaisaran Romawi, di sekitar Teluk Persia dan juga di bagian selatan yaitu di Yaman. Ketika pengikut Muhammad mengalami penghambatan, sekelompok pengikut Muhammad mengungsi ke negara Etiopia dan mereka disambut dengan baik oleh orang-orang Kristen. Muhammad menyebut orang Yahudi maupun Kristen dengan sebutan ‘Ahlul Kitab’ yang berarti People of the Book. Ia memberi sebutan tersebut dengan alasan, orang Yahudi maupun orang Kristen memiliki sebagian Firman Tuhan, yaitu Alkitab. Ketika Muhammad merebut kekuasaan dengan jalan diplomasi maupun peperangan di Arabia, suku-suku di beberapa wilayah Arabia membuat perjanjian dengan penganut agama Islam untuk mengakui ke-Rasul-an Muhammad. Tetapi berbeda dengan orang Kristen di Yaman. Gereja di Yaman dapat dikatakan sudah berakar dengan kuat, sehingga orang-orang Arab di Yaman tidak diharuskan untuk memeluk agama Islam, namun hal tersebut diperbolehkan dengan syarat. Syarat tersebut ialah mengakui pemerintahan Muhammad dengan membayar pajak. Pembayaran pajak ini biasa disebut dengan jizyah. Di wilayah lain, orang kafir animisme terpaksa memeluk agama Islam. Suku-suku Arab lainnya, meskipun sebelumnya telah memeluk agama Yahudi atau Kristen, harus beralih menjadi penganut Islam. Kecuali suku Taghlib yang berada di daerah Timur Laut Arab. Suku Taghlib adalah suatu suku yang mayoritas masyarakatnya telah menganut agama Kristen Nestorian. Mereka diperbolehkan tetap pada imannya dengan syarat membayar pajak yang tinggi. Dengan demikian, diberlakukannya penarikan pajak yang tinggi merupakan bentuk desakan dari penguasa agar banyak orang beralih dari penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Animisme menjadi penganut Islam.[8] Dialog pertama diakui pernah terjadi dalam sejarah Islam antara Siti Khadijah (seorang nasrani). Kemudian sejarah membuktikan bahwa hubungan islam-kristen makin memperoleh momentumnya dalam pengakuan sejarah agama-agama sebagai “tiga bersaudara” yang terpancar dari satu sulbi Ibrahim. Beberapa ayat Al-Quran yang dikutip dalam tulisan tersebut adalah sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa hubungan yang baik antara agama-agama yang ada pada periode Muhamad telah berjalan dengan baik dalam persfektif  Abrahamic Religion. Menurut Burhanuddin Daja, dialog yang paling mengesankan dalam hubungan Kristen dan Islam adalah riwayat tentang kaum Musyrik yang terkesan mendengar sejumlah pengikut Muhammad sudah Hijrah ke Abisinia dan diperbolehkan tinggal di daerah itu oleh kaisar Negus. Kaum Musyrik mengirim utusan agar kaisar mengusir para pengungsi, namun raja dikatakan tidak jadi menyerahkan mereka kepada kaum Musrik.
Dalam tulisan Burhanuddin Daja tersebut terkesan bahwa dialog Islam-Kristen sudah ada sejak Nabi, maupun setelah Nabi hijrah ke medinah yang diikat dalam komunitas Abrahamic religion. Namun hubungan itu semakin rentan akibat pengaruh perkembangan politik ekonomi. Hal itu ditandai oleh peristiwa perang salib dan ekspansi Kristen dalam masa penjajahan. Dirasakan oleh umat islam bahwa kedatangan penjajah merupakan bercap orang Kristen. Demikian berlanjut juga dengan masalah Kristenisasi dalam konteks indonesia. Dari pergolakan yang terjadi dirasakan bahwa hubungan Islam dan Kristen semakin renggang oleh sebab itu melalui kegiatan-kegiatan yang bernuansa menuju kerukunan kembali diaktifkan dengan melihat pentingnya pemeliharaan hubungan kemanusiaan dalam konteks indonesia. Menurut Alwi Shihab perkembangan keagamaan berkaitan dengan hubungan Islam-Kristen telah banyak mengalami perkembangan khususnya dalam menanggapi perubahan-perubahan paradigma baru dari misi Kristen yang sangat membantu dalam upaya membangun saling pengertian kedua komunitas, Islam dan Kristen. Menurut pengamatan Alwi Shihab, sejarah hubungan Islam Kristen bermula dengan lahirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sejarah itu telah diwarnai oleh aneka ragam corak. Terkadang, kooperatif konstruktif yang dilandasi oleh semangat saling pengertian, namun masih sering juga menampakkan wajah dan watak yang saling curiga bahkan bermusuhan. Ada yang berpendapat bahwa ajaran kedua agama turut berperan menyulut penganut masing-masing untuk berprilaku curiga. Al’Quran misalnya sejak awal  menyatakan bahwa beberapa ajaran isa, telah mengalami distorsi. Lebih jauh Islam mengecam doktrin Trinitas dan konsep anak Tuhan yang berkembang dalam tradisi kristen. Sebaliknya, doktrin agama Kristen jauh sebelum diutusnya nabi Muhammad, menyatakan bahwa satu-satunya jalan keselamatan dunia akhirat hanya ditawarkan oleh Yesus sebagaimana terdapat dalam Matius 12:30 yang kemudian berkembang dengan slogan ekstra ecclesia nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan). [9]


2.6.2. Misi Kristen Penyebab Tidak Terjalinya Dialog
     Dalam rentan waktu sekitar 2000 tahun, misi Kristen secara dinamis telah mengalami evolusi, pergeseran, dan perubahan yang tidak terlepas dari aneka faktor. Hasil interaksi dengan kebudayaan setempat, interpretasi inovatif terhadap teks, dan gerekan reformis dalam tubuh gereja, memberi sumbangsih dalam memformulasikan garis misi kristen. Pada masa formatif misi kristen atau ajakan kristiani tidak melampaui batas suatu aktivitas sederhana yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Mereka mengajak sesamanya untuk ikut bergabung dalam keluarga besar pengikut Yesus yang pada saat itu dipengaruhi oleh keyakinan akan hadirnya hari kiamat yang akan ditandai dengan kebangkitan kembali Yesus. Betapapun ragamnya pengertian misi kristen, namun puncaknya terekspresi pada abad 19-20 dengan memfokuskan pada teks Matius 20:18-20. Jelas pengertian misi sebagai tugas suci (Holly Burden) untuk mematuhi perintah Tuhan. Misi ini juga dikenal sebagai great Commission (Amanat Agung) bagi setiap penganut Yesus untuk mengkristenkan siapapun dimana pun dan kapanpun. Tak dapat disangkal bahwa great Commission telah membuahkan hasil yang positif dan sekaligus menciptakan dampak negatif. Dampak positif dengan bertebarnya institusi pendidikan dan kesehatan atas nama Yesus. Namun, pada saat yang sama benih konflik dan permusuhan juga tumbuh subur dalam agama lain yang dianggap menjadi sasaran great Commission. Dengan menyadari dampak negatif ini, beberapa tokoh kristen melakukan refleksi mendalam tentang esensi misi yang sesuai dengan tuntutan masa kini, mereka berupaya memperkenalkan paradigma baru dengan menawarkan teologi misi yang baru.
Paradigma baru itu untuk menjelaskan bahwa secara teoritis, teologi misi Modren pertama-tama Teks Bible (Mat. 28:18-20) yang menjadi acuan misi “conversion” (peng-kristenan) masih dipertanyakan keabsahanya. Kedua terlepas dari nilai keabsahanya tersebut, yang jelas paradigma lama tidak lagi sejalan dengan pandangan pluralisme agama non-absolutis masa kini. Paradigma baru itu lebih mengarah kepada saling pengertian dan kebersamaan dalam mencari kebenaran paradigma yang beranjak dari hermeneutics of supicion yakni melakukan kritik intern atas interpretasi teks kepada hermeneutics of retriveal  yaitu upaya untuk menemukan kembali semangat kooperatif, liberlatif dan kasih sayang. Yang terkasndung dalam teks. Paradigma lama yang menonjolkan superioritas agama Kristen dan mendeskritkan agama lain harus ditinggalkan karena justru counter-productive. Paradigma baru juga menekankan rasa tanggung jawab kolektif yang diemban oleh setiap agama demi tercapainya kerukunan dan perdamainan di bumi. Teologi misi yang ditawarkan sama sekali tidak berarti bahwa komitmen keagamaan penganut kristen memudar, tetapi justru menunjukkan bahwa semangat cinta kasih dan persaudaraan yang diajarkan Yesus akan tampak lebih nyata. Jika saja paradigma baru ini dapat dipahami oleh pemuka agama kristen dunia, dengan tegas Alwi Shihab, jelas warna hubungan Islam-Kristen akan mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Apa yang selama ini menjadi titik rawan dalam paling utama dalam hubungan Islam-Kristen adalah keberatan umat islam terhadap pengertian “tugas suci” (yang berorentasi pengkristenan) yang masih diyakini oleh mayoritas penganut Kristen. Memang benar, perubahan suatu paradigma- khususnya yang menyangkut pengertian keagamaan bukanlah hal yang mudah. Ia merupakan proses yang membutuhkan keberanian, pandangan jauh, dan teristimewa kejernihan pikiran akan pemahaman semangat ajaran agama itu sendiri. Keberanian yang dimaksud adalah upaya untuk melakukan koreksi atas sesuatu kekeliruan yang telah mapan diterima. [10]
2.6.3 Hubungan Islam-Kristen sebagai Panggung Dialog
     Menurut Burhanuddin Daja serta Alwi Shihab setidaknya dapat memberikan infororganisasi kemasyarakatan penting tentang spiritualitas Islam dilihat dari persfektif historis, karena kita didasarkan kembali untuk melihat dan memahami bahwa hubungan Islam dan Kristen sejak zaman Nabi telah terjalin dengan baik lewat percakapan—percakapan yang mengandung makna spiritual yang mendalam dan kompherensif sehingga terjalin kerukunanan antara komunitas pada zaman itu. Hubungan spiritualitas Islam Kristen dalam panggung dialog antara siti khadijah dan nabi dengan rahib waraqa membuktikan bahwa dalam pengakuan sejarah agama-agama sebagai tiga bersaudara yang terpancar dari satu sulbi: Ibrahim yang menciptakan kenyamanan dan ketentraman atas sebuah usaha dan suasana yang dialami secara bersama. Alwi Shihab menegaskan, suasana ini bisa tercapai apabila semua menyadari akan tuntutan kenyataan pluralisme agama di indonesia, sehingga dibutuhkan paradigma baru dalam menyusun strategi misi dan dakwah yang mengarah kepada perwujudan hidup damai dan rukun diatas permukaan bumi.  Alwi Shihab sebagai seorang NU penulis pandanganya atas sikap Muhammadiyah tentang kerukunan. Menurut Alwi Shibab sejak dari pembentukan Muhamddiyah hubungan harmonis antara muhammadiyah dan kristen cukup menonjol. Perjumpaan islam dan kristen menurut Shibab berarna taktis gesit membendung arus pentrasi kristen dengan cara positif berfokus pada pembangunan infrastruktur umat islam. Shibab berpandangan bahwa Muhammaddiyah bersikap rukun, toleran, damai, lugas menjalin hubungan dengan para pendeta dan penganut agama-agama lain.[11] Untuk memahami hubungan islam-Kristen lebih luas dari sudut pandang Kristen karya Djaka Soetapa sangat penting dipelajari untuk melihat dan mengamati perjalanan hubungan antar islam-Kristen dalam upaya perluasan pemahaman untuk tujuan dialog. Menurut djaka Soetepa wacana mengenai hubungan Kristen-Islam sebenarnya terjadi semenjak kekhalifahan Arab, abad ke 7-11 yaitu pada masa perjumpan Islam dan teologi gereja timur. Sebagai contoh yang terkenal antara lain: a. Perjumpaan dan diskusi antara katholikos Timotius  I (728-823) dengan khalifah Al-Mahdi  (775-785), pada tahun 781/782 selama kurang lebih dua hari dengn mendiskusikan banyak hal antara lain (Trinitas, Keilahian Tuhan Yesus kristus kitab suci dan tokoh muhammad b. Tulisan-tulisan Johannes Damescenus (665-750), dalam bukunya De Haeresibus  yang merupakan bagian kedua dari bukunya page gnoseos, memuat antara lain diskusi mengenai siapakah Yesus Kristus itu perjumpaan demi perjumpaan berlanjut terus, pada abad pertengahan masa reforganisasi kemasyarakatan dan masa pencerahan abad ke-19-20.[12]
2.6.4. Misi atau Dialog Pandangan Kristen dan Islam
  Islam dan Kristen adalah agama-agama yang universalis. Keduanya, bukan agama-agama yang bersifat kesukuan dan buka juga agama-agama yang mengajarkan kebencian kepada orang lain. Umat beriman kedua agama ini memiliki kesadaran akan pengajaran suatu kebenaran yang bersifat tunggal an universal sebagai bagian dari pengalaman religius meeka. Karena kebenaran itu  tunggal, maka dalam proses pengajaranya, seorang yang beragama, entah Muslim atau Kristen, harus saling memperhatikan pandangan-pandanan agama satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan kenyataan dalam hubungan-hubungan pribadi dengan orang-orang lain dari berbagai keyakinan agama, dia menyadari nilai keberagamanya. Disini Islam dan Kristen berkewajiban secara intelektual dan moral saling memperhatikan keyakinan agama lain. Maksudnya, untuk memahami dan belajar dari keyakinan-keyakinan ini mereka terpanggil untuk menganilisis dan menilainya secara kritis serta berbagai pengetahuan tentang kebenaran dengan para penganutnya. Islam dan Kristen masing-masing merupakan “Agama Allah”. Al-Faruqi berpendapat bahwa inilah disebut “misi” yang berusaha “untuk membagi pengalaman spiritual yang dimiliki.[13]  Dalam hal ini Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip ajaranya. Namun demikian bukan berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab setiap agama memiliki kekhasan, keunikan dan karakterristik yang membedakanya dengan agama lain yang disebabkan karena kelahiran setiap agama memiliki konteks historis dan tantanganya yang tersendiri. Justru itulah setiap pemeluk agama berbeda juga mengekspresikan imanya. Namun, demikian tujuan  setiap agama yang berada dalam rumpun abrahamik selalu berakhir pada tujuan yang sama. Islam mengakui agama lain yang sudah agama dan memiliki kitb-kitab sucinya sebelum islam. Misalnya agama yang sudah percaya kepada Taurat dan Injil. Pengakuan atas kitab-kitab tersebut secara otomatis mengakui penganutnya. Al-Quran sebagai kitab suci Islam terbuka menjelaskan kitab taurat, injil dan berikutnya menjelaskan sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad. Hal ini adalah salah satu bukti pengakuan Al-Quran terhadap kitab-kitab dan penganutnya yang sudah ada sebelum islam. [14]
2.6.5. Usaha-usaha Mewujudkan Panggung Dialog Islam dengan Kristen di Indonesia [15]
 Sejak tahun 1981 SAA mulai dilaksanakan untuk memenuhi rekomendasi PGI dalam sidang raya Tomohan tahun 1980. SAA dilaksanakan tahun 1981 di PPAG Malang, dengan tema “islam ditinjau dari segala aspeknya”. Karya Dr. Harun Nasution merupakan buku wajib baca bagi peserta untuk memahami islam. Sebagaimana biasa dilakukan, bahwa pada setiap sebuah seminar, dua minggu atau sebulan sebelum menghadiri seminar kepada peserta telah dikirimkan beerapa buku wajib baca, dan sebagian dari peserta diberi kesempatan. Pada SAA I itu, substansi pembahasan materi berkisar pada pemahaman pergerakan dan pemikiran islam baik dari pendekatan sosiologis, historis, dan fenoenologis.
SAA II (1982) dilaksanakan di wisma Oikumene, sukabumi dengan tema “perkembangan Gerakan dan Pemikiran Islam di Indonesia” dengan menghadirkan untuk pertama kalinya Abdurrahman Wahid sebagai pembicara. Buku yang dibahas antara lain, karangan Delier Noer, Dr. Harun Nasution. Pada kesempatan ini pula, Dr. F Ukur memberi saran kepada peserta bahwa dalam hubungan keseharian dengan saudara-saudara yang lain tidak perlu menyandarkan kepada rumusan-rumusan hasil konferensi yang susah dimengerti.
SAA III (1983) dilaksanakan di wisma Bahtera cipayung dengan tema “Pandangan Islam Tentang Masyarakat”. Seminar ini bertujuan untk memperdalam pengetahuan bidang islam untuk membantu gereja-gereja mengenal lingkungan sekitar dan meninkatkan hubungan antar umat beragama. Pembicara menekankan bahwa bangsa indonesia tidak bisa terhindar dari arus modernisasi dan sekularisasi. Untuk itu agama harus mampu menjawab tantangan.
SAA IV (1984), di Wisma Bahtea Cipayung dengan tema “pembinaan manusia dalam agama dan masyarakat: sorotan khusus terhadap tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam”. Seminar ini menguak perkembangan pesantren di Indonesia yang semakin memperliatkan momentumnya, baik yang tradisional maupun yang benar yang terbesar di desa-desa dan kota indonesia.
SAA V (1985) di Cisarua, dengan tema “agama dan modernisasi” pada intinya menyoroti isu-isu sekularisasi yang dipahami menimbulkan pergeseran-pergeseran nilai yang akhirnya menyisihkan kebersamaan, persekutuan, dan spiritualitas dalam kehdupan bermasyarakat.
SAA VI (1986) dengan tema “ agama dan keadilan”. SAA VII di Tugu, Bogor dengan tema “Moral dan etik dalam pembangunan bangsa”, dengan tujuan membangun kesadaran bahwa tujuan pembangunan bukan saja material tetapi juga manusia dalam kebutuhan moral dan etiknya perlu dikembangkan ke-arah yang lebih baik. “Lingkungan dan Pembangunan Nasional menjadi tema pada SAA VIII (1988), DI Tugu,Bogor. Sorotan khusus  seminar ini adalah melihat bahwa kemajuan tenologi dan modernita memberikan dampak negatif bagi kelestarian alam sehingga peran agama-agama dituntut tanggung jawabnya.
SAA IX (1989), Mengambil tema “Spiritualitas dalam Masyarakat Modern”, bertujuan agar umat beragama dapat bergandengan tangan bekerjasama secara terbuka, membangun komitmen bersama dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuan dan damai untuk kepentingan bersama dan bangsa indonesia.
SAA X (1990)  dengan tema “agama-agama dan masalah kepemimpinan”. Islam memahami bahwa pemimpin adalah “umara” (jujur saleh mengacu pada karakter Nabi) dimana pemimpin harus senantiasa memperhatikan pertimbangan ulama, keadilan, kemurahan hati orang kaya, dan doa orang miskin. Sedang kaum kristen memahami pemimpin dalam pengertian karakter “seorang gembala” yang bertujuan mensejahterakan umat gembalanya dalam prinsip menggerakkan dan keadilan.
SAA X1 (1991), Dengan tema “Agama dan Pembangunan Ekonomi”, ekonomi harus dilihat  sebagai hasil karya manusia. Dlam pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi, sangatlah ditekankan dengan maksud meningkatkan sumber daya manusia ang berkualitas dan bermoral dan memiliki kesadaran yang tinggi.,
SAA XII (1992), dengan tema “pluraisme dan demokasi” pluralisme dilihat sebagai bagian yang tidak terelakkan bagi bangsa indonsia. Oleh sebab itu, sebagai wara bangsa harus memilki sikap, pengakuan, penghargaan, dan kesetaraan. Pluralisme dilihat sebagai bagian yang tidak terelakkan bagi bangsa Indonesia, oleh sebab itu, sebagai warga bangsa harus memiliki sikap, pengakuan, penghargaan, dan kesearaan. Pluralisme dan demokrasi dipahami sebagai yang berkaitan satu ama lain. Tidak ada demokrasi tanpa penghargaan terhadap pluralitas.
SAA XIII (1993), dengan tema “agama, masyarakat dan Demokrasi”, ditekankan bahwa agama bukan untuk dirinya sendiri, melainkan  untuk kepentingan manusia, ia bertanggung-jawab mengembangkan etika tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
SAA XIV (1994), dengan tema “agama-agama dan tantangan kebudayaan” tema ini bertujuan untuk menyadarkan umat beragama mengkritsi jalannya pembangunan yang tidak lagi berpihak kepada dimensi kemanusiaan.
SAA XV (1995), dengan tema “ Berteologi dalam Konteks agama-agama di Indonesia” disini teologi Religionum menjadi pusat pembahasan dengan tujuan dan wacana di samping menghindari sinkritisme dalam agama, ia merupakan upaya mnerobos pandangan makna agama melalui penambahan wawasan.
SAA XVI (1996), dengan tema”agama-agama memasuki Milenium  III, di Kaliurang memasuki Milenium III yang merupakan era kemajuan teknologi, sehingga dunia lewat proses globalisasi ditantang untuk mengantisipasi dan melakukan perubahan pola pikir dan agama-agama yang dipangil untuk menghidupkan spiritualita.
SAA XVII, (1997), dengan tema “peran agama-agama dan wawasan kebangsaan di indonesia”. Agama dipahami sebagai lembaga yang memberi inspirasi dan sekaligus memberikan kritik konstruktifnya sebagai perwujudan suara kenabian.
SAA XVIII (1998), dengan tema “Agama-agama kekerasan dan perdamain yang dibahas dalam SA XIX, tahun1999, dibahas berkaitan denganbergulirnyamasa reforganisasi kemasyarakatan. Agama dan kekerasan dipahami sebagai sesuatu yang bertolak belakng.
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa panggung dialog antara agama Islam-Kristen sudah terjadi pada masa Nabi Muhammad, dimana dialog agama terjalin dengan baik, bahkan kita ketahui juga bahwa Muhammad memiliki seorang istri yang beragama Kristen. Bahkan Muhammad juga pernah mengatakan bahwa agama Kristen adalah Ahlul Alkitab, panggung dialog ini terjadi begitu baik. Bahkan pada masa orde baru juga banyak terlihat panggung dialog yang terjadi, banyak hal yang dapat dilakukan agar terjalin kerukunan umat beragama salah satunya ialah dengan membuat seminar-seminar antar umat beragama. Oleh karena itu terjalinlah perdamaian antara agama.



IV.             Daftar Pustaka
                   Bastian Adolu, Jiwa Kerukunan  Masyarakat Sipirok, Bekasi: Dian Karsa Kencana, 2008
Den End Van, D Jonge,  Christian, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, Jakarta: BPK-GM, 2002
                   Pomalingo Samsi, Membumikan Dialog Liberatif, Yogyakarta: CV Budi    Utama,2012
Riyanto F.X.E. Armada, Dialog Agama, Yogyakarta: KANISIUS, 1995
                   Schumann Olaf, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, Tomohan:Ukit Press, 2018
                  Van Leeuwen Arend Th., Agama Kristen Dalam Sejarah Dunia, Jakart: BPK-GM,1964
Woly Nicolas, Perjumpaan di Serambi Iman, Jakarta: BPK-GM, 2010




[1] DP adalah Dialogue and Proclamation (dokumen Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa dan Sekretariat untuk dialog antar agama).
[2] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995), 102-103.
[3] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama,110-113.
[4] Samsi Pomalingo, Membumikan Dialog Liberatif, (Yogyakarta: CV Budi Utama,2012), 4-5.
[5] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama,105.
[6] Arend Th. Van Leeuwen, Agama Kristen Dalam Sejarah Dunia, (Jakart: bpk-GM,1964), 64-65.
[7] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, (Tomohan:Ukit Press, 2018. 76.
[8] Van Den End, Christian D Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 147.
[9] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 78-79.
[10] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 80-82
[11]Adolu Bastian, Jiwa Kerukunan  Masyarakat Sipirok, (Bekasi: Dian Karsa Kencana, 2008), 151.
[12] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann, 83-85.
[13]Nicolas Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 71. 
[14] Adolu Bastian, Jiwa Kerukunan  Masyarakat Sipirok, 45.
[15] Olaf Schumann, Misi Baru Dalam Kemajemukan Teolog Lintas-Iman dan Lintas Budaya, Kutipan Krja Penulisan buku Penghormatan dan Perayaan 80 Tahun Prof. Ola f Scumann,89-94.
Share:

No comments:

Post a Comment

POSTINGAN POPULER

Total Pageviews

FOLLOWERS