Ibadah, Teologi dan Dogma Gereja Katolik Roma Pada
Abad Pertengahan
I.
Pendahuluan
Pada sajian-sajian ini
kita akan membahas tentang ibadah, teologi, dan dogma Gereja Katolik Roma pada
abad pertengahan, yang di mana di dalam Gereja Katolik Roma tidak tidak lepas dari namanya
ibadah, dalam ibadah pada abad
pertengahan dikenal dua liturgi dalam gereja Katolik Roma yaitu liturgi Roma
dan liturgi Gallia. Teologi yang berkembang bada abad pertengahan adalah
teologi skolastik yang berusaha membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah
dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia.
Pada abad pertengahan Gereja Katolik Roma mengenal tujuh sakramen dan juga
dogma tentang transubstansiasi.
II.
Pembahasan
2.1. Latar Belakang
Bersamaan
dengan kehancuran kekaisaran Romawi di wilayah barat pada abad ke-5 – setelah
pecah menjadi dua: Romawi Barat dan Romawi Timur – memecahkan konsentrasi
pemerintahan Romawi di Roma. Perpecahan tersebut membentuk sejumlah negara
baru, yaitu Prancis, Inggris, Jerman dan negeri-negeri Skandinavia.
Negara-negara baru tersebut membuka peluang penginjilan bagi gereja. Sejumlah
imam dikirim oleh gereja. Bersamaan dengan itu, penyebaran penginjil
menyebabkan penyebaran liturgi dan tradisinya ke gereja-gereja baru.[1] Selama
zaman abad pertengahan, gereja di Eropa Barat memainkan peranan yang menentukan
di seluruh kehidupan masyarakat. Di Eropa Barat, gereja dinamakan Gereja
Katolik-Roma, yang dipimpin oleh uskup kota Roma, pusat gereja, yang disebut
dengan Paus.
Di Eropa Barat perkembangan Gereja
Katolik-Roma pada awal abad pertengahan mula-mula sangat ditentukan oleh
ketidak stabilan politik sesudah kuasa kekaisaran Romawi hilang. Paus menjadi pemimpin juga di bidang politik.
Biara-biara menjadi pusat kebudayaan, pendidikan serta teologia, tetapi karena
kekacauan masyarakat, belum terlihat usaha untuk menciptakan sesuatu yang baru
pada bidang-bidang tersebut. Baru sekitar tahun 800, pada zaman kaisar Karel
Agung, keadaan politik menjadi lebih stabil, yang menyebabkan perkembangan pada
bidang kebudayaan, pendidikan, politik dan juga teologia. Pada abad pertengahan
yang jaya (910-1300), dalam teologia ditempuh jalan-jalan baru.[2]
2.2. Ibadah Katolik Roma
Pada Abad Pertengahan
2.2.1.
Tempat
Ibadah
Bentuk tempat ibadah yang dipakai pada
permulaan abad-abad pertengahaan adalah bentuk Basilika. Bentuk ini kemudian diganti oleh bentuk Romans (abad 11 dan 12) dan bentuk Gotis (abad 13 dan 14).[3]
1. Bentuk
Basilika.
Bentuk bangunan gereja
pertama yang dibangun dalam ukuran raksasa setelah rumah-rumah dan katakomba adalah basilika. Basilika adalah
bangunan Romawi untuk kegiatan umum. Model basilika diyakini sebagai bangunan
gereja hingga sekitar seribu tahun lamanya dalam sejarah gereja sebelum
dimodifikasi untuk keperluan liturgi. Dinding-dinding, pilar, dan apsis (absis=lengkung) dibuat berhiaskan mosaik
dan freska kristiani. Altar dibuat dari batu, di dalamnya terdapat makam
seorang martir sebagai gambaran kesaksian iman. Ruang ibadah dibuat menyerupai
bahtera yang disebut naos. Dibuat
lorong panjang (disebut alos=aisle=sayap),
selain panjang juga luas dan lebar sehingga memadai untuk keperluan prosesi
liturgis. Pola basilika sederhana dan
berbentuk kotak-kotak atau kubis[4]
2.
Bentuk Romans
Jika pada awalnya
bangunan gereja raksasa dan basilika lebih berupa ruang dalam yang panjang dan
lurus, romans membuat model salib
pada naosnya. Sayap kiri dan kanan membentuk palang horizontal sehingga naosnya bermodel salib.[5]
Ruang basilika yang dipakai dalam
abad sebelumnya diperluas, ditambahkan sejumlah menara-menara pada gedungnya,
temboknya tebal-tebal dan jendelanya kecil-kecil. Sama seperti basilika bentuk romans banyak memakai balok-balok horizontal. Bagian atas
tiang-tiang dihiasi dengan patung-patung atau pahatan-pahatan yang mengisahkan
kisah-kisah Alkitab maupun kehidupan orang-orang suci. Oleh karena
hiasan-hiasan ini, ruang-ruang dari gedung-gedung romans kelihatan lebih dinamis dan mewah daripada ruang basilika.[6]
3. Bentuk
Gotis
Perkembangan kemudian
dari romans adalah gaya gotis. Apsis bertudung di jendela dan
pintu mulai dibentuk sehingga mempunyai kuncup seperti bawang. Gotis ini berbeda dengan romans dengan apsis setengah lingkaran[7]. Ciri khusus dari bentuk ini adalah;
usaha menciptakan ruang-ruang yang lebih besar dengan cara menghindari
pemakaian tembok-tembok yang tebal. Bahan-bahan yang dipergunakan ringan dan
rangka-rangka bangunannya tipis. Jendela-jendelanya besar, bagian atas dari
jendela-jendela itu melengkung tajam. Menara-menaranya ramping dan tinggi.
Bentuk gotis ini lebih dinamis dan lebih mewah daripada gaya romans. Gedung-gedung gereja yang
dibangun dengan gaya ini, lebih terang dan segar, lebih luas dan lebih tinggi.
Banyak memakai patung-patung dan hiasan-hiasan.[8]
2.2.2.
Liturgi
2.2.2.1. Liturgi Abad
Pertengahan Pertama[9]
Keberbagaian corak
liturgi pada awal abad-abad pertengahan makin nyata. Hampir setiap tempat dan
daerah memiliki corak liturginya sendiri. Dalam sejarah gereja abad ke-5, ada
dua rumpun tradisi besar dalam liturgi, yaitu Liturgi Roma dan Liturgi Gallia.
Litugi Gallia berkembang ke wilayah barat, yang sebelumnya telah menggunakan
liturgi Roma. Kedua liturgi ini saling berbeda dan bermuara di Italia. Sebagian
dari Italia menggunakan liturgi Roma, sebagian lagi menggunakan liturgi Gallia.
Liturgi Roma telah menyebar pemakaiannya keluar Roma dan bahkan keluar Italia
ke arah selatan, semisal ke wilayah Umbria, Afrika Utara, dan seterusnya.
Liturgi Gallia adalah “tandingan” liturgi Roma. Penyebarannya mulai dari timur
menuju ke arah Italia Utara. Bermula dari Milan, lalu ke Gallia, Spanyol,
Inggris, dan Irlandia. Penelusuran ini menjelaskan bahwa sejak semula liturgi
tidak pernah seragam. Ada banyak ragam. Keberbagaian yang dimaksud di sini
adalah pembentukan rumpun-rumpun liturgi baru. Hal tersebut muncul antara lain
karena pencampuran liturgi dengan unsur-unsur pribumi yang sering kali terjadi
secara otomatis atau dengan sendirinya, atau dengan urusan politis dan kuasa
gerejawi.
1.
Liturgi
Papal dalam Liturgi Roma
Zaman kepausan membawa dampak bagi
timbulnya liturgi kepausan yang disebut dengan liturgi Papal. Liturgi Papal
diadakan menurut waktu yang tetap dan dipimpin oleh Paus sendiri, yang biasanya
dihadiri oleh anggota kerajaan dan umat dari berbagai pelosok kota Roma.
Keadaaan tersebut masih berlaku hinggga sekarang, terutama pada paskah dan
natal. Hingga kini, liturgi Papal masih rutin dilaksanakan setiap pekan di
Vatikan.
2.
Liturgi
Gallia
Liturgi Gallia berasal dari liturgi
oriental dan pada mulanya menggunakan bahasa Yunani. Setelah penyebarannya ke
daerah Italia, bahasa dan formula Yunani pun bercampur dengan bahasa dan
formula Latin. Beberapa unsur liturgi Gallia dapat pula dijumpai dalam liturgi
Roma. Liturgi senantiasa melakukan penyesuaian ritual pada locus-nya; ini terjadi sepanjang zaman.
2.2.2.2. Liturgi Abad
Pertengahan Kedua[10]
Kehidupan liturgis dan penetapan liturgi
nikah merupakan konsekuensi dari peran gereja dalam hidup bermasyarakat.
Kelanjutan dan pengembangan liturgi Papal memunculkan terbentuknya sejumlah
gedung gereja berdasarkan sifat peribadahannya. Ada yang khusus dan utama –
disebut gereja induk, kemudian menjadi gereja katedral – untuk melayankan
liturgi Papal, yang tidak melayankan liturgi Papal, disebut gereja parokial.
1.
Liturgi
Pernikahan
Pada satu pihak pernikahan dianggap
urusan pribadi, bukan urusan lembaga agama. Pernikahan tidak perlu digerejakan.
Ia berurusan cukup dengan hukum negara atau adat istiadat. Akan tetapi, pada
pihak lain. Pernikahan berdimensi religius dan moral. Pejabat gereja
diikutsertakan walaupun yang berperan ialah kepala keluarga atau kepala
komunitas. Baru pada abad ke-5, di Roma pernikahan mulai dihubungkan dengan
perjamuan kudus. Pernikahan digerejakan, tetapi gereja tidak memutuskan sah
tidaknya sebuah pernikahan. Bahkan tidak ada kewajiban tertentu yang memutuskan
bahwa pernikahan harus dilayankan dalam liturgi gereja. Bagi gereja, pernikahan
yang sah ialah persetujuan kedua pihak yang menikah dan keluarganya. Gereja
mendukung usaha dan melindungi institusi pernikahan. Disitulah kejujuran dan
ketulusan terjamin sebab tidak ada manipulasi atau language game. Maka, gereja membuat semacam tata pernikahan. Garis
besar yang dibuat gereja pada abad ke-9 dalam pernikahan adalah sebagai
berikut:
Upacara
pernikahan menempuh beberapa tahap. Lebih dahulu adalah pertunangan di bawah
kuasa kepala keluarga masing-masing.
Kemudian
perayaan pernikahan sendiri, mencakup penyerahan emas kawin secara tertulis
yang disepakati oleh kedua pihak, memasang cincin, dan menandatangani surat
pernikahan.
Mempelai
pergi ke gereja dengan membawa persembahan yang dalam misa dipersembahan oleh
imam. Mempelai diselubungi dan diberi berkat oleh imam, kecuali perkawinan
kedua.
Mempelai
keluar dari gedung gereja dengan karangan bunga di kepala dan pulang.
Setelah perkawinan
dilakukan di dalam gereja, peran imam atau uskup dalam pernikahn semakin
penting dalam hal sahnya sebuah pernikahan. Imam atau uskup memasangkan
karangan bunga pada kepala pengantin, menggabungkan tangan pengantin dan
memberkatinya, serta membawakan doa atau Mazmur. Oleh karena pejabat negara
yang menikahkan dan pejabat negara yang memberkati atau hanya menghadiri sering
kali sama, pengantin boleh memilih peresmian nikah mereka, yaitu catatan sipil
atau pemberkatan di gereja. Dengan demikian, pelayanan pemberkatan pernikahan
dijadikan kewajiban oleh hukum negara menurut forma canonica. Sejauh ini ketentuan peran pejabat gereja, yakni
imam dan uskup sebagai pegawai negeri dalam penikahan berkaitan langsung dengan
peraturan negara atau adat istiadat.[11]
2.2.3.
Pemberitaan
Firman/Khotbah
Ciri-ciri yang paling mencolok dalam
pewartaan Injil di Eropa pada abad pertengahan (tahun 500-1200) ialah
melibatkan peran serta para raja dan penguasa setempat. Jika seorang raja masuk
Kristen, para rakyat di wilayah kerajaannya akan ikut menjadi Kristen. Pada
zaman itu, soal menganut suatu agama bukanlah keputusan dan atau urusan
pribadi, melainkan kewenangan di tingkat kaum, suku, dan etnis. Pemikiran
tersebut berkembang dari pandangan bahwa agama adalah unsur penentu jaminan
atas kemakmuran seluruh kaum, suku, dan etnis tersebut. Oleh sebab itu, para
raja dan penguasa berperanan besar dalam pewartaan Injil dalam hal-hal berikut:
a. Seorang
penguasa, yang baru saja percaya, dan bebas dari pengaruh luar, berkuasa mutlak
di wilayah kerajaannya. Ia dapat mempengaruhi, bahkan memerintahkan seluruh
rakyatnya agar ikut percaya (contoh: Ethelbert dari Kent, Inggris, pada akhir
abad ke-7; Vladimir di Rusia pada akhir abad ke-10).
b. Beberapa
raja dari negara-negara Kristen yang kuat ikut mendukung dan melindungi para
utusan Injil tatkala mereka diutus ke wilayah perbatasan kerajaan mereka
(contoh raja-raja di Perancis mendukung utusan Injil seperti Willibrod dan
Bonifacius, demikian juga beberapa orang raja Kristen di Skandinava).
c. Raja-raja
Kristen yang menaklukkan bangsa-bangsa lain dan memaksa bangsa taklukan untuk
masuk Kristen (contoh klasik: Charlemagne dari Perancis yang menaklukkan kaum
Saxon di Jerman pada akhir abad ke-8).
Tidak kalah pentingnya ialah, setiap
utusan yang pergi memberitakan Injil sebelumnya telah dimuridkan dan terlatih
di dalam suatu monasteri. Para utusan itu mendirikan monasteri-monasteri yang
berfungsi sebagai pusat pelatihan dan dukungan (doa dan keuangan) bagi mereka
yang diutus untuk pergi. Pendirian monasteri-monasteri itu berguna sebagai (a)
tempat kediaman para rohaniawan; (b) pusat penelitian pengerja pribumi yang
berhasil dimenangkan melalui penginjilan; (c) teladan bagi orang-orang kafir.
Mereka dididik dengan pelbagai pelajaran
utama yang digali dari dalam alkitab, dengan kemampuan berbahasa Latin, dan
dengan ke dalaman pemikiran teologi milik Bapa-bapa Gereja Barat. Para utusan
itu bukan hanya cakap berkhotbah dan memberitakan Injil saja, tetapi mereka
juga membuktikan kuasa Injil itu dengan kesaksian hidup yang saleh, tertib, dan
disiplin di tengah-tengah kefasikan masyarakat yang kafir. Dengan menggunakan pelbagai metode tersebut,
kekristenan telah meluas ke hampir seluruh penjuru Eropa sampai tahun 1200.
Namun karena banyak rakyat sering masuk Kristen secara massal, dan tidak pernah
dimuridkan dengan baik, kekristenan pada zaman itu menghadapi ancaman bahaya
sinkretisme.[12]
2.2.4.
Pengakuan
dan Nyanyian
Niceanum adalah (pengakuan iman jemaat),
karena itu disebalah Timur ia selalu di ucapkan oleh anggota-anggotanya di
dalam ibadah. Juga di Spanyol dan di Prancis ia mula-mula di ucapkan oleh
angota-angota jemaat. Tetapi kemudian, dalam abad ke X, tugas itu di ambil alih
oleh paduan suara. Dalam liturgi-liturgi disebelah Timur ia merupakan unsur
tetap dari ibadah jemaat dan ditempatkan sesudah cium salam. Dalam misa di Roma
pengakuan iman jemaat dikaji dan atau dijanjikan sesudah pembacaan injil
sebagai jawaban atas pembacaan-pembacaan Alkitab yang mendahuluinya atau
sebagai alat penghubung antara pembacaan-pembacaan Alkitab dan persembahan
korban.
Apostolicum (pengakuan iman Rasuli)
adalah unsur tetap dari liturgi baptisan dan ibadah doa tiap-tiap hari. Disini
sejak abad-abad pertengahan dipakai (didoakan) bersama-sama dengan Bapa Kami
dan Ave Maria pada permulaan dan akhir ibadah.
Athanasianum (pengakuan iman Athanasius)
berasal dari sebelah barat. Ia mulai dengan kata-kata Latin “Quicumque”, karna
itu kadang-kadang disebut juga demikian.
Sampai sekarang tidak tahu dengan pasti siapa yang menyusun Athanasianum ini,
tetapi memakai kata Anthanasius, tetapi
telah terang , bahwa bukan bapak gereja yang menyusunnya. Ia ditulis
dalam bahasa Latin. Isinya adalah suatu uraian tentang dogma Trinitas dan
Kristologia. Teologis ini bersandar pada ajaran Ambrosius dan Agustinus. Nyanyian-nyanyian
ibadah, yang dipakai dalam abad-abad pertengahan umumnya sama saja dengan
nyanyian-nyaian yang dipakai dalam abad-abad yang mendahuluinya.
a. Kyrie
eleison (Tuhan kasihanilah). Disebalah barat nyanyian ini telah dirobah oleh
Gregorius besar menjadi Christe eleison.
b. Sanctus
(Kudus, kudus, kudus). Nyanyian ini adalah nyanyian jemaat, baik di Timur dan
di Barat.
c. Haleluya
(Pujilah Tuhan). Dalam abad-abad pertengahan Haleluya banyak sekali digunakan.
Terutama dalam liturgi-liturgi missa.
d. Nyanyian
perjamuan (Communio). Nyanyian ini dinyanyikan oleh paduan suara, sebagai Anthipon
dengan mazmur selama kommuni (perjamuan).
e. Introitus
(Nyanyian Masuk). Nyanyian ini terdiri dari tiga bagian yaitu, Antiphon,
mazmur, dan Gloria kecil, ini dinyanyikan berseling-seling oleh cantor (penyanyi) dan koor (paduan
suara).
f. Gradual
(Responsorium). Yang sudah dinyanyikan
sesudah pembacaan Injil.
g. Traktus.
(Yang dinyanyikan dalam satu tarikan) yang artinya dinyanyian terus menerus
sampai selesai.
h. Nyanyian
korban (Offertorium). Di gereja barat nyanyian ini dipakai untuk mengiringi
perembahan korban (Yang dibawa ke mezbah oleh para klerus dan anggota-anggota
jemaat).
i.
Glori in excelsis Deo
(Hormat bagi Allah ditempat yang maha tinggi, Luk 2:14). Dinyanyikan dalam
semua missa, kecuali dalam missa untuk orang-orang mati dan pada waktu Advent
dan waktu puasa.
j.
Agnus Dei (Anak domba
Allah). Nyanyian ini adalah nyanyian perjamuan yang sebenarnya. Nyanyian ini
dinyanyikan (oleh koor) pada perpecahan roti berlangsung.[13]
2.2.5.
Waktu
Ibadah
Dalam
abad-abad pertengahan jumlah ibadah semakin bertambah besar, sama seperti abad-abad yang lalu yang di manajemaat
selalu berkumpul pada:
a. Hari
Minggu (hari Tuhan), hari raya paskah, hari raya kenaikan Tuhan Yesus dan hari
raya Pentakosta. Hari raya ini berlangsung seperti biasa.
b. Demikian
pula persiapan (puasa) untuk hari raya Paskah. Hanya harus ditambahkan disini,
bahwa selama waktu puasa dilarang melakukan perayaan perjamuan malam
(eucharistia). Synode Laodikea kurang lebih tahun 360 memutuskan (dalam kanon
49), bahwa selama waktu quadragesima tidak boleh dipersembahkan roti, kecuali
pada hari sabtu dan minggu. Paus Innocentius I (402-417) menulis kepada
Dicentius, bahwa rasul-rasul berpuasa pada hari antara Jumat Agung dan Paskah,
karena pada hari itu tidak boleh dijalani sakramen. Larangan ini tetap ditaati
orang dalam abad-abad berikut.
c. Hari
raya natal. Dalam abad-abad ini hari raya natal ini telah menurun dirayakan
pada tanggal 25 Desember.
d. Advent.
Ibadah ini tidak selamanya sama dirayakan orang. Ada jemaat yang merayakannya
hanya satu minggu (Jerusalem, dengan pembacaan Mat 1:1-17), ada juga yang dua
minggu (Suria, terutama ritus Jakob, dengan khotbah tentang puji-pujian Zakaria
dan Maria), ada yang tiga minggu (Antiokia, ritus Jakob), ada yang empat minggu
(Mesir, Rum), ada yang enam minggu (Liturgia Milano dan Mozarabia), malahan ada
juga yang tujuh mingg (ritus Armenia). Semuanya ini adalah usaha dari jemaat
untuk mempersiapkan perayaan natal dengan suatu waktu puasa, seperti yang
dibuatnya dengan perayaan paskah.[14]
2.3. Teologi Pada Abad
Pertengahan
Pada zaman Gereja Lama
orang-orang Yunani dan Romawi yang telah masuk kristen, mempergunakan
pengetahuan dan filsafatnya untuk membela iman kristen terhadap segala serangan
dari pihak kafir dan untuk melawan segala pandangan sesat dari sekta-sekta.
Oleh karena itu teologia zaman dahulu itu tumbuh dari jemaat sendiri. Lain
sekali dengan keadaan pada zaman abad-abad pertengahan, yang di manabangsa-bangsa
muda di Eropa barat dan Utara menerima segala ajaran teologia yang diwarisi
mereka dari Gereja lama. Tetapi seiringnya waktu para kaum pelajar juga mulai
menuntut ilmu thologia juga. Akan tetapi hal ini terjadi di sekolah-sekolah
tinggi, yang timbul kira-kira pada tahun 1000, dan yang kurang berhubungan
dengan hidup jemaat biasa. Teologia abad-abad pertengahan ini, yang diusahakan
disekolah-sekolah tinggi atau universitas itu biasanya dinamai dengan nama “skolastik”. maksud skolastik tidak lain
daripada memikirkan kembali isi teologia yang telah diwarisi sejak dahulu.
Ahli-ahli skolastik berkeyakinan
bahwa segala ajaran Gereja itu bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat
dimengerti juga oleh manusia. Sebab itu mereka berusaha, untuk membuktikan
bahwa sesuatu yang telah dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan
terhadap akal budi manusia.[15]
2.4.Tokoh-tokoh Abad
Pertengahan
Berikut
adalah tokoh-tokoh pada abad pertengahan yang menggunakan ilmu teologia pada
masa itu:
1.
Anselmus
(1033-1109), seorang Italia yang menjadi uskup besar di Caterbury (di Inggris),
adalah ahli teologia yang kenamaan yang harus disebut pertama-tama. Semboyannya
adalah: aku percaya supaya aku mengerti.
Ia mulai percaya kepada segala pernyataan Tuhan yang diajarkan oleh Gereja,
tetapi sesudah ia berusaha untuk menjelaskan segala pasal kepercayaannya itu, sehingga
diakui selaku kebenaranya oleh otak manusia. Umpanya, diusahakannya memberi
bukti tentang adanya Allah. Uraiannya begini: Allah dapat dipikirkan oleh
manusia sebagai zat yang termula dan yang terindah. Kalau begitu, tentulah
Allah harus ada, sebab apabila Allah hanya dapat dipikirkan saja, tetapi bukan
benar-benar ada, maka ia bukanlah zat yang termulia dan terindah.[16]
Karya Anselmus yang
paling ambisius adalah Cur Deus Homo
(Mengapa Allah Menjadi Manusia) yang ditulis pada tahun 1090-an. Anselmus menjawab
bahwa memang mutlak perlu Allah menjadi manusia dan mati demi menyelamatkan
kita. Tidak mungkin Ia begitu saja mengampuni dosa kita tanpa penebusan untuk
memulihkan kehormatan-Nya yang telah hilang. Walaupun umat manusia berutang dan
wajib membayar tebusan itu, namun hanya Allah yang cukup mampu untuk dapat
melunasinya. Oleh sebab itu, Allah harus menjadi manusia, agar sebagai manusia
ia menawarkan penebusan itu melalui kematian-Nya.
Dalam tulisannya,
sasaran Anselmus adalah menunjukkan betapa iman masuk akal, dan bukan untuk
menyajikan bukti yang tuntas. Keberatan-keberatan orang tak percaya dapat
dijawab, sehingga orang tak percaya diarahkan pada kebenaran pesan Kristen.[17]
2.
Abelardus.
Ahli skolastik kedua yang terkena ialah Petrus Abelardus (1079-1142). Pada
pendapatnya, persuasaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk
mewujudkannya. Semboyannya ialah: Lebih
dulu aku harus mengerti, barulah aku percaya. Dalam kitabnya “Ya dam Tidak”
ia mempertentangkan dan memperbandingkan bermacam-macam ajaran tradisi resmi
Gereja, yang berlawanan satu sama kain. Bukan maksudnya menerbitkan syak
terhadap-terhadap pasal-pasal kepercayaan Gereja, tujuanya tidak lain dari pada
menyusuaikan segala perkara yang rupa-rupanya tak bercocokan, supaya akal budi
dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh, akan tetapi dengan jalan ini akal
budi menjadi kaidah yang tertinggi untuk mengukur dan menilai iman. Oleh sebab
itu Abelardus dilawan keras oleh Bernhard dari Clairvaux yang memang kuatir
kalau kuasa rohani Gereja dirugikan dengan metode skolastik yang sangat
bersifat kritis itu. Akhirnya Albelardus terpaksa takluk kepada lawan-lawannya.[18]
3.
Thomas
dari Aquino. Teolog terbesar abad pertengahan,
Thomas Aquino, dilahirkan pada tahun 1225 dalam keluarga bangsawan yang kaya.
Menjelang usia 5 tahun ia terkenal akan kesalehannya, dan orang tuanya pun
mengirim dia ke sekolah biara. Pada usia 14 tahun, ia pergi ke universtas
Neples. Di sana Thomas begitu terkesan dengan guru Dominikannya. Ia memutuskan
untuk menjadi seorang biarawan Dominikan juga.[19]
Thomaslah
yang menyusun sistem teologi skolastik yang paling digemari dan dalam Gereja
Katolik Roma ia merupakan teologi yang teladan sampai abad ini. Karya utamanya
ialah buku yang berjudul Summa Theologiae
(Ikhtisar seluruh teologi). Untuk menampung ajaran-ajaran filsafat, ia
mengunakan bahan yang telah digambarkan dalam bab terdahulu, yakni kodrati dan
adikdrati. Menurut Thomas, apa yang telah diajarkan para filsuf memang
benar tetapi hanya merupakan kebenaran
tingkat bawah atau kodrati. Dari dalam Alkitab kita memperoleh ajaran lain yang
lebih tinggi yang bersifat adikridati. Jadi sam seperti manusia dari dirinya
sendiri hanya dapat menghasilkan kebaikan kodrati, begitu pula dengan
menggunakan akal budi nya sendiri yang hanya dapat memperoleh pengetahuan
kodrati. Dan sebagaimana Allah memberi manusia kekuatan dari atas sehingga
menghasilkan perbuatan-perbuatan
adikodrati, begitu juga berkat pernyataan Allah dalam alkitab manusia
memperoleh pengetahuan adikodrati. Contohnya: para filsuf mengaku keesaan
Allah, hal itu merupakan pengetahuan yang kodrati. Akan tetapi orang-orang
kristen mengaku Allah Tritunggal, itu merupakan pengetahuan yang adikodrati.
Dengan menggunakan bahan ini, Thomas dan pengikut-pengikutnya dapat menampung
hasil pemikiran-pemikiran filsafat Yunani-Romawi. Karena itu teologinya
bersifat ilmiah dan dapat memuaskan selera para cendekiawan pada zaman itu.[20]
4.
Duns
Scotus. Tidak lama kemudia timbullah kritik
terhadap teologia Thomas dari sudut lawan-lawan ordo Domican, yakni golongan
Franciskan. Wakilanya yang terutama adalah orang Inggris yang bernama Joh. Duns Scotus (1265-1308) di Oxford.
Ia mengerti bahwa tidak mungkin pernyataan akal budi disesuaikan satu sama
lain, yang di manapada perasaanya, perbuatan-perbuatan dan peraturan-peraturan
Allah yang diberitakan oleh Alkitab dan Gereja, sama sekali tidak dapat
dibuktikan, sehingga dapat dipahami oleh akal budi. Jangan diharap akal budi
itu dapat dipaksa untuk mengaku kebenaran pasal-pasal Gereja. Karena Allah
ialah Mahakehendak yang mengatur segala sesuatu menurut kehendaknya. Apa
sebabnya Allah menyelamatkan manusia dengan mengirimkan anaknya kedunia ini? Sebab
ia mengkehndakinya! Sebab yang lain tidak ada. Apabila Tuhan ingin
menyelamatkan dunia ini dengan jalan yang lain sekali, sudah tentu ia bisa
berkuasa berbuat demikian, tetapi Tuhan tidak ingin memakai jalan lain. Apa
sebabnya Yesus disengsarakan dan dibuuh pada kayu salib? Tidak mungkin manusia
akan dapat memahami itu dengan pikiranya. Cukuplah baginya kalau ia percaya
sunguh-sungguh bahwa salib itu satu-satunya jalan keselamatan dan ditentukan
dan dimaksudkan Tuhan dalam hikmatnya yang mengatasi segala hikmat manusia.
Dengan
demikian banyak bukti-bukti yang dipakai akal budi untuk mengerti sesuatu,
dibuang saja oleh Duns Scotus. Ia menunjuk kepada suatu dasar lain bagi
pernyataan Tuhan, suatu yang lebih teguh, yakni kuasa rohani Gereja. Jangan hendaknya manusia berkecil hati bahwa
akalnya tidak sampai kepada segala perkara ajaib itu. Biarlah ia menerima dan
percaya saja apa yang telah diajarkan kepadanya oleh Gereja, karena Gerejalah
yang dikaruniakan Tuhan dengan hikmat rohani. Sampai kini Duns lah yang
dianggap orang Fransciscan sebagai ahli teologia yang terbesar. Pada umumnya
Gereja Roma lebih menghormati Thomas, tetapi disamping Thomas mereka juga perlu
Duns juga, sebab dialah yang menekankan kuasa Gereja yang tergantung pada
pengertian akal budi
5.
Occam.
Ialah ahli skolastik yang ternama yang penghabisan, ia adalah rahib Franciscan
Inggris, William dari Occam
(1280-1349). Ia melangkah lebih jauh lagi. Gedung sccholastik yang permai itu,
yang diciptakan oleh Thomas, telah mulai goyang karena kencaman Duns Scotus,
tetapi sekarang seluruh dasar akal budi itu dibongkar oleh Occam. Bukan saja
akal manusia tak dapat mengerti pernyataan Tuhan, tetapi Gereja pun deserang
dengan akal budi yang sangat hebat, karena akal budi tidak dapat memasuki dunia
Allah. Sebab itu manusia hanya dapat menggantungkan kepercayaanya kepada
kehendak Tuhan saja, yang telah dinyatakan oleh-Nya, tetapi sekali-sekali tak
terpahami. Semboyan Occam berbunyi: Aku
percaya sebab mustahhil!. Akan tetapi Occam mengajar juga dalam beberapa hal
sesuai yang benar-benar dari Alkitab, misalnya: iman itu bukan mistik dan bukan
pengakuan otak pula, karena iman bukan sesuai dengan tabiat manusia, iman tidak
lain dari taatnya dan takluknya manusia kepada kuasa Firman Tuhan yang
kedengaran dari dalam Alkitab.[21]
6.
Innocentius
III
Innocentius III adalah
salah seorang paus pada abad pertengahan yang berhasil melepaskan gereja dari
kekuasaan dan pengawasan pemerintah duniawi (negara). Namanya yang asli adalah
Lotario dei Conti di Segni. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan di
Italia. Innocentius III belajar teologi skolastik di universitas Paris di bawah
bimbingan Petrus dari Corbeil. Kemudian ia belajar ilmu hukum dan hukum Kanon
pada universitas Bologna di bawah bimbingan Ugeccio dari Ferrara. Setelah
selesai pendidikannya di Bologna, ia kembali ke Roma dan segera menempati
kedudukan yang penting dalam kepausan di Roma. Pada tahun 1198 Paus Celestinus
IV meninggal dunia dan Lotari terpilih menjadi paus. Lotario memang yang sangat
cakap sekali dan berambisi menjadi pemimpin, bukan saja dalam gereja, melainkan
juga atas seluruh dunia. Ia menyebut dirinya “Wakil Kristus”. Kristus bukan
saja menyerahkan kuasa-Nya atas gereja kepada Petrus, melainkan kekuasaan atas
seluruh dunia. Oleh karena itu raja-raja harus taat pada paus. Raja dapat
memerintah dengan benar bila raja melayani gereja. Puncak karya kepausannya
adalah pemanggilan Konsili Lateran IV tahun 1215.[22]
2.5
Dogma
Gereja Katolik Roma Pada Abad Pertengahan
1.
Sakramen
Sakramen
diambil dari bahasa Latin scramentum,
yang berarti “sumpah”. Istilah sakramen digunakan untuk upacara keagaman
kristen. Terjemahan Alkitab Latin
(Vulgata), menerjemahkan kata Yunani mysterion
dengan sacramentum yaitu baptisan dan
perjamuan kudus menjadi sakramen yang dimaksud. Oleh Gereja Abad Pertengahan
ditambahkan upacara keagamaan lain pada pengertian sakramen itu.[23]
Jumlah sakramen pun telah bertambah menjadi tujuh buah. Dengan
sakramen-sakramen ini Gereja membimbing manusia dari kecil sampai ke kuburnya.
Menurut ajaran Gereja Roma, rahmat dan keselamatan hanya boleh disambut manusia
dengan menerima sakramen. Sakramen itu merupakan saluran-saluran yang
kedalamnya dicurahkan zat rahmat dari atas, untuk memasuki, memenuhi,
menyucikan dan menyelamatkan manusia lahiriah-batiniah. Adapun ketujuh sakramen
tersebut antara lain adalah:
1. Perjamuan
(misa, sakramen maha kudus, sakramen altar, ekaristi). Berdasarkan dogma
transubstansiasi, roti yang telah ditahbiskanitu dipuja oleh jemaat selaku
Tuhan sendiri.roti suci itu bernama hostia.
Sesudah misa, hostia disimpan dalam “rumah sakramen”, yang terdapat di atas
atau di sebelah mezbah. Itulah sebabnya orang katolik roma membuka topi waktu
melalui sebuah gedung gereja,dan bertelut ketika mereka masuk gerejadan lagi
tiap kali mereka melaui mezbah. Adakalanya diadakan “prosesi (perarakan)
sakramen”, yaitu hostia diarak-arakkan keliling kota dalam suatu tempat yang
elok, yang dibawa oleh seorang imam, yang berjalan di bawah sebuah payung
kehormatan.
2.baptisan.
Baptisan merupakan tanda dan materai pembasuhan serta pengampunan dosa oleh
darah kristus, pembaruan oleh roh, serta penyucian menjadi anggota kristus.
Melalui baptisan orang percaya dipindahkan ke dalam persekutuan dengan Kristus
yang dimuliakan, dan mereka akan diperkenankan menempuh jalan baru, yaitu hidup
menurut Roh, yang dikaruniakan juga kepada mereka.[24] 3.konfirmasi (sakramen
penguatan). Sakramen ini menyusul dan berdasar padakis 8:14-17. Maksudnya ialah
menguatkan iman dan mengaruniakan roh kudus. Konfirmasi itu dilakukan dengan
membuat tanda salib pada dahi dengan minyak suci dan dengan meletakkan tangan
pada orang yang menyambutnya. Hanya seorang uskup yang boleh melaksanakan it.
Dalam jemaat katolik roma anak-anak menerima konfirmasi ketika umurnya genap
tujuh tahun.
4.
pengakuan dosa. Sakramen itu terbagi atas tiga bagian: 1. Penyesalan batin yang
sungguh; 2. Pengakuan dosa dengan mulut di hadapan imam yang memberi absolsi
(kelepasan dari dosa) atas nama Tuhan. Karena ia mendapat “ kuasa anak kunci”
itu dari tangan Tuhan itu sendiri menurut mat 16:19; 3.penebusan dosa dengan amal atau
penintensia. Dengan sakramen ini imam dapat memelihara dan menguasai jemaat
dengan baik sekali
5.perminyakan
(sakramen orang sakit) berdasar pada suatu kebiasaandalam jemaat yang
mula-mula, yaitu orang sakit didoakan dan diurapi oleh ketua-ketua (yak 5:14).
Kemudian pengurapan ini menjadi sakramen resmi. Imam melakukan sakramen ini
kepada orang sakit yang akn meninggal, dengan membubuh minyak suci pada mata,
telinga, hidung, mulut, tangan dan kakinya. Diberi [diberi pula perjamuan
penghabisan kepada si sakit itu sebagai bekal untuk perjalanannya menjelang
hidup yang baka.
6.
perkawinan. Kaum awam boleh kawin, sebab bagi mereka berlaku syarat-syarat
kebajikan yang lebih ringan. Tetapi dalam pada itu nika, yang termasuk hidup
kodrati (alamiah), perlu dipertinggi derajatnya dan dikuduskan oleh rahmat dan
berkat Tuha, yang dikaruniakan kepada suami istri dengan perantaraan gereja
dengan sakramen nikah yang kudus. Oleh karena itu nikah yang ditahbiskan oleh
imamlah yang diakui oleh gereja roma. Nikah resmi dihadapan pegawai pemerintah
tidak dipandang nikah yang disahkan oleh Tuhan, meskipun anggota-anggota gereja
harus menurut undang-undang negeri juga. Kesimpulan ajaran ini ialah bahwa
nikah yang ditahbiskan oleh gereja tak boleh diceritakan lagi, kecuali dalam
hal istimewa sekali dengan izin paus.
7.
tahbisan imam. Segala sakramen tadi disampaikan kepada jemaat dengan tangan
imam, karena dialah yang disanggupi untuk jabatan suci itu dengan suatu
tahbisan istimewa. Oleh tahbisan itu ia menjadi satu-satunya pengantara, yang
dipakai oleh Tuhan untuk menyampaikan rahmatNya kepada manusia. Sebab itu
sakramen tahbisan imam menjadi batu alas seluruh bangunan gereja roma. Sekali
imam tetap imam, walaupun ia murtad atau masuk sekta atau dipecat.[25]
Ketujuh
acara itulah yang diakui sebagai sakramen sejak abad ke-12, yang dipertahankan
Gereja Katolik Roma sampai sekarang.[26]
1.
Transubstansiasi
Pada
akhir abad ke-11, Berengar dari Tour tampil menonjol sebagai orang yang tidak
bisa diam. Ia ingin mendapatkan kejelasan mengenai apa yang terjadi ketika imam
memecahkan roti dan mengambil anggur dan mengatakan apa yang Yesus ucapkan
dalam Perjamuan Terakhir, “Inilah tubuh-Ku” dan “Inilah darah-Ku”. Oleh karena
biasanya roti akan berubah tampilannya pada saat berjamur, tetapi tetap sebagai
roti secara substansial, dalam hal roti untuk perjamuan tampilannya akan tetap
sama, tetapi dalam hal substansi roti itu secara harafiah berubah menjadi Tubuh
Kristus.[27]
Dalam ajarannya mengenai transsubstantiatio,
Thomas menegaskan perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah
Kristus sesudah konsekrasi. Dengan perubahan itu, hakikat atau esensi roti dan
anggur tidak ada lagi. Hakikat roti dan anggur itu sudah diubah menjadi hakikat
tubuh dan darah Kristus oleh daya kuasa Allah sendiri. Kristuslah yang
menggubah substansi (dalam arti hakikat) roti dan anggur itu menjadi hakikat
tubuh dan darah Kristus.[28]
Melalui Konsili Lateran keempat (1215) yang dipimpin oleh Innocentius III,
doktrin “transubtansiasi” dengan resmi menjadi bagian dari gereja[29]
2.
Api
penyucian
Api
penyucian merupakan tempat di antara surga dan neraka, di mana orang yang tidak
cukup jahat untuk dibuang ke neraka, tetapi yang belum cukup suci untuk
langsung masuk sorga. “Api penyucian” ini lah yang sangat ditakuti orang banyak
pada saat itu. Mereka melaksanakan latihan yang diperintahkan oleh iman kepada
mereka, seperti berpuasa, sekian kali mengangkat doa “Bapa Kami” atau “Ave
Maria”.[30]
3. Relikwi-relikwi
Karena
belum tentu usaha-usaha itu di atas akan mencukupi maka diharapkan pengantaraan
orang-orang santo, terutama Maria. Mereka dianggap berjasa terhadap Tuhan dalam
hal perbuatan-perbuatan amal mereka, yang melebihi jumlah perbuatan yang perlu
untuk masuk surga. Beragam-ragam benda peninggalannya dipuja, misalnya tulang,
rambut, pakaian dan lain-lain. Relikwi-relikwi ini dianggap mengandung khasiat
anugerah yang istimewa. Jemaat juga percaya akan bermacam-macam mujizat, yang
diadakan oleh Maria dan orang-orang santo.[31]
4.
Penghapusan
siksa / Indulgensia
Indulgensia
timbul dari praktek pengakuan dosa. Gereja mulai mengajarkan bahwa indulgensia
itu bukan saja menghapuskan hukuman Gereja yang harus ditanggung dalam hidup
ini, tetapi juga meniadakan siksa-siksa yang harus diderita dalam api
penyucian. Praktek indulgensia Gereja Roma lebih meluas lagi, ketika
penghapusan itu bukan saja boleh didapat berdasarkan amalan manusia, ketika
kemudian dijual, boleh dibeli dengan uang.[32]
III.
Kesimpulan
Pada abad pertengahan yang dimulai dari
tahun 590-1517 Gereja Katolik Roma mengenal dua liturgi dalam ibadah yaitu Liturgi
Roma dan Liturgi Gallia. Liturgi Galia berkembang ke daerah barat sementara
penyebaran Liturgi Roma mulai dari timur menuju ke arah Italia Utara. Pada masa
ini muncul pula teologi skolastik yang memiliki tokoh terkemuka yaitu Thomas
dari Aquino (1225-1274). Gereja Katolik Roma pada masa ini memiliki tujuh
sakramen yang menyalurkan anugerah Allah kepada orang kristen. Ketujuh sakramen
itu menurut urutannya ialah: baptisan, konfirmasi (peneguhan), pengakuan dosa,
misa atau ekaristi, perminyakan, nikah dan penahbisan imam. Paham
transubstansiasi (perubahan hakikat) pada anggur dan roti yang dipakai pada
sakramen ekaristi merupakan ajaran yang menarik dan pada Konsili Lateran
keempat (1215) yang dipimpin oleh Paus Innocentius III disahkan menjadi ajaran
gereja. Abad pertengahan menjadi di kenal dengan abad kegelapan gereja, karena
pada masa ini banyak penyimpangan yang menyimpang dari ajaran gereja mula-mula,
dan yang paling disoroti adalah pengomersialan surat penghapusan siksa.
Daftar Pustaka
Abineno,
J.L.CH.., Ibadah Jemaat dalam Abad-Abad Pertengahan, (Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 1996)
Berkhof, H., Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014)
Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015)
De Jong,
C., Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
End Den, Thomas Van, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014)
Enklaar,
H., Pembaptisan Masal & Pemisahan
Sakramen, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003)
Evans, G. R., Sejarah
Singkat Bidah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
E., Culver, Jonathan., Sejarah
Gereja Umum, (Bandung: Biji Sesawi, 2013)
Kenneth, Curtis, dkk., 100 peristiwa penting dalam sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2013)
Lane,
Tony, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2015)
Martasudjita,
E., Ekaristi, (Yogyakarta: Kanisius,
2005)
Rachman, Rasid., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010)
Wellem,
F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003)
[1] Rasid Rachman, Pembimbing ke
dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK GM, 2010), 78-79
[2] C. De Jong, Pembimbing ke dalam
Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 60-64
[3] Ibid, 58
[4]Rasid Rachman, Pembimbing ke
dalam Sejarah Liturgi, (Jakarta: BPK GM, 2010), 110-111
[5] Ibid,114
[6] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat
dalam Abad-Abad Pertengahan, 58
[7] Rasid Rachman, Pembimbing ke
dalam Sejarah Liturgi, 115
[8] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat
dalam Abad-Abad Pertengahan, 59
[9] Rasid Rachman, Pembimbing ke
dalam Sejarah Liturgi, 79-94
[10] Rasid, Rachman, Pembimbing ke
dalam Sejarah Liturgi, 104, 127
[11] Rasid, Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi,
122-127
[13] J.L.CH. Abineno, Ibadah Jemaat
dalam Abad-Abad Pertengahan, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1996), 45-50
[15] H. Berkhof, Sejarah Gereja,
101-102
[16] Ibid, 102
[17] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015), 90-91
[18] H. Berkhof, Sejarah Gereja,
103-104
[19] Curtis, A., Kenneth, dkk., 100
peristiwa penting dalam sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 63
[20] Thomas Van Den End, Harta Dalam
Bejana, 130-131
[21] H. Berkhof, Sejarah Gereja, 106-107
[22] F.D., Wellem, Riwayat Hidup
Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 106
[23] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 394
[24] I. H. Enklaar, Pembaptisan Masal & Pemisahan Sakramen,
(Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003) 5-2-16
[25] H. Berkhof, Sejarah Gereja,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 111-113
[26] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014), 134
[27] G.R., Evans, Sejarah Singkat Bidah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 75
[28] E., Martasudjita, Ekaristi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), 265
[29] A., Kenneth, Curtis, 100
Peristiwa penting dalam sejarah Kristen, 62
[30] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 135
[31] Ibid, 136
[32] H., Berkhof, Sejarah Gereja,
116-117